Morgenthau, H.J. (1948) Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New
York: Alfred A. Knoff. (Part Five: Limitations of International Power: International
Morality and World Public Opinion)
Morgenthau, H.J. (1990) Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen. Jakarta:
Yayasan Obor.
Kelompok 4
Anggota:
Part Five
Kekuasaan adalah metode yang paling sulit dan kurang efektif untuk membatasi
keinginan atas kekuasaan di ranah internasional. Kekuasaan akan mempengaruhi politik
internasional dan sesuatu akan dinilai atau dipertimbangkan berdasarkan kekayaan politik saja,
yang akhirnya menimbulkan kesenjangan antara pihak yg kuat dan pihak yg lemah, dimana
hanya pihak yang kuat saja yang berhak memerintah atau mempunyai kekuasaan. (Morgenthau,
Politics Among Nations, 1948, pp. 259-260) Selain kekuasaan yang mutlak, akan ada ancaman
yang lainnya jika kekuasaan membatasi kekuasaan lainnya. Maka dari itu perlu adanya sesuatu
yang lebih kuat untuk bisa membatasi kekuasaan antar dua kubu kekuasaan atau lebih.
Ideologi politik internasional memiliki beberapa aspek penting yang dapat memecahkan
banyak masalah. Aspek-aspek tersebut dapat ditemukan dalam tatanan normatif etika, adat dan
hukum. Ketiga aspek ini sesuai dengan cara tertentu dengan tuntutan akal, moralitas dan
keadilan. Untuk melindungi masyarakat dari gangguan dan individu dari perbudakan dan
kepunahan, sistem normatif menyatakan bahwa seseorang, tidak peduli seberapa kuat seseorang,
tidak berhak atas kekerasan fisik karena kekuatannya.
Perintah dan sanksi merupakan 2 elemen penting dalam etika, adat istiadat dan hukum.
Sanksi dapat berbeda namun kalimat bisa sama jika dilihat dari sudut pandang sistem normatif.
Menghukum pelanggar aturan dan memberikan efek jera adalah fungsi utama dari sanski itu
sendiri.
Namun, masalah dapat terjadi ketika ada dua kekuatan yang sama kuatnya, dan berseteru
satu sama lain. Seperti aturan yang mengharuskan menaati atasan dan larangan untuk korupsi.
Jika seseorang diperintahkan oleh atasannya untuk menyuap atau korupsi, maka orang itu berada
dalam situasi dimana dirinya harus melakukan perintah, atau harus melanggar.
Terdapat 2 hal yang patut kita waspadai ketika membahas tentang moralitas internasional.
Hal pertama, yaitu terlalu melebih-lebihkan pengaruh dari etika dalam politik internasional. Hal
kedua yaitu membantah bahwa negarawan atau diplomat itu hanya bergerak didasarkan pada
kekuasaan materi belaka. (Kelompok 6, 2020) Namun dibalik itu semua, ada kesalahan yang
akan mengacaukan aturan moral yang mana orang yang terlihat mematuhi peraturan, pada
kenyataannya orang-orang itu hanya berpura–pura mematuhinya.
Politik luar negeri tidak boleh melakukan pembantaian massal demi kepentingan
nasionalnya yang dimana akan melanggar prinsip etika, yakni pelarangan pembunuhan massal di
masa perdamaian. Poin ini menyatakan bahwasanya, rasa menghargai dan pentingnya nyawa
manusia telah berkembang yang dimana rasa tidak ingin kematian yang tidak diperlukan dalam
peperangan atau penderitaan manusia lain. Kematian dan penderitaan tidak dibutuhkan untuk
mencapai tujuan nasional, yang diyakini secara benar atau salah, untuk membenarkan suatu
penghinaan dari masyarakat umum. Di sisi lainnya, faktanya adalah kematian atau penderitaan
masih dapat dibenarkan, perbuatan tersebut karena adanya tujuan “yang lebih mulia” atau
disebut kepentingan nasional.
