Anda di halaman 1dari 18

BAB 3

MANAJEMEN KONFLIK

PENGERTIAN DAN TUJUAN MANAJEMEN KONFLIK


Pengertian Manajeme Konflik
Salah satu topik yang menjadi perhatian serius para pakar manajemen adalah manajemen
konflik. Mereka memformulasikan berbagai definisi mengenai manajemen konflik (lihat Tabel
8). Berbagai definisi tersebut memiliki formulasi yang berbeda, tetapi mempunyai inti atau
makna yang sama. Buku yang anda baca ini mendefinisikan manajemen konflik sebagai proses
pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya
untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan.
Dari definisi tersebut, terdapat sejumlah kata kunci yang perlu mendapatkan penjelasan
lebih jauh.
(1) Pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga. Manajemen konflik bisa dilakukan oleh pihak
yang terlibat konflik untuk menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Dalam menghadapi
konflik, pihak yang terlibat konflik berupaya mengelola konflik untuk menciptakan solusi
yang menguntungkan dengan menggunakan berbagai sumber sekecil dan seefisien mungkin.
Manajemen konflik juga dapat dilakukan oleh pihak ketiga mediator, arbiter, atau
ombudsman--yang mendapat tugas dari pihak-pihak yang terlibat konflik menyesuaikan
konflik. Pihak ketiga bisa berupa suatu organisasi atau perusahaan, di mana pihak-pihak
yang terlibat konflik menjadi anggota atau pegawainya.
(2) Strategi konflik. Manajemen konflik merupakan proses penyusunan strategi konflik sebagai
rencana untuk memanajemeni konflik. Jika tidak dikendalikan, konflik bisa berkembang
menjadi konflik dekstruktif, di mana masing-masing pihak akan memfokuskan perhatian,
tenaga, dan pikiran serta sumber-sumber organisasi bukan untuk menembangkan
produktivitas, tetapi untuk merusak dan menghancurkan lawan konfliknya. Hal ini berarti
merusak potensi produktivitas mereka. Akibatnya, kinerja mereka akan menurun sehingga
menurunkan produktivitas sistem sosial.
(3) Mengendalikan konflik. Bagi pihak-pihak yang terlibat konflik, manajemen konflik
merupakan aktivitas untuk mengendalikan dan mengubah koflik demi menciptakan keluaran
konflik yang menguntungkannya (atau, minimal, tidak merugikannya). Bagi pihak ketiga,
manajemen konflik merupakan upaya untuk mengarahkan konflik dari konflik dekstruktif
memnjadi konflik konstrukstif. Konflik konstruktif akan mengembangkan kreativitas dan
inovasi pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menciptakan win & win solution.
(4) Resolusi konflik. Jika manajemen konflik dilakukan oleh pihak yang terlibat konflik, hal ini
bertujuan untuk menciptakan solusi konflik yang menguntungkan. Jika dilakukan oleh pihak
ketiga, manajemen konflik untuk bertujuan menciptakan solusi yang bisa diterima oleh
pihak-pihak yang terlibat konflik.
Jika manajemen konflik dilakukan oleh organisasi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
dalam organisasi, tujuannya juga untuk menciptakan kesehatan organisasi. Konflik dalam
organisasi yang tidak bisa dimanajemeni dengan baik akan berkembang menjadi konflik
dekstruktif sehingga memengaruhi kesehatan organisasi. Organisasi yang sehat tidak hanya
akan survive dalalm perubahan lingkungan organisasi, tetapi juga mampu menyesuaikan diri
akan berkembang dalam jangka panjang. Sebaliknya, organisasi yang mengalami konflik
berkepanjangan akan menghabiskan energinya untuk saling merusak dan menghancurkan.
Hal ini akan membuat organisasi tidak sehat atau sakit. Berikut adalah karakteristik dari
sistem sosial yang sehat.
(5) Kemampuan beradaptasi. Organisasi yang sehat mampu beradaptasi dengan perubahan
lingkungan eksternal dan internalnya. Sebagai contoh, ketika terjadi reformasi di Indonesia,
banyak perusahaan yang bangkrut karena tidak mampu bereaksi dan menyesuaikan diri
dengan perkembangan lingkungannya, yaitu krisis keuangan dan ekonomi, krisis politik,
serta krisis sosial.
(6) Memfokuskan pada tujuan. Aktivitas dan anggota organisasi yang sehat akan memfokuskan
diri pada pencapaian tujuan yang rasional dan visibel. Dalam keadaan krisis dilingkungan
-nya, organisasi--jika diperlukan--harus mampu untuk mengubah tujuannya dan mengarah
-kan aktivitas anggotanya untuk mencapai tujuan tersebut.
 Mempunyai kemampuan mengontrol dan mengkoordinasi sumber-sumber. Ketika
pemimpin melakukan perubahan (dalam keadaan konflik), kebutuhan akan sumber-
sumber organisasi akan meningkat dan organisasi semakin mengalami keterbatasan
sumber-sumber yang diperlukan. Dalam situasi ini, organisasi yang sehat mampu
mengontrol aliran sumber, memprioritaskan penggunaan sumber, dan mencegah
penggunaan sumber yang tidak diperlukan, seperti korupsi dan pemborosan sumber-
sumber.
 Kreativitas dan inovasi. Organisasi yang sehat adalah organisasi yang kreatif dan
inovatif. Sumber kreativitas organisasi berasal dari kreativitas dan inovasi anggotanya.
Dalam dunia usaha, kreativitas dan inovasi merupakan sumber dari produk baru,
penciptaan pasar baru, dan peningkatan keuntungan.
 Mengembangkan dan mempertahankan kualitas sumber daya manusia. Kualitas
sumber daya manusia merupakan sumber utama kesehatan organisasi. Sumber daya
manusia yang berkualitas bukan saja kreatif dan inovatif, tetapi juga mempunyai etos
kerja serta moral dan moril yang tinggi. Etos kerja tinggi mendorong anggota
organisasi untuk bekerja keras dan menganggap kerja merupakan kewajiban hidupnya.
Moral dan moril tinggi merupakan dasar dari integritas, kejujuran, percaya diri,
antusiasme, kesetiakawanan sosial, serta kecerdasaan emosional dan spiritual tinggi.
Di samping hal ini juga merupakan dasar kemampuan pengembangan dan
mempertahankan kekompakan anggota organisasi.
 Organisasi yang sehat merupakan organisasi yang belajar dan tumbuh berkembang
secara terus-menerus. Istilah pembelajaran organisasi (learning organization)
dipopulerkan oleh Peter M. Senge (1994). Pembelajaran organisasi merupakan
aktivitas pembelajaran sehingga memacu suatu organisasi untuk belajar secara terus-
menerus. Menurut Senge, konsep pembelajaran organisasi meliputi.
a. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan konsumen dan lingkungannya.
b. Memfokuskan diri pada pembelajaran generatif, yaitu belajar untuk menciptakan
dan menyesuaikan diri serta belajar untuk menyelasaikan sesuatu.
c. Belajar generatif memerlukan cara baru melihat dunia untuk memahami sesuatu
dengan cara yang lebih baik.

