Anda di halaman 1dari 18

A.

Moralitas, Adat-istiadat, dan Hukum Sebagai Pengendali


Kekuasaan

Hakikatnya, yang mana ideologi-ideologi politik internasional merupakan sekadar


refleksi, akan ditemukan pada aturan-aturan normatif dari moralitas, adat-istiadat, dan
hukum. Mulai dari Injil sampai etika dan pengaturan konstitusional demokrasi modern,
fungsi utama sistem-sistem normatif tersebut untuk mengendalikan aspirasi untuk
kekuasaan di dalam batas-batas yang masih dapat diterima oleh masyarakat. Di lain
pihak, tradisi peradaban Barat yang sama itu juga berupaya ditentang yang bersifat
seperti perempuan, sentimental, dan merosot.
Pada dua hal inilah moralitas, adat-istiadat, dan hukum campur tangan untuk
melindungi masyarakat dari gangguan serta melindungi individu dari perbudakan dan
kebinasaan. Dengan kata lain, apabila mekanisme politik kekuasaan terdapat
kekurangannya, suatu hal yang pasti terjadi dengan cepat atau lambat sistem-sistem
normatif ini mencoba melengkapi politik kekuasaan itu dengan aturan-aturan perilakunya
sendiri. Kekuasaan ada batas-batasnya, demi kepentingan masyarakat sebagai
keseluruhan dan kepentingan masing-masing anggotanya, yang bukan merupakan hasil
dari mekanisme perebutan kekuasaan melainkan ditanamkan di atas perebutan tersebut
dalam bentuk norma dan aturan perilaku melalui keinginan anggota masyarakat sendiri.
Terdapat tiga jenis norma atau aturan perilaku yang berlaku pada semua
masyarakat yang lebih utama: etika, adat-istiadat, dan hukum. Yang membedakan ketiga
aturan tersebut adalah penerapan hukumnya. Sebagai contoh “Janganlah engkau
membunuh” merupakan perintah etika, adat-istiadat, atau hukum tergantung pada
bagaimana si pelanggar mendapat respons setelah melakukan dar lingkungan dan
hukuman yang akan didapatkannya. Jika A membunuh B kemudian mengalami
penyesalan, maka itu merupakan hukuman khas etika atau norma etika. Jika A
membunuh B kemudian beberapa anggota masyarakat menunjukkan celaannya seperti
usaha pemboikotan dan pencelaan, maka itu merupakan hukuman khas adat-istiadat atau
norma adat-istiadat. Jika A membunuh B kemudian masyarakat yang terorganisasi
bergerak dengan bentuk prosedur rasional dengan tindakan polisi yang terencana,
dakwaan, keputusan dan hukuman, maka hukuman dan normanya bersifat hukum.
Dengan demikian moralitas, adat-istiadat, dan hukum saling memperkuat
memberikan perlindungan tiga kali lipat kepada kehidupan masyarakat dan masing-

1
masing individu yang membentuk masyarakat tersebut. Calon pelanggar akan
menghadapi penderitaan batin, tindakan spontan dari masyarakat daam bentuk,
umpamanya, pengucilan, dan hukuman pengadilan.
Masalah kekuatan relatif dari perintah-perintah yang berbeda akan menjadi
hangat apabila terdapat konflik antara aturan perilaku yang berbeda-beda. Konflik
tersebut ditentukan oleh tekanan relatif sanksi-sanksi dari aturan yang bertentangan
(misal: hukum pidana, hukum militer, hukum Tuhan, dan hukum raja) dapat
menggunakan kehendak masing-masing individu. Kekuatan relatif tekanan-tekanan ini,
merupakan wujud kekuatan relatif dari kekuatan-kekuatan sosial yang mendukung
serangkaian nilai dan kepentingan terhadap lainnya. Ketertiban sosial yang normatif
bertujuan menjaga agar aspirasi untuk kekuatan masing-masing anggotanya tetap di
dalam batas-batas toleransi sosial, ketertiban itu sendiri sebenarnya merupakan hasil dari
persaingan kekuatan-kekuatan sosial untuk mendominasi masyarakat melalui
pengaruhnya.
Kehidupan sosial sebagian besar terdiri atas reaksi-reaksi yang terus-menerus
terjadi, yang sebagian telah otomatis terjadi, terhadap tekanan-tekanan masyarakat yang
ditujukan kepada para anggotanya melalui aturan-aturan perilakunya. Aturan-aturan
perilaku ini mengamati masing-masing individu dari pagi hingga malam, membentuk
tindakan-tindakannya menjadi serangan melalui ukuran dasar masyarakat. Di dalam
masyarakat peradaban Barat, pemilikan atas uang merupakan simbol dari kepemilikan
kekuasaan. Melalui persaingan untuk memperoleh uang maka aspirasi untuk kekuasaan
masing-masing individu telah mendapat jalan yang beradab selaras dengan aturan-aturan
perilaku yang ditentukan oleh masyarakat. Berbagai keputusan normatif mengenai
pembunuhan dan kekeransan apapun terhadap individu maupun kolektif berusaha
menciptakan prasyarat normatif untuk mengalihkan perebutan kekuasaan semacam itu
menjadi lebih beradab.

B. Moralitas Internasional
Perbincangan mengenai moralitas internasional harus waspada terhadap dua hal
yang melampaui batas yaitu melebih-lebihkan pengaruh etika pada politik internasional
atau mengabaikannya dengan menyangkal bahwa para negarawan dan diplomatik tidak
lain hanya digerakkan oleh pertimbangan kekuasaan materiil.

2
Para penulis telah mengemukakan ajaran-ajaran tentang moral yang harus dianut
oleh para negarawan dan diplomat agar hubungan diantara bangsa-bangsa menjadi lebih
damai dan tidak lagi semrawut, yaitu ajaran mengenai menepati janji, memercayai kata-
kata orang lain, perlakuan yang adil, menghormati hukum internasional, melindungi
mayoritas, serta meninggalkan perang sebagai sarana politik nasional. Aturan-aturan
moral tertentu sama sekali tidak mengizinkan pertimbangan dari segi kelancaran
terhadap politik tertentu. Hal-hal tertentu tidak dilakukan dengan alasan-alasan moral,
walaupun akan melancarkan urusannya jika hal itu dilakukan.

