OLEH :
NAMA : ALPRIZA PRATAMA
NIM : E1031151017
PRODI : ILMU PEMERINTAHAN
SEMESTER : VI
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa kekerasan tidak berakar pada satu dimensi
kehidupan manusia. Unsur-unsur psikologis, kultural, sosial, ekonomi dan politik turut
melahirkan konflik sosial dan kekerasan. Dengan kenyataan inilah agaknya sulit ditemukan
pemikiran yang secara tegas menyatakan akan hilangnya konflik dan kekerasan dalam sejarah
kehidupan manusia. Kebanyakan dari solusi konflik yang diajukan oleh kebanyak pemikir
bukanlah meniadakan konflik itu sendiri tetapi mentransformasi konflik itu menjadi energi
positif bagi upaya perbaikan-perbaikan.
Kenyataan ini pula yang melahirkan dua pandangan yang berbeda tentang konflik
sosial :
Pendapat kedua ini mengandaikan adanya dimensi etik konflik sosial. Dimensi etis
konflik itu sebagai mana diungkapkan, ditemukan dalam faktor positif konflik yang bisa
mengubah dan memperbaiki kehidupan sosial masyarakat. Perbaikan keadaan sosial yang
memprioritaskan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, tanggung jawab dan kesejahteraan umum
merupakan sasaran utama konflik sosial.
Kembali lagi persoalannya adalah pada bagaimana konflik harus dikelola bukan
membiarkannya sedemikian rupa, walaupun konflik pada ujungnya akan menghasilkan
kesadaran kolektif tentang perlunya menghindari kekerasan. Hal ini karena pengalaman
traumatik sendiri sebarnya perlu dicegah sedemikian rupa. Untuk itulah diperlukan model-
model resolusi konflik.
Dengan mengacu kepada negara multi etnis, Tubagus Aruf Faturahman (2001)
menyodorkan lima model regulasi konflik :
Pertama, partisi, yaitu pemisahan secara tegas antara satu etnis dengan etnis
lainn. Model ini jarang sekali digunakan dan hal ini hanya dimungkinkan
apabila sebuah etnis benar-benar hidup terpisah dari garis demarkasi negara.
Kedua, model dominasi, yaitu satu dominasi etnis terhadap etnis lain, biasanya
melalui kekerasan atau atau tindakan diskriminatif. Model ini mendasarkan
pada asumsi kekerasan sebagai alternatif mengakhirin kekerasan lebih lanjut.
Ketiga, melalui proses asimilasi. Model ini adalah bentuk halus dan maju dari
model kedua yang dilakukan secara alami.
Keempat melalui model konsolidasi. Model ini mengakui eksistensi setiap
perbedaan yang ada dan mencoba untuk mengharmonikan perbedaan
perbedaan itu. Dalam model ini kelompok mayoritas bukan pihak yang
menentukan dalam berbagai hal, tetapi berbagai ketentuan diputuskan
berdasarkan konensus dan kompromi.
Kelima, memilik keserupaan dengan model keempat, yaitu pengakuan
terhadap semua etnis, tetapi tidak memiliki keterkaitan dengan hal-hal yang
sifatnya politis. Model ini disebut dengan sinkretisme. Negara dalam hal ini
berusaha mengakomodasikan dan mengekspresikan berbagai perbedaan yang
ada dan menganggap semua etnis yang ada memiliki posisi yang sama dan
diperlakukan secara adil.
Versi lain tentang resolusi konflik adalah apa yang ditawarkan Galtung. Galtung
sebagaimana dikutip Tubagus (2001) menawarkan tiga model yang berkaitan satu sama lain
yaitu peace keeping, peace building, dan peace making penjelasan nya adalah sebagai
berikut:
Model peace keeping (operasi keamanan) yang melibatkan aparat keamanan dan
militer perlu diterapkan guna meredam konflik dan menghindarkan penularan konflik
terhadap kelompok lain.
Peace building adalah strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan
destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun
jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Peace building lebih
menekankan pada kualitas interaksi darpiada kuantitas. Karena itu lima hal yang harus
diperhatikan dalam tahapan ini:
Pertama, inetraksi yang terjadi harus antara pihak-pihak yang memiliki
kesejajaran status.
