Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PENEGAKAN HAK ASASI

MANUSIA DI INDONESIA

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah yang maha megetahui dan maha bijaksana yang telah memberi
petunjuk agama yang lurus kepada hamba-Nya dan hanya kepada-Nya. Salawat serta salam
semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang membimbing umat nya degan suri
tauladan-Nya yang baik .                                         
                                                                                                     
Syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan anugrah, kesempatan dan
pemikiran kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini merupakan
pengetahuan tentang Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, semua ini di rangkup dalam
makalah ini, agar pemahaman terhadap permasalahan lebih mudah di pahami dan lebih singkat
dan akurat.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, untuk menjadi lebih
sempurna lagi kami membutuhkan kritik dan saran dari pihak lain untuk membagikannya kepada
kami demi memperbaiki kekurangan pada makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaaat bagi
siswa-siswi yang ingin memperluas pemahamannya mengenai Penegakan Hak Asasi Manusia di
Indonesia.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
BAB I PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Hak Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia sejak
manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya sebagai anugrah Tuhan. Di
dalamnya tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan
HAM pada dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM
seorang individu terhadap individu lain, kelompok terhadap individu, ataupun sebaliknya.
Memperbincangkan marutnya dinamika hak asasi manusia, khususnya perburuhan selama
dekade terakhir nampaknya cukup mengingatkan pada nama ini: Marsinah. Terdapat alasan pasti
untuk menghadirkan kembali ingatan tentang orang tersebut: misteri kematiannya yang tidak
pernah terungkap hingga sekarang. Tidak pernah diketahui secara pasti oleh siapa ia dianiaya dan
dibunuh, kapan dan di mana ia mati pun tak dapat diketahui dengan jelas, apakah pada Rabu
malam 5 Mei 1993 atau beberapa hari sesudahnya. Liputan pers, pencarian fakta, penyidikan
polisi, pengadilan sekalipun nyatanya belum mampu mengungkap kasusnya secara tuntas dan
memuaskan. Kendati hakim telah memvonis siapa yang bersalah dan dihukum, orang tak percaya
begitu saja; sementara kunci kematiannya tetap gelap sampai kini, lebih dari satu dasawarsa
berselang.
Barangkali memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang menjadi penting di sini, melainkan
jalinan citra yang lantas tersaji melalui serangkaian representasi media yang rumit. Para
pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Segenap aktivis menyanjungnya sebagai teladan
kaum pejuang buruh. Para aparat pusat dibantu aparat setempat konon merekayasa penyidikan
sekaligus membuat skenario pengadilan, termasuk dilibatkannya tersangka palsu dalam
rangkaian pengungkapan kasus tersebut. Tak ketinggalan, para aktivis hak asasi manusia
menganugerahi Yap Thiam Hien Award  bagi kegigihannya. Termasuk para seniman yang
mengabadikannya dalam monumen, patung, lukisan, panggaung teater dan seni rupa instalasi;
para feminis mengagungkannya sebagai korban kekerasan terhadap perempuan dan khalayak
awam yang prihatin dan simpati memberi sumbangan bagi keluarganya.
Pada aras citra inilah tulisan ini kemudian mengambil pijakan. Mungkin orang tak akan banyak
tahu siapa Marsinah seandainya ia tidak dibunuh dan kasusnya tidak gencar diberitakan oleh
media massa. Ia tidak hanya dianggap mewakili “nasib malang” jutaan buruh perempuan yang
menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat berupah rendah, berkondisi kerja
buruk sekaligus tak terlindungi hukum. Lebih dari itu, mediasi dan artikulasi pembunuhannya
menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan kuasa: buruh-
buruh, pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat, birokrasi militer, kepolisian dan
sistem peradilan.
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mulai mengalami kemajuan dalam bidang penegakan
HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM pun didirikan sebagai upaya
menunjang komitmen penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan kemajuan ini,
pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar kita karena semakin egoisnya manusia
dalam pemenuhan hak masing-masing. Untuk itulah kami menyusun makalah yang berjudul
“Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Indonesia – Marsinah”, untuk memberikan informasi
mengenai apa itu pelanggaran HAM  diikuti seluk beluk kasus Marsinah.

 Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul makalah ini “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia”, maka
masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1.2.1     Apa pengertian pelanggaran HAM ?
1.2.2     Apa saja macam-macam pelanggaran HAM?
1.2.3     Apa contoh pelanggaran HAM di Indonesia?
1.2.4     Apa penyebab dan akibat dari kasus pelanggaran HAM?
1.2.5     Bagaimana upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM?

 Tujuan

Tujuan kami mengangkat materi ini tentang kasus hak asasi manusia di Indonesia yaitu :
1.3.1    Untuk mengetahui pengertian pelanggaran HAM.
1.3.2    Untuk mengetahui macam-macam pelanggaran HAM.
1.3.3    Untuk mengetahui contoh pelanggaran HAM di Indonesia.
1.3.4    Untuk mengetahui penyebab dan akibat dari kasus pelanggaran HAM.
1.3.5    Untuk mengetahui upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

 Manfaat

Hasil pembelajaran ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi penulis dan pembaca.
1.4.1   Manfaat bagi penulis, pengkajian ini memberikan pengetahuan tentang pelanggaran hak asasi
manusia di Indonesia.
1.4.2   Manfaat dari pembaca, pengkajian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian atau referensi
tambahan bagi ilmu kenegaraan serta memperkaya informasi
BAB II PEMBAHASAN

Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia, setiap manusia lahir pasti memiliki hak ini, hak yang dimiliki sejak lahir hak
manusia untuk berpendapat dan melakukan yang mereka mau atau dengan kata lain hak
kebebasan manusia.
Menurut Pasal 1 Angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi
manusia adalah  setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian
yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi
Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak
didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik
dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi
individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.

Klasifikasi Pelanggaran HAM di Indonesia


Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
  Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :

1. Pembunuhan massal (genosida)

Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara
melakukan tindakan kekerasan.           (UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM).

2. Kejahatan Kemanusiaan

Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secara paksa,
pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.
  Kasus pelanggaran HAM yang bersifat ringan, meliputi :

1. Pemukulan
2. Penganiayaan
3. Pencemaran nama baik
4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5. Menghilangkan nyawa orang lain

Contoh Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia


1. Kasus Marsinah (1993) (Pelanggaran HAM Berat)
Kasus tersebut berawal dari unjuk rasa buruh yang dipicu surat edaran gubernur setempat
mengenai penaikan UMR. Namun PT. CPS, perusahaan tempat Marsinah bekerja memilih
bergeming. Kondisi ini memicu geram para buruh.
Senin 3 Mei 1993, sebagian besar karyawan PT. CPS berunjuk rasa dengan mogok kerja hingga
esok hari. Ternyata menjelang selasa siang, manajemen perusahaan dan pekerja berdialog dan
menyepakati perjanjian. Intinya mengenai pengabulan permintaan karyawan dengan membayar
upah sesuai UMR. Sampai di sini sepertinya permasalahan antara perusahaan dan pekerja telah
beres.
Namun esoknya 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik
Militer (Kodim) Sidoarjo untuk diminta mengundurkan diri dari CPS. Marsinah marah dan tidak
terima, ia berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut ke pengadilan. Beberapa hari
kemudian, Marsinah dikabarkan tewas secara tidak wajar. Mayat Marsinah ditemukan di gubuk
petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak
dalam posisi melintang dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda
keras, kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan benda keras
berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan
dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan
tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di
bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia
dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan
Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu
dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan
Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah
Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni).
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah
pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga akhirnya kasusnya
kadaluarsa tepat tahun ini, tahun 2014. Mereka yang tertuduh dan dijadikan kambing hitam
dalam kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Di zaman Orde Baru, atas
nama stabilitas keamanan dan politik, Negara telah berubah wujud menjadi sosok yang
menyeramkan, siap menculik, mengintimidasi dan bahkan menghilangkan secara paksa siapa
saja yang berani berteriak atas nama kebebasan menyuarakan aspirasi.
Faktor Penyebab Kasus Marsinah
Faktor penyebab dari kasus Marsinah yang pertama adalah perusahaan CPS yang tidak
mengikuti himbauan gubernur setempat untuk menaikkan UMR. Walaupun kebijakan kenaikan
UMR tersebut sudah dikeluarkan, CPS tetap bergeming. Kondisi ini memicu geram para
pekerjanya sehingga menyebabkan mereka melakukan aksi unjuk rasa dan mogok kerja.
Lalu faktor penyebab kedua, adalah manajemen perusahaan CPS yang telah menyepakati
perjanjian penaikan UMR namun rupanya diikuti dengan memberhentikan 13 pekerjanya dengan
cara mencari-cari kesalahan pasca tuntutan kenaikan UMR. Hal ini menjadikan Marsinah penuh
amarah.
Fakor yang lain dapat diuraikan sebagai berikut :
Dari segi ekonomi :

