Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang
mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar
dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak
luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang
akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi
jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil
para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu
yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan
mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau
agresif.
Sementara Minnery menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama
halnya dengan perencanaan kota. Minnery juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik
perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa
pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami
penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal.
Dari pandangan baru dapat kita lihat bahwa pimpinan atau manajer tidak hanya wajib
menekan dan memecahkan konflik yang terjadi, tetapi juga wajib untuk mengelola/memanaj
konflik sehingga aspek-aspek yang membahayakan dapat dihindari dan ditekan seminimal
mungkin, dan aspek-aspek yang menguntungkan dikembangkan semaksimal mungkin.
Pengertian manajemen konflik sebagai proses pihak yang terlibat konflik atau pihak
ketiga menyusun strategi konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan.
Meningkatkan kreativitas
Dalam bukunya yang berjudul From conflict to creativity: How toresolving
workplace disaggrement can inspire innovation and pdoductivity,Sy, Landau, Barbara
Landau, dan Daryl Landau (2001) menguraikan bahwa konflik yang terjadi di tempat
kerja dapat dimanajemeni untuk menciptakan kreatifitas dan inovasi, serta mengembangkan
produktivitas.
Gaya manajemen konflik adalah pola perilaku orang dalam menghadapi situasi konflik.
Stella Ting-Tooney (2005) menggunakan istilah “Gaya komunikasi konflik bukan gaya
manajemen konflik”. Sebagai contoh, seorang pimpinan yang otokratis cenderung
menggunakan gaya manajemen konflik represif, supersif, kometitif, serta agresi dan berupa
mengalahkan lawan konfliknya. Sebaliknya, seorang pemimpin yang demokratis jika
menghadapi konflik akan menggunakan musyawarah, mendengarkan pendapat lawan
konfliknya dan mencari win&win solution.
Ada macam-macam label deskriptif untuk lima macam gaya, sebagai berikut:
Gaya pesaing
Gaya bersaing berorientasi pada kekuasaan, dan konflik dihadapi dengan strategi
menang/kalah. Pada sisi negatif, seorang pesaing mungkin melakukan tekanan, intimidasi
bahkan paksaan kepada pihak-pihak lain yang terlibat dalam konflik. Pada sisi positif, gaya
bersaingan demikian mungkin diperlukan apabila dituntut adanya suatu tindakan desisif
cepat, atau apabila perlu dilaksanakan tindakan-tindakan penting yang tidak bersifat populer.
Manajer yang menghindari diri dari konflik
Gaya memanaje konflik dengan menghindarkan diri dari konflik cenderung kearah
bersikap netral sewaktu adanya keharusan untuk mengambil posisi atau sikap tertentu. Gaya
ini dapat diterapkan apabila konflik yang terjadi tidak berdampak terlalu banyak terhadap
efektivitas manajerial. Tindakan ini tepat untuk mengurangi ketegangan yang terjadi.
Akomodator
Gaya akomodator menghendaki konflik diselesaikan tanpa masing-masing pihak yang
terlibat dalam konflik, menyajikan pandangan-pandangan mereka dengan keras dan berarti.
Gaya ini bermanfaat apabila sebuah konflik lebih penting bagi orang lainnya, memberikan
pengalaman dan perasaan menang bagi orang lain, dan menjadikan orang tersebut lebih
reseptif tentang persoalan lain yang lebih penting.
Manajemen yang Menekankan Kompromi
Gaya manajemen ini adalah gaya yang paling realitas yang dapat memberikan hasil
dalam jangka waktu yang disediakan untuk menyelesaikan konflik. Apabila dalam
kompromi para partisipan turut berbagi dalam kondisi kemenangan maupun kekalahan,
maka ini merupakan variasi dari strategi “menang-menang”. Akan tetapi apabila kompromi
dilakukan untuk melunakkan persoalan dan menggerogoti kepercayaan diantara pihak yang
berkonflik, maka ini mendekati strategi “kalah-kalah”.