Kedua, adanya dukungan dari lingkungan sosial.
Ketiga komunikasi terjadi secara intim (bukan kasual).
Kempat proses komunikasi harus menyenangkan kedua pihak dan keilma, ada
tujuan yang hendak dicapai bersama.
Sedangkan peace making adalah upaya negosiasi antara kelompok kelompok yang
memiliki perbedaan kepentingan. Ada beberapa metode bisa dipilih pada tahapan
negosiasi ini:
Pertama, melalui kekerasan.
Kedua melalui hukum atau pendekatan konvensional. Pendekatan hukum akan
efektif dilakukan pemerintah yang memiliki legitimasi. Tanpa legitimasi,
negara akan kehilangan kewenangan dan kewibawaan dalam mengelola
negara termasuk rekonsiliasi sebagai bagian resolusi konflik. Dalam kasus
dimana negara tidak memilik legitimasi, pendekatan konvensional pasti gagal
dan harus dicari alternatif solusi melaui altrenatif despute resolution (ADR)
yang berupaya menyelesaikan konflik dengan cara langsung mengarah pada
persoalan utama, kendati secara hukum illegal. Model ini juga dikenal sebagai
Interactive Conflict Resolution.
Di bawah ini akan diuraikan aspek-aspek teoritis dan praktis mengenai resolusi
konflik:
Sebelum mengurai secara rinci mengenai model resolusi konflik perlu diketahi bahwa ada
perdebatan diantara conflict resolver dan conflict transformer yaitu mereka yang berpegang
pada konsep reolusi konflik di satu sisi dan mereka yang berpegang pada konsep transformasi
konflik pada sisi yang lain. Saya sepakat dengan posisi yang diambil dalam buku di atas yaitu
bahwa keduanya seungguhnya bukan dua konsep yang saling berlawanan, tetapi melengkapi
satu sama lain. Transformasi konflik, demikian merupakan level yang lebih mendalam dari
tradisi resolusi konflik dari pada sebagai usaha yang terpisah. Dalam pandangannya tidak ada
masalah mengenai payung apa yang digunakan pada akhirnya seperti regulasi konflik
(conflict regulation), manajemen konflik (conflict managemen termasuk resolusi konflik
(conflict resolution) dan transformasi konflik (conflict transformation), sejauh konsep itu
mencakup substansi dari kerja menangani konflik.
Resolusi konflik dan transformasi konflik secara esensial sesungguhnya bekerja dalam
satu medan yang sama. Buku karya Duke (1996) yang berjudul Resolving Public Conflict :
Transforming Community and Governence menunjukan kesamaan esensial antara dua konsep
itu. Adapun penggunaan konsep resolusi konflik dalam tulisan ini didasarkan atas beberapa
alasan:
Pertama, konsep ini merupakan gagasan yang muncul paling dini yang digunakan
untuk mendefinsikan penanganan konflik sebagai area baru (lihat Jurnal of Conflict
Resolution: 1957).
Kedua, term ini merupakan term yang secara luas dipakai oleh sangat banyak analis
dan praktisi, sehingga hampir-hampir tidak ada perubahan penting tentang konsep ini
dari tahun ke tahun hingga sekarang.
Ketiga, resolusi konflik merupakan term yang paling terkenal di media maupun di
dalam kehidupan publik secara umum.
Di dalam konflik yang simetris, kontradiksi diakibatkan oleh para pihak, kepentingan
mereka dan pertentangan kepentingan diantara mereka. Sedangkan dalam konflik yang
asimetris, konflik diakibatkan oleh para pihak, hubungan mereka dan konflik kepentingan
yang terdapat dalam relasi antar mereka. Juga termasuk sikap dan persepsi para pihak dan
salah persepsi diantara satu sama lain. Semua itu dapat bersifat positif ataupun negatif, Akan
tetapi dalam konflik kekerasan para pihak cenderung untuk mengembangkan berbagai
stereotype satu sama lain dan sikap mereka sangat dipengaruhi oleh berbegai emosi seperti
takut, marah, kebencian, dan kemarahan. Sikap termasuk di dalam nya elemen-elemen emotif
(perasaan), kognitif (kepercayaan) dan konatif (keinginan). Para analis yang menekankan
aspek-aspek subjektif itu menyatakan pandangan ekspresif mengenai sumber-sumber konflik.
