Anda di halaman 1dari 4

KAJIAN KONFLIK PERDAMAIAN

Nama : Yuniar Rizky Pratiwi

NIM/Kelas : I92219097/HI-C

MEMAHAMI STUDI PERDAMAIAN SEBAGAI BAGIAN DARI ILMU HUBUNGAN


INTERNASIONAL

Studi Perdamaian adalah sebuah disiplin ilmu yang diturunkan dari ilmu Hubungan
Internasional. Dalam perkembangannya, ilmu Hubungan Internasional banyak berhadapan dengan
kasus-kasus yang terkait dengan konflik dan peperangan antar-negara, maupun negara dengan non-
negara. Untuk itulah, Studi Perdamaian lahir agar kajiannya dapat fokus membahas masalah- masalah
seputar konflik, perang, serta upaya resolusinya. Studi Perdamaian pada umumnya diasosiasikan
dengan konsep resolusi konflik. Perang dan damai adalah permasalahan yang kompleks dan sangat
dinamis. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika interaksi antar aktor dalam politik global yang
semakin hari semakin kompleks. Kompleksitas dari interaksi ini, terkait dengan munculnya aktor-aktor
baru yang terlibat, yang saat ini tidak lagi difokuskan pada aktor-aktor negara saja, namun juga
munculnya peran dari aktor-aktor non-negara.

Saat salah satu tujuan ilmu Hubungan Internasional adalah untuk menghindari terjadinya
perang dalam skala global, belajar dari terjadinya dua perang maha dahsyat di abad ke-20 lalu. Dari
beberapa teori Hubungan Internasional ini Relisme dipahami bahwa perdamaian dapat ditemui dalam
balance of power antar- negara, ataupun dengan adanya suatu hegemoni. Sedangkan, bagi kaum
kapitalis, perdamaian bisa diwujudkan dengan cara kerja sama dan pengumpulan kekayaan
(accumulation of wealth). Paham lingkungan (Green Thought) menganggap bahwa dunia akan aman
dan damai jika manusia tidak merusak alam. Kemudian, liberalisme melihat bahwa perdamaian ada
dalam institusionalisasi norma liberal dari ekonomi politik internasional yang berbasis pada kerja sama
saling menguntungkan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Marxisme menghendaki tercapainya
perdamaian dengan penghilangan kelas yang menjadi dasar dari penindasan melalui sebuah revolusi.
Sementara itu, kelompok idealisme atau utopian memahami perdamaian sebagai keadaan ketika negara
dan individu berada dalam kebebasan, kesejahteraan, dan tidak ada ancaman.

Perdamaian sendiri dapat diartikan, sebagai suatu kondisi di mana masyarakat bisa hidup secara
berdampingan, meskipun masyarakat tersebut memiliki perbedaan budaya, sosial, dan lain-lain.
Perbedaan tersebut bukanlah suatu hambatan karena adanya kemampuan untuk berkomunikasi secara
baik, sehingga adanya pemahaman dan toleransi yang baik diantara masyarakat yang berbeda tersebut.
Studi Perdamaian mendorong terciptanya perdamaian dalam komunitas internasional, maupun lokal.
Hal ini dimungkinkan karena Studi Perdamaian menelusuri sejarah manusia lebih jauh daripada studi-
studi lain.

Konflik adalah kenyataan hidup yang tidak terhindarkan. Akar konflik bermula dari adanya
perbedaan, baik alami maupun non-alamiah (perolehan). Perbedaan adalah kenyataan yang dihadapi
setiap manusia yang mengakibatkan manusia saling menginginkan hal-hal yang berbeda dalam situasi
yang sama. Ketika sasaran dan situasi mereka tidak sesuai, terjadilah konflik.
Tiga tahap penyelesaian konflik yang nantinya digunakan oleh PBB dalam setiap kesempatannya
menjadi mediator konflik :

1. Peacemaking adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik
dan strategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level
elit atau pimpinan.
2. Peacekeeping adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi
militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral.
3. Peacebuilding adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik, dan
ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng

Menurut International Committee of the Red Cross (Palang Merah Internasional), konflik
bersenjata adalah perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara dua negara yang mengarah pada
intervensi yang dilakukan oleh angkatan bersenjata masing-masing negara. Setidaknya paling tidak ada
empat tipe konflik bersenjata :

