MANUSIA DI INDONESIA
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang maha megetahui dan maha bijaksana yang telah memberi
petunjuk agama yang lurus kepada hamba-Nya dan hanya kepada-Nya. Salawat serta salam
semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang membimbing umat nya degan suri
tauladan-Nya yang baik .
Syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan anugrah, kesempatan dan
pemikiran kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini merupakan
pengetahuan tentang Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, semua ini di rangkup dalam
makalah ini, agar pemahaman terhadap permasalahan lebih mudah di pahami dan lebih singkat
dan akurat.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, untuk menjadi lebih
sempurna lagi kami membutuhkan kritik dan saran dari pihak lain untuk membagikannya kepada
kami demi memperbaiki kekurangan pada makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaaat bagi
siswa-siswi yang ingin memperluas pemahamannya mengenai Penegakan Hak Asasi Manusia di
Indonesia.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hak Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia sejak
manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya sebagai anugrah Tuhan. Di
dalamnya tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan
HAM pada dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM
seorang individu terhadap individu lain, kelompok terhadap individu, ataupun sebaliknya.
Memperbincangkan marutnya dinamika hak asasi manusia, khususnya perburuhan selama
dekade terakhir nampaknya cukup mengingatkan pada nama ini: Marsinah. Terdapat alasan pasti
untuk menghadirkan kembali ingatan tentang orang tersebut: misteri kematiannya yang tidak
pernah terungkap hingga sekarang. Tidak pernah diketahui secara pasti oleh siapa ia dianiaya dan
dibunuh, kapan dan di mana ia mati pun tak dapat diketahui dengan jelas, apakah pada Rabu
malam 5 Mei 1993 atau beberapa hari sesudahnya. Liputan pers, pencarian fakta, penyidikan
polisi, pengadilan sekalipun nyatanya belum mampu mengungkap kasusnya secara tuntas dan
memuaskan. Kendati hakim telah memvonis siapa yang bersalah dan dihukum, orang tak percaya
begitu saja; sementara kunci kematiannya tetap gelap sampai kini, lebih dari satu dasawarsa
berselang.
Barangkali memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang menjadi penting di sini, melainkan
jalinan citra yang lantas tersaji melalui serangkaian representasi media yang rumit. Para
pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Segenap aktivis menyanjungnya sebagai teladan
kaum pejuang buruh. Para aparat pusat dibantu aparat setempat konon merekayasa penyidikan
sekaligus membuat skenario pengadilan, termasuk dilibatkannya tersangka palsu dalam
rangkaian pengungkapan kasus tersebut. Tak ketinggalan, para aktivis hak asasi manusia
menganugerahi Yap Thiam Hien Award bagi kegigihannya. Termasuk para seniman yang
mengabadikannya dalam monumen, patung, lukisan, panggaung teater dan seni rupa instalasi;
para feminis mengagungkannya sebagai korban kekerasan terhadap perempuan dan khalayak
awam yang prihatin dan simpati memberi sumbangan bagi keluarganya.
Pada aras citra inilah tulisan ini kemudian mengambil pijakan. Mungkin orang tak akan banyak
tahu siapa Marsinah seandainya ia tidak dibunuh dan kasusnya tidak gencar diberitakan oleh
media massa. Ia tidak hanya dianggap mewakili “nasib malang” jutaan buruh perempuan yang
menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat berupah rendah, berkondisi kerja
buruk sekaligus tak terlindungi hukum. Lebih dari itu, mediasi dan artikulasi pembunuhannya
menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan kuasa: buruh-
buruh, pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat, birokrasi militer, kepolisian dan
sistem peradilan.
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mulai mengalami kemajuan dalam bidang penegakan
HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM pun didirikan sebagai upaya
menunjang komitmen penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan kemajuan ini,
pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar kita karena semakin egoisnya manusia
dalam pemenuhan hak masing-masing. Untuk itulah kami menyusun makalah yang berjudul
“Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Indonesia – Marsinah”, untuk memberikan informasi
mengenai apa itu pelanggaran HAM diikuti seluk beluk kasus Marsinah.
Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia”, maka
masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1.2.1 Apa pengertian pelanggaran HAM ?
1.2.2 Apa saja macam-macam pelanggaran HAM?
1.2.3 Apa contoh pelanggaran HAM di Indonesia?
1.2.4 Apa penyebab dan akibat dari kasus pelanggaran HAM?
1.2.5 Bagaimana upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM?
Tujuan
Tujuan kami mengangkat materi ini tentang kasus hak asasi manusia di Indonesia yaitu :
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian pelanggaran HAM.
1.3.2 Untuk mengetahui macam-macam pelanggaran HAM.
1.3.3 Untuk mengetahui contoh pelanggaran HAM di Indonesia.
1.3.4 Untuk mengetahui penyebab dan akibat dari kasus pelanggaran HAM.
1.3.5 Untuk mengetahui upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Manfaat
Hasil pembelajaran ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi penulis dan pembaca.
1.4.1 Manfaat bagi penulis, pengkajian ini memberikan pengetahuan tentang pelanggaran hak asasi
manusia di Indonesia.
1.4.2 Manfaat dari pembaca, pengkajian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian atau referensi
tambahan bagi ilmu kenegaraan serta memperkaya informasi
BAB II PEMBAHASAN
Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara
melakukan tindakan kekerasan. (UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM).
2. Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secara paksa,
pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.
Kasus pelanggaran HAM yang bersifat ringan, meliputi :
1. Pemukulan
2. Penganiayaan
3. Pencemaran nama baik
4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5. Menghilangkan nyawa orang lain
Dianggap “berbeda”, misalnya memiliki ciri fisik tertentu yang mencolok seperti lebih
kurus, gemuk, tinggi, atau pendek dibandingkan dengan yang lain, berbeda dalam status
ekonomi, memiliki hobi yang tidak lazim, atau menjadi siswa/siswi baru.
Dianggap lemah atau tidak dapat membela dirinya.
Memiliki rasa percaya diri yang rendah.
Kurang populer dibandingkan dengan yang lain, tidak memiliki banyak teman.
Sedangkan untuk pelaku bullying, Ada beberapa karakteristik anak yang memiliki
kecenderungan lebih besar untuk menjadi pelaku bullying, yaitu mereka yang:
Peduli dengan popularitas, memiliki banyak teman, dan senang menjadi pemimpin
diantara teman-temannya. Mereka dapat berasal dari keluarga yang berkecukupan,
memiliki rasa percaya diri tinggi, dan memiliki prestasi bagus di sekolah. Biasanya
mereka melakukan bullying untuk meningkatkan status dan popularitas di antara teman-
teman mereka.
Pernah menjadi korban bullying. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan diterima
dalam pergaulan, kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, mudah terbawa emosi,
merasa kesepian dan mengalami depresi.
Memiliki rasa percaya diri yang rendah, atau mudah dipengaruhi oleh teman-temannya.
Mereka dapat menjadi pelaku bullying karena mengikuti perilaku teman-teman mereka
yang melakukan bullying, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Dalam penelitian Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, (2005) alasan seseorang melakukan
bullying adalah karena korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena
tradisi, balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin
menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan,
mendapatkan kepuasan (menurut korban laki – laki ), dan iri hati (menurut korban perempuan).
Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena
penampilan yang menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan
tradisi.
Menurut psikolog Seto Mulyadi, Bullying disebabkan karena :
1. Menurutnya, saat ini remaja di Indonesia penuh dengan tekanan. Terutama yang datang dari
sekolah akibat kurikulum yang padat dan teknik pengajaran yang terlalu kaku. Sehingga sulit
bagi remaja untuk menyalurkan bakat nonakademisnya Penyalurannya dengan kejahilan-
kejahilan dan menyiksa.
2. Budaya feodalisme yang masih kental di masyarakat juga dapat menjadi salah satu penyebab
bullying sebagai wujudnya adalah timbul budaya senioritas, yang bawah harus nurut sama yang
atas.