Pembatasan etika juga diterapkan pada kebijakan internasional dalam waktu peperangan,
dikarenakan warga sipil dan para tentara yang tidak bisa bertempur. Menurut dasar etika dan
hukum, bebas untuk membunuh semua pasukan bersenjata, termasuk pria, wanita, dan juga anak-
anak. Menurut Hugo Grotius, pada bukunya yang berjudul “On the Law of War and Peace”
memaparkan fakta-fakta tindakan kekerasan yang dilakukan pada masa lalu, yang ditujukan pada
musuh tanpa pandang bulu. (Morgenthau, Politics Among Nations, 1948, p. 177) Tidak adanya
moral yang mengekang pada membunuh dalam peperangan sebenarnya dihasilkan secara alami
oleh perang itu sendiri. Pada waktu itu perang diartikan sebagai perjuangan para penduduk suatu
wilayah di negara yang sedang berkonflik.
Menanggapi permasalahan ini, Konferensi Jenewa pada tahun 1929 mengeluarkan sistem
hukum yang mendetail untuk memastikan perlakuan manusiawi untuk tawanan perang. Berakar
dari kepedulian terhadap kemanusiaan dan penderitaan umat manusia yang terdampak dari
peperangan, memunculkan banyak perjanjian-perjanjian nasional sejak pertengahan abad ke-19
yang bertujuan untuk membuat perang lebih manusiawi. Intinya, mereka mencoba untuk
menumbuhkan rasa kemanusiaan dan kesusilaan, juga meminimalisir penggunaan kekerasan,
melarang beberapa penggunaan senjata yang tidak manusiawi yang nanti tujuannya untuk
melemahkan keinginan musuh untuk melawan.
Mungkin, banyak pro kontra mengenai efektivitas perjanjian-perjanjian ini, namun tujuan
utama keberadaan perjanjian ini adalah semata-mata untuk menegakkan prinsip moral dan
harmoni di kancah internasional melalui kesepakatan dan atau perjanjian internasional.
Akhirnya, munculah sebuah sikap terhadap perang yang tercermin dari menguatnya
kewaspadaan para negarawan pada beberapa pembatasan etis yang melarang pemakaian perang
sebagai instrumen politik internasional. Para negarawan sebenarnya memiliki pandangan untuk
menghindari peperangan sebagai tujuan utama mereka dalam setengah abad terakhir,
sebagaimana dibahas pada dua Konferensi Damai Den Haag tahun 1899 dan 1907, LBB tahun
1919, dan Pakta Briand-Kellogg tahun 1928 yang memiliki tujuan untuk menghindari
peperangan.
Pada pondasi perjanjian-perjanjian ini dan instrumen hukum, juga organisasi, terdapat
kepastian bahwa perang tidak hanya sebagai hal buruk yang harus dihindari demi alasan
kebijaksanaan, tetapi juga sebagai hal yang jahat untuk dijauhi sebagai alasan moralitas. Saat
perang datang, sudah bersifat alamiah jika timbulnya kerusakan dan kekacauan yang masif atau
perbuatan jahat negara lain. Jadi, adanya kemungkinan timbulnya keraguan moral, yang berakar
dari pelanggaran aturan etika tentang keharusan untuk tidak melakukan perang.
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, moralitas internasional menjadi perhatian
seorang penguasa berdaulat, dimana pangeran dan bangsawan (kaum Aristokrat) dari suatu
negara tertentu berhubungan erat dengan para pangeran dan bangsawan dari negara lain. Mereka
disatukan oleh ikatan keluarga, bahasa (Prancis), nilai-nilai budaya, gaya hidup, dan keyakinan
moral yang sama tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap satu sama lain.
Namun bersaing memperebutkan kekuasaan dan menganggap diri mereka sebagai pesaing dalam
permainan yang bahkan telah disepakati dan itu merupakan suatu hal yang wajar jika dalam
melakukan kerjasama mereka memberi imbalan kepada bangsawan lain. Disisi lain mereka juga
mempunyai rasa kewajiban terhadap moral yang harus mereka tanggung yang sifatnya tidak
terbatas, demi menjaga kehormatan dan reputasi.
Pada abad ke 19, sistem pemerintahan semakin menunjukkan efektifitasnya. Para
pendukung nasionalisme yakin bahwa perkembangan ini akan memperkuat ikatan moral
Internasional. Mereka Percaya bahwa dengan adanya pemerintahan yang berlandaskan
kerakyatan maka semua negara akan memiliki kebebasan, toleransi, perdamaian dan
keharmonisan. (Kelompok 6, 2020) Akan tetapi, pada kenyataannya Nasionalisme menjadikan
bangsa sebagai ukuran kesetiaan seseorang. Dengan demikian, semangat nasionalisme
sebenarnya tidak menunjukkan sifat universal dan manusiawi secara global, tetapi terbatas dan
bersifat khusus. Hal ini menjadikan berubahnya standar moral internasional dengan etika
nasional.
