Anda di halaman 1dari 10

Review Journal of Conflict Resolution

Tugas mata kuliah Sosiologi Konflik dan Rekonsiliasi

Andreas Redi Kurniawan

13/347798/SP/25676

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Gadjah Mada
2015

KONFLIK DAN REKONSILIASI


Sebuah tinjauan berdasarkan review dari tulisan Kenneth E. Boulding

Jika berbicara mengenai konflik dewasa ini, rasanya kita tidak dapat lepas dari
pemaknaan atas definisi konflik itu sendiri. Pemaknaan atas tipologi konflik serta langkah
resolusi konflik sendiri penting agar proses penyelesaian konflik dapat berjalan dengan baik.
Kelompok I selaku kelompok yang mendapatkan bagian mereview beberapa bab dari buku
resolusi konflik akan membahas hasil diskusi serta review bab bab tersebut. Dimulai dari bab
I, yaitu mengenai perkenalan apa yang disebut sebagai resolusi konflik sesungguhnya.
Mengenai konflik, ada perspektif yang menyebutkan bahwa konflik adalah
sebuah aspek intrinsik yang tidak dapat dihindarkan dari adanya perubahan sosial. Konflik
dapat dilihat sebagai sebuah ekspresi dari adanya kepentingan, nilai, atau kepercayaan yang
muncul dari sebuah formasi yang dihasilkan oleh perubahan sosial untuk menentang pihak
berkuasa. Hal yang menarik menurut penulis adalah meskipun konflik sendiri adalah sesuatu
yang inevitable / tak terhindarkan, akan tetapi bagaimana cara kita menanggapi konflik itu
sendiri adalah sebuah hal yang dinamis. Respons dapat beragam, sesuai dengan kebiasaan
dan pilihan pihak pihak yang terlibat itu sendiri. Respons ini dapat diubah melalui latihan dan
upaya upaya mengembangkan resolusi konflik yang ada.
Menurut kelompok kami, konflik sendiri adalah bagian dari perubahan yang
terjadi ditengah masyarakat yang dinamis ini. Jika dilihat dari perspektif konflik, maka
adanya konflik bisa dipandang sebagai salah satu upaya untuk melakukan perubahan,
sekaligus cara untuk menyuarakan pendapat kepada publik. Akan tetapi yang perlu
diperhatikan adalah tingkat konflik itu sendiri, yang nanti akan dibahas pada bagian
selanjutnya dalam buku ini.
Pendekatan pada konflik itu sendiri merupakan salah satu konsen dalam
bahasan buku ini. Pendekatan dapat dilihat pada contoh grafik yang digambarkan oleh
penulis, yang menggambarkan bahwa setiap pendekatan pada konflik memegang konsekuensi
tersendiri. Sebagai contoh ada lima macam pendekatan, yaitu yielding, problem solving,
compromising, withdrawal, dan contending. Masing masing tipe pendekatan berimplikasi