Tabel 8
Definisi Manajemen Konflik

Lynne Irvine (1998) “The strategy which organizations and individual employ
to identify and manage differences, thereby reducing the
human and financial costs of unmanaged conflict, while
harnessing conflict as a source of innovation and
improvement.”
Wikipedia “Conflict management refers to the long-term
management of intractable conflict. It is label for the
variety of ways by which people handle grievances—
standing up for what they consider to be right and
against what the consider to be wrong. Those ways
include such diverse phenomenon as gossip, ridicule,
lynching, terrorism, warfare, feuding, genocide, law,
mediation, and avoidance.”
United Stated Transfortation “Identifies and takes steps to prevent potential situations
Security Administration that could result in unpleasant confrontations… resolve
conflicts and disagreements in a positive and constructive
manner to minimize negative impact.
Organisasi harus belajar dari konflik yang terjadi di dalam organisasi. Konflik merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari dan akan terus terjadi. Selain berakibat negatif, konflik bisa
juga menimbulkan hal yang positif bagi organisasi. Setiap anggota organisasi harus belajar dari
setiap konflik yang terjadi, memahaminya lebih baik, dan menciptakan mekanisme untuk
memanajemeni konflik demi meningkatkan produktivitas organisasi.

Tujuan Manajemen Konflik


Konflik merupakan suatu fenomena yang sering kali tidak bisa dihindari dan menghambat
pencapaian tujuan organisasi. Sumber - sumber organisasi—sumber daya manusia, sumber daya
finansial, dan sumber daya teknologi--digunakan untuk menyelesaikan suatu konflik bukan
untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Oleh karena itu, manajemen konflik harus
dilakukan secara sistematis untuk mencapai suatu tujuan. Berikut adalah tujuan-tujuan dari
manajemen konflik
1. Mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri pada visi,
misi dan tujuan organisasi
Organisasi yang mapan memiliki visi, misi, dan tujuan yang strategis. Ketiganya harus
dicapai atau direalisasikan dengan cara sistematis dan dalam suatu kurun waktu yang
direncanakan. Konflik dapat mengganggu perhatian serta mengalihkan energi dan
kemampuan anggota organisasi untuk mencapai visi, misi, dan tujuan yang strategis dari
organisasinya. Jika tidak dimanajemeni dengan baik, konflik akan berkembang menjadi
konflik dekstruktif bagi pihak-pihak yang terlibat konfli. Mereka memfokuskan diri pada
konflik bukan pada pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi.
2. Memahami orang lain dan menghormati keberagaman
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang anggota organisasi tidak mungkin bekerja sendiri,
tetapi memerlukan bantuan rekan kerjanya. Ia harus berkomunikasi dengan baik kepada
rekannya. Untuk itu, ia harus memahami keragaman karakteristik rekan sekerjanya pada
berbagai level eselon organisasi. Ia harus memahami bahwa rekan kerjanya memiliki
berbagai perbedaan, seperti suku, agama, bahasa, pribadi, perilaku, pola pikir, dan sebagai
-nya. Manajemen konflik harus diarahkan agar pihak-pihak yang terlibat konflik memahami
keragaman tersebut. Tanpa pemahaman yang baik, konflik tidak saja akan selalu terjadi,
tetapi sukar untuk dimanajemeni dengan baik.
3. Meningkatkan kreativitas
Dalam bukunya yang berjudul From conflict to creativity: How to resolving workplace
disagreements can inspire innovation and productivity, Sy. Landau, Barbara Landau, dan
Daryl Landau (2001) menguraikan bahawa konflik yang terjadi di tempat kerja dapat
dimanajemeni untuk menciptakan kreativitas dan inovasi, serta mengembangkan
produktivitas. Ketiga praktisi manajemen konflik ini mengemukakan jika dimanajemeni
dengan baik konflik mampu mengembangkan kreativitas dan inovasi untuk mengembangkan
pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian, kreativitas dan inovasi ini digunakan untuk
mengembangkan produktivitas organisasi.
4. Meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai
informasi dan sudut pandang
Sering kali, konflik yang terjadi berkaitan dengan keputusan yang harus diambil oleh
organisasi. Suatu keputusan yang baik atau bijak merupakan keputusan yang bertumpu pada
berbagai alternatif keputusan yang didukung oleh informasi yang akurat. Keputusan yang
diambil kemungkinan besar akan salah—tidak tepat atau tidak bijak bagi organisasi—jika
tidak berdasarkan pengembangan dan pemilihan alternatif berdasarkan informasi yang
akurat. Konflik atau perbedaan pendapat memfasilitasi terciptanya berbagai alternatif
keputusan dan penggunaan informasi yang akurat untuk memilih salah satu alternatif yang
terbaik. Manajemen konflik harus memfasilitasi terjadinya alternatif dan pemilihan salah
satu alternatif terbaik berdasarkan informasi yang akurat.
5. Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman bersama, dan
kerja sama
Organisasi merupakan sistem sosial yang terdiri atas subsistem-subsistem, seperti unit-unit
kerja, eselon, tim kerja, serta fungsi dan peran. Intinya, subsistem-subsistem tersebut berisi
sumber daya manusia. Semua subsistem--dan para anggotanya harus bekerja bersama, saling
mendukung, dan saling membantu untuk mencapai tujuan organisasi. Konflik harus mampu
mengooptasi dan menciptakan pygmallion-effect bagi anggota organisasi. Mengooptasi
adalah mengikutsertakan anggota organisasi dalam perencanaan dan pelaksanaan, serta
mengevaluasi aktivitas organisasi. Pygmallion-effect adalah membesarkan hati para
anggota organisasi bahwa mereka mempunnyai kemampuan dan kompetisi untuk ikut serta
dalam pencapaian tujuan organisasi.
6. Meciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik
Organisasi yang mapan dapat belajar dari berbagai situasi konflik yang dihadapi. Dari
pembelajaran tersebut, prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik dikembangkan. Jika
prosedur dan mekanisme berhasil menyelesaikan konflik secara berulang-ulang, hal ini akan
menjadi norma budaya organisasi. Jika tidak dimanajemeni dengan baik, konflik menyebab
-kan disfungsional organisasi. Konflik akan berkembang dari konflik konstruktif menjadi
konflik dekstruktif.
7. Menimbulkan iklim organisasi konflik dan lingkungan kerja yang tidak menyenang
-kan: takut, moral rendah, sikap saling curiga
Iklim organisasi merupakan persepsi anggota organisasi mengenai apa yang terjadi secara
rutin dalam lingkungan internal organisasi. Persepsi tersebut bisa bersifat positif dan bisa
juga bersifat negatif. Jika persepsinya negatif, perilaku yang kerja negatif akan tercipta
sehingga memengaruhi kinerja pegawai dan kinerja organisasi. Konflik dekstruktif
menciptakan iklim organisasi yang negatif.
8. Meningkatkan terjadinya pemogokan
Konflik bisa menciptakan kecurigaan antara buruh dan manajemen perusahaan. Kecurigaan
akan merusak komunikasi di antara keduanya. Hal ini juug mengarahkan terbentuknya
konflik dekstruktif yang akan meningkatkan pemogokan. Sebagai contoh, di sebagian
perusahaan terutama perusahaan padat karya di Indonesia, para buruh mencurigai
manajemen perusahaan tidak mempunyai iktikad baik terhadap peningkatan kehidupan
mereka yang menimbulkan pemogokan buruh.
9. Mengarah pada sabotase bagi pihak yang kalah dalam konflik
Jika konflik berakhir dengan win & lose solution, serta pihak yang kalah dendam atas
kekalahannya, agresi dalam bentuk sabotase akan terjadi. Bentuk sabotase bisa berupa
penggagalan pelaksanaan program atau proyek. Bentuk lain bisa berupa perusakan fasilitas
produksi dan distribusi.
10. Mengurangi loyalitas dan komitmen organisasi
Jika konflik terjadi antara manajemen organisasi dan karyawan atau atasan dan karyawan
(bawahan), karyawan merasa mendapat perlakuan yang tidak kayak atau tidak adil. Hal ini
akan menurunkan loyalitas dan komitmen organisasi. Tidak adanya ketentraman bekerja
menyebabkan karyawan akan mencari kerja di tempat lain sehingga meningkatkan
terjadinya turnover
11. Terganggunya proses produksi dan operasi
Konflik, terutama konflik dekstruktif, akan mengalihkan berbagai sumber-sumber organsasi,
seperti tenaga, anggaran, dan waktu. Sumber -sumber yang seharusnya bisa digunakan untuk
proses produksi dan operasi digunakan untuk menyelesaikan konflik. Hal ini akan
menganggu proses produksi dan operasi organsasi sehingga menurunkan produktivitas
organisasi.
12. Meningkatkan biaya pengadilan karena tututan karyawan yang mengajukan konflik
-nya ke pengadilan
Jika konflik antara manajemen perusahaan dan karyawan tidak bisa diselesaikan melalui
mekanisme penyelesaian konflik perusahaan (peraturan perusahaan, proses bipatrit dan
proses tripartit), karyawan akan membawa konflik ke pengadilan. Hal ini jika yang terjadi
akan membuat perusahaan dan atau karyawan harus menyediakan biaya pengadilan dalam
bentuk biaya penasehat hukum dan biaya pengadilan. Biaya ini cukup besar jumlahnya.