1. PERLINDUNGAN ATAS JIWA MANUSIA


a. Perlindungan atas Jiwa Manusia dalam Keadaan Damai
Politik luar negeri dapat ditentukan sebagai usaha yang terus menerus untuk
mempertahankan dan meningkatkan kekuatan bangsa sendiri dan membendung
atau mengurangi kekuatan bangsa-bangsa lain. Jika dipandang sebagai
serangkaian tugas teknis tanpa adanya pertimbangan moral, maka politik
internasional akan memandang sebagai salah satu tujuannya yang sah terhadap
bangsa pesaing, pengurangan secara ganas atau malah pembinasaan penduduknya,
pemimpin-pemimpin militer dan politiknya yang paling terkemuka dan para
diplomatnya yang ulung.
Misalnya, dalam sejarah Republik Venesia, antara tahun 1415-1525,
merencanakan sekitar 200 pembunuhan untuk tujuan politik luar negerinya. Di
antara calon-calon korban tersebut terdapat dua orang kaisar, dua orang raja
Perancis dan tiga orang sultan. Dari tahun 1456-1472, pemerintah tersebut
menerima baik tawaran untuk membunuh Sultan Mahmud II, lawan utama
Venesia selama periode itu. Pada tahun 1514 John dari Ragusa menawarkan diri
untuk eracuni siapa saja yang dipilih oleh pemerintah Venesia dengan gaji tahunan
1500 dukat.
Cara-cara deikian untuk mencapai tujuan-tujuan politik sudah tidak lagi
dipraktikan secara luas. Namun motif-motif politik yang mendorong pemakaian
cara-cara tersebut tetap ada. Zaman sekarang sama seperti ketika praktik-praktik
semacam itu masih berjalan. Akan tetapi usaha-usaha tersebut tidak berhasil
meainkan dikarenakan usaha-usaha tersebut melanggar pengendalian moral.
Bahwa pelanggaran moral demikian itu mendapat celaan yang besar sekali

3
berdasarkan alasan-alasan moral membuktikan masih tetap berlakunya norma-
norma moral semacam itu.
Pembatasan moral semacam itu dalam masa damai melindungi jiwa tidak
saja orang-orang penting tetapi juga kelompok-kelompok besar bahkan bangsa-
bangsa seluruhnya yang kebinasaannya secara politik akan dikehendaki dan
mungkin dilakukan. Suatu politik luar negeri yang tidak membolehkan
pembantaian besar-besaran sebagai sarana tujuannya yang terakhir, tidak
mengenakan pembatas ini pada dirinya sendiri dikarenakan pertimbangan
kelayakan politik. Malah sebaliknya, kelayakan akan mendorong digunakannya
tindakan yang tuntas dan efektif semacam itu. Politik luar negeri semacam ini
dengan nyata mengorbankan kepentingan nasional yang jika diperjuangkan secara
konsekuen akan terpaksa melanggar prinsip moral yaitu seperti larangan adanya
pembantaian di masa damai.

b. Perlindungan atas Jiwa Manusia dalam Keadaan Perang


Dari permulaan sejarah sampai paruh abad menengah, negara-negara yang
berperang, menurut etika maupun hukum, bebas untuk membunuh semua
musuhnya tidak peduli apakah mereka anggota anggota bersenjata atau bukan,
atau memerlakukan orang tersebu sesuai dengan kehendak mereka. Laki-laki,
perempuan, dan anak- anak seringkali dipenggal kepalanya atau dijual sebagai
budak oleh pihak pemenang perang tanpa adanya reaksi moral yang
menentangnya.
Tidak adanya pengendalian moral terhadap pembunuhan dalam perang itu
bersumber pada sifat perang itu sendiri. Pada zaman tersebut perang dianggap
sebagai perlombaan antara para penduduk wilayah negara-negara yang bertempur.
Dengan demikian setiap penduduk negara musuh menjadi musuh setiap masing-
masing penduduk pihak negara lainnya.
Sejak akhir Perang 30 Tahun, konsep tersebut berubah menjadi hanya
perlombaan antara angkatan bersenjata negara-negara yang bertempur. Akibatnya,
pebedaan antara pejuang dan bukan pejuang telah menjadi salah satu prinsip dasar
moral yang mengatur tindakan pihak-pihak yang bertempur. Perang dipandang
sebagai arena perlombaan angkatan bersenjata negara yang bertempur dan oleh
karena penduduk sipil tidak aktif mengambil bagian dalam perlombaan tersebut,

4
maka mereka tidak boleh menjadi sasaran pertempuran tersebut. Namun demikian,
untuk menghindarkan hal-hal tersebut, dianggap sebagai kewajiban moral dan
hukum. Konvensi-konvensi Den Haag mengenai Hukum dan Tradisi Perang di
Darat pada tahun 1899 dan tahun 1907, serta Konvensi Jenewa tahun 1949
mengesahkan prinsip tersebut secara universal.
Meskipun demikian, ebagai hasil dari perkembangan yang wajar dari konsep
perang sebagai perlombaan antara angkatan-angkatan bersenjata, maka
berkembanglah gagasan bahwa yang seharusnya menjadi sasaran tindakan militer
dengan sengaja hanya mereka yang benar-benar mampu dan bersedia aktif turut
serta dalam peperangan.