pada kedua belah pihak, baik bagaimana dikemudian hari reaksi mereka terhadap pihak lain
maupun keberlanjutan dari konflik itu sendiri.
Kemudian, tahap selanjutnya adalah resolusi konflik itu sendiri. Resolusi
konflik biasanya berujung pada hasil hasil berikut ini : menang kalah, sama sama kalah,
atau sama sama menang. Dalam konflik, hal ini menjadi dinamika tersendiri dalam upaya
penyelesaian konflik. Konflik yang sudah diwarnai dengan kekerasan cenderung berakhir
dalam tipe menang kalah, hal ini dikarenakan kedua belah pihak cenderung tidak mau
berkompromi. Akan tetapi yang patut diperhatikan adalah, hasil akhir dari sebuah konflik
dipengaruhi oleh pilihan rasional dari pihak yang berkonflik itu sendiri. Tak jarang pada
akhirnya, mereka yang terjebak dalam konflik berakhir dalam teori yang disebut sebagai
prisoners dilemma.
Yang dimaksud disini adalah, mereka yang berkonflik ibaratnya seperti dua
orang kriminal yang ditahan dalam penjara yang sama, namun dalam sel terpisah. Mereka
mempunyai pilihan untuk saling membelot (defect) dengan membocorkan rahasia pihak lain
(yang berarti menjatuhkan pihak lain) atau saling bekerjasama dan tetap diam. Nyatanya dari
penelitian yang ada, hasil menunjukkan bahwa jika terdapat dua orang dites dengan persoalan
semacam itu, tendensi untuk defect lebih besar daripada tendensi untuk bekerjasama.
Kelompok kami melihat bahwa pada realitanya, hal seperti yang terjadi pada
contoh diatas (termasuk prisonners dilema) merupakan hal yang kompleks. Jika diterapkan
dalam resolusi konflik ditengah masyarakat, akan muncul beragam faktor yang
mempengaruhinya. Sebagai contoh, rasa percaya (trust) juga memegang faktor penting dalam
menentukan bagaimana akhirnya sikap kedua belah pihak yang berkonflik disaat mereka
memutuskan untuk menempuh langkah resolusi. Jika sudah terbentuk rasa percaya satu sama
lain, maka akan lebih mudah untuk saling bekerjasama.
Selain itu, faktor lain yang tak kalah penting adalah faktor pemikiran jangka panjang.
Sebagai contoh, dua pihak yang berkonflik namun masih saling membutuhkan satu sama lain,
tentu akan berpikir dua kali sebelum menempuh jalan kekerasan untuk menyelesaikan konflik
tersebut. Mereka cenderung akan berpikir bagaimana kedepan relasi diantara mereka dapat
terjalin. Bukan tidak mungkin akan terjadi saling memaafkan diantara mereka, sekaligus
membuang jauh jauh dendam yang ada. Hal ini tentu lebih memudahkan para pendamai
untuk menyelesaikan konflik diantara mereka.

Jika hal hal diatas belum dapat terwujud, maka niscaya tendensi untuk defect akan
selalu lebih besar daripada keinginan untuk bekerjasama. Hal ini tentu akan mempersulit
upaya rekonsiliasi sekaligus resolusi konflik yang terjadi. Jika sudah begitu, para peacemaker
tentu membutuhkan kerja ekstra agar resolusi dapat terjadi didaerah konflik
Setelah memahami konflik, penulis buku ini mengajak kita untuk memahami definisi
kekuasaan. Menurutnya, kekuasaan dapat dibagi menjadi kekuasaan keras dan kekuasan
lembut. Yang dimaksud kekuasaan keras disini adalah mereka yang memandang kekuasaan
sebagai alat untuk merepresi, untuk memerintah, serta melakukan upaya upaya koersif
dalam memakai kekuasaannya. Hal sebaliknya dapat dilihat dalam kekuasaan lembut. Yang
dimaksud lembut disini adalah ia memaknai kekuasaan sebagai alat untuk bekerjasama,
melegitimasi, sekaligus menginspirasi dan mempersuasi orang lain.
Dengan melihat pemahaman di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa
definisi kekuasaan terletak ditangan orang yang memegangnya. Disatu sisi tidak dapat
dipungkiri bahwa penggunaan kekuasaan dengan cara keras terkadang diperlukan dalam
menangani konflik yang sudah tereskalasi menjadi konflik disertai kekerasan. Akan tetapi
perlu diperhatikan kekuasaan lembut dapat dipakai untuk menyelesaikan konflik dengan
jalur damai, sehingga idealnya pendekatan inilah yang dipakai dalam setiap resolusi konflik.
Kelompok kami sendiri melihat bahwa idealnya dalam setiap resolusi konflik
yang terjadi seharusnya sebisa mungkin kekerasan dihindari. Pun jika kekerasan tidak dapat
terhindarkan, diperlukan kekuasaan yang dipergunakan secara tepat untuk merangsang
integrasi dan rekonsiliasi antar pihak. Sebisa mungkin kerugian sia sia akibat konflik yang
disertai kekerasan harus diminimalisir, serta potensi konflik yang akan datang harus
dihilangkan.
Pada bab selanjutnya, penulis dalam memaparkan pembedaan konflik yaitu antara
simetris dan asimetris. Dalam pandangannya mengenai konflik penulis bersikap begitu
optimistik pada penyelesaian konflik melalui tahap-tahap yang di buat yaitu : penyadaran,
konfrontasi, negosiasi, dan membangun perdamaian. 4 tahap tersebut menunjukkan bahwa
konflik yang bersifat asimetris dapat diselesaikan apabila melalui tahap-tahap tersebut.
Galtung melihat bahwa konflik merupakan sebuah dinamika dalam suatu struktur
yang mempunyai unsur unsur berikut; sikap, pertentangan, dan tingkah laku. Pada ketiga