1. Terjadi kredit macet


2. Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
3. Banyak perusahaan yang tidak dapat membayar hutangnya

Dari segi politik :

1. Pemimpian saat itu telah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya


2. Terjadi kekacauan dan kerusuhan di mana-mana
3. Terjadi perpecahan dalam kubu kabinet Soeharto

Dasar Hukum / Pasal Pada Undang Undang Yang Dilanggar


A.        Dasar Negara Pancasila sila ke 2 “Kemanusiaan yang adil dan beradap"
B.        UUD 1945 pasal 27(3)
“ Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya  pembelaan Negara”.
 Makna yang terkandung :  setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan
dari negara serta wajib untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara, membela negara tidak
harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti:
- Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
- Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri
- Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau pkn
- Selalu menaati dan melaksanakan peraturan
C.        Isi dari pasal 30 ayat 4 UUD 1945
“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan
ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum.”
D.        Tap MPR No.XVII/MPR/1998 PASAL1
“Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk
menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia
kepada seluruh masyarakat.”
E.         UU NO. 39 th 1999 pasal 9 – 66
Salah satunya pasal 9
1.    Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
2.    Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
3.    Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Yang Terlibat Dalam Kasus Marsinah


Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim
Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk
Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap,
mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah
membuat control dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi
Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai
kamar jenazahRSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik
RSUD Dr.Sutomo,Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan
berat.Marsinah memperoleh Penghargaan yap thiem hien pada tahun yang sama.Kasus ini
menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773.

Hukuman Bagi Pelanggar Kasus Marsinah


Setelah penyelidik menangkap 10 petinggi PT CPS dan  mereka diidentifikasi Baru 18 hari
kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan
terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap
adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan
tersebut adalah Anggota TNI.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu
dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan
Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah
Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni).
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah
pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.

Dampak Adanya Kasus Marsinah


Rekayasa kasus marsinah, adanya banyak  kecaman dari berbagai pihak. Kasus Marsinah
seharusnya menjadi salah satu cermin bagi Indonesi.Betapa hokum dapat dibeli oleh para
penguasa .Sementara kasus marsinah sudah tenggelam selama hampir 20 tahun,tapi
pembunuhnya entah kemana.Untuk menghindari kasus-kasus seperti ini terjadi lagi,seharusnya
ada tindakan khusus dari pemerintah untuk memberikan efek jera pada pelaku.

Solusi Terhadap Kasus Marsinah


Terkait kasus Marsinah, solusi dari pemerintah sendiri, pemerintah semestinya segera mengusut
tuntas kasus pembunuhan Marsinah sampai selesai hingga mendapatkan hasil yang nyata, dan
menegakkan tiang keadilan dan ketegasan dalam kerapuhan hukum di Indonesia sehingga rakyat
dapat kembali mempercayai peranan dari pemerintah dan aparat penegak hukum dalam
penegakan HAM di Indonesia.
Sementara solusi dari hasil rangkuman kami sekelompok, adalah adanya kepastian hukum dalam
menjamin keamanan setiap orang. Setiap orang perlu menghargai hak-haknya sendiri dan hak
orang lain.

