Anda di halaman 1dari 4

NAMA: DINI DAYANTI

NIM: 200509500009

KELAS: A SOSIOLOGI

AGAMA YANG GAIB DAN AGAMA SEKULER

Sesuatu yang sakral itu termasuk yang gaib tetapi ia tidak sama dengan
yang gaib. Karena, sebagaimana telah kami jelaskan, kesakralan itu ada dalam
sikap para peme- luk, acuan-acuan sikap-sikap tersebit mungkin benda-benda dan
wujud-wujud yang terdapat di dunir ini (yang dipandang secara khusus) atau
benda-benda dan wujud- wujud yang terdapat di alam gaib. Yang gaib, jika
dibandingkan dengan yang sakral, hanya bisa dianggap sebagai benda-benda dan
wujud-wujud yang berasal dari dunia lain yang diyakini berada di luar dunia yang
dikenal secara empirik.8 Di kalang- an sebagian besar sekte-sekte Kristen dan
Yahudi, dan memang dalam kebanyakan agama-agama besar spiritual di dunia,
yang gaib dalam pengertian inilah tujuan utama tingkah-laku keagam an. Akan
tetapi benda-benda alam yang dipakai sebagai lambang- lambang juga
diperlakukan dengan cara yang sakral. Dalam dunia gaib, Tuhan dan surga adalah
sakral; di dunia nyata terdapat kitab-kitab dan lilin-lilin yang sakral: yang
sebagian besar, merupakan lambang- lambang dari benda-benda yang gaib.

Akan tetapi kami jadi terlibat dalam masalah- masalah yang lebih rumit
apabila kami menanyakan lebih lanjut: "Apakah agama itu benar-benar suatu
agama apabila benda-benda dan wujud-wujud yang dianggap sakral oleh
penganutnya itu hanya terdiri dari benda-benda dan wujud- wujud duniawi?" De-
ngan perkataan lain, bagaimana kalau pusat acuan yang bersifat gaib bagi sikap
hormat dan perasaan kagum terhadap yang sakral itu sama sekali tidak ada? Dan
agama-agama jenis apa yang bisa hidup apabila sikap pengagungan dan sikap
penghormatan itu dibe- rikan hanya kepada benda-benda dan makhluk- makhluk
duniawi ini? Persoalan-persoalan ini, teru- tama pada masa kini, tidak melulu
bersifat akademik.

Agama-agama tradisional di dunia, yaitu Budha, Yahudi, Kristen, Hindu


dan Islam, dengan penckan- an mereka pada yang sakral dan nilai-nilai di luar
dunia ini, semuanya adalah agama-agama supernatural (gaib) . Akan tetapi
terdapat pergerakan-pergerakan yang kuat di aunia moderen yang tidak
menekankan supernaturalisme, namun memiliki sebagian besar ciri-ciri agama.
Pergerakan-pergerakan ini mempu- nyai kepercaya n dan upacara-upacara
[peribadatan] keagamaan, simbolisme, dan kelompok-kelompok pe- meluk yang
taat dan yang diikat oleh nilai-nilai moral bersama. Tentu saja kami akan
menunjuk pergerakan- pergerakan besar di dunia seperti nasionalisme, so-
sialisme, fasisme dan komunisme. Pusat perhatian yang sakral dari pergerakan-
pergerakan ini, andaikata sikap-sikap sakral dianggap bisa dit srapkan pada se-
gala hal, adalah pada kehidupan manusia di dunia ini, pada masyarakat-
masyarakat nasional tertentu, atau pada teori-teori yang berkaitan dengan tingkah-
laku masyarakat manusia. Karena nilai-nilai superna- tural [gaib] tidak ada,
apakah kita harus mengeluar- kan gerakan-gerakan semacam itu dari dalam
kategori agama-agama? Sementara pengkaji yang berpendapat bahwa yang gaib
itu merupakan inti agama, aken menjawab ya. Pengarang (buku inil, yang telah
menerima kategori [pengertian] yang lebih inklusif tentang sakral, lebih suka
menggolongkan gerakan- gerakan semacam itu sebagai agan a-agama nonsuper-
natural atau agama-agama sekuler.

Mari kita lihat kasus komunisme. Teori komunis menganut pandangan


materialistik terhadap masyara- kat dan apalagi terhadap alam semesta. Orang-
orang komunis sama sekali tidak menghormati dan tidak mengagungkan wujud-
wujud supernatural. Sampai se- karang mereka dengan keras melarang
pengarnalan agama tukkan bagi [pengembangar.] ateisme dan mate- rialisme
ilmiah. Tidak ada tempat bagi agama super- natural di sini. Tetapi apabila kita
bertanya kepada diri kita sendiri, apakah orang-orang komunis meng- anggap
gejala-gejala tertentu sebagai hal yang sakral atau tidak, maka jawaban yang harus
kita berikan akan berbeda. Karena ada benda-benda yang mereka perlakukan
dengan sikap hormat yang lebih tinggi dari pada sikap hormat sehari-hari, [yaitu]
wujud- wujud yang, beberapa di a ntaranya paling tidak di- pandang dengan
perasaan kagum, tidak sebagaimana adanya dalam pengertian yang umum.

Tidak akan ada sesuatu yang sakral dalam komunisme apabila orang-orang
komunis hanya memikirkan tercapainya tujuan-tujuan praktis menggunakan cara-
cara praktis yang sesuai dengan- nya. Tetapi nyatanya komunisme juga
merupakan keyakinan-yaitu keyakinan akan kebenaran ajaran dialektika Marxis
sebagai sesuatu-yang akan berhasil dengan sendirinya dan menghasilkan suatu
masyara- kat yang tanpa kelas, sejenis surga dunia, yang menu- rut dugaan tidak
tergantung kepada cara-cara politik dan ekonomi yang dipergunakan. Banyak
orang ko- munis yang rela bekerja [keras], menderita dan bah- kan meninggal
demi membela keyakinan ini. Apabila dilihat dengan cara ini, sebagai suatu
keyakinan ter- hadap kebenaran hukum sejarah yarıg tidak dapat dibuktikan, maka
komunisme adalah agama, meski- pun bukan agama supernatural. Apabila hanya
dilihat dari sudut pandangan bahwa ia merupakan struktur kekuatan politik, tentu
saja, tidak ada yang khusus bersifat keagamaan dalam komunisme itu.

Kita lihat sekarıng nasionalisme dengan cara yang sama. Suatu kelompok
kebangsaan yang teror- ganisasi dengan tujuan melindungi dan menciptakan
kehidupan yang baik, tidak merupakan gejala yang sakral. Akan tetapi
nasionalisme mengambil suatu aspek yang sakral karena adanya sikap batin
terhadap bangsa sebagai suatu wujud menempati kedudukan akal sehat yang
justeru menaruh perhatian terhadap kesejahteraan para anggota [nya] sebagai
alaszn (tujuan] diadakannya kelompok yang terorganisasi tersebut. Dengan

Sementara orang barangkali melihat kenyataan atau fakta yang menarik,


bahwa meskipun usaha un- tuk mempertahankan agama-agama supernatural pada
banyak orang sekarang di seluruh dunia mengalami kemerosotan, namun sikap-
sikap keagamaan masih bertahan. Sikap-sikap ini kelihatannya dengan mudah
dapat diarahkan kembali menuju nilai-nilai nonsupernatural seperti kepada
bangsa, negara atau kepada apa yang disebut teori-teori ilmiah bikin- an manusia
sendiri seperti Marxisme. Kelihatannya agama dan alam tidak meayukai
kekosongan. Me- mang sifat dinamik yang semakin meningkat dari apa yang kami
sebut sebagai agama-agama sekuler di dunia moderen, adalah bukti yarg
mengesankan ter- hadap keuniversalan. Agama di kalangan umat ma- nusia
sebagaimana kami scbutkan di muka. Fakta mengenai keuniversalan agama ini
pada gilirannya akan menimbulkan persoalan-persoalan penting me- ngenai fungsi
agama di dalam masyarakat.
Daftar Pustaka:

K. Nottingham. Elizabeth, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi


Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.

Anda mungkin juga menyukai