unsur tersebutlah konflik dalam struktur itu ada. Dan pada akhirnya konflik membawa sebuah
perubahan pada struktur tersebut. Baik perubahan kearah konflik atau non-konflik.
Dalam melihat konflik sebagai sebuah dinamika adalah melihat bentuk konflik yang
muncul dari perubahan sosial yang membawa ke sebuah proses dari kekerasan atau nonkekerasan, dan pada akhirnya kepada sebuah perubahan sosial baru. Namun tak dipungkiri
konflik bisa menjadi lingkaran yang diproduksi sekaligus mereproduksi satu sama lain.
Sebagai contoh, penulis berasumsi bahwa konflik adalah suatu siklus. Hal ini tampak dari
bagan yang digambarkan, yaitu penulis melihat bahwa proses preventif, peacekeeping,
peacemaker, dan peacebuilding adalah sebuah siklus yang saling terhubung satu sama lain.
Untuk dapat melewati sebuah tahap, maka ia harus mempunyai pijakan pijakan terlebih
dahulu untuk bisa mencapai tahap selanjutnya.
Menurut pemikiran kelompok kami, hal ini merupakan salah satu cara resolusi konflik
agar tidak ada beban (burden) yang ditanggung salah satu kelompok sehingga kelak pada saat
resolusi, tidak ada lagi keinginan untuk saling membalas dendam. Bibit bibit konflik yang
ada layak diminimalisir, dan salah satu jalan untuk melakukan hal itu adalah melalui tahap
tahap yang diutarakan oleh si penulis. Konfrontasi terbuka sebagai opsi juga terkadang
diperlukan dalam tahap ini. Yang perlu dipahami adalah jangan sampai konflik yang ada jatuh
kearah konflik mematikan (yang nanti akan dibahas dalam bab lain di buku ini)
Kemudian, penulis membahas mengenai munculnya pola baru dalam perang.
Sebelum perang dingin, konflik yang ada cenderung bersifat simetris, dimana kekuatan yang
ada adalah antar negara berdaulat dengan alat yang digunakan adalah kekuatan militer yang
bertujuan untuk menghancurkan kekuatan dan keinginan musuh untuk melanjutkan perang.
Akan tetapi, paska perang dingin, konflik yang tadinya bersifat Clausewitzean sekarang
berubah menjadi post-Clausewitzean. Hal ini ditandai dengan adanya pembuatan keputusan
yang terfragmentasi dan tidak terorganisir, serta sasaran yang ada sekarang cenderung
mengarah kepada warga sipil. Implikasi dari hal ini adalah kecenderungan munculnya konflik
yang mengancam stabilitas dan kedaulatan sebuah negara (potensi konflik asimetris).
Seiring perkembagannya, pendekatan pendekatan kontemporer bermunculan dalam
melihat konflik itu sendiri. Sebagai contoh, interval waktu intervensi pihak ketiga dalam
konflik mampu menentukan hasil akhir dari konflik tersebut. Intervensi diwaktu yang tepat
mampu meminimalisir jatuhnya korban sia sia dari konflik, serta mampu membangun

pondasi guna menciptakan sistem resolusi konflik yang berkelanjutan di dalam masyarakat.
Hal ini berbeda dari konsep resolusi konflik tradisional yang biasanya hanya memandang
cangkup lebih sempit, dimana ia melihat konflik dari cangkupan masuknya pihak pihak
kedalam konflik itu sendiri.
Lebih jauh lagi, mengelaborasi pemikiran Curle, diperlukan respon tersendiri dalam
menanggapi

tipe

konflik

asimetris.