c. Kutukan Moral atas Perang


Dikarenakan oleh pergantian abad, sikap terhadap perang itu sendiri telah
mencerminkan suatu kesadaran yang terus-menerus meningkatkan pada sebagian
besar negarawan bahwa pembatasan-pembatasan moral tertentu membatasi
penggunaan perang sebagai sarana politik luar negeri. Penghindaran perang itu
sendiri menjadi tujuan keahlian sebagai negarawan sejak tahun 1899 dan
tahun1907, Liga Bangsa-Bangsa tahun 1919, Pakta Briand-Kellogg tahun 1928
yang menyatakan tidak sah perang agresif, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa
sekarang mempunyai tujuan pokok yaitu mengelakkan perang itu sendiri.
Dengan adanya pembatasan perang tersebut dapat menjadi cara untuk
mempertimbangkan secara serius kemungkinan mengenai perang yang
dipergunakan sebagai pencegah, tidak peduli kelayakannya dari segi pandangan
kepentingan nasional, bahwa manifestasi kutukan terhadap perang itu sendiri
akhir-akhir ini muncul di dunia barat. Andai kata muncul perang, datangnya
seperti bencana alam atau seperti perbuatan jahat bangsa lain, bukannya sebagai
puncak dari politik luar negeri bangsa yang bersangkutan itu sendiri yang telah
diketahui dan direncanakan.

d. Moralitas Internasional dan Perang Total


Dalam membedakan zaman kuno dan bagian terbesar abad pertengahan,
maka zaman modern menempatkan pembatasan-pembatasan moral pada
penanganan hubungan luar negeri. Akan tetapi, terdapat faktor-faktor penting

5
tertentu pada kondisi umat manusia yang menunjukan melemahnya pembatasan-
pembatasan moral tersebut. Bahwa tidak adanya pembatasan moral terhadap
pemusnahan jiwa adalah seiring dengan sifat total peperangan yang melihat
seluruh penduduk berhadapan satu sama lain sebagai musuh pribadi. Terbatasnya
pembunuhan dalam perang, seiring pula dengan perkembangan perang yang
terbatas hanya melibatkan tentara-tentara saja sebagai unsur-unsur aktif yang
saling berlawanan. Dengan perkembangan perang yang sifat totalnya semakin
meningkat dan bermacam-macam, maka pembatasan-pembatasan moral terhadap
pembunuhan semakin kurang ditaati bahkan semakin lama semakin kurang
disadari oleh pemimpin-pemimpin politik dan militer maupun orang-orang awam
dan menghadapi kepunahan.
Perang di zaman kita ini telah menjadi total dalam empat hal tertentu yang
berbeda: (1) berkenaan dengan sebagian kecil penduduk yang terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang sangat perlu bagi peperangan, (2) berkenaan dengan
sebagian kecil penduduk yang terkena musibah perang, (3) berkenaan dengan
sebagian kecil penduduk yang sepenuhnya memihak menurut keyakinan dan
emosinya dalam perang, dan (4) berkaitan dengan tujuan perang. Keberhasilan
penduduk sipil dalam menjaga angkatan-angkatan bersenjata mungkin sama
pentingnya bagi hasil peperangan dengan usaha militer itu sendiri. Maka dari itu,
mengalahkan penduduk sipil mungkin sama pentingnya dengan mengalahkan
angkatan-angkatan bersenjata. Jadi sifat perang modern, yang memperoleh senjata
dari peresmian industri raksasa, mengaburkan perbedaan antara tentara dan sipil.
Pekerja, ilmuwan, insinyur bukan lagi penonton tak berdosa yang bersorak sorai
menyambut angkatan-angkatan bersenjata di luar garis batas. Meraka merupakan
bagian yang hakiki dan sangat diperlukan sebagai bagian dari organisasi militer,
seperti para serdadu, pelaut, dan penerbang.
Kepentingan nasional dalam penghancuran produktivitas musuh dan
tekadnya untuk melawan, seperti yang diciptakan oleh sifat perang modern, dan
peluang untuk memenuhi kepentingan tersebut dengan adanya teknologi modern
telah mempunyai pengaruh yang merusak moralitas internasional. Pengerusakan
ini diperberat lagi dengan terlibatnya emosi massa luas dari penduduk dalam
perang modern. Seperti halnya perang agama pada abad ke 16 dan 17 disusul oleh
perang dinasti pada bagian akhir abad ke 17 dan 18, dan kemudian yang terakhir
memberikan gilirannya kepada perang nasional pada abad ke 19 dan 20, demikian

6
pula perang pada zaman kita cenderung kembali kepada jenis perang agama
dengan menjadi perang yang sifatnya ideologis. Kecenderungan-kecenderungan
pengerusakan pembatasan moral ini diperkuat oleh sifat perang modern yang tidak
bersifat pribadi. Sepanjang sejarah sampai Perang Dunia I, serdadu-serdadu
bertatap muka dalam pertempuran. Perjumpaan maut itu bukan tanpa unsur
kemanusiaan: orang-orang saling manatap masing-masing mata, mencoba
membunuh dan menghindari agar tidak terbunuh. Perjumpaan ini memberikan
peluang bagi emosi, kebaikan, dan kejahatan manusia, diperhitungkan dan
disaksikan oleh orang-orang.
Perang modern sebagian besar merupakan perang tekan-tombol, dilakukan
oleh orang-orang yang tidak diketahui siapa mereka itu dan yang mereka sendiri
belum pernah melihat musuhnya hidup atau mati, dan yang tidak pernah tahu
siapa pula yang mereka bunuh. Demikian pula sang korban tidak akan pernah
melihat wajah musuhnya. Satu-satunya hubungan antara pihak-pihak yang
bermusuhan adalah sistem yang mereka pakai untuk saling membunuh. Perang
yang terlepas dari kemanusiaan demikian itu pasti juga akan bersifat terlepas dari
moral.