Sementara perilaku (behavior) adalah komponen ketiga yang mencakup kerjasama atau
pemaksaan, bahasa tubuh yang menandakan persatuan (conciliation) atau permusuhan
(hositility). Perilaku konflik kekerasan ditandai dengan ancaman, paksaan, dan penyerangan
destruktif. Para analis yang menekankan aspek-aspek obyektif seperti hubungan struktural,
pesaingan kepentingan material atau perilaku lebih mengungkapkan pandangan instrumental
sumber-sumber konflik.
Galtung menyatakan bahwa tiga komponen itu harus dihadirkan secara bersama-sama
dalam meliha konflik secara menyeluruh. Sebuah struktur konflik tanpa konflik sikap dan
perilaku merupakan konflik laten ataupun struktural. Galtung melihat konflik sebagai sebuah
proses dinamis dimana struktur, sikap dan perilaku terus menerus merubah dan
mempengaruhi satu sama lain. Sebagai perkembangan dinamis, konflik menjadi bentuk
konflik yang manifes ketika kepentingan berbagai pihak berbenturan atau ketika hubungan
diantara mereka menjadi lebih bersifat opresif. Para pihak yang terlibat dalam konflik
kemudian membentuk berbagai struktur untuk mencapai kepentingan mereka. Mereka
mengembangkan sikap permusuhan dan perilaku konfliktual. Dari sinilah kemudian bentuk
konflik mulai berkembang dan intensif. Sebagaimana konflik berlangsung, sangat mungkin
juga terjadi perluasan konflik kepada pihak-pihak lain, lebih mendalam dalam lebih tersebar,
yang memunculkan konflik sekunder diantara pihak yag lerlibat atau di dalam pihak lain
yang ingin memperoleh keuntungan dari konflik itu. Pada akhirnya pemecahan konflik harus
melibatkan serangkaian perubahan dinamis yang meliputi pencegahan perluasan perilaku
konflik (de-escalation of conflict behavior), perubahan sikap dan transformasi hubungan
(relationship) atau benturan kepentingan yang semua itu merupakan inti dari struktur konflik.
Terkait dengan gagasan di atas adalah pemikiran Galtung mengenai pembedaan antara
kekerasan langsung (direct violence) seperti anak dibunuh, kekerasan stuktural (structural
violence) seperti anak mati karena kemiskinan, dan kekerasan kultural (cultural violence)
yaitu apapun yang mengikat kita untuk melakukan justifikasi terhadap kekerasan. Kita
menghentikan kekerasan langsung dengan merubah perilaku konflik (conflic behavior).
Untuk menghentikan kekerasan struktural dengan melakukan merubah kontradiksi stuktural
dan ketidak adilan. Sedangkan untuk merubah kekerasan kultural adalah dengan merubah
berbagai sikap. Semua respon itu terkait dengan strategi yang lebih luas dari peacekeeping,
peacebuilding dan peacemaking. Galtung mendefinsikan kedamaian negatif (negative peace)
sebagai penghentian kekerasan langsung (direct violence) dan kedamaian positif (positive
peace) sebagai pemecahan kekerasan struktural dan kultural.
Proses eskalasi konflik adalah kompleks dan tidak dapat diprediksi. Isu-isu baru dan
pihak yang terliba dalam konflik dan muncul, pertarungan dapat menjadi pilihan taktik dan
tujuan. Konflik sekunder dan spiral, kemudian memperburuk situasi. Model eskalasi konflik
dibawah ini menggambarkan bagaimana konflik berpindah dari satu tahap ketahap lain yang
membentuk kurvaa normal eskalasi dan deeskalasi konflik. Tahap perubahan itu dimulai dari
perbedaan yang merupakan bagian dari seluruh perkembangan sosial, berkembang melalui
bibit-bibit kontradiksi yang mungkin tampak atau bersifat laten, naik lagi melalui proses
polarisasi dimana salng pertentangan antar para pihak mulai tampak dan puncaknya adalah
pecahnya kekerasan langsung (dirct violence) ataupun perang.
Rombston menawarkan apa yang dia sebut sebagai hourglass model yang
menggambarkan spektrum konflik tahap dan repons dalam resolusi konflik. Model ini
menunjukan adanya penyempitan ruang politik yang menandai eskalasi konflik dan perluasan
ruang politik pada deeskalsi konflik. Sebagaimana pebedaan antara penyempitan dan
perluasan ruang politik, maka respon untuk resolusi konflik yang berbeda juga
dimungkinkan. Model ini disebut oleh Rombston sebagai model Kontengensi dan
Komplementer. Kontingensi merujuk pada pengertian natur dan tahap konflik dan
komplementer merujuk pada pengertian kombinasi respon yang memungkinan yang harus
dilakukan secara bersama untuk memaksimalkan peluang keberhasilan dalam resolusi
konflik. Transformasi konflik sebagaimana tampak dalam gambar mencakup level yang lebih
dalam dari proses peacebuilding struktural. Penanganan konflik (conflict settlement)
berkaitan dengan apa yang disebut sebagai peacemaking elit yang dalam bahas lain disebut
sebagai negosiasi ataupun mediasi diantara pihak-pihak utama yang saling bertentangan
dengan tujuan utama untuk menemukan kesepakatan yang dapat diterima dan saling
menguntungkan. Penahanan konflik (conflict containment) meliputi peecekeeping preventif,
pembatasan peran (war limitation) dan penjagan perdamaian paska gencatan sejata.
Berbagai Pendekatan Terhadap Konflik
Konflik merupakan sesuatu yang instrinsik dan aspek perubahan sosial yang tidak
dapat dihindari. Ia meupakan ekspresi dari keanekaragaman kepentingan, nilai-nilai dan
kepercayaan yang muncul sebagai bentuk-bentuk baru yang dihasilkan oleh perubahan sosial.
Bekerja menangani konflik sendiri sebenarnya merupakan masalah kebiasaan dan pilihan.
Oleh karena itu adalah suatu kemungkinan bagi kita untuk merubah repson yang biasa dan
mencoba respon yang lebih cerdas.
Salah satu bentuk kebiasaan yang tipikal dalam merespon konflik adalah prioritas
yang berlebihan dalam mempertahankan kepentingan kita sendiri. Apabila si kepentingan A
berbenturan dengan kepentingan B maka si A biasanya mengabaikan kepentingan B atau
bahkan secara aktif menghancurkannya. Demikian pula pemimpin sebuah bangsa biasanya
berharap untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya dan mengalahkan kepentingan
bangsa lain apabila terlibat dalam konflik. Namun demikian cara semacam ini sesungguhnya
bukan satu-satunya cara yang bisa dilakukan.
Apabila seseoang memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap dirinya dan
memiliki perhatian yang rendah terhadap orang lain. Inilah yang disebut gaya
kepuasan (cotending style).
Kedua, gaya yang lebih memperhatikan kepentingan orang orang lain ketimbang
kepentingan sdiri sendiri (yield style).
Ketiga, model penghindaran (avoid style), yaitu model yang memiliki perhatian yang
sangat rendah tehadap kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain.
Keempat, keeimbangan dalam memperhatikan kepentingan sendiri dan kepentingan
orang lain yang membawa kepada sikap akomodatif dan kompromis.
Kelima, adalah alternatif yang banyak dilihat oleh banyak orang dalam resolusi
konflik sebagai satu alternatif yang banyak ditawarkan, yaitu perhatian yang tinggi
terhadap kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Hal ini berimplikasi pada
penegasan terhadap kepentingan sendiri tetapi secara seimbang sadar akan aspirasi
dan kebutuhan orang lain, untuk kemudian memunculkan energi untuk mencari
problem solving yang kreatif sebagai jalan keluar.