Francis

(1994)

membuat

skema

untuk

mentransformasikan konflik asimetris lengkap dengan unsur unsur yang menjadi prasyarat
didalamnya. Konflik asimetris, yang biasanya berawal dari penindasan, ketidakadilan, dan
konflik laten perlu melewati beberapa tahap agar dapat terselesaikan dengan baik sekaligus
tercipta keseimbangan kekuatan di dalamnya. Berawal dari kesadaran, kemudian ada
mobilisasi, dan jika diperlukan konfrontasi terbuka. Jika sudah sampai tahap ini, maka
resolusi konflik tradisional akan mulai menjalankan fungsi dan perannya. Ada unsur
perubahan sikap, usaha negosiasi dan mediasi, serta terciptanya relasi baru diantara pihak
yang berkonflik. Jika sudah begitu, maka akan tercipta relasi baru yang berpondasikan
kesepakatan bersama, sekaligus terciptanya apa yang dinamakan new balance of power
Lebih lanjut lagi, penulis merincikan perlunya ada resolusi konflik dalam semua level,
bukan hanya dalam tataran elit saja, namun juga sampai ke akar rumpun. Yang menarik,
disini cara untuk menyelesaikan konflik berbeda beda dalam setiap tingkatan. Sebagai
contoh, dalam tingkat grassroot, maka proses resolusi konflik harus sampai pada perbaikan
hubungan antar kelompok. Hal ini berbeda dengan di tataran elit, selama ada regulasi dan
hukum yang mengatur, maka konflik dapat dianggap sudah terselesaikan. Selain itu, muncul
konsep resolusi konflik yang bersifat bottom-up, dari bawah menuju atas. Jika permasalahan
di akar rumpun selesai, maka resolusi konflik di tataran yang lebih tinggi akan menjadi lebih
mudah.
Terkait dengan hal diatas, penulis mengutarakan bahwa untuk melihat hal tersebut kita
perlu memahami bagaimana konflik itu sendiri terbentuk. Mengutip Encarnacion dkk, konflik
biasanya terdiri dari elemen elemen yang membentuk konflik itu sendiri. Ada pihak inti,
pihak yang aktif memberikan pengaruh, dan pihak marjinal. Seiring perkembangan konflik,
ada perubahan persepsi terhadap pihak ketiga dimana awalnya pihak ketigalah yang
dipandang sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap resolusi konflik menjadi pihak
internal-lah yang mampu mewujudkan resolusi konflik itu sendiri. Peran peacemaker lokal

menjadi penting dimana mereka yang kemudian mampu mewujudkan pondasi untuk
mengantisipasi bibit bibit konflik yang ada ditengah masyarakat itu sendiri.
Pada akhirnya, penulis mengatakan resolusi konflik membutuhkan kemauan serta
keinginan untuk merubah struktur dan budaya, tidak hanya pada tingkat regional atau lokal,
akan tetapi juga tingkat internasional. Hanya yang menjadi perbedaan adalah ketika resolusi
konflik terjadi pada tingkat lokal, maka aspek kecil seperti relasi antar komunitas menjadi
perhatian, sementara di tataran internasional sejauh mereka telah mensepakati regulasi dan
hukum yang ada maka konflik dianggap sudah selesai.
Kelompok kami berpendapat bahwa penulis seharusnya melihat juga relasi antar
negara pada tataran internasional. Untuk menciptakan modal sosial guna membangun
kepercayaan (trust) antar negara, dibutuhkan relasi yang harmonis antar negara yang
berkonflik. Jika sudah terbangun kepercayaan, maka kemungkinan konflik di masa yang akan
datang dapat diminimalisir. Hal ini merupakan langkah yang patut ditempuh selama masa
peacebuilding dalam rangka resolusi konflik. Dengan begitu, aspek aspek seperti relasi
tidak lagi terabaikan dan para peacemaker tidak lagi hanya mengandalkan aspek formal saja.
Setelah membahas bagaimana idealnya transformasi konflik berlangsung, penulis
mengajak kita untuk memahami tipologi konflik konflik yang ada, mulai dari konflik
bersenjata sampai konflik mematikan. Selain itu dilihat dari waktu sendiri, konflik dapat
dibedakan menjadi konflik pre-Cold War dan post-Cold War.
Kemudian penulis kembali mencoba mengelaborasi pemikiran kita melalui istilah
istilah yang sudah kita pakai, seperti resolusi konflik, manajemen konflik, penyelesaian
konflik, dan transformasi konflik. Dari sini terlihat bagaimana konflik dilihat sebagai sebuah
bingkai besar yang saling terhubung satu sama lain.
Akhirnya, tujuan dari resolusi konflik bukanlah penghapusan konflik, hal ini justru
kadang-kadang bukanlah goal dari resolusi konflik itu sendiri. Sebaliknya, tujuan resolusi
konflik adalah untuk mengubah konflik yang berpotensi kekerasan menjadi proses-proses
perubahan sosial dan politik yang damai (non-kekerasan). Ini adalah tugas yang tak berujung
karena kemunculan bentuk dan sumber baru dari konflik.
Selanjutnya, penghitungan keseluruhan kerusakan material, penderitaan psikologis
dan kesengsaraan manusia --- disebut Cranna sebagai "biaya yang sebenarnya dari konflik.