2. MORALITAS UNIVERSAL VERSUS UNIVERSALISME


NASIONALIS
Kemerosotan moralitas internasional yang telah terjadi dalam tahun-tahun
terakhir ini mengenai perlindungan terhadap jiwa manusia merupakan suatu contoh
khusus dari kepunahan yang umum dan untuk maksud tujuan pembicaraan disini,
yang berakibat lebih jauh dari suatu etika yang di waktu lampau memberikan kendali
kepada jalannya politik luar negeri setiap hari. Terdapat dua buah faktor yang
menyebabkan kemerosotan ini : penggantian yang demokratis untuk tanggung jawab
aristokratis mengenai hubungan luar negeri dan penggantian ukuran dasar tindakan
yang universal dengan tindakan yang nasionalis.

a. Etika Pribadi dalam Internasional yang Aristokratis


Pada abad ke-17 dan 18, pada tingkat yang lebih rendah hingga Perang
Dunia I, moralitas menjadi tanggung jawab pribadi seorang penguasa tertinggi

7
yaitu, seorang raja tertentu dan para penggantinya dan sekelompok penguasa
aristokrat yang relatif kecil, kompak, dan homogen. Raja dan para penguasa
aristokrat suatu bangsa selalu mengadakan hubungan dengan para raja dan
penguasa aristokrat bangsa lain. Mereka digabungkan satu sama lainnya melalui
hubungan kekeluargaan, bangsa yang sama (Perancis), nilai-nilai kebudayaan
yang sama, gaya hidup yang sama, dan keyakinan-keyakinan moral yang sama
mengenai apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan seorang pria terhormat
lainnya dari bangsanya sendiri maupun bangsa lainnya. Para raja yang berlomba
dalam perebutan kekuasaan memandang diri mereka sebagai peserta dalam suatu
pertandingan yang peraturan permainannya telah disetujui oleh semua peserta
lainnya. Para anggota dinas diplomatik dan dinas militer memandang diri mereka
sebagai karyawan yang melayani majikan-majikan mereka oleh karena
kelahirannya (sering, namun tidak selalu diperkuat oleh kesadaran harus setia
kepada raja), atau karena dijanjikan gaji, pengaruh, atau kegemilangan yang
diiming-imingkan kepada mereka. Keinginan yang kuat untuk memperoleh
keuntungan materiil ini menciptakan bagi masyarakat aristokrat ini suatu
pertalian bersama yang lebih kuat daripada ikatan-ikatan dinasti atau loyalitas
nasional.
Duta besar Prusia untuk Paris dengan tepat menyimpulkan aturan utama
permainan ini ketika ia melaporkan kepada pemerintahnya sendiri pada tahun
1802: “pengalaman telah mengajarkan kepada semua orang yang disini
menjalankan urusan-urusan diplomatik, bahwa jangan sekali-sekali memberikan
sesuatu sebelum transaksinya selesai, akan tetapi juga dibuktikan betapa umpan
keuntungan sering dapat membawa hasil yang menakjubkan.”
Ukuran-ukuran dasar moral mengenai perilaku yang dianut oleh golongan
aristokrat internasional pasti bersifat supranasional. Ukuran dasar tersebut tidak
hanya berlaku bagi semua orang Prusia, Austria, Perancis, akan tetapi bagi semua
pihak yang berkat keturunan dan pendidikannya mampu memahami dan
bertindak sesuai ukuran-ukuran dasar moral. Kesadaran tentang kewajiban moral
pribadi ini yang harus dijalankan mereka yang bertanggung jawab tentang politik
luar negeri, sehubungan dengan rekan-rekan mereka di negara lain, menjelaskan
apa sebab para penulis abad ke-17 menyampaikan pendapat agar raja menjaga
‘‘kehormatannya’’ dan ‘‘nama harumnya’’ sebagai miliknya yang paling
berharga. Setiap tindakan yang dilakukan oleh Louis XV di bidang internasional

8
merupakan tindakan pribadinya ,dan oleh karena itu melibatkan kehormatan
pribadinya. Pelanggaran terhadap kewajiban moralnya, seperti yang diakui
sesama rekan raja untuk mereka sendiri, akan menggerakkan tidak saja batinnya
akan tetapi juga reaksi spontan dari golongan aristokrat supranasional, yang akan
membayar untuk setiap pelanggaran atas adat istiadat golongannya dengan
kehilangan prestisenya atau kekuasaan.

b. Penghancuran Moralitas Internasional


Hampir menjelang akhir abad ke-19, para penguasa aristokrat di
kebanyakan negara bertanggung jawab atas penanganan hubungan luar negeri.
Pada zaman baru posisi mereka diambil alih oleh pejabat-pejabat yang dipilih
atau diangkat tanpa memperhatikan perbedaan golongan. Tindakan resmi pejabat-
pejabat ini secara hukum dan moral, bukan bertanggung jawab kepada seorang
raja (individu tertentu), melainkan kepada sesuatu yang kolektif (yaitu mayoritas
tetap atau rakyat sebagai keseluruhan). Para pegawai pemerintah tidak lagi
diambil khusus dari golongan aristokrat saja melainkan juga dari hampir seluruh
lapisan masyarakat, yang didalamnya anggota-anggota dari ‘‘Yang berkuasa’’
menduduki posisi istimewa. Di negara seperti Inggris Raya, Perancis, atau Italia
yang pemerintahnya memerlukan dukungan mayoritas dalam parlemen agar tetap
berkuasa, setiap perubahan di dalam mayoritas parlemen mewajibkan diubahnya
komposisi pemerintah. Bahkan di negara seperti Amerika Serikat, yang
pemerintahnya hanya dapat diangkat atau dipecat melalui pemilihan umum,
bukan melalui kongres, sering kali dapat terjadi penggantian pembuat kebijakan
di Kementerian Luar Negeri. Pergantian para pembuat kebijakan dalam urusan-
urusan internasional dan tanggung jawabnya menjadi kesatuan kolektif yang
muncul tak terbentuk yang mempunyai akibat-akibat yang jauh jangkauannya
terhadap efektifitas, bahkan terhadap munculnya suatu ketertiban moral
internasional.
Individu negarawan dapat saja menganut perintah hati nuraninya sendiri
dalam melaksanakan politik luar negeri. Jika demikian, maka kepadanya sebagai
individu bahwa keyakinan-keyakinan moral tersebut dihubungkan, tidak
dihubungkan kepada bangsa-bangsa di mana ia adalah anggota dari bangsa yang
bersangkutan dan bahkan mungkin atas nama bangsa itu ia berbicara. Dengan