2. Bullying (Pelanggaran HAM Ringan)


Definisi bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Bullying berasal dari
kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. Beberapa istilah
dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai masyarakat untuk menggambarkan
fenomena bullying di antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan,
pengucilan, atau intimidasi (Susanti, 2006).
Barbara Coloroso (2003:44) : “Bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara
sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi
dan menimbulkan terror. Termasuk juga tindakan yang direncanakan maupun yang spontan
bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, dihadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah
untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau
kelompok anak.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan serangan
berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal, yang dilakukan dalam posisi kekuatan
yang secara situasional didefinisikan untuk keuntungan atau kepuasan mereka
sendiri. Bullying merupakan bentuk awal dari perilaku agresif yaitu tingkah laku yang kasar.
Bisa secara fisik, psikis, melalui kata-kata, ataupun kombinasi dari ketiganya. Hal itu bisa
dilakukan oleh kelompok atau individu. Pelaku mengambil keuntungan dari orang lain yang
dilihatnya mudah diserang. Tindakannya bisa dengan mengejek nama, korban diganggu atau
diasingkan dan dapat merugikan korban.

Jenis – Jenis Tindakan Bullying


Barbara Coloroso (2006:47-50) membagi jenis-jenis bullying kedalam empat jenis, yaitu
sebagai berikut: 
1.      Bullying secara verbal; perilaku ini dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritikan kejam,
penghinaan, pernyataan-pernyataan yang bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual,
terror, surat-surat yang mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar kasak-kusuk yang keji
dan keliru, gosip dan sebagainya. Dari ketiga jenis bullying, bullying dalam bentuk verbal adalah
salah satu jenis yang paling mudah dilakukan dan bullying bentuk verbal akan menjadi awal dari
perilaku bullying yang lainnya serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang
lebih lanjut.
2.      Bullying  secara fisik; yang termasuk dalam jenis ini ialah memukuli, menendang, menampar,
mencekik, menggigit, mencakar, meludahi, dan merusak serta menghancurkan barang-barang
milik anak yang tertindas. Kendati bullying jenis ini adalah yang paling tampak dan mudah untuk
diidentifikasi, namun kejadian bullying secara fisik tidak sebanyak bullying dalam bentuk lain.
Remaja yang secara teratur melakukan bullying dalam bentuk fisik kerap merupakan remaja
yang paling bermasalah dan cenderung akan beralih pada tindakan-tindakan kriminal yang lebih
lanjut.
3.    Bullying secara relasional; adalah pelemahan harga diri korban secara sistematis melalui
pengabaian, pengucilan atau penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap yang
tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, cibiran, tawa mengejek
dan bahasa tubuh yang mengejek. Bullying dalam bentuk ini cenderung perilaku bullying yang
paling sulit dideteksi dari luar. Bullying secara relasional mencapai puncak kekuatannya diawal
masa remaja, karena saat itu tejadi perubahan fisik, mental emosional dan seksual remaja. Ini
adalah saat ketika remaja mencoba untuk mengetahui diri mereka dan menyesuaikan diri dengan
teman sebaya.
4.      Bullying elektronik; merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan pelakunya melalui
sarana elektronik seperti komputer, handphone, internet, website, chatting room, e-mail, SMS
dan sebagainya. Biasanya ditujukan untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan,
animasi, gambar dan rekaman video atau film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau
menyudutkan. Bullying jenis ini biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki
pemahaman cukup baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya.
Pada umumnya, anak laki-laki lebih banyak menggunakan bullying secara fisik dan anak
wanita banyak menggunakan bullying relasional/emosional, namun keduanya sama-sama
menggunakan bullying verbal. Perbedaan ini, lebih berkaitan dengan pola sosialisasi yang terjadi
antara anak laki-laki dan perempuan (Coloroso, 2006:51).

