Resolusi Konflik
Kerangka Kerja Membangun Perdamaian
K onflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok)
yang memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda. Konflik atau perbedan
merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari (sunnatulloh) yang
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan hal ini, konflik memiliki dua sisi
mata uang, di satu sisi bernilai negatif dan di sisi lain bernilai positif. Suatu konflik
dapat bernilai positif dan kreatif, jika dikelola dengan baik dan diarahkan secara
produktif untuk membangun situasi yang lebih baik. Konflik perlu direspon melalui
mekanisme transformasi—pembelajaran untuk menentukan strategi penyelesaian
masalah atau dikenal dengan istilah resolusi konflik.
Secara ilmiah terminologi resolusi konflik merujuk pada kebutuhan individu,
kelompok, tim, organisasi atau komunitas untuk melihat perdamaian sebagai suatu
‘proses’ terbuka dan membabak kerangka aksi penyelesaian konflik dalam beberapa
tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Beberapa asumsi yang melandasi
pentahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak
hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dipandang
sebagai sebuah fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki daur kerja atau siklus hidup
yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik secara spesifik sangat dipengaruhi
dinamika dan perubahan lingkungan tertentu. Ketiga, sebab atau akar masalah suatu
konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal—suatu proposisi
kausalitas bivariat tetapi lebih bersifat multidimensi. Keempat, Konflik sosial harus
dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor.
Kelima, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal, apabila dikombinasikan
dengan beragam intervensi dan mekanisme penyelesaian konflik yang relevan. Suatu
mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif, melalui keterpaduan
melibatkan berbagai pihak dan sumber daya dengan upaya komprehensif untuk
mewujudkan perdamaian secara berkelanjutan.
77
Konflik Struktural
Konflik terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap
sumber daya, seperti; tanah, tambang, sumber air, dan hutan. Pihak yang berkuasa
dan memiliki kewenangan formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih
memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap
pihak yang lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah seringkali dijadikan
alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya
menguntungkan salah satu pihak tertentu atau pihak dominan—Pemerintah pusat.
Konflik Kepentingan
Konflik yang terjadi akibat persaingan kepentingan yang dirasakan menjadi kebutuhan
yang harus dipenuhi atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik
kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk memuaskan
kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban, dan biasanya yang menjadi korban
masyarakat. Hal lain yang mengindikasikan konflik kepentingan yaitu terjadinya
persaingan manipulatif atau tidak sehat antarkedua belah pihak. Konflik yang
berdasarkan kepentingan ini bisa terjadi karena masalah yang mendasar (ekonomi,
politik kekuasaan), masalah tata cara atau masalah psikologis.
Konflik Nilai
Konflik terjadi akibat perbedaan sistem nilai atau keyakinan yang dianut oleh pihak-
pihat terkait. Sistem nilai merupakan seperangkat keyakinan atau kepercayan yang
diakui oleh suatu komunitas yang memberi mkna dalam kehidupan. Nilai menjelaskan
mana yang dianggap baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai
tidak harus menyebabkan konflik. Individu, kelompok atau komunitas dapat hidup
berdampingan secara harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai
muncul ketika salah satu pihak berusaha memaksakan suatu sistem nilai kepada pihak
lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif (di dalamnya tidak dimungkinkan
adanya perbedaan kepercayaan).
78
Konflik Data
Konflik data menyangkut keabsahan dan penggunaaan metode analisis data yang
dipergunakan untuk pengambilan keputusan. Konflik ini muncul kepermukaan ketika
salah satu pihak kekurangan informasi dan data yang dibutuhkan untuk mengambil
keputusan, mendapat informasi yang salah, kekurangan data yang valid dan dapat
dipercaya, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan
informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai metode analisis yang berbeda.
Terjadinya konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena hal itu disebabkan
kurangnya komunikasi diantara orang-orang yang berkonflik. Konflik data lainnya bisa
jadi karena ketidakjelasan tujuan dan masalah yang akan di kaji oleh pihak-pihak
yang berkepentingan.
79
menghentikan konflik. Tetapi menghentikan kekerasan bukan satu-satunya kepentingan
dari pihak yang berkonflik. Resolusi konflik menurut pendekatan ini menunggu saat yang
tepat (ripe moment). Peran pihak ketiga untuk mendorong dan mempengaruhi
pertimbangan melalui pemberian reward atau punishment.