1. Konflik bersenjata internasional (interstate armed conflicts). Konflik ini terjadi antar negara,
dengan dua atau lebih pihak yang berkonflik adalah negara yang secara internasional diakui
kedaulatannya (sovereign entities).
2. Konflik bersenjata non-internasional (intrastate armed conflicts). Konflik ini terjadi didalam
sebuah negara, antara pemerintah yang berdaulat (sovereign entity) melawan pihak lain yang
bukan pemerintah.
3. Konflik bersenjata yang terinternasionalisasikan (interna- tionalized armed conflicts). Konflik
tipe ini adalah konflik dimana, baik pemerintah maupun kelompok bersenjata non-negara yang
melawannya, menerima bantuan militer dari pemerintah atau pihak- pihak asing di luar negara
tersebut
4. Terakhir, konflik di luar negara (extrastate conflicts). Konflik ini terjadi antara negara melawan
kelompok bersenjata di luar pemerintah, yang terjadi di luar wilayah negara tersebut.

Strategi resolusi konflik bagi organisasi regional, adalah pengaturan norma (norm-setting),
kepastian, pembangunan masyarakat, pencegahan, non-intervensi atau intervensi, isolasi, intermediasi,
dan internasionalisasi. Pengaturan norma menegaskan tentang identitas negara dan juga mengatur
perilaku. Melalui strategi ini organisasi regional dapat mempengaruhi perilaku negara-negara anggota
secara internasional, maupun internal, dalam arena-arena politik, ekonomi, dan keamanan.

Secara praktis, transformasi konflik adalah salah satu metode resolusi atau penyelesaian konflik
yang menjadi bagian dari kajian Studi Perdamaian. Karena itu, konsep transformasi konflik harus
dipraktekkan sebagai salah satu metode resolusi konflik. Transformasi konflik juga bisa dilihat sebagai
langkah pencegahan konflik, karena ia bisa juga menghilangkan penyebab terjadinya konflik untuk
muncul kembali. Transformasi konflik sangat tepat digunakan dalam konflik yang terjadi
berkepanjangan dan asimetris, dan terkait masalah-masalah keadilan sosial.
RANGKUMAN 2

Studi Hubungan Internasional memiliki beberapa perspektif dalam melihat berbagai


permasalahan internasional, yaitu realisme, liberalisme dan globalisme. Salah satu perspektif dalam
ilmu Hubungan Internasional yang mengalami banyak perkembangan adalah Realisme. Perspektif
realis banyak membahas tentang perang dan keamanan yang berkaitan dengan militer dan power.
Aktor dalam perspektif realisme adalah negara, sebagai satu individual yang tidak akan bekerjasama
dengan aktor lain tanpa ada maksud tertentu (self-interested) dan akan selalu berusaha untuk
memperkuat dirinya. Morgenthau yang menjelaskan bahwa inti dari perspektif Realisme mencakup
tiga hal utama: pandangan dan tindakan Realis berpusat pada kepentingan nasional (national interest),
kekuasaan (power), balance of power dan pengaturan kekuasaan dunia tanpa ada yang dominan
(anarki). Isu perdamaian menurut perspektif Realisme salah satunya menyinggung tentang proses
penyelesaian konflik melalui pengiriman pasukan perdamaian, hal ini termasuk ke dalam dua bahasan
yaitu; 1) conflict resolution dan 2) peace studies. Studi tentang perdamaian membahas tentang cara-
cara penyelesaian konflik tanpa menggunakan kekuatan militer seperti negosiasi, mediasi dan
diplomasi. Ketiga hal tersebut termasuk kedalam metode- metode alternatif penyelesaian konflik atau
conflict resolution. Johan Galtung membagi perdamaian menjadi dua tipe: positive dan negative peace.
Dimana positive peace adalah keadaan dimana tidak adanya kekerasan langsung di tingkat struktural,
sedangkan negative peace adalah keadaan ketika kekerasan yang terjadi secara langsung sudah tidak
ada lagi.