Faktor Penyebab Bullying


Bullying dapat terjadi dimana saja, di perkotaan, pedesaan, sekolah negeri, sekolah swasta, di
waktu sekolah maupun di luar waktu sekolah. Bullying terjadi karena interaksi dari berbagai
faktor yang dapat berasal dari pelaku, korban, dan lingkungan dimana bullying tersebut terjadi.
Pada umumnya, anak-anak korban bullying memiliki salah satu atau beberapa faktor resiko
berikut:

 Dianggap “berbeda”, misalnya memiliki ciri fisik tertentu yang mencolok seperti lebih
kurus, gemuk, tinggi, atau pendek dibandingkan dengan yang lain, berbeda dalam status
ekonomi, memiliki hobi yang tidak lazim, atau menjadi siswa/siswi baru.
 Dianggap lemah atau tidak dapat membela dirinya.
 Memiliki rasa percaya diri yang rendah.
 Kurang populer dibandingkan dengan yang lain, tidak memiliki banyak teman.

Sedangkan untuk pelaku bullying, Ada beberapa karakteristik anak yang memiliki
kecenderungan lebih besar untuk menjadi pelaku bullying, yaitu mereka yang:

 Peduli dengan popularitas, memiliki banyak teman, dan senang menjadi pemimpin
diantara teman-temannya. Mereka dapat berasal dari keluarga yang berkecukupan,
memiliki rasa percaya diri tinggi, dan memiliki prestasi bagus di sekolah. Biasanya
mereka melakukan bullying untuk meningkatkan status dan popularitas di antara teman-
teman mereka.
 Pernah menjadi korban bullying. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan diterima
dalam pergaulan, kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, mudah terbawa emosi,
merasa kesepian dan mengalami depresi.
 Memiliki rasa percaya diri yang rendah, atau mudah dipengaruhi oleh teman-temannya.
Mereka dapat menjadi pelaku bullying karena mengikuti perilaku teman-teman mereka
yang melakukan bullying, baik secara sadar maupun tidak sadar.

 Dalam penelitian Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, (2005)  alasan seseorang melakukan
bullying adalah karena  korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena
tradisi, balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin
menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan,
mendapatkan kepuasan (menurut korban laki – laki ), dan iri hati (menurut korban perempuan).
Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena
penampilan yang menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan
tradisi.
Menurut psikolog Seto Mulyadi, Bullying disebabkan karena :
1.    Menurutnya, saat ini remaja di Indonesia penuh dengan tekanan. Terutama yang datang dari
sekolah akibat kurikulum yang padat dan teknik pengajaran yang terlalu kaku. Sehingga sulit
bagi remaja untuk menyalurkan bakat nonakademisnya Penyalurannya dengan kejahilan-
kejahilan dan menyiksa.
2.    Budaya feodalisme yang masih kental di masyarakat juga dapat menjadi salah satu penyebab
bullying sebagai wujudnya adalah timbul budaya senioritas, yang bawah harus nurut sama yang
atas.

Dasar Hukum / Pasal Pada Undang Undang Yang Dilanggar


Melihat dari bagaimana bullying itu dilakukan, maka Pasal 76C Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) telah mengatur bahwa setiap Orang dilarang
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan
Kekerasan terhadap Anak. Bagi yang melanggarnya akan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah) [lihat Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014].
Pasal 80 UU 35/2014:
(1)  Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)  Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(3)  Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4)  Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Jika bullying ini dilakukan di lingkungan pendidikan, maka kita perlu melihat juga Pasal 54
UU 35/2014 yang berbunyi:
 (1)  Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari
tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
(2)  Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
Ini artinya, sudah sepatutnya peserta didik di sekolah mendapatkan perlindungan dari
perilaku bully yang berupa tindak kekerasan fisik maupun psikis.
Apabila bullying itu dilakukan pada masa diselenggarakannya perpeloncoan di sekolah atau
yang dikenal dengan nama Masa Orientasi Sekolah (MOS), dasar hukum yang mengaturnya
adalah Surat Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor
1383/C.C4/MN/2010 tentang Pelaksanaan MOS yang antara lain mengatakan bahwa agar
kegiatan MOS berjalan sesaui dengan yang diharapkan dan tidak terjadi bias, seperti adanya
bullying, perpeloncoan, pemalakan, dan hal-hal negatif lainnya; maka seluruh kegiatan MOS
dilaksanakan, dibimbing, dan diawasi guru.

Dampak Adanya Bullying

Bullying memiliki berbagai dampak negatif yang dapat dirasakan oleh semua pihak yang
terlibat di dalamnya, baik pelaku, korban, ataupun orang-orang yang menyaksikan tindakan
bullying.