Dalam konteks konflik etnis dan agama, setidaknya ada tiga perspektif yang
sering digunakan; Pertama, perspektif primodial yang melihat konflik sebagai suatu
yang tak terhindarkan dalam masyarakat yang secara etnis dan agama berbeda.
Realitas etnik dan agama dianggap sebagai sesuatu yang tetap, tidak berubah alami dan
tidak terhindarkan. Kedua, perspektif instrumentalis melihat bahwa etnis dan agama
bukanlah sebagai penyebab konflik melainkan sebagai sarana komunikasi atau alat
untuk mencapai tujuan dalam konflik. Kedua realitas tersebut digunakan untuk
memobilisasi dalam mencapai tujuan ekonomi maupun politik. Pihak yang terlibat
melakukan mobilisasi sebagai ’political entrepenur’. Perannya melakukan mobilisasi dan
mengambil keuntungan dalam konflik. Ketiga, perspektif konstruktivis yang
berpandangan bahwa etnis dan agama merupakan identitas yang dikonstruksikan secara
sengaja dalam situasi konflik. Perspektif konstruksionis ini merupakan sintesa dari
perspektif primordial dan instrumental. Dalam prakteknya model analisis konflik agama
dan etnis didominasi pendekatan instrumental dan konstruktivis.
80
yang berjudul “A UNHCR Handbook For The Military On Humanitarian Operations”.
Panduan yang sama juga telah dipublikasikan oleh Institute for International Studies,
Brown University pada tahun 1997 dengan judul “A Guide to Peace Support Operations”.
81
berkelanjutan. Tahap ini memiliki pola penyelesaian yang bersifat struktural dan
kultural. Kajian tentang tahap transisi, misalnya, dilakukan oleh Ben Reily (2000, 135-
283) yang telah mengembangkan berbagai mekanisme transisi demokrasi bagi
masyarakat pasca-konflik. Mekanisme transisi tersebut meliputi lima proses yaitu: (1)
pemilihan bentuk struktur negara, (2) pelimpahan kedaulatan negara, (3) pembentukan
sistem politik, (4) pembentukan sistem pemilihan umum, (5) pemilihan bahasa nasional
untuk masyarakat multi-etnik, dan (5) pembentukan sistem peradilan.
Mekanisme rekonsiliasi dilakukan untuk mengurangi potensi konflik lebih dalam
dan berkepanjangan yang akan dialami oleh suatu komunitas akibat rapuhnya kohesi
sosial masyarakat karena kekerasan struktural yang terjadi. Atau peristiwa dabn
kejadian (dinamika sejarah) yang dialami komunitas tersebut.
Mekanisme konsolidasi dalam upaya membangun perdamaian yang berupaya
mendorong pemangku kepentingan yang terlibat konflik untuk terus melakukan
intervensi perdamaian terhadap struktur sosial yang ada. Tujuan utamanya untuk
mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata serta
mengkonstruksikan proses perdamaian secara berkelanjutan yang dapat dijalankan
secara mandiri oleh pihak-pihak yang bertikai. Secara umum kedua tujuan itu dapat
dicapai dengan merancang dua kegiatan yaitu; Pertama, membangun early warning
sytem. Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini
(Widjajanto, 2001). Sistem peringatan dini diharapkan mampu menyediakan informasi
dan ruang bagi pemangku kepentingan dalam resolusi konflik untuk memperkecil
kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata dalam mengelola konflik. Sistem
peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan preventive diplomacy
yang melibatkan pemerintah, lembaga non pemerintah, kebijakan dan lembaga yang
dapat mengurangi pertikaian antarkelompok yang dimanfaatkan untuk mengurangi
penggunaan kekuatan militer–kekerasan dan bentuk represi lain dalam penyelesaian
konflik.
Kedua, Mengembangkan mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan
sebanyak mungkin pemangku kepentingan non militer di berbagai tingkat eskalasi
konflik. Resolusi konflik dapat melibatkan pihak-pihak dari Non-Governmental
Organisations (NGOs), mediator internasional, dan institusi keagamaan.
Keempat tahap resolusi konflik yang telah diuraikan harus di lihat secara
komprehensif dan satu kesatuan yang utuh—tidak dapat dijalankan secara terpisah.
Kegagalan yang terjadi dalam proses penyelesaian konflik atau untuk mencapai tujuan
disatu tahap akan berakibat pola pengelolaan konflik di tahap berikutnya. Tahapan
tersebut mengilustrasikan bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai
suatu proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus
menerus untuk melakukan identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan
kekerasan struktural di suatu komunitas .
82