Konflik Darfur yang berlangsung hingga saat ini pada awalnya merupakan intrastate conflict
yang terjadi antar dua etnis penduduk di wilayah Darfur, dimana etnis Arab mayoritas berseteru
dengan etnis minoritas Afrika. Warga etnis Afrika sebagai penduduk asli Darfur seharusnya memiliki
lebih banyak peranan di tatanan pemerintahan dan masyarakat. Namun pada kenyataannya etnis Arab
menguasai hampir sebagian besar kursi pemerintahan dan perdagangan, menyebabkan adanya jurang
ekonomi dan politik antara kedua etnis. Meskipun berupa intrastate conflict, angka korban jiwa yang
ditimbulkan konflik etnis ini sangat tinggi dimana Coalition for International Justice memperkirakan
jumlah korban di Darfur telah mencapai 400.000 orang sejak konflik tersebut dimulai. Sejak awal
terjadinya konflik, proses perdamaian dinilai akan sulit tercapai, hal ini diketahui dari masih adanya
kontak senjata antara kelompok militan etnis Arab Janjaweed dengan Sudan People’s Liberation Army
(SPLA) bentukan etnis Afrika. Tindakan untuk mengakhiri konflik pertama kali ditandai dengan
penandatangan Protokol Machakos 20 Juli 2002 oleh pemerintah Sudan dan pihak SPLA yang berisi
tentang kesepakatan bagi kedua pihak untuk menghentikan segala bentuk aksi kekerasan, memutuskan
bahwa rakyat Sudan selatan (mayoritas etnis Afrika) memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri
dan berkomitmen untuk mencapai resolusi bersama secara damai dan komprehensif.

PBB dan Dewan Keamanannya, sebagai pihak ketiga, mempunyai tiga cara dalam mengatasi
konflik yang sedang terjadi: preventive diplomacy, peacemaking dan peacekeeping8, dan untuk
melakukan ketiga cara tersebut PBB harus melakukan intervensi terhadap negara yang mengalami
konflik baik secara diplomatik, militer ataupun ekonomi. Untuk intervensi kepada negara
berkonflik ,PBB melimpahkan kekuasaannya kepada Dewan Keamanan PBB untuk bertindak sesuai
dengan situasi yang ada. Intervensi melalui kekuatan militer biasanya berupa: pengiriman pasukan dan
bantuan intelijen, sedangkan intervensi dari segi ekonomi bisa berupa embargo atau pembatalan dana
bantuan. Resolusi 1554 yang dikeluarkan DK PBB pada 30 Juli 2004 lebih menekankan pada
pentingnya peranan pemerintah Sudan untuk membangun situasi kondusif bagi kedua pihak yang
bertikai dengan cara menepati janji untuk melucuti persenjataan Janjaweed serta mematuhi Protokol
Machakos yang telah disetujui. Pada 18 September 2004, DK PBB menyerahkan Resolusi 1564 untuk
mengakhiri konflik Darfur di Sudan. Resolusi tersebut ditandatangani pada Mei 2006 oleh kelompok
oposisi, yang diwakili oleh Minni Minnawi dari SPLA, dan pemerintah Sudan. yaitu African Union
Mission (AMIS). Pada tanggal 5 Mei 2006, Pemerintah Sudan dan dua kelompok etnis bersenjata yang
bertikai di Darfur mengadakan perundingan di ibukota Nigeria, Abuja dan menghasilkan perjanjian
damai yang kemudian disebut “Darfur Peace Agreement”. Pada 31 Juli 2007, melalui Resolusi 1769,
Dewan Keamanan PBB dan Uni Afrika sepakat untuk membentuk UNAMID (United Nations African
Union Mission in Darfur) sebagai bagian dari kampanye untuk perdamaian untuk dilaksanakan di
Darfur dan tetap menunjuk Uni Afrika sebagai organisasi terdepan dalam operasi tersebut. Usaha-
usaha untuk mewujudkan perdamaian di Darfur oleh PBB melalui pengiriman pasukan-pasukan
perdamaian kedalam beberapa peacekeeping operation secara berkelanjutan terus dilakukan, akan
tetapi konflik sipil yang dilatarbelakangi oleh perbedaan etnis tersebut terus terjadi. Hal ini terlihat dari
terus terjadinya serangan-serangan yang dilakukan oleh kelompok Janjaweed dan kelompok oposisi
SPLA terhadap rakyat di wilayah Darfur, penambahan pasukan perdamaian serta bergantinya mandat-
mandat yang dibebankan kepada peacekeeping operation yang dijalankan. Hingga pada akhir tahun
2008 konflik Darfur masih belum dapat dihentikan. Bahkan DK PBB telah memperpanjang mandat
UNAMID di Darfur sepanjang 12 bulan hingga tahun 2009 melalui Resolusi 1828 tahun 2008, sebagai
bukti bahwa PBB belum mampu untuk menghentikan konflik.

Anda mungkin juga menyukai