9
demikian, ketika Lord Morley dan John Burns merasa bahwa turut sertanya
Inggris Raya dalam Perang Dunia I adalah tidak sesuai keyakinan moral mereka,
maka mereka mengundurkan diri dari keanggotaan kabinet Inggris. Ini adalah
tindakan mereka pribadi dan itu adalah keyakinan mereka pribadi. Lalu pada
waktu yang sama Perdana Menteri Jerman sebagai pemerintah Jerman mengakui
tidak sahnya, secara hukum maupun moral, pelanggaran kenetralan Belgia yang
hanya dibenarkan saja dari segi desakan keperluan, maka ia berbicara atas nama
pribadi. Suara hati nuraninya tidak sama dan tidak dapat disamakan dengan hati
nurani badan kolektif yang disebut Jerman. Prinsip moral yang dianut oleh Laval
sebagai Menteri Luar Negeri dan Perdana Menteri regim Vichy yang pro-Jerman
selama Perang Dunia II adalah prinsip pribadinya sendiri, bukan prinsip Perancis,
memang tidak ada orang yang beranggapan bahwa itu adalah prinsip Perancis.
Aturan moral bekerjanya di dalam hati nurani individu. Maka dari itu,
sebagai prasyarat berlakunya sistem etika internasional yang efektif adalah
pemerintahan yang dijalankan oleh orang-orang yang jelas dapat dikenal dan
dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatannya secara individu.
Dimana pertanggungjawaban dengan konsep yang berbeda-beda mengenai apa
yang diperlukan dalam urusan-urusan internasional, atau tanpa konsep sama
sekali, maka moralitas internasional sebagai sistem yang efektif untuk
mengendalikan politik internasional menjadi tidak mungkin. Berdasarkan alasan
inilah maka Dean Roscoe Pound dapat mengatakan sejauh kembali seperti
keadaannya pada tahun 1923: ‘‘masuk akal bila dikatakan, bahwa
ketertiban....moral di antara negara-negara, lebih mendekati kenyataan pada
pertengahan abad ke-18 dibandingkan sekarang,’’

c. Kehancuran Masyarakat Internasional


Sementara pegawai pemerintah dan pertanggungan jawabnya yang
demokratis menghancurkan moralitas internasional sebagai sistem kendali yang
efektif, sedangkan nasionalisme menghancurkan masyarakat internasional itu
sendiri yang didalamnya berlaku moralitas itu. Revolusi Perancis tahun 1789
menandai awal dari masa baru dalam sejarah yang menyaksikan surutnya
masyarakat aristokrat kosmopolitan secara berangsur-angsur dan pengaruh
pengendalian moralitas terhadap politik luar negeri. Ketika, pada abad ke-19,

10
proses terpecah-belahnya masyarakat internasional yang aristokratis ini menjadi
bagian-bagian nasionalnya jauh menuju kesempurnaannya, para pendukung
nasionalisme merasa yakin bahwa perkembangan ini akan lebih banyak
memperkuat dibandingkan memperlemah ikatan-ikatan moralitas internasional.
Sebab mereka yakin bahwa sekali aspirasi nasional dari rakyat-rakyat yang
merdeka sudah terpenuhi dan kekuasaan aristokrat diganti pemerintahan
kerakyatan, maka tidak ada lagi sesuatu yang dapat memecah-belah bangsa-
bangsa di dunia. Sadar sebagai anggota kemanusiaan yang sama dan diilhami
oleh gagasan yang sama tentang kebebasan, toleransi, dan perdamaian, mereka
akan mengejar nasib nasional mereka dalam keserasian. Kenyataannya semangat
nasionalisme, dahulu pernah terwujud dalam negara-bangsa, ternyata tidak
menjadi bersifat universal dan kemanusiaan, melainkan menjadi khusus dan
ekslusif.
Ketika masyarakat internasional pada abad ke-17 dan 18 dihancurkan, maka
ternyata belum ada sesuatu pengganti unsur pemersatu dan pengendali yang
sebelumnya merupakan masyarakat yang benar-benar ditempatkan di alas segala
masyarakat-masyarakat khusus suatu bangsa itu. Terpecah-belahnya masyarakat
internasional yang sebelumnya terpadu menjadi sekian banyak masyarakat
nasional, yang swasembada secara moral, yang tidak lagi bertindak di dalam
rangka bersama dari aturan-aturan moral internasional dan sistem-sistem khas
etika nasional. Perubahan tersebut berlangsung melalui dua cara. Perubahan
tersebut dijadikan lemah, sampai hampir ke titik yang tidak efektif, aturan-aturan
moral tentang perilaku yang universal, supranasional, yang sebelum zaman
nasionalisme telah menemukan suatu sistem-betapapun mengkhawatirkan
posisinya dan betapapun lebar lubang-lubang jaringnya-pembatasan terhadap
politik luar negeri masing-masing bangsa. Sebaliknya, perubahan tersebut telah
sangat memperkuat kecenderungan masing-masing bangsa untuk memberlakukan
keakraban universal bagi sistem etika khusus nasionalnya.

d. Kemenangan Nasionalisme atas Internasionalisme


Daya hidup suatu sistem moral mengalami percobaan yang menentukan bila
pengendaliannya terhadap hati nurani dan tindakan orang mendapat tantangan
lainnya dari sistem moralitas. Setiap manusia, sepanjang masih peka terhadap

