Anda di halaman 1dari 6

Bahan Bacaan 4.

Resolusi Konflik
Kerangka Kerja Membangun Perdamaian

K onflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok)
yang memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda. Konflik atau perbedan
merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari (sunnatulloh) yang
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan hal ini, konflik memiliki dua sisi
mata uang, di satu sisi bernilai negatif dan di sisi lain bernilai positif. Suatu konflik
dapat bernilai positif dan kreatif, jika dikelola dengan baik dan diarahkan secara
produktif untuk membangun situasi yang lebih baik. Konflik perlu direspon melalui
mekanisme transformasi—pembelajaran untuk menentukan strategi penyelesaian
masalah atau dikenal dengan istilah resolusi konflik.
Secara ilmiah terminologi resolusi konflik merujuk pada kebutuhan individu,
kelompok, tim, organisasi atau komunitas untuk melihat perdamaian sebagai suatu
‘proses’ terbuka dan membabak kerangka aksi penyelesaian konflik dalam beberapa
tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Beberapa asumsi yang melandasi
pentahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak
hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dipandang
sebagai sebuah fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki daur kerja atau siklus hidup
yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik secara spesifik sangat dipengaruhi
dinamika dan perubahan lingkungan tertentu. Ketiga, sebab atau akar masalah suatu
konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal—suatu proposisi
kausalitas bivariat tetapi lebih bersifat multidimensi. Keempat, Konflik sosial harus
dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor.
Kelima, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal, apabila dikombinasikan
dengan beragam intervensi dan mekanisme penyelesaian konflik yang relevan. Suatu
mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif, melalui keterpaduan
melibatkan berbagai pihak dan sumber daya dengan upaya komprehensif untuk
mewujudkan perdamaian secara berkelanjutan.

... Sumber Konflik


Dalam memahami konflik, gejala, intensitas dan cara penyelesaiannya sangat
tergantung sumber penyebab konflik yang ada dalam masyarakat. Terdapat lima
sumber penyebab konflik, yaitu (a) konflik struktural, (b) konflik kepentingan, (c)
konflik nilai, (d) konflik hubungan sosial, dan (e) konflik data (Lakpesda NU, 2008).

77
Konflik Struktural
Konflik terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap
sumber daya, seperti; tanah, tambang, sumber air, dan hutan. Pihak yang berkuasa
dan memiliki kewenangan formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih
memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap
pihak yang lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah seringkali dijadikan
alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya
menguntungkan salah satu pihak tertentu atau pihak dominan—Pemerintah pusat.

Konflik Kepentingan
Konflik yang terjadi akibat persaingan kepentingan yang dirasakan menjadi kebutuhan
yang harus dipenuhi atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik
kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk memuaskan
kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban, dan biasanya yang menjadi korban
masyarakat. Hal lain yang mengindikasikan konflik kepentingan yaitu terjadinya
persaingan manipulatif atau tidak sehat antarkedua belah pihak. Konflik yang
berdasarkan kepentingan ini bisa terjadi karena masalah yang mendasar (ekonomi,
politik kekuasaan), masalah tata cara atau masalah psikologis.

Konflik Nilai
Konflik terjadi akibat perbedaan sistem nilai atau keyakinan yang dianut oleh pihak-
pihat terkait. Sistem nilai merupakan seperangkat keyakinan atau kepercayan yang
diakui oleh suatu komunitas yang memberi mkna dalam kehidupan. Nilai menjelaskan
mana yang dianggap baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai
tidak harus menyebabkan konflik. Individu, kelompok atau komunitas dapat hidup
berdampingan secara harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai
muncul ketika salah satu pihak berusaha memaksakan suatu sistem nilai kepada pihak
lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif (di dalamnya tidak dimungkinkan
adanya perbedaan kepercayaan).

Konflik Hubungan Sosial


Dalam bermasyarakat terjadi jalinan atau interaksi sosial antarpribadi, antarkelompok,
antarkomunitas, dan antarorganisasi. Dalam berinteraksi terdapat kecenderungan
terjadi bias persepsi, streotipe diantara pihak-pihak yang terlibat. Terkadang salah satu
pihak mempersepsikan dengan caranya sendiri sehingga menjadi bias. Stereotip
merupakan salah satu faktor timbulnya prasangka yang akan berlanjut pada
ketidakpercayaan, kecurigaan, kecemburuan, dan diskriminasi. Pada akhirnya terjadi
tindakan kekerasan. Prasangka menimbulkan gejolak sosial dan memungkinkan terjadi
pertentangan dan rusaknya hubungan sosial yang telah terbangun. Prasangka
merupakan sifat negatif terhadap kelompok atau individu tertentu semata-mata karena
keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Prasangka muncul karena adanya bias
persepsi (stereotip) yang memunculkan generalisasi lebih awal tanpa di dasarkan fakta
atau bukti akurat. Hal ini mengakibatkan dampak negatif terhadap pihak lainnya. Jika
sasaran prasangka mencakup kelompok minoritas dalam arti jumlah maupun status.
Prasangka kemudian direalisasikan dalam perilaku atau tindakan diskriminasi kepada
kelompok lain.