(kerugian konflik yang sebenarnya). Tujuan utama dari resolusi konflik seperti diuraikan di
bagian sebelumnya: menemukan cara alternatif yang non-kekerasan untuk mencapai tujuan
struktural dan politik.
Terdapat empat faktor mendikte bahwa orang luar tak dapat dihindari terlibat dan
sering memainkan peran penting. Pertama, seperti disebutkan lebih lengkap di bab 3, sumbersumber dari banyaknya konflik kontemporer, banyak berbohong di luar seperti juga di dalam
negara. masyarakat internasional dalam berbagai samaran sering bertanggung jawab atas
konflik di tempat pertama. Kedua, meningkatkan saling ketergantungan berarti bahwa konflik
kontemporer mempengaruhi kepentingan tetangga di wilayah regional dan di luar daerah.
Ketiga, kombinasi penderitaan manusia dan transparansi media yang membuat sulit bagi
pemerintah luar untuk bertahan dalam tidak melakukan apa-apa. Keempat, hampir semua
studi setuju bahwa banyak konflik yang berlarut-larut hanya bisa diselesaikan ketika di luar
sumber daya

yang dibawa untuk menanggung (outside resources are brought to bear).

Singkatnya, hampir semua konflik ini bisa dalam satu atau lain cara digolongkan sebagai
konflik sosial internasional.
Pada akhirnya, bukan konflik antarnegara atau konflik sosial internasional, banyak
dari konflik tersebut yang mencerminkan melemahnya struktur negara, runtuhnya kedaulatan
dan gangguan lokal dalam sistem negara. itu adalah hal ironis bahwa tugas mengelola konflik
tersebut telah jatuh terutama kepada lembaga-lembaga internasional yang masih didasarkan
pada precisely sistem kedaulatan dan tanpa campur tangan/non gangguan bahwa konflik baru
melemahkan (precisely the system of sovereignty and non interference that the new conflicts
undermine); tidak mengherankan bahwa masyarakat internasional berjuang untuk
menemukan cara yang efektif untuk merespon.
Bab selanjutnya mengajak pembaca melihat pola konflik yang tersebar diseluruh
dunia. Perbandingan data konflik pada 1990an mengungkapkan perbedaan yang lebar baik di
kriteria dalam pencantuman dan figur yang sering kisruh dan daerah-daerah perang yang
bersaing secara politik. Meskipun sudah berusaha, kami belum menemukan jalan untuk
mendamaikan perbedaan tersebut
Berdasarkan perbedaan diatas dimana konflik harus dimasukan dalam dataset
membuktikan kesulitan dalam menentukan tren dalam konflik post Cold War. Sebagai
contoh, membandingkan data pada periode 1993-6, the PIOOM programme at Leiden