11
imbauan etika, dari waktu ke waktu akan mengalami konflik dalam hati
nuraninya. Ujian yang serupa harus menentukan kekuatan dari masing-masing
etika mengenai pelaksanaan politik luar negeri, etika supranasional, dan etika
nasionalisme.
Kebanyakan individu dewasa ini dan selama seluruh sejarah modern telah
menyelesaikan konflik ini antara etika supranasional dan etika nasional dengan
memenangkan loyalitas terhadap bangsa. Akan tetapi, dalam hal ini ada tiga buah
faktor yang membedakan zaman sekarang dan zaman sebelumnya, yakni:
1) Terdapat kemampuan yang amat bertambah dari suatu negara-bangsa untuk
memberlakukan tekanan moral pada anggota-anggotanya.
2) Luasnya loyalitas individu pada bangsa mengharuskan individu tersebut
mengabaikan aturan-aturan universal tentang perilaku.
3) Bagi individu lebih kurang adanya kesempatan untuk setia kepada etika
supranasional jika konflik dengan tuntutan moral bangsanya.

e. Transformasi Nasionalisme
Masyarakat menyadari bahwa pencemoohan ukuran-ukuran dasar moralitas
universal bukan merupakan hasil karya sejumlah kecil orang-orang jahat,
melainkan merupakan suatu hasil perkembangan yang wajar dari kondisi yang di
dalamnya bangsa-bangsa hidup dan mengejar cita-citanya. Individu tersebut
mengalami dalam hati nuraninya kelemahan ukuran-ukuran dasar universal dan
moralitas nasional yang lebih besar sebagai kekuatan yang memberi motivasi
tindakan-tindakan manusia di bidang internasional.
Terdapat dua kemungkinan baginya untuk mengatasi konflik itu. Yaitu, ia
dapat mengorbankan tuntunan moral bangsanya demi etika universal. Atau
sebagian besar dengan cara memberikan ciri-ciri etika supranasional pada suatu
moralitas bangsa yang khas, sehingga dengan demikian setiap bangsa menjadi
memahami kembali moralitas internasional yang dianggap satu-satunya moralitas
universal yang harus diterima oleh bangsa lain sebagai miliknya sendiri.
Bangsa-bangsa tidak selamanya saling bertentangan satu sama lain. Di
dalam kerangka kepercayaan dan nilai bersama yang dengan efektif meletakkan
batasan-batasan terhadap tujuan dan sarana perebutan kekuasaan mereka. Mereka
saling bertentangan sebagai pengawal panji-panji sistem etika mereka masing-

12
masing, berasal dari etika nasional dan masing-masing mengaku bercita-cita
menyediakan suatu kerangka supranasional dari ukuran-ukuran dasar moral yang
wajib diterima oleh bangsa lain dan yang dalam batas-batasnya bangsa-bangsa
lain itu harus menjalankan politik luar negerinya.
Betapapun banyak perbedaan isi dan tujuan dari etika universalisme
nasionalis masa kini dengan yang terdahulu, isi dan tujuan etika universalisme
nasionalis tersebut tidak berbeda di dalam fungsi yang mereka jalankan bagi
politik internasional maupun di dalam iklim moral ciptaannya. Moralitas dari
golongan khusus sama sekali tidak membatasi perebutan kekuasaan di bidang
internasional tetapi justru membuat perebutan kekuasaan tersebut semakin ganas
dan dahsyat.

f. Hak-Hak Asasi Manusia dan Moralitas Internasional


Pada tahun-tahun terakhir ini hubungan antara politik luar negeri dan
moralitas internasional sering di bicarakan di dalam rubrik hak-hak asasi
manusia. Kendala pokok dalam masalah ini ialah sejauh mana masih dibenarkan
secara moral dan layak secara intelektual untuk menerapkan prinsip-prinsip
demokrasi liberal pada negara-negara yang oleh Karena beberapa sebab, tidak
mempan terhadap prinsip-prinsip tersebut. Sudah jelas bahwa memaksakan apa
yang disebut hak-hak asasi manusia pada pihak-pihak lain atau menghukum
mereka Karena tidak menghormati hak-hak asasi tersebut, sebenarnya
beranggapan bahwa hak-hak asasi manusia itu berlaku universal.
Hak-hak asasi manusia seperti yang disadari oleh individu-individu itu
sudah pasti disaring melalui keadaan sejarah dan sosial sehingga hasilnya
berbeda-beda pada waktu dan keadaan yang berlainan pula. Dengan kata lain,
pembelaan atas hak-hak asasi manusia tidak dapat secara konsisten dalam
penerapannya, Karena hal itu dapat dan harus menghadapi konflik dengan
kepentingan-kepentingan lainnya yang lebih penting dalam suatu kejadian
khusus.
Dengan demikian terdapat dua hambatan yang mendasar untuk politik luar
negeri yang secara integral bertanggung jawab atas pembelaan hak-hak asasi
manusia. Pada satu pihak, konsistensi pada pembelaan semacam itu tidaklah
mungkin, oleh Karena hal itu bukanlah tugas utama suatu negara saling

13
mempengaruhi sebagaimana terjadi di antara negara, untuk membela hak-hak
asasi manusia. Di lain pihak, tidaklah mungkin menuruti hak-hak asasi manusia
tanpa mengambil pertimbangan mengenai aspek-aspek lainnya dalam
berhubungan dengan negara lain, yang mungkin lebih penting dibandingkan
dengan yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia.
Dalam perimbangan hubungan politik luar negeri dan moralitas ini kita
tidak berhadapan dengan secara khusus situasi yang luar biasa, melainkan dengan
manifestasi khas dari kondisi umat manusia. Kita semua mencoba dengan banyak
atau sedikit tenaga untuk merealisasikan moralitas yang kita anut.