GAYA MANAJEMEN KONFLIK


Pengertian Gaya Manajemen Konflik
Ketika menghadapi situasi konflik, orang berperilaku tertentu untuk menghadapi lawannya.
Perilaku mereka membentuk satu pola atau beberapa pola tertentu. Pola perilaku orang dalam
menghadapi situasi konflik disebut sebagai gaya manajemen konflik. Stella Ting-Toomey (2005)
menggunakan istilah “Gaya komunikasi konflik bukan gaya manajemen konflik”. Sebagai
contoh, seorang pemimpin yang autokratis cenderung menggunakan gaya manajemen konflik
represif, supresif, kompetitif, serta agresif dan berupaya mengalahkan lawan konfliknya.
Sebaliknya, seorang pemimpin yang demokratis jika menghadapi konflik akan menggunakan
musyawarah, mendengarkan pendapat lawan konfliknya, dan mencari win & win solution.

Faktor - faktor yang Memengaruhi Gaya Manajemen Konflik


Gaya manajemen konflik yang digunakan pihak-pihak yang terlibat konflik dipengaruhi oleh
sejumlah faktor. Faktor- faktor tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Asumsi mengenai konflik
Asumsi seseorang mengenai konflik akan memengaruhi pola perilakunya dalam menghadapi
situasi konflik. Birokrat yang berpendapat konflik merupakan sesuatu yang buruk akan
berusaha untuk menekan lawan konfliknya dengan menggunakan gaya manajemen konflik
kompetisi. Ia menganggap konflik merupakan pelanggaran norma, peraturan, atau tatanan
birokrasi. Sebaliknya, seorang birokrat yang menganggap konflik adalah baik dan toleran
terhadap konflik akan menggunakan gaya manajemen konflik kompromi atau kolaborasi
dalam memanajemeni konflik.
2. Persepsi mengenai penyebab konflik
Persepsi seseorang mengenai penyebab konflik akan memengaruhi gaya manajemen konflik
-nya. Persepsi seseorang yang menganggap penyebab konflik menentukan kehidupan atau
harga dirinya akan berupaya untuk berkompetisi dan memenangkan konflik. Sebaliknya,
jika orang menganggap penyebab konflik tidak penting bagi kehidupan dan harga dirinya, ia
akan menggunakan pola perilaku menghindar dalam menghadapi konflik.
3. Ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya
Seseorang yang menyadari bahwa ia menghadapi konflik akan menyusun strategi dan taktik
untuk menghadapi lawan konfliknya. Jika ia memprediksi bahwa lawan konfliknya akan
menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi dan agresi--objek konfliknya sangat
esensial bagi kariernya, ia akan menghadapinya dengan gaya manajemen konflik
berkompetisi dan melawan agresi lawan konfliknya.
4. Pola komunikasi dalam interaksi konflik
Konflik merupakan proses interaksi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat konflik.
Jika proses komunikasinya berjalan dengan baik, pesan kedua belah pihak akan saling
dimengerti dan diterima secara persuasif, tanpa gangguan (noise) dan menggunakan humor
yang segar. Hal ini menunjukkan kemungkinan yang besar bahwa kedua belah pihak akan
menggunakan gaya manajemen konflik kolaborasi dan kompromi tinggi. Sebaliknya, jika
komunikasi kedua belah pihak tidak baik--menggunakan kata-kata keras dan kotor, serta
agresif, ada kemungkinan kedua belah pihak akan menggunakan gaya manajemen konflik
kompetisi.
5. Kekuasaan yang dimiliki
Konflik merupakan permainan kekuasaan di antara kedua belah pihak yang terlibat konflik.
Jika pihak yang terlibat konflik merasa mempunyai kekuasaan lebih besar dari lawan
konfliknya, kemungkinan besar, ia tidak mau mengalah dalam interaksi konflik. Terlebih
lagi, jika masalah konfliknya sangat esensial bagi kehidupannya. Sebaliknya, jika ia
mempunyai kekuasaan lebih rendah dan memprediksikan bahwa dirinya tidak bisa menang
dalam konflik, ia akan menggunakan gaya manajemen konflik kompromi, akomodasi, atau
menghindar.
6. Pengalaman menghadapi situasi konflik
Proses interaksi konflik dan gaya manajemen konflik yang digunakan oleh pihak-pihak yang
terlibat konflik dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam menghadapi konflik dan
menggunakan gaya manajemen konflik tertentu. Sebagai contoh, seorang penasehat hukum
(advokat) selalu menghadapi konflik dalam membela kliennya. Pengalaman yang panjang
memberikan kemampuan bagi advokat untuk menggunakan gaya manajemen konflik
kompetisi dalam membela kliennya, walaupun mungkin kliennya posisinya salah. Hal inilah