Dampak bagi korban


Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource Center Sanders
(2003; dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja merasa cemas
dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk
menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat
mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik
diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus
yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan bisa membunuh
atau melakukan bunuh diri (commited suicide).
Coloroso (2006) mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa korban secara
berulang-ulang. Konsekuensi bullying bagi para korban, yaitu korban akan merasa depresi dan
marah, Ia marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku bullying, terhadap orang-orang di
sekitarnya dan terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal
tersebut kemudan mulai mempengaruhi prestasi akademiknya. Berhubung tidak mampu lagi
muncul dengan cara-cara yang konstruktif untuk mengontrol hidupnya, ia mungkin akan mundur
lebih jauh lagi ke dalam pengasingan.
Terkait dengan konsekuensi bullying, penelitian Banks (1993, dalam Northwest Regional
Educational Laboratory, 2001; dan dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa perilaku bullying
berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya prestasi akademik siswa,
rendahnya self-esteem, tingginya depresi, tingginya kenakalan remaja dan kejahatan orang
dewasa. Dampak negatif bullying juga tampak pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan
kemampuan analisis siswa. Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying
dengan meningkatnya depresi dan agresi.
Dampak bagi pelaku
Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) National Youth Violence Prevention
mengemukakan bahwa pada umumnya, para pelaku ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi
dengan harga diri yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap
kekerasan, tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, toleransi yang rendah
terhadap frustasi. Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang
lain dan kurang berempati terhadap targetnya. Apa yang diungkapkan tersebut sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Coloroso (2006:72) mengungkapkan bahwa siswa akan terperangkap
dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap
untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya
kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan
datang.
Dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki
kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus-menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini
dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku
kriminal lainnya.
Dampak bagi siswa lain yang menyaksikan bullying (bystanders)
Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang menjadi penonton
dapat berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang diterima secara sosial. Dalam kondisi ini,
beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran
berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan
yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.

Solusi Terhadap Bullying


Dalam rangka mencegah bullying, banyak pihak telah menjalankan program dan kampanye
anti bullying di sekolah-sekolah, baik dari pihak sekolah sendiri, maupun organisasi-organisasi
lain yang berhubungan dengan anak. Lalu apakah yang dapat kita –sebagai perorangan- lakukan
untuk memerangi bullying?
1. Membantu anak-anak mengetahui dan memahami bullying
2. Memberi saran mengenai cara-cara menghadapi bullying
3. Membangun hubungan dan komunikasi dua arah dengan anak
4. Mendorong mereka untuk tidak menjadi “saksi bisu” dalam kasus bullying
5. Membantu anak menemukan minat dan potensi mereka
6. Memberi teladan lewat sikap dan perilaku
Apabila kita ingin ikut serta dalam memerangi bullying, hal paling sederhana yang dapat kita
lakukan adalah dengan tidak melakukan bullying atau hal-hal lain yang mirip dengan bullying.
Disadari maupun tidak, orang dewasa juga dapat menjadi korban ataupun pelaku bullying,
misalnya dengan melakukan bullying di tempat kerja, ataupun melakukan kekerasan verbal
terhadap orang-orang di sekitar kita.
 

Upaya Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia


1) Periode tahun 1945 – 1950 Di periode ini, pemikiran HAM masih menekankan pada hak
merdeka, hak bebas berserikat, serta hak bebas menyampaikan pendapat. Pemikiran HAM telah
mendapat pengakuan secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam
hukum dasar negara, yaitu UUD 1945. Komitmen terhadap HAM pada periode awal kerdekaan
ditunjullam dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Di periode ini (1945-1950)
memberikan keleluasaan terhadap rakyat untuk mendirikan partai politik sebagaimana yang telah
tertera pada Maklumat Pemerintah pada tanggal 3 November 1945 :

1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena segala aliran paham yang ada
dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur dengan adanya partai-partai
tersebut.
2. Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsukannya pemilihan
anggota badan perwakilan rakyat pada Januari 1946. Hal ini berkaitan dengan adanya
perubahan yang signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensial menjadi sistem
parlementer.