C. Opini Umum Dunia


Opini umum dunia sianggap sebagai dasar untuk Liga Bangsa-Bangsa. Opini
umum dunia diharapkan menjadi kekuatan pelaksanaan Pakta Briand Kellogg, “ senjata
ampuh yang kita andalkan, “ demikian pernyataan Lord Robert Cecil di House of
Commons pda tanggal 21 Juli tahun 1919, “ merupakan opini umum... dan jika kita
keliru dalam hal ini maka semuanya menjadi keliru. “ Sebagaimana akhirnya pada
tanggal 17 April tahun 1939, kurang dari lima bulan sebelumnya Perang Dunia II
meletus, Cordell Hull, pada waktu itu menteri luar negeri Amerika Serikat, menyatakan
bahwa “opini umum, kekuatan yang paling potensial untuk perdamaian, semakin lama
semakin kuat berkembang di seluruh dunia.” Dewasa ini kita mendengar bahwa opini
umum dunia akan menggunakan perserikatan bangsa-bangsa sebagai saran, atau
kebalikannya.
Opini umum dunia sudah jelas merupakan opini umum yang melampaui batas-
batas internasional dan yang mempersatukan anggota bangsa-bangsa yang berbeda dalam
suatu kemufakatan tentang paling tidak masalah-masalah pokok internasional yang
mendasar. Kemufakatan ini terasa adanya pada reaksi-reaksi spontan di seluruh dunia
untuk menentang apa saja yang bergerak di depan catur politik internasional yang tidak
disetujui oleh kemufakatan tersebut.
Sejarah modern belum mencatat kejadian tentang suatu pemerintahan yang politik
luar negerinya telah dihalang-halangi oleh reaksi spontan opini umum supranasional.
Dalam sejarah akhir-akhir ini terdapat usaha-usaha memobilisasi opini umum dunia
untuk menentang politik luar negeri pemerintah tertentu. Agresi Jepang terhadap Cina
pada tahun tiga puluhan, politik luar negeri Jerman pada tahun 1935, serangan Italia

14
terhadap Ethiopia pada tahun 1936, penindasan terhadap revolusi Hongaria oleh Rusia
pada tahun 1956. Meskipun, bahkan jika untuk keperluan sanggahannya kita
menganggap, bahwa usaha-usaha demikian itu berhasil sampai batas tententu dan suatu
opini umum dunia yang sesungguhnya ada pada kejadian-kejadian tersebut. Namun yang
pasti opini umum dunia tidak mempunya pengaruh mengendalikan politik luar negeri
yang ditentang itu. Sungguhpun demikian, seperti yang akan kita saksikan, tidak
didukung oleh fakta – fakta.

1. KESATUAN PSIKOLOGI DUNIA


Pada dasarnya semua pertikaian dan konflik politik terdapat suatu aspirasi-
apirasi dan ciri-ciri psikologis yang minimum tak dapat dikurangi lagi. Yang secara
umum terdapat pada semua umat manusia. Semua makhluk hidup ingin hidup dan,
oeh karenanya, memerlukan barang-barang untu hidup. Smua makhluk hidup ingin
bebas dan, oleh karenanya, memerluian kesempatan-kesempatan untuk pernyataan diri
dan perkembangan diri yang didambakan oleh kebudayaan khusus mereka. Semua
makhluk hidup mencari kekuasaan dan, oeh karenanya, mencari penghargaan sosial.
Berdasarkan kondisi psikologi ini, yang sama untuk semua manusia, brdiri
sebuah bangunan yang kokoh mengenai keyakinan filsafat, dalil-dalil etika, dan
aspirasi-aspirasi politik. Hal-hal itu dapat menjadi engalaman bersama jika kondisi-
kondisi yang didalamnya orang-orang dapat memenuhi kinginannya untuk hidup,
babs, dan berkuasa, adalah serupa di seluruh dunia, dan jika kondisi-kondisi yang di
dalamnya pemenuhan keinginan-keinginan tersebut daat ditahan serta harus
diperjuangkan, juga serupa dimana-mana. Jika memang demikian, Pengalaman
bersama semua orang tentang apa yang mereka cari, apa yang dapat mereka capai, apa
yang dilarang bagi mereka, dan yang harus mereka perjuangkan untuk
mendapatkannya, itu semua akan menciptakan sekumpulan keyakinan, dalil, dan
aspirasi yang akan menyiapkan norma-norma bersama tentang evaluasi opini umum
dunia. Namun kenyataan tidak sesuai dengan anggapan kita tentang keserupaan
kondisi seluruh dunia. Konsep moral dan politik yang sama mempunyai arti yang
berbeda-beda di lingkungan yang berbeda-beda.

2. AMBIGUITAS PENYATUAN TEKNOLOGI

15
Zaman kita sekarang menyaksikan suatu perkembangan yang membuat opini
umum dunia mendekti realisasinya, jika telah nyata menciptakannya penyatuan
teknologi dunia. Kesempatan yang praktis tanpa batas ini telah menciptakan
sekumpulan pengalaman yang melingkupi semua umat manusia yang darinya tumbuh
suatu opini umum dunia. Namun kesimpulan demikian itu tidak didukung oleh fakta.
Dua buah pertimbangan menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu dalam lingkungan
moral dan politik yang sesuai dengan penyatuan teknologi dunia; bahwa, bahkan
sebaliknya, dunia sekarang lebih jauh dari penyatuan moral dan politik dibandingkan
dengan ketika masih dalam kondisi teknologi yang kurang menguntungkan.
Teknologi modern, sementara amat memudahkan komunikasi antara pelbagai
negara, juga telah memberikan kepada pemerintah dan badan-badan swastanya
kekuasaan yang belum pernah dimilikinya untu mengadakan komunikasi demikian itu
tidak mungkin. Teknologi modern tidak saja memungkinkan bagi individu tanpa
menghiraukan jarak geografis secara teknologi, juga memungkinkan pengendalian
oleh pmerintah dan badan-badan swasta scara teknologi untuk memutuskan
komunikasi demikian itu sama sekali jika memang mereka anggap perlu.
Kita tidak boleh melupakan bahwa tenologi modernlah yang tetap
memungkinan adanya pemerintah totaliter dengan membuat mereka mampu
memaksakan suatu musyawarah dan intelektual kepada para warga negaranya.
Teknologi modern juga telah melakukan pengumpulan dan penyebaran brita dan
gagasan gagasan bsnis raksasa yang menuntut akumulasi modal yang dapat
dipertimbangkan.
Jika informasi dan gagasan-gagasan dibiarkan bergerak bebas ke seluruh
dunia, masih juga belum pasti adanya opini umum dunia. Mereka yang berpendapat
bahwa opini umum dunia merupakan akibat langsung dari bebas beredarnya berita
dan gagasan, mereka lupa membedakan teknik proses pengiriman dan barang yang
dikirimkan itu. Mereka hanya menangani yang terdahulu dan melupakan yang
terakhir. Informasi dan gagasan yang dikirimkan merupan refleksi dari pengalaman-
pengaaman yang telah membentuk filsafat, etika, dan konsep politik rakyat yang
berbeda-beda. Pandangan ynag berbeda itu tidak saja aan memberi warna pada
sepotong informasi yang sama akan tetapi juga akan mempengaruhi pilihan apa yang
patut diberikan dari sekian banyaknya kejadian sehari-hari di pelosok dunia.
Dengan demikian, walaupun kita hidup di dunia yang yang sunguh-sungguh
dipersatukan oleh teknologi modern dengan manusia, berita, dan gagasan yang bebas

