Anda di halaman 1dari 4

NAMA: DINI DAYANTI

NIM: 200609500009

KELAS: A/2020

TUGAS: MK KONFLIK DAN RESOLUSI KONFLIK

Konsep Dasar Konflik dan Resolusi Konflik

Pengertian Konflik

Konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul, karena konflik selalu menjadi bagian
hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam dinamika dan
perubahan sosial politik (Kornblurn, 2003 : 294).

Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Karena konflik memiliki fungsi
positif (George Simmel, 1918; Lewis Coser, 1957), konflik menjadi dinamika sejarah
manusia (Karl Marx, 1880/2003; Ibnu Khaldun, 1332-1406), konflik menjadi entitas
hubungan sosial (Max Weber, 1918 /1947; Ralf Dahrendorf, 1959 ), dan konflik adalah
bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Maslow, 1954; Max Neef, 1987;
John Burton, 1990; Marshal Rosenberg, 2003).

Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat
dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Dalam
kamus umum bahasa Indonesia yang disusun Poerwadarminta (1976), konflik berarti
pertentangan atau percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam bentuk
pertentangan ide maupun fisik antara dua belah pihak berseberangan. Francis menambahkan
unsur persinggungan dan pergerakan sebagai aspek tindakan sosialnya (Francis , 2006 : 7).
Sehingga secara sederhana konflik adalah pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari
beberapa pihak, sehingga terjadi persinggungan.

Pengertian konflik di atas sesuai apa yang didefinisikan Pruitt dan Rubin dengan mengutip
Webster, bahwa “konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived
divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik
tidak dicapai secara simultan “ (Pruitt & Rubin, 2004 : 10). Jika memahami konflik pada di
mensi ini, maka unsur-unsur yang ada di dalam konflik yaitu persepsi, aspirasi, dan aktor
yang terlibat di dalamnya. Artinya, dalam dunia sosial yang ditemukan persepsi maka akan
ditemukan pula aspirasi dan aktor.
Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar-orang (interpersonal
conflict), konflik antarkelompok (intergroup conflict), konflik antara kelompok dengan
negara. (vertical conflict ), konflik antarnegara (interstate conflict). Setiap skala memiliki
latar belakang dan arah perkembangannya. Masyarakat manusia di dunia pada dasarnya
memiliki sejarah konflik dalam skala antara perorangan sampai antarnegara. Konflik yang
bisa dikelola secara arif dan bijaksana akan mendinamisasi proses sosial dan bersifat
konstruktif bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan. Namun
dalam catatan sejarah masyarakat dunia, konflik sering diikuti oleh bentuk-bentuk kekerasan,
seperti perang dan pembantaian.

Sosiologi konflik memberi analisis terhadap berbagai fenomena konflik dan kekerasan
melalui tradisi ilmu sosiologi. Sosiologi konflik dibutuhkan karena yang Pertama, untuk
memberi perspektif analisis yang komprehensif mengenai dimensi konflik sehingga bisa
diketahui skala, latar belakang, dan arah perkembangan konflik dalam masyarakat. Kedua,
hasil analisis bisa dimanfaatkan untuk memberi kejelasan bentuk penanganan seperti tata
kelola konflik, pendidikan perdamaian, dan pembangunan perdamaian. Penanganan konflik
dalam kajian konflik kontemporer ditujukan untuk mereduksi tingkat kekerasan dan
mentransformasi konflik yang destruktif menjadi konflik yang konstruktif. Menurut
Carpenter dan Kennedy (1988), konflik destruktif akan muncul dalam bentuk kehancuran
pada semua sisi, seperti kehancuran tata sosial dan fisik. Adapun konflik konstruktif muncul
dalam bentuk peningkatan kerja sama atau kesepakatan yang menguntungkan seluruh pihak
berkonflik.

Tokoh-tokoh Sosiologi Klasik

Tokoh-tokoh sosiologi konflik klasik seperti Ibnu Khaldun (1332-1406), Karl Marx (1818-
1883), Émile Durkheim (1879 1912), Max Weber (1864-1920) , dan Georg Simmel (1858
1918) mempunyai peran dasar dalam meletakkan mainstream teori sosial secara umum dan
memengaruhi sosiologi konflik kontemporer pada khususnya. Dalam bab ini akan diuraikan
secara singkat garis pemikiran sosiologi konflik dari para ilmuwan sosiologi klasik. Buku ini
memetakan empat tema sosiologi konflik klasik, yaitu konflik kelompok dan kelas, konflik
dan stratifikasi sosial, kesadaran kolektif dan gerakan sosial, asosiasi dan konflik alamiah.

Tokoh-tokoh Sosiologi Kontemporer

Dalam konteks sosiohistorisnya, teori konflik yang muncul pada abad ke- 18 dan 19 dapat
dimengerti sebagai respons dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan
industrialisasi (Mc Quarrie Sehingga kemunculan sosiologi konflik modern merupakan akibat
dari realitas konflik dalam masyarakat industrial. Selain itu, dalam konteks akademis (school
of thought) teori sosiologi konflik kontemporer adalah refleksi dari ketidakpuasan terhadap
fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton yang berlebihan dalam
menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya. Sesungguhnya membahas
sosiologi konflik kotemporer masih mengikuti peta tiga mazhab besar ilmu sosial dan teori
sosiologi konflik klasik. Aliran positivisme, humanisme, dan kritik dalam ilmu sosial sampai
saat ini masih menjadi perspektif yang sering dimanfaatkan dalam studi konflik.

Sosiologi konflik kontemporer merujuk pada pembagian fase-fase industrial dunia ketika para
ilmuwan sosiologi mulai memasukkan isu konflik sebagai perhatian khusus ilmu sosiologi.
Pembahasan pemikiran sosiologi konflik kotemporer seperti Lewis Coser, Ralf Dahrendorf,
Paul Wehr, C. Wrigt Mills, Haber mas, dan Johan Galtung.

Resolusi Konflik

Resolusi konflik merupakan kemampuan menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan
menjadi aspek penting dalam pembangunan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan
dan penilaian untuk bernegosiasi, kompromi, serta mengembangkan rasa keadilan.

Secara empiris, resolusi konflik dilangsungkan dalam 4 ( empat ) tahap.

1. Tahap 1: Mencari De-eskalasi Konflik Terlebih dahulu harus diupayakan menemukan


waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses resolusi konflik. Tahap pertama
biasanya juga didominasi oleh penerapan strategi militer demi mengendalikan
kekerasan bersenjata yang terjadi.
2. Tahap II: Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik Ketika De-eskalasi konflik
telah ditemukan, maka negosiasi politik dapat dimulai bersamaan dengan penerapan
intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban penderitaan korban-korban konflik.
3. Tahap III: Problem-solving Approach Tahap ketiga dari proses resolusi konflik
cenderung memfokuskan pada orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan
suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan
transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah penyelesaian.
4. Tahap IV: Peace-building Semboyan utama yang ingin ditegakkan adalah ‘Quo
Desiderat Pacem, Praeparet Pacem‘. Semboyan ini mengharuskan aktor-aktor yang
relevan untuk terus menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur
sosial dengan dua tujuan utama yaitu mencegah terulangnya lagi konflik yang
melibatkan kekerasan bersenjata serta mengkonstruksikan proses perdamaian
langgeng yang dapat dijalankan sendiri oleh pihak-pihak yang bertikai.

Proses Resolusi Konflik

1. Negosiasi

Negosiasi adalah bentuk interaksi sosial antarpihak yang berusaha mencari kata sepakat.
Dalam interaksi tersebut terjadi perbedaan pendapat yang menghalangi antarpihak mencapai
tujuannya.

Dalam proses tersebut terjadi tawar menawar untuk menghasilkan sesuatu. Hasilnya nanti
adalah kesepakatan pihak yang berinteraksi dan menjadi dasar dibentuknya sebuah aturan
baru atau baku.

2. Mediasi

Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga. Dalam
penyelesaian konflik tersebut ada perundingan, kesepakatan lewat musyawarah.

Karena sifatnya dilandasi dengan musyawarah, maka tidak boleh ada paksaan hasil yang
dicapai nanti. Kedua belah pihak merasakan win-win solution dari persoalan yang dihadapi.

3. Pengambilan keputusan berdasarkan konsensus

Kesepakatan sejumlah pihak atas sebuah hal yang dilakukan secara sadar, bersifat kolektif
karena melibatkan banyak pihak. Sebelum terjadi pengambilan keputusan, biasanya terjadi
perdebatan dan persoalan yang melandasinya sehingga diperlukan upaya bersama untuk
mencapai kesepakatan.

Anda mungkin juga menyukai