Bullying memiliki berbagai dampak negatif yang dapat dirasakan oleh semua pihak yang
terlibat di dalamnya, baik pelaku, korban, ataupun orang-orang yang menyaksikan tindakan
bullying.
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena segala aliran paham yang ada
dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur dengan adanya partai-partai
tersebut.
2. Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsukannya pemilihan
anggota badan perwakilan rakyat pada Januari 1946. Hal ini berkaitan dengan adanya
perubahan yang signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensial menjadi sistem
parlementer.
2) Periode tahun 1950 – 1959 Periode ini dalam perjalanan, Indonesia dikenal dengan sebutan
“Periode Demokrasi Parlementer” dimana pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan
momentum yang membanggakan. Indikator tentang pemikiran HAM pada periode ini mengalami
“pasang”, menurut ahli hukum tata negara memiliki 5 aspek :
3) Periode tahun 1959 – 1966 Pada periode ini, sistem pemerintahan Indonesia adala sistem
demokrasi terpimpin diamana kekuasaan terpusat dan berada di tangan presiden. Dalam
kaitannya dengan HAM yaitu telah terjadinya sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh
kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.
4) Periode tahun 1966 – 1998 Pada awal masa periode ini telah diadakan beberapa seminar
tentang HAM. Salah satu seminar dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan
gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, Komisi, dan pengadilan HAM di
wilayah Asia. Pada tahun 1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II yang merekomendasikan
perlunya hak uji materiil guna melindungi HAM. Fungsi dari hak uji materiil itu sendiri dalam
rangka pelaksanaan TAP MPRS XIV/MPRS/1996. Namun, pada tahun 1970-an sampai akhir
1980-an, HAM mengalami kemunduran. Dalam hal ini, upaya masyarakat dilakukan melalui
pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi
seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, dan lain sebagainya.
Menjelang periode 1990-an, upaya masyarakat nampaknya memperoleh hasil yang mengesankan
karena terjadi pergeseran strategi pemerintahan, dari Represif dan Defensif menjadi Akomodatif.
Salah sau sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM yaitu dibentuknya
KOMNAS HAM berdasarkan KEPRES Nomor 50 tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993, dimana
KOMNAS HAM memiliki tugas:
1. Memantau & menyelidiki pelaksanaan HAM & memberi saran serta pendapat kepada
pemerintah perihal HAM.
2. Membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kodusif bagi pelaksanaan HAM sesuai
pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen UUD NKRI 1945), Piagam PBB,
Deklarasi Universal HAM dan deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait
dengan penegakan HAM.
5) Periode tahun 1998 – sekarang Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa
kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dnegan pemajuan dan perlindungan
HAM. Kemudian, dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di indonesia, serta
pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Strategi
pada periode ini dilakukan melalui 2 tahap, yaitu:
1. Tahap status penentuan (prescriptive Status) Pada tahap ini telah ditetapkan beberapa
ketentuan perundang-undangan tentang HAM, seperti UUD 1945, TAP MPR, UU, dan
peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
2. Tahap penataan aturan secara konsisten ( rule consistent behavior ) Ditandai dengan
pemghormatan dan pemajuan HAM dengan dikeluarkannya TAP MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya sejumlah konvensi HAM. Selain itu
juga dirancangkan program “Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM)” pada tanggal
15 Agustus 1998 yang didasarkan kepada :
3. Persiapan pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM
4. Desiminasi informasi dan pendidikan tentang HAM 3. Penentuan skala prioritas
pelaksanaan HAM 4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah
diratifikasikan melalui perundang-undangan nasional. Untuk lebih melindungi HAM di
Indonesia, pemerintah telah membuat UU HAM No. 39 tahun 1999 serta UU No. 26
tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Melalui keputusan Presiden No. 40 tahun 2004,
Pemerintah telah mengesahlan RANHAM kedua diamana merupakan kelanjutan
RANHAM Indonesia yang pertama tahun 1998-2003. RANHAM disusun untuk
menjamin peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM di
Indinesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan budaya bangsa
indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu
mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa jangan
pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan
dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang
dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili
dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui
hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Sementara menyangkut Kasus Marsinah yang merupakan dikategorikan sebagai pelanggaran
HAM berat, karena merupakan kasus penghilangan seseorang secara paksa. Marsinah adalah
tumbal dari apa yang namanya penindasan atas nama stabilitas keamanan dan politik pada zaman
Orde Baru. Penindasan kepada Marsinah adalah bentuk ketakutan negara pada sosok-sosok yang
berani berjuang dan mengobarkan semangat kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara
menciptakan teror ketakutan kepada siapa saja yang ingin melakukan aksi perlawanan. Negara
juga telah mengabaikan kasus ini, membiarkannya menjadi misteri yang tak terpecahkan selama
bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah anomali dan paradoks jika kita komparasikan dengan tujuan
pembentukan dan kewajiban negara ini. Marsinah hanyalah satu dari ribuan potret buruh
perempuan di Indonesia yang seringkali harus dihadapkan dengan berbagai persoalan pelik yang
mendasar. persoalan kesejahteraan, kekerasan,eksploitasi dan diskriminasi seolah terus menjadi
pekerjaan rumah yang menumpuk bagi pemerintah untuk diselesaikan. Realitas kekinian
memperlihatkan bahwa sampai hari ini begitu banyak buruh perempuan di Indonesia yang masih
ambil bagian dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Menguak kasus Marsinah
berarti harus mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang mungkin hanya dapat terurai
dari tangan mereka yang benar-benar peduli untuk mengurainya.
Bullying adalah suatu contoh kasus pelanggaran HAM ringan yang dilakukan secara berulang-
ulang dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan membuat
seseorang merasa tidak nyaman. Pemahaman moral adalah pemahaman individu yang
menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan dan bagaimana seseorang berpikir
sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Pemahaman moral bukan tentang
apa yang baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan
bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Peserta didik dengan pemahaman moral yang tinggi akan
memikirkan dahulu perbuatan yang akan dilakukan sehingga tidak akan melakukan menyakiti
atau melakukan bullying kepada temannya. Selain itu, keberhasilan remaja dalam proses
pembentukan kepribadian yang wajar dan pembentukan kematangan diri membuat mereka
mampu menghadapi berbagai tantangan dan dalam kehidupannya saat ini dan juga di masa
mendatang. Untuk itu mereka seharusnya mendapatkan asuhan dan pendidikan yang menunjang
untuk perkembangannya.
3.2 Saran
Sebagai makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak kita
sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga hak orang lain jangan
sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan
dinjak-injak oleh orang lain. Sudah saatnya pemerintah membuka mata lebar-lebar akan kasus
Marsinah dan kasus-kasus yang dialami oleh buruh saat ini. Pemerintah sebaiknya berani
membuka ulang kasus Marsinah atas nama demokrasi dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah
sudah barang tentu adalah sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak
pernah menemui titik terang. Padahal keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap Hak
AsasiManusia.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.omahmunir.com/pages-10-kasus-marsinah.html
http://buser.liputan6.com/read/52757/marsinah-dan-misteri-kematiannya
http://fuad-myers.blogspot.com/2011/11/analisa-kasus-pelanggaran-ham-berat.html
http://sarubanglahaping.blogspot.com/2013/10/analisis-kasus-pembunuhan-marsinah.html
Http://www.Yudhe.Com/8-Kasus-Besar-Yang-Tetap-Menjadi-Misteri-Di-Indonesia/
http://ubpeacemaker.blogspot.com/2011/11/memahami-ham-marsinah-pahlawan-kaum.html
http://abunavis.wordpress.com/2007/12/11/marsinah-dalam-representasi-media-analisis-
semiotika-berita-kasus-marsinah-pada-majalah-tempo-1993-1994/
http://hukum.kompasiana.com/2014/05/01/refleksi-21-tahun-kasus-marsinah-650551.html
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/08/173402558/Kasus-Marsinah-Sulit-Diungkap-Lagi
http://www.arahjuang.com/2014/05/08/marsinah-dan-perjuangan-buruh-sepanjang-masa/