16
beredar tanpa menghiraukan batas-batas nasonal kita tetap tidak memiliki opini umum
dunia. Sebab andai kata pikiran orang-orang dapat berhubungan satu sama lain tanpa
adanya hambatan-hambatan politik, mereka tetap tidak akan bertemu.

3. Hambatan nasionalisme
Analisis Lippmann tentang opini umum dunia semu yang mendukung empat
belas pokok pikiran Wilson membuka tabir inti masalahnya penempatan nasionalisme
dengan segala embel-embel intelektual, moral, dan politiknya di antara keyakinan
serta aspirasi kemanusiaan dan masalah-masalah seluruh dunia yang dihadapi oleh
manusia dmana-mana.
Namun nasionalisme mempunyai pengaruh yang sama pada masalah-masalah
yang terhadapnya kemanusiaan telah mengembangkan tidak hanya ungkapan-
ungkapan lisan yang umum, seperti empat belas pokok pikiran tersebut, demokrasi,
kebebasan, dan keamanan, akan tetapi juga mengembangkan suatu konsensus nyata
tentang intisari peristiwa itu. Rupa-rupanya memang terdapat opini umum dunia yang
murni tentang perang. Akan tetapi di sini penampilan itu tetap menyebar dalam istilah
kefilsafatan, anggapan-anggapan moral, dan aspirasi-aspirasi politik yang abstrak;
yaitu, mengenai perang seperti demikia itu. Akan tetapi, dengan demikian
kemanusiaan bersatu mengungkapkan ketidakmampuannya, dan opini umum dunia
yang pecah kedalam komponen-komponen nasionalnya.
Churchill merumuskan kesulitan ini antara mengutuk perang yang abstrak dan
keengganan untuk brtindak secara efektif dalam situasi yang konkret, ketika
iamengatakan tentang gambaran sektor inggris dari opini umum dunia: “ pertama,
perdana menteri mengatakan bahwa sanksi-sanksi itu berati perang; kedua, ia
memutuskan bahwa harus tidak perang; dan ketiga, ia memutuskan tentang sanksi-
sanksi. Akan tetapi, opini umum dunia sama sekali macet bertindak sebagai satu
kekuatan yang terpadu apabila perang datang mengancam atau pecah perang, yang
menyentuh kepentingan sejumlah bangsa. Dalam keadaan demikian itu, maka kutukan
universal terhadap perang pusat perhatiannya mengalami pergeseran yang penting.
Apabila ancaman konkret terhadap perdamaian muncul, maka perang bukan
ditentang oleh opini umum dunia melainkan oleh opini umum bangsa-bangsa yang
kepentingannya terancam oleh perang. Jika diselidiki sama sekali berdasarkan
ungkapan umum, akan ditentukan bahwa opini umum dunia yang mengendalian

17
politik luar negeri pemerintah nasional itu tidak ada. Suatu pertimbangan mum yang
terakhir terhadap sifat opini umum, seperti yang menjadi aktif dalam adat-istiadat
masyarakat, akan menunjukan bahwa dalam kondisi, dunia dewasa ini opin iumum
memang tidak mungkin berlainan dari yang demikian itu.
Pada hakikatnya tidak mungkin ada opini umum tanpa adanya masyarakat.
Masyarakat, bagaimanapun juga, sepakat mengenai soal-soal dasar moral dan politik
tertentu. Kesepakatan ini sebagian terpenting sifatnya dalam moral apabla adat-
istiadat masyarakat berkaitan erat dengan soal-soal politik. Opini umum semacam ini
memerlukan suatu masyarakat dunia dan moralitas yang digunakan oleh kemanusiaan
sebagai suatu keseluruhan menilai tindakan politik di bidang internasional.
Suatu opini umum dunia yang mengendalikan politik internasional dari
pemerintah nasional tidak lebih dari gagasan saja; reaitas urusan-urusan internasioanl
hampir-hampir tidak menunjuan adanya jejak opini umum dunia tersebut. Bilamana
suatu negara menyebut-nyebut “opini umum dunia”atau “hati nurani umat manusia”
agar dapat memastikan pada diri sndiri, maupun pada lain-lain bangsa, bahwa politik
luar negerinya itu sudah sesuai dengan norma-norma yang diakui oleh orang di mana-
mana, maka bangsa tersebut menghimbau pada sesuatu yang tidak nyata. Keyakinan
yang ada pada semua pihak yang berlawanan di dalam arena internasional percaya
bahwa mereka didukung oleh opini umum dunia mengenai soal yang sama itu dan
juga hanya menggarisbawahi tidak masuk akalnya imbauan itu. Opini umum dunia
menjadi wasiat dalam khayalan yang dapat dihandalkan untuk mendukung aspirasi
dan tindakan sendiri maupun aspirasi dan tndakan orang lain.

18

Anda mungkin juga menyukai