2) Periode tahun 1950 – 1959 Periode ini dalam perjalanan, Indonesia dikenal dengan sebutan
“Periode Demokrasi Parlementer” dimana pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan
momentum yang membanggakan. Indikator tentang pemikiran HAM pada periode ini mengalami
“pasang”, menurut ahli hukum tata negara memiliki 5 aspek :

1. Semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-


masing.
2. Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi, betul- betul menikmati kebebasannya.
3. Pemilu sebagai pilar lain dari demokrasi harus bertanggung jawab dalam suasana
kebebasan, fair (adil) dan demokratis.
4. Parlemen/dewan perwakilan rakyat sebagai wakil rakyat semakin efektif mengontrol
terhadapt kinerja eksekutif.
5. Wacana & pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif, sejalan dengan
tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

3) Periode tahun 1959 – 1966 Pada periode ini, sistem pemerintahan Indonesia adala sistem
demokrasi terpimpin diamana kekuasaan terpusat dan berada di tangan presiden. Dalam
kaitannya dengan HAM yaitu telah terjadinya sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh
kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.
4) Periode tahun 1966 – 1998 Pada awal masa periode ini telah diadakan beberapa seminar
tentang HAM. Salah satu seminar dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan
gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, Komisi, dan pengadilan HAM di
wilayah Asia. Pada tahun 1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II yang merekomendasikan
perlunya hak uji materiil guna melindungi HAM. Fungsi dari hak uji materiil itu sendiri dalam
rangka pelaksanaan TAP MPRS XIV/MPRS/1996. Namun, pada tahun 1970-an sampai akhir
1980-an, HAM mengalami kemunduran. Dalam hal ini, upaya masyarakat dilakukan melalui
pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi
seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, dan lain sebagainya.
Menjelang periode 1990-an, upaya masyarakat nampaknya memperoleh hasil yang mengesankan
karena terjadi pergeseran strategi pemerintahan, dari Represif dan Defensif menjadi Akomodatif.
Salah sau sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM yaitu dibentuknya
KOMNAS HAM berdasarkan KEPRES Nomor 50 tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993, dimana
KOMNAS HAM memiliki tugas:

1. Memantau & menyelidiki pelaksanaan HAM & memberi saran serta pendapat kepada
pemerintah perihal HAM.
2. Membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kodusif bagi pelaksanaan HAM sesuai
pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen UUD NKRI 1945), Piagam PBB,
Deklarasi Universal HAM dan deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait
dengan penegakan HAM.

5) Periode tahun 1998 – sekarang Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa
kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dnegan pemajuan dan perlindungan
HAM. Kemudian, dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di indonesia, serta
pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Strategi
pada periode ini dilakukan melalui 2 tahap, yaitu:

1. Tahap status penentuan (prescriptive Status) Pada tahap ini telah ditetapkan beberapa
ketentuan perundang-undangan tentang HAM, seperti UUD 1945, TAP MPR, UU, dan
peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
2. Tahap penataan aturan secara konsisten ( rule consistent behavior ) Ditandai dengan
pemghormatan dan pemajuan HAM dengan dikeluarkannya TAP MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya sejumlah konvensi HAM. Selain itu
juga dirancangkan program “Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM)” pada tanggal
15 Agustus 1998 yang didasarkan kepada :
3. Persiapan pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM
4. Desiminasi informasi dan pendidikan tentang HAM 3. Penentuan skala prioritas
pelaksanaan HAM 4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah
diratifikasikan melalui perundang-undangan nasional. Untuk lebih melindungi HAM di
Indonesia, pemerintah telah membuat UU HAM No. 39 tahun 1999 serta UU No. 26
tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Melalui keputusan Presiden No. 40 tahun 2004,
Pemerintah telah mengesahlan RANHAM kedua diamana merupakan kelanjutan
RANHAM Indonesia yang pertama tahun 1998-2003. RANHAM disusun untuk
menjamin peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM di
Indinesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan budaya bangsa
indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu
mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa jangan
pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan
dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang
dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili
dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui
hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Sementara menyangkut Kasus Marsinah yang merupakan dikategorikan sebagai pelanggaran
HAM berat, karena merupakan kasus penghilangan seseorang secara paksa. Marsinah adalah
tumbal dari apa yang namanya penindasan atas nama stabilitas keamanan dan politik pada zaman
Orde Baru. Penindasan kepada Marsinah adalah bentuk ketakutan negara pada sosok-sosok yang
berani berjuang dan mengobarkan semangat kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara
menciptakan teror ketakutan kepada siapa saja yang ingin melakukan aksi perlawanan. Negara
juga telah mengabaikan kasus ini, membiarkannya menjadi misteri yang tak terpecahkan selama
bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah anomali dan paradoks jika kita komparasikan dengan tujuan
pembentukan dan kewajiban negara ini. Marsinah hanyalah satu dari ribuan potret buruh
perempuan di Indonesia yang seringkali harus dihadapkan dengan berbagai persoalan pelik yang
mendasar. persoalan kesejahteraan, kekerasan,eksploitasi dan diskriminasi seolah terus menjadi
pekerjaan rumah yang menumpuk bagi pemerintah untuk diselesaikan. Realitas kekinian
memperlihatkan bahwa sampai hari ini begitu banyak buruh perempuan di Indonesia yang masih
ambil bagian dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Menguak kasus Marsinah
berarti harus mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang mungkin hanya dapat terurai
dari tangan mereka yang benar-benar peduli untuk mengurainya.
Bullying adalah suatu contoh kasus pelanggaran HAM ringan yang dilakukan secara berulang-
ulang dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan membuat
seseorang merasa tidak nyaman. Pemahaman moral adalah pemahaman individu yang
menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan dan bagaimana seseorang berpikir
sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Pemahaman moral bukan tentang
apa yang baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan
bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Peserta didik dengan pemahaman moral yang tinggi akan
memikirkan dahulu perbuatan yang akan dilakukan sehingga tidak akan melakukan menyakiti
atau melakukan bullying kepada temannya. Selain itu, keberhasilan remaja dalam proses
pembentukan kepribadian yang wajar dan pembentukan kematangan diri membuat mereka
mampu menghadapi berbagai tantangan dan dalam kehidupannya saat ini dan juga di masa
mendatang. Untuk itu mereka seharusnya mendapatkan asuhan dan pendidikan yang menunjang
untuk perkembangannya.

3.2 Saran
Sebagai makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak kita
sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga hak orang lain jangan
sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan
dinjak-injak oleh orang lain. Sudah saatnya pemerintah membuka mata lebar-lebar akan kasus
Marsinah dan kasus-kasus yang dialami oleh buruh saat ini. Pemerintah sebaiknya berani
membuka ulang kasus Marsinah atas nama demokrasi dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah
sudah barang tentu adalah sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak
pernah menemui titik terang. Padahal keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap Hak
AsasiManusia.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.omahmunir.com/pages-10-kasus-marsinah.html

http://buser.liputan6.com/read/52757/marsinah-dan-misteri-kematiannya

http://fuad-myers.blogspot.com/2011/11/analisa-kasus-pelanggaran-ham-berat.html

http://sarubanglahaping.blogspot.com/2013/10/analisis-kasus-pembunuhan-marsinah.html

Http://www.Yudhe.Com/8-Kasus-Besar-Yang-Tetap-Menjadi-Misteri-Di-Indonesia/

http://ubpeacemaker.blogspot.com/2011/11/memahami-ham-marsinah-pahlawan-kaum.html

http://abunavis.wordpress.com/2007/12/11/marsinah-dalam-representasi-media-analisis-

semiotika-berita-kasus-marsinah-pada-majalah-tempo-1993-1994/

http://hukum.kompasiana.com/2014/05/01/refleksi-21-tahun-kasus-marsinah-650551.html

http://www.tempo.co/read/news/2012/05/08/173402558/Kasus-Marsinah-Sulit-Diungkap-Lagi

http://www.arahjuang.com/2014/05/08/marsinah-dan-perjuangan-buruh-sepanjang-masa/

Anda mungkin juga menyukai