Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan seperti
kerusuhan, kudeta, terorisme,danrefolusi. Konflik mengandung pengertian “benturan” seperti
perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antar individu dan individu, kelompok dan
kelompok, antara individu dan kelompok atau pemerintah. Jadi konflik politik dirumuskan
secara luas sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara sejumlah
individu, kelompok ataupun oraganisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan
sumber-sumber dari keputusan yang dibuat yang dilaksanankan oleh pemerintah. Yang
dimaksud dengan pemerintah meliputi lembaga legeselatif, yudikatif dan eksekutif. Sebaliknya
secara sempit konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat
yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya,juga prilaku penguasa,
beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan diantara
partisipan politik.
Pada dasarnya konflik politik disebabkan oleh dua hal. Konflik politik itu mencakup
kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertical. Yang dimaksud dengan kemajemukan
horizontal ialah struktur masyarakat yang majemuk secara cultural, seperti suku bangsa,
daerah, agama, dan ras. Kemajemukan horizontal cultural dapat menimbukan konflik karena
masing-masing unsur cultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya
dari ancaman kultur lain. Kemajemukan horizontal sosial dapat menimbulkan konflik
disebabkan masing-masing kelompok yang berdasarkan pekerjaan dan profesi serta tempat
tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda bahkan saling bertentangan.
Konflik politik dibagi menjadi dua macam. Kedua macam ini meliputi konflik positif
dan konflik negatif. Yang dimaksud dengan konflik positif ialah konflik yang tak mengancam
eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang
disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud ialah lembaga-lembaga
demokrasi, seperti : partai politik, badan-badan perwakilan rakyat,pengadilan, pemerintah, pers
dan forum-forum terbuka yang lain. Tuntutan akan perubahan yang diajukan oleh sejumlah
kelompok masyarakat melalui lembaga-lembaga itu merupakan contoh konflik positif.
Sebaliknya, konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang
biasanya disalurkan melalui cara-cara nonkonstitusional, seperti kudeta, separatisme,
terorisme, dan revolusi.
Penyebab Konflik
Dalam politik, konflik dan integrasi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Konflik mempunyai hubungan yang erat dengan proses integrasi. Hubungan ini disebabkan
karena dalam proses integrasi terdapat sebuah proses disoraganisasi dan disintegrasi.
Dalam proses disorganisasi terjadi perbedaan faham tentang tujuan kelompok
sosialnya, tentang norma-norma sosial yang hendak diubah, serta tentang tindakan di dalam
masyarakat. Apabila tidak terdapat tindakan dalam menghadapi perbedaan ini, maka dengan
sendirinya langkah pertama menuju disintegrasi terjadi. Jadi, disorganisasi terjadi apabila
perbedaan atau jarak antara tujuan sosial dan pelaksanaan terlalu besar.
Suatu kelompok sosial selalu dipengaruhi oleh beberapa faktor, maka pertentangan
atau konflik akan berkisar pada penyesuaian diri ataupun penolakan dari faktor-faktor sosial
tersebut. Adapun faktor-faktor sosial yang menuju integrasi tersebut ialah tujuan dari
kelompok, sistem sosialnya, tindakan sosialnya.
Hubungan antara konflik dan integarasi tidak dapat dipisahkan, hubungan ini dapat
diibaratkan dari dua sisi mata uang yang sama. Dalam kenyataanya, kita menemukan bahwa
beberapa jenis konflik sudah mencakup tingkat integrasi tertentu. Tahap pertama dari integrasi
tersebut terdiri dari menahan penggunaan kekerasan, yang berarti menggantikan bentuk-
bentuk konflik dengan bentuk yang lainnya. Buktinya dapat kita anlisa dari permasalah yang
terjadi di Aceh. Pada mulanya Konflik yang terjadi di aceh disikapi dengan kekerasan yang
dilakukan oleh pemerintah. Namun, ketika adanya kompromi diantara dua kelompok, maka
keduanya mulai berupaya untuk menghindari kekerasan. Dengan adanya kesepakatan ini,
berarti konflik yang terjadi sudah menuju tahap pertama dari integrasi. Kemudian kedua pihak
memulai mengganti bentuk-bentuk konflik dengan bentuk yang lain.
Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-
tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak
yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik
tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha
mengatasi konflik yang muncul.
Oleh karena itu, dalam menentukan langkah penyelesaian berbagai peristiwa konflik
perlu dicermati dan dianalisis, tidak saja berdasarkan teori-teori konflik universal, tetapi perlu
juga menggunakan paradigma nasional atau lokal agar objektivitas tetap berada dalam bingkai
kondisi, nilai, dan tatanan kehidupan bangsa kita. Faktor-faktor sebagai pendukung analisis
pemecahan konflik tersebut antara lain: aktornya, isu, faktor penyebab, lingkupnya, usaha lain
yang pernah ada, jenis konflik, arah/potensi, sifat kekerasan, wilayah, fase dan intensitas,
kapasitas dan sumbernya, alatnya, keadaan hubungan yang bertikai, dan sebagainya. Cara
penyelesaian konflik lebih tepat jika menggunakan model-model penyelesaian yang
disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat. Ideal apabila penyelesaian tersebut
dilakukan atas inisiatif penuh dari masyarakat bawah yang masih memegang teguh adat lokal
serta sadar akan pentingnya budaya lokal dalam menjaga dan menjamin keutuhan masyarakat.
Hal yang sangat tepat menyelesaikan konflik dengan menggunakan adat lokal atau
kearifan lokal karena selama ini sudah membudaya dalam masyarakat. Oleh karena kearifan
lokal adalah sesuatu yang sudah mengakar dan biasanya tidak hanya berorientasi profan
semata, tetapi juga berorientasi sakral sehingga pelaksanaannya bisa lebih cepat dan mudah
diterima oleh masyarakat. Dengan adat lokal ini diharapkan resolusi konflik bisa cepat
terwujud, bisa diterima semua kelompok sehingga tidak ada lagi konflik laten yang
tersembunyi dalam masyarakat.
Kesimpulan
Konflik tidak selamanya berakibat negatif bagi masyarakat. Jika bisa dikelola dengan
baik, konflik justru bisa menghasilkan hal-hal yang positif. Misalnya, sebagai pemicu
perubahan dalam masyarakat, memperbarui kualitas keputusan, menciptakan inovasi dan
kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan bahwa jika konflik tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan
menimbulkan dampak negatif dan merugikan bagi masyarakat.
Sebagai sebuah catatan bahwa dalam upaya menyelesaikan konflik haruslah dipahami
betul kompleksitas serta kerumitan konflik yang dihadapi. Semua harus sadar bahwa setiap
konflik memiliki kompleksitas masing-masing sehingga tidak bisa begitu saja mengaplikasikan
sebuah teori untuk menyelesaikannya. Semua juga harus ingat bahwa selain teori-teori resolusi
konflik yang ada, sebenarnya masyarakat juga memiliki budaya sendiri dalam menyelesaikan
masalahnya. Namun demikian, penyelesaian konflik sering melupakan adat dan budaya lokal
tersebut. Untuk itulah penting untuk menggali kembali kekayaan budaya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://wahyoefiles.blogspot.co.id/2010/11/konflik-dan-cara-penyelesaiannya.html (Diakses
pada 30 Oktober 2016)