Ideologi
Ideologi secara harafiah diartikan sebagai “a system of ideas”, suatu rangkaian ide yang
terangkum menjadi satu. Dalam bukunya, Antonio Gramsi menjelaskan, ideologi disamping
merupakan sebuah sistem gagasan, juga mempunyai kapasitas untuk mengilhami tindakan konkrit
dan memberi kerangka orientasi bagi tindakan. Atas landasan itu, manusia bergerak dan
memperoleh kesadaran akan kedudukannya dan perjuangannya dalam masyarakat. Dengan kata lain,
ideologi menciptakan manusia sebagai pelaku sejarah, bukan ditentukan oleh sejarah. Dalam
penggunaan praktisnya, istilah ini dipakai secara khas dalam bidang politik untuk menunjukkan
seperangkat nilai-nilai yang terpadu berkenaan dengan hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, ditata secara sistematis menjadi satu kesatuan yang utuh. Adanya ideologi merupakan
suatu langkah yang sangat penting untuk menghubungkan filsafat dengan kehidupan bernegara.
Sementara filsafat sendiri merupakan hasil pemikiran manusia yang paling tinggi, yang timbul
dalam upaya mencari kebenaran yang paling mendasar. Kebenaran dicari karena kecintaan kepada
kebenaran itu sendiri (philos: cinta, sophia: kebenaran). Pemikiran filsafat yang sudah mencapai
kematangan cenderung untuk dikristalisasikan menjadi suatu sistem filsafat. Dengan demikian,
kebenaran-kebenaran yang dikandungnya dapat dipelajari serta dimasyarakatkan. Filsafat dapat
bertumpu pada pemikiran seorang filsuf yang melahirkan aliran-aliran filsafat; dapat juga
merupakan kristalisasi pemikiran terdalam suatu bangsa misalnya filsafat Yunani, India, maupun
China.
Jika ingin bukan hanya sekedar tahu, tetapi juga untuk melaksanakan kebenaran yang
dikandung filsafat secara taat asas, maka kita harus memasuki kategori pemikiran lain: IDEOLOGI.
Ideologi merupakan komitment untuk melaksanakan suatu ajaran filsafat; akan mensistematiskan
seluruh pemikiran mengenai kehidupan dan melengkapinya dengan sarana, serta kebijakan dan
strategi, dengan tujuan menyesuaikan keadaan nyata dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
filsafat yang menjadi induknya. Menurut Edwars Shills, jika manusia sudah mencapai suatu taraf
perkembangan intelektual tertentu, maka manusia tersebut cenderung menyusun ideologi yang
merupakan suatu ciri dasar manusia. Dengan perkataan lain, semakin cerdas dan terdidik warga
masyarakat, semakin meningkat kebutuhan akan wawasan ideologinya. Alfian mengungkapkan,
suatu ideologi perlu mengandung tiga dimensi penting dalam dirinya agar dapat memelihara
relevansinya tinggi/ kuat terhadap aspirasi perkembangan masyarakat dan tuntutan perkembangan
zaman. Ketiga dimensi tersebut saling berkaitan, saling mengisi, dan saling memperkuat, yang
membuatnya menjadi suatu ideologi yang tahan uji dari masa ke masa. Ketiga dimensi itu adalah:
(1) dimensi realita, (2) dimensi idealisme dan (3) dimensi fleksibilitas (pengembangan). Dari segi
dimensi realita, ideologi mengandung makna bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam dirinya
bersumber dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakatnya, terutama saat ideologi tersebut lahir;
sehingga mereka benar-benar merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai tersebut adalah milik
mereka bersama. Dengan demikian, nilai-nilai dasar ideologi itu harus tertanam dalam
masyarakatnya.
Dilihat dari segi dimensi idealisme, suatu ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin
dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui
idealisme atau cita-cita yang terkandung dalam ideologi yang dihayati; suatu masyarakat atau
bangsa mengetahui ke arah mana mereka ingin membangun kehidupan bersama mereka. Idealisme
atau cita-cita tersebut seyogianya berisi harapan-harapan yang masuk akal bukan lambungan angan-
angan yang sama sekali tidak mungkin direalisasikan. Karena itu, dalam ideologi yang tangguh
Lahirnya Marhaenisme
Untuk memahami Marhaenisme sebagai suatu ideologi, tidak bisa tidak kita harus pula
mempelajari sejarah, asal-usul teori ini untuk pertama kali diungkapkan oleh penggagasnya. Bung
Karno mengungkapkan bahwa Marhaenisme itu adalah suatu gagasan ide untuk menuntun bangsa
Indonesia mencapai kemerdekaan yang dicita-citakan. Cuma seperti tadi di atas diungkapkan, bahwa
ideologi itu mengandung dimensi fleksibilitas/ pengembangan, Bung Karno sudah memprediksi
bahwa ketika Indonesia sudah merdeka, musuh bukan lantas hilang, melainkan berubah wujud yang
harus terus dihadapi dari kolonialisme/ imperialisme menjadi neo kolonialisme/ neo imperialisme.