yang menyebabkan ada yang mengatakan bahwa advokat itu: “Maju tak gentar membela
yang bayar”.
7. Sumber yang dimiliki
Gaya manajemen konflik yang digunakan oleh pihak yang terlibat konflik dipengaruhi oleh
sumber-sumber yang dimilikinya. Sumber-sumber tersebut antara lain kekuasaan,
pengetahuan, pengalaman, dan uang. Gaya manajemen konflik kompetisi kecil
kemungkinannya untuk digunakan bagi seseorang yang tidak mempunyai sumber-sumber
tersebut. Kemungkinan besar, ia akan menggunakan gaya manajemen konflik menghindar
atau akomodasi.
8. Jenis kelamin
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin pihak yang terlibat konflik
mempunyai pengaruh terhadap gaya manajemen konflik yang digunakannya. Banyak
penelitian yang menyimpulkan bahwa gaya manajemen konflik wanita berbeda dengan gaya
manajemen konflik laki-laki, walaupun ada pemimpin wanita yang disebut wanita besi.
9. Kecerdasan emosional
Banyak artikel dan penelitian yang berkesimpulan bahwa dalalm memanajemeni konflik
diperlukan kecerdasan emosional. Sebagai contoh, Lee Fen Ming (2003) dalam disertasinya
mengemukakan telaah literatur yang menjelaskan bahwa kesuksesan manajemen konflik
memerlukan keterampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional. Dari telaah ini, ia
mengemukakan beberapa dimensi kecerdasan emosional, yaitu kesadaran diri mengenai
kecerdasan emosional; memanajemeni emosi; empati; dan membangun hubungan berdasar-
kan kecerdasan emosional. Berdasarkan dimensi tersebut, ia mengukur 290 dosen dengan
menggunakan dua instrumen: “Organizational Conflicy Inventory yang dikembangkan oleh
Rahim dan Emotional Intelligence Quetionaire yang dikembangkan oleh Wu. hasil
penelitiannya menunjukkan: (1) gaya manajemen konflik integrating dan compromising
mempunyai hubungan positif dengan kecerdasan emosional dan (2) memanajemeni emosi
dan kesadaran diri atas kecerdasan emosional merupakan prediktor signifikan dari gaya
manajemen konflik integrating dan compromising.
10. Kepribadian
Kepribadian seseorang memengaruhi gaya manajemen konfliknya. Seseorang yang punya
pribadi pemberani, garang, tidak sabar, dan berambisi untuk menang cenderung memilih
gaya kepemimpinan berkompetisi. Sedangkan, orang yang penakut dan pasif cenderung
untuk menghindari konflik.
11. Budaya organisasi sistem sosial
Budaya organisasi sistem sosial (organisasi tentara, tim olah raga, pondok pesantren, dan
biara) dengan norma perilaku yang berbeda menyebabkan para anggotanya memiliki
kecenderungan untuk memilih gaya manajemen konflik yang berbeda. Dalam masyarakat
Barat, anak semenjak kecil diajarkan untuk berkompetisi. Di sisi lain, di masyarakat
Indonesia, anak diajarkan untuk berkompromi atau menghindari konflik.
12. Prosedur yang mengatur pengambilan keputusan jika terjadi konflik
Organisasi birokratis atau organisasi yang sudah mapan umumnya mempunyai prosedur
untuk menyelesaikan konflik. Dalam prosedur tersebut, gaya manajemen konflik pimpinan
dan anggota organisasi akan tercermin.
13. Situasi konflik dan posisi dalam konflik
Seseorang dengan kecenderungan gaya manajemen konflik berkompetisi akan mengubah
gaya manajemen konfliknya jika menghadapi situasi konflik yang tidak mungkin ia menang-
kan. Gaya manajemennya bisa berubah menjadi gaya manajemen konflik kompromi dan
kolaborasi. Demikian juga, apabila konflik terjadi dengan atasannya, maka ia mungkin akan
menggunakan gaya manajemen konflik menghindari atau akomodasi.
14. Pengalaman menggunakan salah satu gaya manajemen konflik
Jika A terlibat konflik dengan B, C, dan D serta dapat memenangkan konflik dengan
menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi, ia memiliki kecenderungan untuk
menggunakan gaya tersebut bila terlibat konflik dengan orang yang sama atau orang lain.
15. Keterampilan berkomunikasi
Keterampilan berkomunikasi seseorang akan memengaruhinya dalam memilih gaya
manajemen konflik. Seseorang yang kemampuan komunikasinya rendah akan mengalami
kesulitan jika menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi, kolaborasi, atau kompromi.
Ketiga gaya manajemen konflik tersebut memerlukan kemampuan komunikasi yang tinggi
untuk berdebat dan berinisiasi dengan lawan konflik. Di sisi lain, gaya manajemen konflik
menghindar dan akomodasi tidak memerlukan banyak debat dan argumentasi.

