0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
63 tayangan13 halaman
Teks tersebut membahas tentang pelatihan kepemimpinan yang mencakup pengertian manajemen konflik, teori-teori konflik, dan penerapan manajemen konflik dalam organisasi. Secara ringkas, manajemen konflik adalah proses mengarahkan perselisihan menuju penyelesaian dengan cara merangsang, meredakan, atau menyelesaikan konflik secara konstruktif untuk mencegah gangguan terhadap organisasi.
Teks tersebut membahas tentang pelatihan kepemimpinan yang mencakup pengertian manajemen konflik, teori-teori konflik, dan penerapan manajemen konflik dalam organisasi. Secara ringkas, manajemen konflik adalah proses mengarahkan perselisihan menuju penyelesaian dengan cara merangsang, meredakan, atau menyelesaikan konflik secara konstruktif untuk mencegah gangguan terhadap organisasi.
Teks tersebut membahas tentang pelatihan kepemimpinan yang mencakup pengertian manajemen konflik, teori-teori konflik, dan penerapan manajemen konflik dalam organisasi. Secara ringkas, manajemen konflik adalah proses mengarahkan perselisihan menuju penyelesaian dengan cara merangsang, meredakan, atau menyelesaikan konflik secara konstruktif untuk mencegah gangguan terhadap organisasi.
Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Dosen Pengampu : Ugung Dwi Ario Wibowo, S.Psi, M.Si.
DisusunOleh : Dian Pradhandini 1107010007
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2014
Manajemen Konflik A. Pengertian Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik. Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses. Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatifdan ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran-perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan. 1. Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras/ 2. Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai. 3. Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat. 4. Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. 5. Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif. Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.
Menurut Robbin (1996) Keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
B. Teori-teori konflik Teori-teori utama mengenai sebab-sebab konflik adalah: 1. Teori hubungan masyarakat Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran: meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya. 2. Teori kebutuhan manusia Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi. Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu. 3. Teori negosiasi prinsip Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak- pihak yang mengalami konflik. Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak. 4. Teori identitas Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak- pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka. 5. Teori kesalah pahaman antar budaya Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran: menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya. 6. Teori transformasi konflik Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran: mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak yang berkonflik, mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan. C. Penerapan Manajemen Konflik Dalam Organisasi Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, hal ini disebabkan karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik. Perubahan institusional yang terjadi, baik direncanakan atau tidak, tidak hanya berdampak pada perubahan struktur dan personalia, tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan organisasional yang berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, jika konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu keseimbangan sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara orang-orang yang terlibat. Untuk itulah diperlukan upaya untuk mengelola konflik secara serius agar keberlangsungan suatu organisasi tidak terganggu. Stoner mengemukakan tiga cara dalam pengelolaan konflik, yaitu: a. Merangsang konflik di dalam unit atau organisasi yang prestasi kerjanya rendah karena tingkat konflik yang terlalu kecil. Termasuk dalam cara ini adalah: 1. minta bantuan orang luar 2. menyimpang dari peraturan (going against the book) 3. menata kembali struktur organisasi 4. menggalakkan kompetisi memilih manajer yang cocok b. Meredakan atau menumpas konflik jika tingkatnya terlalu tinggi atau kontra-produktif. c. Menyelesaikan konflik. metode penyelesaian konflik yang disampaikan Stoner adalah: 1. Dominasi dan penguasaan, hal ini dilakukan dengan cara paksaan, perlunakan, penghindaran, dan penentuan melalui suara terbanyak. 2. Kompromi 3. Pemecahan masalah secara menyeluruh. Konflik yang sudah terjadi juga bisa diselesaikan lewat perundingan. Cara ini dilakukan dengan melakukan dialog terus menerus antar kelompok untuk menemukan suatu penyelesaian maksimum yang menguntungkan kedua belah pihak. Melalui perundingan, kepentingan bersama dipenuhi dan ditentukan penyelesaian yang paling memuaskan. Gaya perundingan untuk mengelola konflik dapat dilakukan dengan cara : pencairan, yaitu dengan melakukan dialog untuk mendapat suatu pengertian keterbukaan, pihak-pihak yang terlibat bisa jadi tidak terbuka apalagi jika konflik terjadi dalam hal-hal sensitif dan dalam suasana yang emosional belajar empati, yaitu dengan melihat kondisi dan kecemasan orang lain sehingga didapatkan pengertian baru mengenai orang lain mencari tema bersama, pihak-pihak yang terlibat dapat dibantu dengan cara mencari tujuan-tujuan bersama menghasilkan alternatif, hal ini dilakukan dengan jalan mencari alternatif untuk menyelesaikan persoalan yang diperselisihkan, menanggapi berbagai alternatif, setelah ditemukan alternatif-alternatif penyelesaian hendaknya pihak-pihak yang terlibat dalam konflik mempelajari dan memberikan tanggapan mencari penyelesaian, sejumlah alternatif yang sudah dipelajari secara mendalam dapat diperoleh suatu konsensus untuk menetapkan suatu. Penyelesaian membuka jalan buntu, kadang kala ditemukan jalan buntu sehingga pihak ketiga yang obyektif dan berpengalaman dapat diikutsertakan untuk menyelesaikan masalah mengikat diri kepada penyelesaian di dalam kelompok, setelah dihasilkan penyelesaian yang disepakati, pihak-pihak yang terlibat dapat memperdebatkan dan mempertimbangkan penyelesaian dan mengikatkan diri pada penyelesaian itu mengikat seluruh kelompok, tahap terakhir dari langkah penyelesaian konflik adalah dengan penerimaan atas suatu penyelesaian dari pihak- pihak yang terlibat konflik. Model penanganan konflik yang lain juga disampaikan oleh Sondang, yaitu dengan cara tidak menghilangkan konflik, namun dikelola dengan cara : bersaing, kolaborasi, mengelak, akomodatif, kompromi. Cara lain juga dikemukakan Theo Riyanto, yaitu dengan secara dini melakukan tindakan yang sifatnya preventif, yaitu dengan cara : menghindari konflik mengaburkan konflik Mengatasi konflik dengan cara : 1. Dengan kekuatan (win lose solution) 2. Dengan perundingan. D. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict) Menurut Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah: 1. Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach) Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie) didekati dengan cara menggunakan hirarki struktural (structural hierarchical). 2. Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative Intervention in Lateral Conflict) Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak. 3. Pendekatan Sistem (System Approach) Model pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan- kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem (system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul. Pendekatan ini menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi. 4. Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization) Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya saling ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur. E. Penyebab Konflik Konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: a. Faktor Manusia 1. Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya. 2. Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku. 3. Timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter. b. Faktor Organisasi 1. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya 2. Apabila sumber daya baik berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi. 3. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi. Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya, unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan untuk memajukan perusahaan. 4. Interdependensi tugas konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya. 5. Perbedaan nilai dan persepsi suatu kelompok tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka mendapat tugas- tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior mendapat tugas yang ringan dan sederhana. 6. Kekaburan yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih. 7. Masalah status. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam posisinya dalam status hirarki organisasi. 8. Hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar unit/ departemen. F. Pandangan Mengenai Konflik Terdapat tiga pandangan mengenai konflik. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan yang berbeda mengenai apakah konflik merugikan, hal yang wajar atau justru harus diciptakan untuk memberikan stimulus bagi pihak-pihak yang terlibat untuk saling berkompetesi dan menemukan solusi yang terbaik, pandangan itu adalah sebagai berikut : 1. Pandangan Tradisional (The Traditional View) Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. 2. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View) Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. 3. Pandangan Interaksionis (The Interactionist View) Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat(viable), kritis-diri(self-critical), dan kreatif G. Jenis Konflik Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik berdasarkan pihak- pihak yang terlibat di dalamnya, ada yang membagi konflik dilihat dari fungsi dan ada juga yang membagi konflik dilihat dari posisi seseorang dalam suatu organisasi. 1. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi Jenis konflik ini disebut juga konflik intra keorganisasian. Dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi, Winardi membagi konflik menjadi empat macam. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut : a. Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan. b. Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat. c. Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi. d. Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. 2. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya. Berdasarkan pihak- pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner membagi konflik menjadi lima macam , yaitu: a. Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya. Termasuk dalam konflik individual ini, menurut Altman, adalah frustasi, konflik tujuan dan konflik peranan. b. Konflik antar-individu (conflict between individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain. c. Konflik antara individu dan kelompok (conflict between individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok tempat ia bekerja. d. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing- masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya. Masalah ini terjadi karena pada saat kelompok-kelompok makin terikat dengan tujuan atau norma mereka sendiri, mereka makin kompetitif satu sama lain dan berusaha mengacau aktivitas pesaing mereka, dan karenanya hal ini mempengaruhi organisasi secara keseluruhan . e. Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama. 3. Konflik Dilihat dari Fungsi Dilihat dari fungsi, Robbins membagi konflik menjadi dua macam, yaitu: a. konflik fungsional (Functional Conflict) Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. b. konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict) Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional
Daftar Pustaka http://swestimahardini.wordpress.com/2010/10/22/makalah-mengenai-konflik-organisasi/ http://musliadiuhamka.blogspot.com/2012/04/manajemen-konflik.html http://ahmaftuhin.wordpress.com/2013/11/24/makalah-tentang-manajemen-konflik/ http://dwilindawaty86.blogspot.com/2011/04/makalah-tentang-manajemen-konflik.html
Manajemen konflik dalam 4 langkah: Metode, strategi, teknik-teknik penting, dan pendekatan operasional untuk mengelola dan menyelesaikan situasi konflik