78
Konflik Data
Konflik data menyangkut keabsahan dan penggunaaan metode analisis data yang
dipergunakan untuk pengambilan keputusan. Konflik ini muncul kepermukaan ketika
salah satu pihak kekurangan informasi dan data yang dibutuhkan untuk mengambil
keputusan, mendapat informasi yang salah, kekurangan data yang valid dan dapat
dipercaya, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan
informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai metode analisis yang berbeda.
Terjadinya konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena hal itu disebabkan
kurangnya komunikasi diantara orang-orang yang berkonflik. Konflik data lainnya bisa
jadi karena ketidakjelasan tujuan dan masalah yang akan di kaji oleh pihak-pihak
yang berkepentingan.

... Pendekatan Resolusi Konflik


Konflik dalam masyarakat merupakan fenomena sosial yang memiliki karakteristik
dan pola penyelesaian yang unik. Berbagai dimensi dan kerangka penyelesaian
dilakukan melalui proses yang sistematis untuk menemukan alternatif solusi
berdasarkan hasil analisis yang benar. Dimensi konflik perlu dipahami sebagai sebuah
kerangka kerja dan analisis dalam menemukan pola dasar resolusi konflik dalam
membangun perdamaian.
Secara umum ada tiga pendekatan dalam melihat resolusi konflik sebagai
suatu pendekatan; Pertama, pendekatan yang berfokus pada dinamika konflik
(Galtung, 1960). Dalam pendekatan ini, konflik dipandang sebagai fenomena dinamis
dimana reaksi salah satu pelaku konflik ditentukan dari aksi lawannya. Konflik
digambarkan dalam ABC segitiga (triangle) yaitu Atitiude-Behviour-Context (sikap-
perilaku-konteks). Resolusi konflik dilakukan dengan cara melakukan transformasi
transendental, melakukan kompromi atau pembatalan (witdrawal). Resolusi konflik
secara transenden artinya berupaya agar tujuan dari penyelesaian konflik tercapai.
Semua pihak yang terlibat dalam konflik harus berkorban untuk tidak menerima
seratus persen tuntutannya. Resolusi dengan pembatalan dilakukan dengan
menghilangkan tujuan konflik. Dialog dan negosiasi dipandang sebagai salah satu.
Dalam melakukan dialog dan negosiasi perlu dilandasi dengan membangun kekuatan
ekonomi, kekuatan sosial, kekuatan militer dan kekuatan kultural (Confidence
Building Measures).
Kedua, fokus pada kebutuhan dasar. Konflik dilihat sebagai sebuah fenomena
sosial dinamis, Meskipun konflik juga disebabkan oleh munculnya rasa frustasi akan
kebutuhan tertentu. Konflik jenis ini disebut sebagai konflik yang realistik. Konflik
disebabkan ketiadaan mekanisme saluran, misalnya tidak dihargai dalam masyarakat,
tidak mempunyai akses kepada kekuasaan dan politik. Resolusi Konflik diarahkan
kepada pemenuhan kebutuhan dasar yaitu dengan memberikan akses kepada pihak-
pihak yang berpotensi konflik. Cosser kemudian menawarkan pembentukan sebuah
institusi baru yang bersifat formal maupun informal.
Teori Cosser kemudian diperbaiki oleh Edward Azar yang melihat kepada
durasi konflik dan kegagalan dalam resolusi konflik. Azar mengajukan skema resolusi
konflik melalui pendekatan struktural yang tredesentralisasi. Pendekatan ini
diharapkan dapat memuaskan kebutuhan psikologis, ekonomis dan relasional.
Pendapat ini senada dengan pandangan Gurr mengajukan teori "Deprivasi Relatif".
Teori Gurr ini melihat kondisi sistematis yang merubah konflik menjadi kekerasan.
Perspektif ketiga disebut kalkulasi rasional (William Zartman, 1985). Fokus dalam
perspektif ini bahwa pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik memiliki
pertimbangan rasional untuk membuat keputusan, mengatur strategi dan