Dari waktu ke waktu, setiap individu manusia, selama mereka peka terhadap imbauan
etika, mereka akan mengalami konflik hati nurani, yang menguji kekuatan relatif dari tatanan
moral yang saling bertentangan. Hal yang serupa yaitu harus menentukan kekuatan masing-
masing etika terkait implementasi politik luar negeri. (Morgenthau, Politics Among Nations,
1948, p. 191) Dalam prosesnya menentukan kepentingan mereka dalam menjalankan urusan
Internasional, terkadang hati nurani mereka bertentangan dengan tuntutan kesetiaan terhadap
negara.
e) Transformasi Nasionalisme
Konsep ini merupakan pemikiran yang keliru dan tidak terbukti sepanjang sejarah.
(Morgenthau, Politics Among Nations, 1948, p. 198) Menurutnya, konsep ini diragukan dapat
mempengaruhi kebijakan politik luar negeri. Ditambah lagi bahwa opini umum dunia tidak
berhasil menjadi dasar berjalanya liga bangsa bangsa hal itu dinyatkan secara tersirat 5 bulan
sebelum terjadinya perang dunia II.
Semua manusia menginginkan kehidupan, kebebasan, dan kekuasaan. Maka dari itu
manusia membutuhkan segala hal yang dapat menunjang kehidupannya, kesempatan untuk
berekspresi dan pengembangan diri serta mencari penghargaan sosial agar dapat menempatkan
mereka di depan dan di atas sesama manusia. Berdasarkan pada kesamaan psikologis pada setiap
manusia ini, berdiri suatu kepercayaan tentang fisafat, dalil- dalil etika serta aspirasi politik.
(Morgenthau, Politics Among Nations, 1948, p. 199) Hal- hal tersebut dapat dijalankan bersama
bila keadaan seluruh manusia di segala dunia serupa. Jika memang keadaan seluruh manusia di
segala dunia serupa, maka itu semua akan menciptakan sekumpulan keyakinan, dalil, dan
aspirasi yang akan membentuk norma-norma tentang evaluasi opini umum dunia. Namun, pada
realitasnya sangat tidak sesuai dengan asumsi kita kalau seluruh orang di dunia serupa ataupun
seragam.
Akibatnya, konsep moral dan politik yang sama mempunyai arti yang berbeda-beda di
lingkungan yang berbeda. (Morgenthau, Politik Antar Bangsa, 1990, p. 303) Keadilan dan
demokrasi memiliki sesuatu makna disini, namun memiliki makna lain disana. Seperti itulah
kontras antara sekumpulan identitas psikologis dan aspirasi-aspirasi dasar, (Kelompok 6, 2020)
sehingga sangat sulit untuk memberikan satu opini yang adil serta mencakup seluruh aspek
kemanusiaan, jadi dapat dilihat dari lapisan umat manusia kita pada era ini, tentu saja sangat sulit
untuk memberikan opini umum dunia.
Ketika dunia dalam keadaan dimana teknologi mudah didapat, kesatuan moralitas dan
politik menjadi sangat sulit dicapai, tidak seperti dunia teknologi yang belum dimanfaatkan
secara maksimal di masa lalu. (Morgenthau, Politics Among Nations, 1948, p. 200) Istilah "Satu
Dunia" tidak hanya komunikasi aktual dalam pengertian modern, tetapi juga keadaan saat ini
yang menciptakan banyak pengalaman manusia. Di era teknologi primitif, pencetakan masih
dilakukan dengan tangan, sehingga semua orang memiliki hak untuk didengar, sedangkan saat
ini ketika tidak mempunyai pengaruh maka kita tidak akan didengar. Hal ini terjadi karena
teknologi yang ada di suatu negara dapat digunakan untuk mengendalikan ruang gerak manusia
serta keragaman karakter yang dimiliki oleh setiap individu sehingga keterhubungan antar
manusia (yang difasilitasi teknologi) tetap sulit membangun world opinion karena masyarakat
memiliki karakter yang terlalu beragam.
C. Hambatan Nasionalisme