Kolaborator
Gaya manajemen konflik ini bisa dilakukan apabila pihak-pihak yang berkonflik
merumuskan kembali persoalannya dan kemudian dicari pemecahannya. Manajemen konflik
gaya ini perlu dilakukan apabila persoalan-persoalan yang menimbulkan konfli penting bagi
kedua belah pihak yang berkonflik. Maka dari itu sekalipun sulit dan membutuhkan biaya-
biaya besar tetap harus diupayakan.
1) Teori Grid
Kerangka teori gaya manajemn konflik itu disusun berdasarkan dua dimensi : (1)
perhatian manajer terhadap orang/bawahan (concern for people) pada sumbu horizontal
dan (2) perhatian manajer terhadap produksi (concern for production) pada sumbu
vertical. Berdasarkan tinggi rendahnya kedua dimensi tersebut, mereka mengembangkan
lima jenis gaya manajemen konflik, antara lain :
a. Memaksa (forcing)
Perhatian seorang manajer yang tinggi terhadap produksi, sedangkan perhatian
rendahnya terhadap bawahannya. Ia berupaya memaksakan kehendaknya untuk
meningkatkan produksi dengan mengabaikan orang lain jika menghadapi konflik.
b. Konfrontasi (confrontation)
Perhatian seorang manajer yang tinggi terhadap produksi dan bawahannya
cenderung menggunakan konfrontasi dalam memanajemen konflik. Ia berupaya
berkonfrontasi untuk meningkatkan produksi dan dalam waktu yang bersamaan
berkonfrontasi untuk memperhatikan orang yang dipimpinnya.
c. Kompromi (compromising)
Perhatian seorang manajer yang perhatiannya rendah terhadap produksi dan
bawahannya biasanya akan menarik diri jika mengahdapi konflik. Ia mau
berkompromi mengenai tingkat produksi organisasi demi memenuhi kesejahteraan
bawahannya.
d. Menarik diri (withdrawal)
Perhatian seorang manajer yang perhatiannya rendah terhadap produksi dan
bawahannya biasanya menarik diri jika menghadapi konflik. Ia lebih senang bersikap
secara pasif, seolah-olah tidak terjadi konflik dan tidak mau menghadapi konflik.
e. Mengakomodasi (smoothing)
Perhatian seorang manajer yang perhatiannya rendah terhadap produksi,
sedangkan tinggi perhatiannya terhadap bawahannya cenderung memberikan
akomodasi jika menghadapi konflik. Ia menyerah kepada keinginan lawan konfliknya
emi hubungan yang baik dan kesejahteraan bawahannya.
3) Teori Rahim
M.A. Rahim (1983) mengembangklan model gaya manajemen konflik yang tidak
jauh berbeda dengan model yang dikemukakan oleh Thomas dan Killman (1974).
Klasifikasi gaya manajemen konflik Rahim disusun berdasrakan dua dimensi : (1)
memperhatikan orang lain pada sumbu horizontal dan (2) memperhatikan diri sendiri.
Berdasarkan tinggi rendahnya, jenis gaya manajemen dibagi menjadi lima, antara lain :
a. Dominasi (dominating)
Pihak yang trelibat konflik, hanya berupa memenuhi tujuannya sendiri dan tidak
memperhatikan kebutuhan lawan konfliknya.
b. Integrasi (integrating)
Pihak yang trelibat konflik berusaha menciptakan resolusi konflik yang secara
maksimal memenuhi tujuan dirinya sendiri dan tujuan lawan konfliknya.
c. Komromi (compromising)
Pengguna gaya ini berusaha memenuhi sebagian tujuannya dan tujuan lawan
onfliknya tanpa berupaya memaksimalkannya.
d. Menghindar (avoiding)
Pihak yang terlibat konflik menolak untuk berdiskusi mengenai konflik yang
terjadi. Ia menolak untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan kebutuhan lawan
konfliknya.
e. Menurut (obliging)
Pihak yang terlibat konflik, mengombinasikan perhatiannya yang tinggi
terhadap lawan konfliknya dengan perhatiannya yang rendah terhadap dirinya sendiri.
5. Metode-Metode Manajemen Konflik