79
menghentikan konflik. Tetapi menghentikan kekerasan bukan satu-satunya kepentingan
dari pihak yang berkonflik. Resolusi konflik menurut pendekatan ini menunggu saat yang
tepat (ripe moment). Peran pihak ketiga untuk mendorong dan mempengaruhi
pertimbangan melalui pemberian reward atau punishment.
Dalam konteks konflik etnis dan agama, setidaknya ada tiga perspektif yang
sering digunakan; Pertama, perspektif primodial yang melihat konflik sebagai suatu
yang tak terhindarkan dalam masyarakat yang secara etnis dan agama berbeda.
Realitas etnik dan agama dianggap sebagai sesuatu yang tetap, tidak berubah alami dan
tidak terhindarkan. Kedua, perspektif instrumentalis melihat bahwa etnis dan agama
bukanlah sebagai penyebab konflik melainkan sebagai sarana komunikasi atau alat
untuk mencapai tujuan dalam konflik. Kedua realitas tersebut digunakan untuk
memobilisasi dalam mencapai tujuan ekonomi maupun politik. Pihak yang terlibat
melakukan mobilisasi sebagai ’political entrepenur’. Perannya melakukan mobilisasi dan
mengambil keuntungan dalam konflik. Ketiga, perspektif konstruktivis yang
berpandangan bahwa etnis dan agama merupakan identitas yang dikonstruksikan secara
sengaja dalam situasi konflik. Perspektif konstruksionis ini merupakan sintesa dari
perspektif primordial dan instrumental. Dalam prakteknya model analisis konflik agama
dan etnis didominasi pendekatan instrumental dan konstruktivis.

... Tahapan Resolusi Konflik


Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama masih
didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan
bersenjata yang terjadi. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk
memulai proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap
ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving
approach. Tahap terakhir memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini
bertujuan untuk melakukan perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah
kepada pembentukan komunitas perdamaian yang berkelanjutan.

Tahap Pertama: Mencari De-eskalasi Konflik


Pada tahap pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang
memakan korban jiwa, sehingga resolusi konflik difokuskan pada upaya untuk
menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses penyelesaian konflik.
Tahap ini masih berkaitan dengan kondisi konflik bersenjata sehingga proses resolusi
konflik terpaksa harus beriringan dengan proses orientasi militer. Proses resolusi konflik
dapat dimulai, jika terindikasi pihak-pihak yang berselisih akan menurunkan tingkat
eskalasi konfliknya.
Kajian tentang ‘entry point’ ini didominasi oleh pendapat Zartman (1985) tentang
kondisi “hurting stalemate”. Saat kondisi ini muncul, para pihak yang bertikai lebih
terbuka untuk menerima opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya kekerasan
yang meningkat. Pendapat ini didukung oleh Bloomfied, Nupen dan Haris (2000).
Bebeda dengan Burton (1990, 88-90) bahwa pemecahan masalah (resolusi konflik)
justru diupayakan sedapat mungkin dapat diprediksi termasuk biaya yang dibutuhkan.
Dengan demikian, entry point juga dapat dilakukan apabilai tersedia pihak ketiga yang
mampu menurunkan eskalasi konflik. De-eskalasi ini dapat dilakukan dengan melalui
intervensi militer yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga internasional berdasarkan
mandat BAB VI dan VII Piagam PBB. Operasi militer untuk perdamaian dalam rangka
menurunkan eskalasi konflik menjadi tugas berat dari beberapa lembaga internasional.
UNHCR, misalnya, telah menerbitkan suatu panduan operasi militer pada tahun 1995

80
yang berjudul “A UNHCR Handbook For The Military On Humanitarian Operations”.
Panduan yang sama juga telah dipublikasikan oleh Institute for International Studies,
Brown University pada tahun 1997 dengan judul “A Guide to Peace Support Operations”.

Tahap Kedua: Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik


Pada saat de-eskalasi konflik sudah terjadi, maka tahap kedua proses resolusi konflik
dapat dimulai bersamaan dengan penerapan bantuan kemanusiaan (humanitarian
intervention) untuk meringankan beban penderitaan korban konflik. Intervensi
kemanusiaan ini dilakukan dengan menerapkan prinsip mid-war operations. Prinsip ini
yang menjadi dasar dari sebuah perubahan besar model intervensi kemanusiaan yang
mengharuskan tidak lagi bergerak di lingkungan pinggiran konflik bersenjata tetapi harus
berupaya mendekati titik sentral peperangan. Pertimbangan ini didasarkan bahwa korban
dari pihak sipil dan potensi pelanggaran HAM terbesar ada di pusat peperangan dan di
lokasi tersebut. Tidak ada yang harus diupayakan untuk melindungi tempat penting bagi
dengan intervensi pihak ketiga. Dengan demikian, bentuk minimal dari aksi kemanusian
dengan memberikan layanan dan manajemen bantuan terkait masalah kekurangan
komoditas kebutuhan pokok (commodity-based humanitarianism) yang dianggap tidak
memadai lagi. Intervensi kemanusiaan dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk
membuka peluang dilakukannya negosiasi antarelit atau pemangku kepentingan yang
terlibat langsung dalam upaya penyelesaian konflik. Pada tahap ini akan lebih banyak
nuansa politik dengan maksud agar terjadi proses negosiasi dan memperoleh
kesepakatan politik (political settlement) antara pemangku kepentingan yang terlibat
konflik.