Teori-teori Gaya Manajemen Konflik


Teori Gird
Para pakar telah mengembangkan berbagai teori mengenai gaya manajemen konflik. R. R. Blake
dan J. Mouton (1964) merupakan pendahulu yang menggunakan istilah gaya manajemen konflik.
Teorinya mengenai gaya manajemen konflik merupakan bagian dari toerinya mengenai gaya
kepemimpinan mereka. Kerangka teori gaya manajemen konflik itu disusun berdasarkan dua
dimensi: (1) perhatian manajer terhadap orang/bawahan (concern for people) pada sumbu
horizontal dan (2) perhatian manajer terhadap produksi (concern for production) pada sumbu
vertikal. Teorinya berdasarkan gaya manajemen konflik digunakan sebagai dasar teori-teori
manajemen konflik yang dikembangkan oleh para pakar berikutnya. Berdasar tinggi rendahnya
kedua dimensi tersebut, mereka mengembangkan lima jenis gaya manajemen konflik (lihat figur
20). Berikut adalah kelima jenis gaya manajemen konflik tersebut.
(1) Memaksa (forcing). Perhatian seorang manajer yang tinggi terhadap produksi, sedangkan
rendah—perhatiannya—terhadap orang yang dipimpinnya (bawahannya) cenderung akan
menggunakan gaya manajemen konflik memaksa ketika memanajemeni konflik. Ia
berupaya memaksakan kehendaknya untuk meningkatkan produksi dengan mengabaikan
orang lain jika menghadapi situasi konflik.
(2) Konfrontasi (confrontation). Perhatian seorang manajer yang tinggi terhadap produksi dan
bawahannya cenderung menggunakan konfrontasi dalam memanajemeni konflik. Ia
berupaya berkonfrontasi untuk meningkatkan produksi dan—dalam waktu bersamaan—
berkonfrontasi untuk memperhatikan orang yang dipimpinnya.
(3) Kompromi (compromising). Perhatian seorang manajer yang sedang (tidak tinggi atau tidak
rendah) terhadap produksi dan bawahannya cenderung berkompromi jika memanajemeni
konflik. Ia mau untuk berkompromi mengenai tingkat produksi organisasi demi memenuhi
kesejahteraan bawahannya.
(4) Menarik diri (withdrawal). Perhatian seorang manajer yang perhatiannya rendah terhadap
produksi dan bawahannya biasanya akan menarik diri jika menghadapi konflik. Ia lebih
senang bersikap secara pasif, seolah-olah tidak terjadi konflik dan tidak mau menghadapi
konflik.
(5) Mengakomodasi (smoothing). Perhatian seorang manajer yang rendah terhadap produksi,
sedangkan tinggi—perhatiannya—terhadap bawahannya cenderung memberikan
akomodasi jika menghadapi konflik. Ia menyerah kepada keinginan lawan konfliknya demi
hubungan yang baik dan kesejahteraan bawahannya.

P
E
D
U
L
I
Memaksa
Konfrontasi
T
E
R
H
Memaksa
A
D
A
P

P
R
O
D
Menarik diri Mengakomodasi
U
K
S
I
PEDULI TERHADAP ORANG (BAWAHAN)
Figur 20 Kerangka Gaya Manajemen Konflik Blake dan Mouton (1964)
K Kompetisi Kolaborasi
E
A
S
E
R Kompromi
TI
FA
N

Menghindar Mengakomodasi

KERJASAMA
Figur 21 Kerangka Gaya Manajemen Konflik Thomas dan Kilmann (1974)

Teori Thomas dan Kilmann


Kenneth W. Thomas dan Ralp H. Kilmann (1974) mengembangkan taksonomi gaya manajemen
konflik berdasarkan dua dimensi: (1) kerja sama (cooperativeness) pada sumbu horizontal dan
(2) keasertifan (assertivness) pada sumbu vertikal. Kerja sama adalah upaya orang untuk
memuaskan orang lain jika menghadapi konflik. Di sisi lain, keasertifan adalah upaya orang
untuk memuaskan diri sendiri jika menghadapi konflik.
Berdasarkan kedua dimensi ini, Thomas dan Kilmann mengemukakan lima jenis gaya
manajemen konflik (lihat figur 21). Berikut adalah kelima jenis gaya manajemen konflik
tersebut.
(1) Kompetisi (competing). Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan tinggi dan
tingkat kerja sama rendah. Gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, di
mana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan
konflik dengan biaya lawannya.
Berikut adalah alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik
kompetisi.
 Merasa mempunyai kekuasaan dan sumber-sumber lainnya untuk memaksakan
sesuatu kepada lawan konfliknya.
 Tindakan dan keputusan perlu diambil dengan cepat, misalnya dalam keadaan darurat.
Keterlambatan mengambil keputusan atau tindakan akan memberikan akibat yang
tidak baik.
 Dalam tindakan yang tidak populelr, terdapat hal yang harus dilakukan, seperti
memngurangi biaya, peraturan baru, dan pendisiplinan pegawai.
 Melindungi perusahaan dari kebangkrutan dan keadaan yang dapat merusak citra
perusahaan, seperti perilaku yang tidak sepatutnya dan pegawai penyebab masalah
(biang kerok).
Dalam organisasi dengan birokrasi yang tinggi, bawahan hanya boleh memberi masukan
kepada atasan, bukan mendebat. Oleh karena itu, jika terlibat konflik dengan bawahan
-nya, atasan akan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi.
(2) Kolaborasi (collaborating). Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja
sama yang tinggi. Tujuannya adalah untuk mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuh-
nya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya manajemen konflik
kolaborasi merupakan upaya bernegosiasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya
memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik. Upaya tersebut sering meliputi saling
memahami permasalahan konflik atau saling mempelajari ketidaksepakatan. Selain itu,
kreativitas dan inovasi juga digunakan untuk mencari alternatif yang dapat oleh kedua
belah piihak.
Menurut Derr (1975), kolaborasi merupakan gaya manajemen konflik yang paling disukai
sebab: (a) mendorong hubungan interpersonal, (b) kekuatan kreatif untuk infovatif dan
perbaikan, (c) meningkatkan balikan dan aliran informasi, serta, (d) mengembangkan iklim
organisasi yang lebih terbuka, percaya, pengambilan risiko dan perasaan baik terhadap
integritas.
Berikut adalah alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik
kolaborasi.
 Menciptakan solusi integratif dan tujuan kedua belah pihak terlalu penting untuk
dikompromikan.
 Tujuan pihak yang terlibat konflik untuk mempelajari lebih jauh pandangan dari lawan
konfliknya.
 Kedua belah pihak tidak mempunyai cukup kekuasaan dan sumber-sumber untuk
memaksakan kehendak demi mencapai tujuannya.
(3) Kompromi (compromising). Gaya manajemen konflik tengah atau menengah, di mana
tingkat keasertifan dan kerjasama sedang. Dengan menggunakan strategi memberi dan
mengambil (give and take), kedua belah pihak yang terlibat konflik mencari alternatif titik
tengah yang memuaskan sebagian keinginan mereka. Tabel 9 melukiskan perbedaan antara
gaya kolaborasi dan kompromi. Gaya manajemen konflik kompromi berada di tengah
antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi. Dalam keadaan tertantu, kompromi dapat
berarti membagi perbedaan di antara dua posisi dan memberikan konsensi untuk mencari
titik tengah.
Berikut adalah alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik
kompromi.
 Pentingnya tujuan konflik hanya sedang dan tidak cukup bernilai untuk dipertahankan
dengan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi atau kolaborasi. Akan tetapi,
konflik juga terlalu penting untuk dihindari.
 Kedua belah pihak mempunyai kekuasaan dan sumber yang sama, serta mempunyai
tujuan yang hampir sama.
 Untuk mencapai solusi sementara atas masalah yang kompleks.
(4) Menghindar (avoiding). Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasetifan dan kerja
sama yang rendah. Dalam gaya manajemen konflik ini, kedua belah pihak yang terlibat
konflik berusaha menghindari konflik. Menurut Thomas dan Kilmann bentuk menghindar
tersebut bisa berupa: (a) menjauhkan diri dari pokok masalah; (b) menunda pokok masalah
hingga waktu yang tepat; atau (c) menarik diri dari konflik yang mengancam dan
merugikan.
Berikut adalah alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik
menghindar.
 Kepentingan objek konflik rendah atau ada objek konflik lain yang sangat penting dan
perlu mendapatkan perhatian.
 Objek konflik tidak mungkin untuk dimenangkan karena memiliki kekuasaan dan
sumber-sumber konflik yang rendah. Atau, tidak mungkin untuk diubah, seperti
undang-undang, peraturan pemerintah, serta peraturan dan kebijakan perusahaan.
 Potensi biaya yang dibutuhkan untuk memenangkan konflik lebih besar daripada nilai
solusinya.
 Untuk menenangkan para karyawan dan mengurangi ketegangan, serta menciptakan
suasana kerja yang kondusif dan tenang sehingga meningkatkan kinerja karyawan.
(5) Mengakomodasi (accomodating). Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan
rendah dan tingkat kerja sama tinggi. Seseorang mengabaikan kepentingan dirinya sendiri
dan berupaya memuaskan kepentingan lawan konfliknya.
Agar dapat sukses dalam menggunakan gaya manajemen konflik, pihak yang terlibat
konflik memerlukan keterampilan tertentu. Tabel 10 berisi sebagian dari keterampilan
yang diperlukan untuk menggunakan setiap gaya manajemen konfllik. Sebagai tambahan,
Tabel 11 menggambarkan fleksibilitas masing-masing gaya manajemen konflik yang akan
digunakan.
Tabel 9
Perbedaan Gaya Kolaborasi dan Gaya Kompromi

Kolaborasi Kompromi
 Solusi berupaalternatif lain yang bukan Solusi berupa alternatif lain yang memenuhi
tujuan kedua belah pihak yang terlibat sebagian keinginan masing-masing pihak
konflik
 Kedua belah pihak sepenuhnya puas dengan Kedua belah pihak hanya terpenuhi sebagian
solusi keinginannya
 Contoh : A konflik dengan B mengenai Contoh : A konflik dengan B mengenai uang
uang sebesar Rp.1.000.000,- Solusinya sebesar Rp.1.000.000,- Solusinya A
semua uang itu di berikan pada Palang mendapatkan Rp.500.000,- dan B mendapatkan
Merah Indonesia sehingga, baik A maupun Rp.500.000,-
B tidak menerima uang itu sepeserpun.

Tabel 10
Keterampilan yang Diperlukan untuk Menggunakan Gaya Manajemen Konflik

Kompetisi Kolaborasi Kompromi Menghindar Akomodasi


 Berdebat dan  Mendengarkan  Kemampuan  Kemampuan  Kemampuan
membantah dengan baik yang bernegosiasi untuk menarik melupakan
 Berpegang dikemukakan  Mendengarkan diri keinginan diri
teguh pada lawan konflik dengan baik  Kemampuan sendiri
pendirian  Kemampuan  Kemampuan
yang meninggalkan
 Menilai bernegosiasi dikemukakan sesuatu tanpa melayani
pendapat dan
 Mengidentifikasi lawan konflik terselesaikan lawan konflik
perasaan diri
pendapat lawan  Mengevaluasi  Kemampuan  Kemampuan
sendiri dan
lawan konflik konflik nilai untuk untuk
 Menyatakan  Konfrontasi tidak  Menemukan mengesamping mematuhi
posisi diri mengancam jalan tengah kan masalah perintah atau
secara jelas  Menganalisis  Memberikan  Kemampuan melayani
 Kemampuan masukan konsesi untuk lawan konflik
memperbesar  Memberikan menerima
kekuasaan diri konsesi kekalahan
sendiri  Kemampuan
 Kemampuan untuk
untuk melupakan
memperkecil sesuatu yang
kekuasaan
menyakitkan
lawan konflik
hati
 Menggunakan
berbagai taktik
yang
memengaruhi

Tabel 11
Fleksibilitas Penggunaan Gaya Manajemen Konflik

Gaya Manajemen Terlalu banyak menggunakan Terlalu sedikit menggunakan akan


Konflik akan membuat membuat
Kompetisi  Lawan menghindari kompetitor  Kehilangan percaya diri
 Lawan kalah berulang-ulang  Merasa tidak berdaya dikontrol oleh
 Lawan terhenti informasinya lawan
 Bawahan ragu-ragu untuk  Melepaskan pengambilan keputusan
melawan  Menghindar dan mengakomodasi
 Bawahan gampang menyerah terlalu banyak
Kolaborasi  Pada sejumlah permasalahan,  Kehilangan solusi untuk sama-sama
gaya ini tidak perlu digunakan memperolh
 Tidak diperlukan jika lawan lebih  Terlalu pesimis
rendah  Kehilangan kesempatan
 Dapat memblok akomodasi berkreativitas
 Mudah di manipulasi oleh lawan  Kehilangan kesetiaan bawahan
 Kehilangan keeratan tim
Kompromi  Lawan kesal dapat hasil  Dilihat lawan sebagai suatu hal yang
 Atmosfir permainan kaku dan tidak masuk akal
 Permainan jadi lebih penting  Terperangkap dalam berunding dan
daripada isunya pertentangan kekuasaan
 Nilai dari isu akan hilang  Kehilangan peluang untuk
menurunkan ketegangan
Menghindar  Bawahan kehilangan bantuan  Mengobarkan permusuhan yang
 Ketidaksepahaman terus tidak diperlukan
berlangsung  Bawahan kehilangan independensi
 Koordinasi menderita  Yang tidak menghindar terlalu berat
 Bawahan mengambil keputusan  Gagal untuk menentukan prioritas
 Isu tidak di kemukakan
Akomodasi  Kehilangan harga diri dan  Dipandang kaku dan tidak masuk
pengakuan akal
 Dipandang sebagai ragu-ragu dan  Menghalangi maksud yang baik
lemah  Meniadakan kekecualian terhadap
 Lawan merasa dimanipulasi dan peraturan-peraturan
kemudian membalas  Perasaan kehilangan muka

Untuk mengukur gaya manajemen konflik dalam taksonominya, Thomas dan Kilmann
mengembangkan instrumen khusus yang dijual secara komersial--diberi nama Thomas-Kilmann
Conflict Mode Instrument. Instrumen ini merupakan instrumen yang dipakai secara luas di
seluruh dunia serta telah diuji coba validitas dan reliabilitasnya dengan sampel berbagai
populasi.
Dalam Thomas-Kilmann Mode Instrument, setiap gaya manajemen konflik dikembangkan
menjadi 6 butir pernyataan dengan total keseluruhan butir 60, yaitu 30 pasang pernyataan (A dan
B). Setiap butir kuesioner diulang tiga kali untuk menentukan konsistensinya. Sebagai contoh,
butir 2A diulang pada butir 4A dan butir 10B. Butir 3A diulang pada butir 8A dan butir 10A.
Pada setiap pasangan pernyataan, responden diminta untuk memilih butir A atau butir B.
Jawaban setiap responden kemudian dibuatkan skornya dengan menggunakan “Instrumen
penskoran”.
Hal yang dapat kita peroleh dari isntrumen ini antara lain.
(1) Jumlah skor setiap gaya manajemen konflik dengan menjumlahkan setiap lajur jawaban.
(2) Urutan gaya manajemen konflik responden yang dipilih dengan melihat urutan skor kelima
gaya manajemen konflik.
Kemudian, jawaban setiap responden untuk setiap gaya manajemen konflik dapat
dibuatkan grafik tinggi rendahnya--tinggi 25%; sedang 50%; dan rendah 25%--berdasarkan skor
survei 339 manajer tengah dan manajer atas lembaga bisnis dan pemerintahan.

Teori Rahim
M.A. Rahim (1983) mengembangkan model gaya manajemen konflik yang tidak jauuh berbeda
dengan model yang kemukakan oleh Thomas dan Kilmann (1974). Klasifikasi gaya manajemen
konflik Rahim disusun berdasarkan dua dimensi: (1) memperhatikan orang lain (concern for
other) pada sumbu horizontal dan (2) memperhatikan diri sendiri (concern for self) lihat figur 22.
(1) Memperhatikan orang lain (concern for other)—Thomas dan Kilmann menggunakan istilah
kerjasama--adalah sampai seberapa tinggi pihak yang terlibat konflik memperhatikan
lawan konfliknya dalam menghadapi situasi konflik.
(2) Memperhatikan diri sendiri (concern for self)—Thomas dan Kilmann menggunakan istilah
keasertifan--adalah sampai seberapa tinggi pihak yang terlibat konflik memperhatikan
dirinya sendiri dalam menghadapi situasi konflik.

Berdasarkan tinggi rendahnya kedua dimensi tersebut, Rahim mengelompokkan lima jenis
gaya manajemen konflik. Berikut adalah kelima jenis gaya manajemen tersebut.
(1) Dominasi (dominating)—Thomas dan Kilmann menggunakan istilah kompetisi. Dalam
gaya manajemen konflik ini, pihak yang terlibat konflik hanya berupaya memenuhi
tujuannya sendiri dan tidak memperhatikan kebutuhan lawan konfliknya.
(2) Integrasi (integrating)--Thomas dan Kilmann menggunakan istilah kolaborasi. Dalam gaya
manajemen konflik ini, pihak yang terlibat konflik berusaha menciptakan resolusi konflik
yang secara maksimal memenuhi tujuan dirinya sendiri dan tujuan lawan konfliknya.
(3) Kompromi (compromising)—Thomas dan Kilmann menggunakan istilah kompromi. Gaya
manajemen konflik ini berada di persimpangan dari kedua dimensi, di mana pengguna
gaya ini berusaha memenuhi sebagian tujuannya dan tujuan lawan konfliknya tanpa
berupaya memaksimalkannya.
(4) Menghindar (avoiding)—Thomas dan Kilmann menggunakan istilah menghindar. Dalam
gaya manajemen konflik ini, pihak yang terlibat konflik menolak untuk berdiskusi
mengenai konflik yang terjadi. Ia menolak untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan
kebutuhan lawan konfliknya.
(5) Menurut (obliging)—Thomas dan Kilmann menggunakan istilah mengakomodasi. Dalam
gaya manajemen konflik ini, pihak yang terlibat konflik mengombinasikan perhatiannya
yang tinggi terhadap lawan konfliknya dengan perhatiannya yang rendah terhadap dirinya
sendiri.

M
E
M Dominasi Integrasi
P
E
R
H
A
TI
K
Kompromi
A
N

DI
RI

S
Menghindar Menurut
E
N
DI
RI

MEMPERHATIKAN ORANG LAIN

Figur 22 Kerangka Gaya Manajemen Rahim (1983)

Anda mungkin juga menyukai