Asal-usul ide itu sendiri, ditemukan oleh Bung Karno (BK), ketika beliau dalam suatu perjalanan ke
Cigalereng, Bandung Selatan, Soekarno muda berjumpa dengan seorang petani yang bernama
Marhaen. Kehidupan si Marhaen begitu miskin, meskipun ia memiliki faktor-faktor produksi beruta
tanah, gubuk, cangkul, dan peralatan untuk mengolah tanah. Apa yang dijumpai BK ini adalah
kondisi riil sebagian besar masyarakat Indonesia di masa itu (masa kolonial Belanda). Melaui
perenungannya, BK sampai pada suatu pemikiran bahwa si petani (masyarakat Indonesia umumnya)
miskin karena sistem kapitalisme-imperialisme yang terjadi pada masa penjajahan; kesimpulan yang
diambil oleh BK bahwa si petani miksin karena dimiskinkan oleh sistem, yaitu sistem kapitalisme.
Untuk menghapuskan sistem yang tidak manusiawi tersebut, BK merumuskan suatu ideologi
perlawanan yang kemudian disebut Marhaenisme. Dan untuk selanjutnya teori perjuangan tersebut
dirumuskan BK melalui pemahaman realitas yang dialami oleh sebagian besar rakyat Indonesia
pada masa itu. Lebih lanjut tentang asas-asas perjuangannya nanti akan didiskusikan lebih lanjut.
Untuk memudahkan kita dalam memahami pengertian Marhaen, Marhaenis, dan Marhaenisme,
beriktu dikutip keputusan Kongres Partindo (Partai Indonesia), yang berasaskan Marhaenisme, pada
tahun 1933:
Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat
Indonesia lainnya.
Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarkat dan susunan negeri yang di dalam
segala halnya menyelematkan kaum Marhaen.
Marhaenisme adalah juga cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri
yang demikian itu, yang oleh karenanya harus melalui suatu cara perjuangan yang revolusioner. Jadi
Marhaenisme adalah cara perjuangan dan asa yang menghendaki hilangnya tipa-tiap kapitalisme dan
imperialisme.
Marhaenis adalah tiap-tiap Bangsa Indonesia yang berjuang sesuai dengan Marhaenisme dan yang
menjalankan Marhaenisme.
Dalam pidato BK pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut, beliau menyebutkan Trisila dan Ekasila
…
“ …. Kalau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka dengan bilangan lima itu? Berpuluh-
puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasar Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita.
Dua dasar pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, yang
diperas menjadi satu, itulah yang dahulu saya namakan Socio Nationalism, dan demokrasi yang
bukan demokrasi barat, tetapi politieke-ekonomische democratie, yaitu politieke-democratie dengan
social rechvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu; inilah
yang saya namakan dengan Sosio Democratie. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu
sama lain. Jadi yang aslinya lima itu telah menjadi Socio Nationalism, Socio Demokratie, dan
Ketuhanan. Kalau tuan-tuan senang dengan simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi,
barangkali tidak semua tuan-tuan senang dengan Trisilla ini dan minta satu, satu dasar saja?
Baikllah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi, menjadi satu, apakah yang satu itu? Sebagai tadi
saya katakan, kita mendirikan Negara Indonesia yang semua harus mendukungnya. Semua buat
semua! Bukan Kristen Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, buka Hadikusumo buat
Indonesia! Semua buat semua! Jika saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu,
maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia tulen, yaitu “gotong royong”. Negara Indonesia
yang kita dirikan haruslah negara gotong royong. Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong.”
Dalam pidato tersebut, BK menyebutkan Sosi Nasionalisme; dengan sosio nasionalisme,
masyarakat tercakup tujuan memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat sehingga tidak ada
lagi kaum yang tertindas, tidak ada ketimpangan-ketimpangan, tidak ada kaum papa sengsara. Oleh
karena sosio nasionalisme menolak tindakan borjuisme yang menyebabkan kepincangan
masyarakat. Sementara sosio demokrasi diartikan BK sebagai demokrasi yang mencari keberesan
politik dan keberesan ekonomi; keberesan negara dan keberesan rezeki. Demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi. Dan dua sila tersebut, didukung landasan moral Ketuhanan.
Dari uraian-uraian di atas, bahwa Marhaenisme dan Pancasila memiliki cita-cita sosial yang
sama. Dan dengan demikian Kaum Marhaen yang menganut ajaran Marhaenisme haruslah
mempunyai visi dan misi sebagai berikut:
VISI:
Mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
- Adil dalam pengertian tidak ada penindasan manusia atas manusia, dan bangsa atas bangsa.
- Makmur berarti sesuai dengan tuntutan budi nurani kemanusiaan yang terus berkembang.
MISI: