Anda di halaman 1dari 10

Pandangan Sosiologis Tentang Agama:

Sakral dan Profan


Mata Kuliah Sosiologi Agama #2
UI Ardaninggar Luhtitianti, M.A
Agama dan Keadaan Manusia
Agama seringkali dipakai untuk menanamkan keyakinan baru di hati mnusia terhadap alam ghaib,
surga, neraka, malaikat, dan sebagainya. Di hampir setiap agama di dunia ini akan selalu kita jumpai
aspek-aspek tersebut. Namun demikian, agama juga berfungsi melepaskan belenggu adat atau
kepercayaan manusia yang sudah using.

Dalam aspek ritual, agama akan selalu menampilkan symbol / lambang. Lambang ini sering diartika
sebagai symbol yang dapat mempersatukan kelompok-kelompok manusia. Dan di sisi lain, seringkali
juga akan menimbulkan pertentangan yang hebat jika berada dalam relasi antar agama yang berbeda.

Ide tentang tuhan juga telah menimbulkan semangat tersendiri bagi manusia dalam menjalani hidupnya
sehari-hari, memunculkan harapan, menerima nasib, dan berusaha mengatasi berbagai kesukaran hidup.
Apa arti dari kesemuanya itu bagi
Sosiolog?
Perhatian utama Sosiologi adalah pada tingkah laku manusia dan masyarakat. Bagi orang yang hidup
dalam masyarakat macam apapun, konsepsi tentang agama merupakan bagian tak terpisahkan dari
pandangan hidup mereka dan sangat diwarnai oleh perasaan mereka yang khas terhadap APA YANG
DIANGGAP  SAKRAL. Sehingga agama dalam pengertian umum tidak dapa disamakan dengan
pengertian kita sendiri maupun pola pikir manapun.

Kewaiban Sosiologi hanyalah MENCARI KEBENARAN dalam obyek keagamaan yang dia kaji.
Meskipun, dalam pengkajian tersebut kita harus mengendalikan emosi dan perasaan kita sebagai
pemeluk agama. Dengan menggunakan metode ilmiah dalam sains tanpa perlu memasuki ruang
keimanan manusia.
Lantas, apa arti sacral?
Sesuatu yang sacral lebih mudah dideskripsikan ketimbang didefinisikan. Ia berkaitan dengan hal-hal
yang penuh misteri baik itu yang mengagumkan maupun menakutkan. Ini kadang berkaitan dengan
kebendaan.

Contoh: orang Hindu memuja Lembu, orang Kristen memuja Salib di atas Altar, Muslim melakukan
thawaf di sekeliling Kakbah, Yahudi memuja Lembaran Batu yang diatasnya ada 10 Perintah Tuhan.

Selain yang berwujud benda, sacral juga merujuk kepada yang non empiric (tidak terlihat), seperti dewa,
roh, malaikat, setan, hantu, dan sebagainya. Termasuk disini adalah konsep dalam dalam berbagai
agama, misal Allah, Yesus, Perawan Maria, Muhammad, dll.

Obyek tersebut sacral dalam pengikut masing-masing, disembah dalam berbagai ritual dan diabadikan
dalam ajaran-ajaran kepercayaan.
Maka, menurut Elizabeth
Nottingham (1992:11):
Kesakralan itu terwujud karena perasaan manusia (emosi sacral gabungan antara pemujaan dan
ketakutan). Sebab, jika kita amati, mungkin saja benda-benda yang mereka anggap sacral tersebut bagi
kita tidak akan bisa menemukan jawaban, karena kita tidak memiliki perasaan tersebut, kagum, takut,
dan sebagainya.

Jadi yang sacral itu adalah sebagai sesuatu yang disisihkan dari sikap hormat terhadap hal-hal yang
berguna bagi kehidupan sehari-hari; dan tidak difahami sengan akal sehat yang bersifat empiric untuk
memenuhi kebutuhan praktis.

Perasaan kagum dan takut kepada hal-hal yang sacral ini senantiasa dilestarikan oleh penganutnya.

Dan kesakralan ini meskipun diartikan sebagai bentuk khayal (imajiner) ternyata menimbulkan akibat-
akibat yang dapat diamati (empiric).
Kepercayaan dan Pengamalan
(Ibadat)
Benda dan ‘wujud’ yang sacral initidak cukup hanya dipercayai saja, atau sekedar ‘ada/eksis’. Para penganut melakukan pemeliharaan
keyakinan terhadap yang sacral tersebut dengan sosialisasi.

Ritual atau ibadat menjadi jalan untuk membantu fungsi pemeliharaan ‘yang sacral’ ini.

Kepercayaan keagamaan tidak hanya melukiskan ‘wujud yang sacral’ tersebut saja, tetapi juga selalu berusaha mengkaitkannya dengan
alam semesta atau dunia sosial manusia.

Untuk memahami agama secara sosiologis, kita perlu memperhatikan ritual mereka, karena ritual bersifat empiris. Seperti berdoa,
berpuasa, menyanyi, memakai pakaian khusus, dan sebagainya. Sifat sacral pada ritus-ritus ini tidak tergantung kepada ciri
hakikatnya tetapi pada sikap mental dan sikap-sikap emosional kelompok (masyarakat) terhadapnya dan kepada konteks
sosiokultural di tempat dilaksanakannya ritual tersebut.
Makna Simbol Agama
Simbol atau lambing agama merupakan kepemilikan bersama.

Pendorong yang paling kuat bagi timbulnya perasaan manusia.

Dengan dimilikinya lambing itu bersama, maka menjadi cara yang efektif
untukmempercepat persatuan diantara para pemeluk agam di dunia.
Masyarakat Pemeluk [Agama]
Agama selain memilikikepercayaan juga memiliki penganut. Kedua aspek ini merupakan elemen
penting bagi agama.

Kepercayaan ini mereka amalkan bersama-sama dalam kelompok masyarakat. Melalui kebersamaan
dalam pengamalan inilah inilah maka agama dan ajarannya dapat dilestarikan [masyarakat moral].

Hal ini juga dapat memperkuat perasaan kelompok terhadap kepribadian dan identitasnya.
Nilai-Nilai Moral
Setiap agama akan memiliki nilai-nilai moral tersendiri yang diamalkan
bersama-saa dan dianggap bersumber dari yang sacral. Misalnya, pantangan babi
bagi muslim, pantangan menyembelih lembu bagi Hindu, dan sebagainya.
Fungsi dari nilai moral ini sebagai perekat paling kuat terhadap keutuhan
masyarakat moral.
Agama yang Ghaib dan Agama
yang Sekuler
Agama-agama tradisional di dunia, seperti budha, yahudi, Kristen, hindu dan Islam, dengan penekanan mereka pada
yang sacral dan nilai-nilai di luar dunia ini, semuanya adalah agama supernatural (gaib).

Akan tetapi, terdapat pergerakan di dunia modern yang tidak menekankan supernaturalisme, namun memiliki sebagian
besar ciri agama. Misalnya, nasionalisme, komunisme, sosialisme, fasisme.

Pergerakan ini mempunyai kepercayaan dan peribadatan keagamaan, simbolisme, dan kelompok-kelompok pemeluk
yang taat dan diikat oleh nilai-nilai moral bersama.

Pusat perhatian yang sacral dari pergerakan ini bukan pada yang ghaib. Misalnya, komunisme menganut pandanga
materialistic terhadap masyarakat dan alam semesta. Orang komunis tidak mengagungkan yang supernatural, wujud
sacral (perasaan kagum dan takut mereka) ada pada benda-benda yang mereka anggap lebih tinggi atau kepercayaan
marxisme yang bagi mereka dianggap akan menghasilkan masyarakat sesuai yang mereka cita-citakan. Banyak diantara
mereka seperti penganut agama tradisional yang lain yang rela berkorban dan mati untuk keyakinannya tersebut.

Anda mungkin juga menyukai