Tahap Ketiga: Problem-solving Approach


Tahap ketiga dari proses resolusi konflik adalah pemecahan masalah (problem-solving)
yang berorientasi sosial. Tahap ini diarahkan untuk membangun suatu kondisi yang
kondusif bagi bertentangan untuk melakukan transformasi konflik yang spesifik ke arah
penyelesaian. Transformasi konflik dikatakan berhasil apabila kedua kelompok yang
terlibat konflik dapat mencapai pemahaman bersama (mutual understanding) tentang
cara mengeskplorasi alternatif penyelesaian konflik secara yang langsung dan dapat
dikerjakan komunitas masing-masing. Alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika
ada suatu institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab
fundamental dari suatu konflik.
Penerapan problem-solving approach dikembangkan Rothman (1992:30) yang
menawarkan empat komponen utama proses problem-solving, yaitu; (1) Masing-masing
pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal.
(2) Masing-masing pihak memberikan informasi yang benar kepada pihak lain tentang
kompleksitas konflik mencakup penyebab konflik, trauma yang timbul selama konflik,
dan kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan
proses resolusi konflik. (3) kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola interaksi
yang diinginkan untuk mengkomunikasikan indikasi perdamaian. (4) problem-solving
workshop yang berupaya menyediakan suasana pembelajaran yang kondusif bagi pihak-
pihak yang bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi
konflik.

Tahap Keempat: Peace-Building


Tahap peace-building meliputi transisi, rekonsiliasi dan konsolidasi yang menjadi tahapan
terberat dan membutuhkan waktu lama untuk memperbaiki kondisi masyarakat secara

81
berkelanjutan. Tahap ini memiliki pola penyelesaian yang bersifat struktural dan
kultural. Kajian tentang tahap transisi, misalnya, dilakukan oleh Ben Reily (2000, 135-
283) yang telah mengembangkan berbagai mekanisme transisi demokrasi bagi
masyarakat pasca-konflik. Mekanisme transisi tersebut meliputi lima proses yaitu: (1)
pemilihan bentuk struktur negara, (2) pelimpahan kedaulatan negara, (3) pembentukan
sistem politik, (4) pembentukan sistem pemilihan umum, (5) pemilihan bahasa nasional
untuk masyarakat multi-etnik, dan (5) pembentukan sistem peradilan.
Mekanisme rekonsiliasi dilakukan untuk mengurangi potensi konflik lebih dalam
dan berkepanjangan yang akan dialami oleh suatu komunitas akibat rapuhnya kohesi
sosial masyarakat karena kekerasan struktural yang terjadi. Atau peristiwa dabn
kejadian (dinamika sejarah) yang dialami komunitas tersebut.
Mekanisme konsolidasi dalam upaya membangun perdamaian yang berupaya
mendorong pemangku kepentingan yang terlibat konflik untuk terus melakukan
intervensi perdamaian terhadap struktur sosial yang ada. Tujuan utamanya untuk
mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata serta
mengkonstruksikan proses perdamaian secara berkelanjutan yang dapat dijalankan
secara mandiri oleh pihak-pihak yang bertikai. Secara umum kedua tujuan itu dapat
dicapai dengan merancang dua kegiatan yaitu; Pertama, membangun early warning
sytem. Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini
(Widjajanto, 2001). Sistem peringatan dini diharapkan mampu menyediakan informasi
dan ruang bagi pemangku kepentingan dalam resolusi konflik untuk memperkecil
kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata dalam mengelola konflik. Sistem
peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan preventive diplomacy
yang melibatkan pemerintah, lembaga non pemerintah, kebijakan dan lembaga yang
dapat mengurangi pertikaian antarkelompok yang dimanfaatkan untuk mengurangi
penggunaan kekuatan militer–kekerasan dan bentuk represi lain dalam penyelesaian
konflik.
Kedua, Mengembangkan mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan
sebanyak mungkin pemangku kepentingan non militer di berbagai tingkat eskalasi
konflik. Resolusi konflik dapat melibatkan pihak-pihak dari Non-Governmental
Organisations (NGOs), mediator internasional, dan institusi keagamaan.
Keempat tahap resolusi konflik yang telah diuraikan harus di lihat secara
komprehensif dan satu kesatuan yang utuh—tidak dapat dijalankan secara terpisah.
Kegagalan yang terjadi dalam proses penyelesaian konflik atau untuk mencapai tujuan
disatu tahap akan berakibat pola pengelolaan konflik di tahap berikutnya. Tahapan
tersebut mengilustrasikan bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai
suatu proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus
menerus untuk melakukan identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan
kekerasan struktural di suatu komunitas .

82

Anda mungkin juga menyukai