University menyimpulkan bahwa angka konflik berintensitas tinggi dan berintensitas rendah
tetap pada level konstan relatif(Jongman and Schmid, 1998), layaknya, mengacu pada data
Uppsala University yang digunakan SIPRI, pada periode 1989-96 terdapat penurunan yang
cenderung konstan di angka konflik bersenjata secara global(1997, 20), lebih spesifik lagi,
pada 1995 Wallensteen dan Axell melaporkan sebuah pola baru dalam konflik, pada 1990an
yang mana perhatian ada pada tantangan dalam mempertahankan kekuasaan state termasuk
gerakan separatis yang mengancam integritas territory of the state(bekas Yugoslavia,
Chechnya) dan tantangan untuk kontrol pusat yang mungkin akan berakhir pada fragmentasi
tanpa aktor dalam keseluruhan perintah
Kriteria atau ciri khas perang yang terjadi periode 1990 an agak sulit ditemukan.
Menurut data dalam buku ini ada berbagai hal mendasari seperti latar belakang yang berbeda
dan kondisi pihak/ negara yang mengalami peperangan. Penulis disini tidak dapat
menyimpulkan atau mensimplifikasikan konflik yang terjadi sehingga pembaca hanya di
suguhi data perang di setiap negara. Pembaca didorong untuk lebih mempelajari kondisi per
pihak/ negara karena tidak ditemukannya pola bahkan fluktuasi konflik (intensitas tinggi dan
rendah) hampir tidak kelihatan. Pola hanya ditemukan pada konflik non global yaitu
perseteruan dilakukan hanya untuk menjaga dan mempertahankan kekuasaan state dan
ancaman terjadi perpecahan.
Usai perang dingin berakhir muncul konflik yang lebih signifikan di daerah yang
cakupannya lebih kecil. Para analis membedakan daerah mana saja yang termasuk dalam
zone of peace (zona aman) dan zone of war (zona perang). Zona perang disebutkan
berada di negara-negara kawasana Afrika, Timur-tangah, Amerika Tengah, Asia Selatan, dan
Balkan.
Ada empat tipe konflik yang disebutkan yaitu konflik antar negara, konflik regional,
antar kelompok, pemerintah. Sedangkan menurut Holsti ada 5 pembagian mengenai konflik
antar negara, yaitu ; konflik karena batas wilayah, ekonomi, pemberontakan, ideologi, dan
human symphaty. Menurut Holsti bahwa penyebab konflik yang disebabkan batas wilayah
dan ekonomi tersu menurun akan tetapi yang diebabkan oleh pemberontakan, ideologi dan
human symphaty terus meningkat.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tren pernag didunia semenjak pernag dingin
berakhir berubah, konflik-konflik regional seperti pemberontakan kelompok yang ingin

memisahkan diri dari negara semakin banyak, perang dikarenakan ideologi juga semakin
meningkat dan bahkan menjadi konflik yang mngerikan karena telah mamkan banyak korban.
Dari pembagian tipe konflik diatas kita dapat melihat bahwa setelah perang dingin
usai, ternyata muncul konflik-konflik lainnya dengan cakupan konflik yang lebih kecil.
Disebutkan bahwa negara-negara yang mengalami konflik tersebut sebagian besara
merupakan negara didaerah timur.
Pada bahasan terakhir ini, penulis mengajak kita memahami bahwa untuk
menyelesaikan konflik tidak bisa dilakukan secara parsial. Sebagai contoh, ia mengajak kita
melihat bagan yang menunjukkan organisasi organisasi yang berperan dalam resolusi
konflik di dunia. PBB, organisasi regional, organisasi keamanan dan kerjasama internasional,
organisasi persatuan Afrika di tahun 1963, organisasi negara negara Amerika, serta asosiasi
bangsa Asia Tenggara adalah unsur unsur yang harus bekerjasama dalam menyelesaikan
konflik yang terjadi.
Terdapat dua poin penting resolusi konflik, yang pertama yaitu penguatan pada relasi
internasional, lebih khususnya pada pencegahan perang global. Poin kedua adalah kemajuan
intelektual, studi mengenai hubungan internasional harusnya terdapat usaha interdisipliner
yang berarti tidak melihat kejadian internasional pada satu disiplin ilmu saja. Dengan
memperhatikan poin poin tersebut, dikombinasikan dengan berbagai pendekatan
kontemporer serta upaya membangun perdamaian yang ada, diharapkan dapat meminimalisir
potensi konflik yang akan muncul di masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai