Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN TEORI MANAJEMEN KOFLIK

Disusun Guna Memenuhi Tugas Stase Keperawatan Manajemen Keperawatan Propesi


Ners

Disusun Oleh :
Jihan Tirta Yanti (24.19.1341)
Kadek Indah P (24.19.1345)
Tuti Ambarwati (24.19.1348)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS XXIV


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATANSURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2020
TEORI MANAJEMEN KONFLIK

A. DEFINISI
Menurut Killman dan Thomas (2009) konflik merupakan kondisi
terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik
yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain.
Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan
menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan
produktivitas kerja.
Menurut Ross (2010) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-
langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan
perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin
menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak
mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.
Stoner dan Freeman (2009) membagi konflik menjadi enam macam,
yaitu :
1. Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi
jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena
tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
2. Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena perbedaan
kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan
individu yang lain.
3. Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and
groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma - norma
kelompok tempat ia bekerja.
4. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups
in the same organization).
5. Konflik antar organisasi (conflict among organizations).
6. Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among
individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap
atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi
anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public
relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang
jurnalis.

B. TUJUAN MANAJEMEN KONFLIK


Konflik merupakan suatu fenomena yang sering kali tidak bisa dihindari
danmenghambat pencapaian tujuan organisasi. Sumber-sumber organisasi, yaitu
sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan sumber daya
teknologi. Berikut adalah tujuan dari manajemen konflik :
1. Mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri
pada visi, misi dan tujuan organisasi. Visi, misi dan tujuan strategis harus
dicapai atau direalisasikan dengancara yang sistematis dan dalam suatu
kurun waktu yang direncanakan. Konflik dapat menganggu perhatian serta
mengalihkan energi dan kemampuan anggota organisasi untuk mencapai
visi, misi dan tujuan yang strategis dari organisasinya
2. Memahami orang lain dan menghormati keberagaman. Dalam berorganisasi,
harus memahami bahwa rekan kerja memiliki keanekaragaman dan berbagai
perbedaan, suku, agama, bahasa, pribadi, perilaku, pola pikir dan sebagainya.
Manajemen konflik harus diarahkan agar pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik memahami keberagaman tersebut.
3. Meningkatkan kreatifitas. Dalam bukunya yang berjudul From conflict to
creativity: How toresolving workplace disaggrement can inspire innovation
and pdoductivity,Sy, Landau, Barbara Landau, dan Daryl Landau (2001)
menguraikan bahwa konflik yang terjadi di tempat kerja dapat dimanajemeni
untuk menciptakan kreatifitas dan inovasi, serta mengembangkan
produktivitas.
4. Meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan
pemikiran berbagai informasi dan sudut pandang. Konflik atau perbedaan
pendapat memfasilitasi terciptanya berbagai alternatif keputusan dan
penggunaan informasi yang akurat untuk memilih salah satu alternatif yang
terbaik. Manajemen konflik harus memfasilitasi terjadinya alternatif dan
pemilihan salah satu alternatif terbaik berdasarkan informasi yang akurat.
5. Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman
bersama dan kerja sama. Semua subsistem dan para anggota dalam
organisasi harus bekerjasama, saling mendukung, dan salinh membantu
untuk mencapai tujuan organisasi.
6. Menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik .Prosedur dan
mekanisme penyelesaian dikembangkan berdasarkan situasi konflik. Jika
prosedur dan mekanismenya berhasil menyelesaikan konflik secara
berulang-ulang, hal ini akan menjadi norma budaya organisasi, jika tidak
konflik menyebabkan disfungsional organisasi.
7. Menimbulkan iklim organisasi konflik dan lingkungan kerja yang
tidak menyenangkan : takut, moral rendah, sikap saling curiga. Iklim
organisasi merupakan persepsi anggota organisai mengenai apayang terjadi
secara rutin dalam lingkungan internal organisasi. Persepsi tersebut bisa
berupa positif dan negatif. Jika persepsinya negatif, perilaku yang kerja akan
negatif akan tercipta sehingga mempengaruhi kerja pegawai dan organisasi.
8. Meningkatkan terjadinya pemogokan. Konflik bisa menciptakan kecurigaan
antara buruh dan manajemen perusahaan. Kecurigaan akan merusak
komunikasi diantara keduanya. Hal ini mengarahkan terbentuknya konflik
desktruktif yang akan meningkatkan pemogokan.
9. Mengarah pada sabotase bagi pihak yang kalah dalam konflik Jika konflik
berakhir dengan win dan lose solution, serta pihak yang kalah dendam atas
kekalahannya, agresi dalam bentuk sabotase akan terjadi. Bentuk sabotase
bisa berupa penggalan pelaksanaan program atau proyek.
10. Mengurangi loyalitas dan komitmen organisasi. Penurunan loyalitas dan
komitmen organisasi bisa disebabkan juga akibat dari terjadinya konflik. Hal
ini bisa terjadi antar pemimpin dan bawahannya.
11. Terganggunya proses produksi dan operasi Konflik, terutama konflik
destruktif, akan mengalihkan berbagaisumber-sumber organisasi, seperti
tenaga, anggaran dan waktu.
12. Meningkatkan biaya pengendalian karena tuntutan karyawan yang
mengajukan konflik nya ke pengadilan. Jika konflik antara manajemen
perusahaan dan karyawan tidak bisa diselesaikan melalui mekanisme
penyelesaian konflik perusahaan (peraturan perusahaan, proses bipatrit, dan
proses tripatrit).

C. FAKTOR – FAKTOR MANAJEMEN KONFLIK


Ketika menghadapi situasi konflik, orang berperilaku tertentu untuk menghadapi
lawannya. Perilaku mereka membentuk satu pola atau beberapa pola tertentu.
Pola perilaku orang dalam menghadapi situasi konflik disebut sebagai gaya
manajemen konflik. Menurut Wirawan (2010:135) manajemen konflik yang
digunakan pihak-pihak yang terlibat konflik dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya manajemen konflik antara lain:
1. Asumsi mengenai konflik: Asumsi seseorang mengenai konflik akan
mempengaruhi pola perilakunya dalam menghadapi situasi konflik. Ketika
seseorang telah memiliki asumsi pandangan tentang konflik maka ia akan
berfikir bagaimana caranya mengatasi konflik tersebut.
2. Persepsi mengenai penyebab konflik: Persepsi seseorang mengenai penyebab
konflik akan memengaruhi gaya manajemen konfliknya. Persepsi seseorang
yang menganggap penyebab konflik menentukan kehidupan atau harga
dirinya akan berupaya untuk berkompetisi dan memenangkan konflik.
Sebaliknya, jika orang menganggap penyebab konflik tidak penting bagi
kehidupan dan harga dirinya, ia akan menggunakan pola perilaku menghindar
dalam menghadapi konflik.
3. Ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya: Seseorang yang menyadari bahwa ia
menghadapi konflik akan menyusun strategi dan taktik untuk menghadapi
lawan konfliknya. Karena dengan menyusun strategi dan taktik merupakan
suatu unsur penting dalam manajemen konflik, yang pada intinya untuk
mencapai tujuan yang diinginkan yaitu konflik yang dihadapi terselesaikan.
4. Pola komunikasi dalam interaksi konflik: Konflik merupakan proses interaksi
komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat konflik. Jika proses
komunikasi berjalan dengan baik, pesan kedua belah pihak akan saling
dimengerti dan diterima secara persuasif, tanpa gangguan dan menggunakan
humor yang segar. Dengan menggunakan komunikasi interpersonal yang
dianggap efektif, akan dapat memahami pesan dengan benar, dan
memberikan respon sesuai dengan yang diinginkan.
5. Kekuasaan yang dimiliki: Konflik merupakan permainan kekuasaan di antara
kedua belah pihak yang terlibat konflik. Jika pihak yang terlibat konflik
merasa mempunyai kekuasaan lebih besar dari lawan konfliknya,
kemungkinan besar, ia tidak mau mengalah dalam interaksi konflik.
6. Pengalaman menghadapi situasi konflik: Proses interaksi konflik dan gaya
manajemen konflik yang digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik
dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam menghadapi konflik dan
menggunakan gaya manajemen konflik tertentu.
7. Sumber yang dimiliki: Gaya manajemen konflik yang digunakan oleh pihak
yang terlibat konflik dipengaruhi oleh sumber-sumber yang dimilikinya.
Sumber-sumber tersebut antara lain kekuasaan, pengetahuan, pengalaman,
dan uang.
8. Jenis kelamin: Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin pihak
yang terlibat konflik mempunyai pengaruh terhadap gaya manajemen konflik
yang digunakannya.
9. Kecerdasan emosional: Banyak artikel dan penelitian yang berkesimpulan
bahwa dalam memanajemen konflik diperlukan kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang mengatasi dan
mengontrol emosi dalam menghadapi konflik, menggunakan dan
memanfaatkan emosi untuk membantu pikiran.
10. Kepribadian: Kepribadian seseorang mempengaruhi gaya manajemen
konfliknya. Seseorang yang punya pribadi pemberani, garang, tidak sabar,
dan berambisi untuk menang cenderung memilih gaya kepemimpinan
berkompetisi. Sedangkan orang yang penakut dan pasif cenderung untuk
menghindari konflik.
11. Situasi konflik dan posisi dalam konflik: Seseorang dengan kecenderungan
gaya manajemen konflik berkompetisi akan mengubah gaya manajemen
konfliknya jika menghadapi situasi konflik yang tidak mungkin ia
menangkan. Oleh karena itu, situasi konflik sangat mempengaruhi gaya
manajemen konflik itu sendiri agar situasi konflik itu dapat dimenangkan.
12. Keterampilan berkomunikasi: Keterampilan berkomunikasi seseorang akan
memengaruhinya dalam memilih gaya manajemen konflik. Seseorang yang
kemampuan komunikasinya rendah akan mengalami kesulitan jika
menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi, kolaborasi, atau
kompromi. Ketiga gaya manajemen konflik tersebut memerlukan
kemampuan komunikasi yang tinggi untuk berdebat dan berinisiasi dengan
lawan konflik.

D. GAYA MANAJEMEN KONFLIK


Gaya manajemen konflik adalah pola perilaku orang dalam menghadapi
situasi konflik. Stella Ting-Tooney (2005) menggunakan istilah “Gaya
komunikasi konflik bukan gaya manajemen konflik”. Sebagai contoh, seorang
pimpinan yang otokratis cenderung menggunakan gaya manajemen konflik
represif, supersif, kometitif, serta agresi dan berupa mengalahkan lawan
konfliknya. Sebaliknya, seorang pemimpin yang demokratis jika menghadapi
konflik akan menggunakan musyawarah, mendengarkan pendapat lawan
konfliknya dan mencari win&win solution. Secara singkat gaya manajemen
yang di maksud adalah bagaimana seseorang / sekelompok mengambil
keputusan dalam hal menghadapi situasi konflik. Ada macam-macam label
deskriptif untuk lima macam gaya, sebagai berikut:
1. Gaya pesaing
Gaya bersaing berorientasi pada kekuasaan, dan konflik dihadapi dengan
strategi menang/kalah. Pada sisi negatif, seorang pesaing mungkin
melakukan tekanan, intimidasi bahkan paksaan kepada pihak-pihak lain
yang terlibat dalam konflik. Pada sisi positif, gaya bersaingan demikian
mungkin diperlukan apabila dituntut adanya suatu tindakan desisif cepat,
atau apabila perlu dilaksanakan tindakan-tindakan penting yang tidak
bersifat populer.
2. Manajer yang menghindari diri dari konflik
Gaya manajemen konflik dengan menghindarkan diri dari konflik
cenderung kearah bersikap netral sewaktu adanya keharusan untuk
mengambil posisi atau sikap tertentu. Gaya ini dapat diterapkan apabila
konflik yang terjadi tidak berdampak terlalu banyak terhadap efektivitas
manajerial. Tindakan ini tepat untuk mengurangi ketegangan yang terjadi.
3. Akomodator
Gaya akomodator menghendaki konflik diselesaikan tanpa masing-
masing pihak yang terlibat dalam konflik, menyajikan pandangan-pandangan
mereka dengan keras dan berarti. Gaya ini bermanfaat apabila sebuah
konflik lebih penting bagi orang lainnya, memberikan pengalaman dan
perasaan menang bagi orang lain, dan menjadikan orang tersebut lebih
reseptif tentang persoalan lain yang lebih penting.
4. Manajemen yang Menekankan Kompromi
Gaya manajemen ini adalah gaya yang paling realitas yang dapat
memberikan hasil dalam jangka waktu yang disediakan untuk menyelesaikan
konflik. Apabila dalam kompromi para partisipan turut berbagi dalam
kondisi kemenangan maupun kekalahan, maka ini merupakan variasi dari
strategi “menang menang”. Akan tetapi apabila kompromi dilakukan untuk
melunakkan persoalan dan menggerogoti kepercayaan diantara pihak yang
berkonflik, maka ini mendekati strategi “kalah kalah”.
5. Kolaborator
Gaya manajemen konflik ini bisa dilakukan apabila pihak-pihak yang
berkonflik merumuskan kembali persoalannya dan kemudian dicari
pemecahannya. Manajemen konflik gaya ini perlu dilakukan apabila
persoalan-persoalan yang menimbulkan konflik penting bagi kedua belah
pihak yang berkonflik. Maka dari itu sekalipun sulit dan membutuhkan
biaya- biaya besar tetap harus diupayakan.
E. PETUNJUK PENDEKATAN SITUASI KONFLIK
Petunjuk pendekatan suatu konflik meliputi sebagai berikut :
1. Diawali melalui penilaian diri sendiri
2. Analisa isu-isu seputar konflik
3. Tinjau kembali dan sesuaikan dengan hasil eksplorasi diri sendiri.
4. Atur dan rencanakan pertemuan antara individu-individu yang terlibat
konflik
5. Memantau sudut pandang dari semua individu yang terlibat
6. Mengembangkan dan menguraikan solusi
7. Memilih solusi dan melakukan tindakan
8. Merencanakan pelaksanaannya

F. TEORI – TEORI GAYA MANAJEMEN KONFLIK


Teori – Teori Gaya Manajemen Konflik meliputi sebagai berikut :
1. Teori Grid
Kerangka teori gaya manajemen konflik itu disusun berdasarkan dua dimensi
: (1) perhatian manajer terhadap orang/bawahan (concern for people) pada
sumbu horizontal dan (2) perhatian manajer terhadap produksi (concern for
production) pada sumbu vertical. Berdasarkan tinggi rendahnya kedua
dimensi tersebut, mereka mengembangkan lima jenis gaya manajemen
konflik, antara lain :
a. Memaksa (forcing) : Perhatian seorang manajer yang tinggi terhadap
produksi, sedangkan perhatian rendahnya terhadap bawahannya. Ia
berupaya memaksakan kehendaknya untuk meningkatkan produksi
dengan mengabaikan orang lain jika menghadapi konflik.
b. Konfrontasi (confrontation) : Perhatian seorang manajer yang tinggi
terhadap produksi dan bawahannya cenderung menggunakan konfrontasi
dalam memanajemen konflik. Ia berupaya berkonfrontasi untuk
meningkatkan produksi dan dalam waktu yang bersamaan
berkonfrontasi untuk memperhatikan orang yang dipimpinnya
c. Kompromi (compromising) : Perhatian seorang manajer yang
perhatiannya rendah terhadap produksi dan bawahannya biasanya akan
menarik diri jika mengahdapi konflik. Ia mau berkompromi mengenai
tingkat produksi organisasi demi memenuhi kesejahteraan bawahannya.
d. Menarik diri (withdrawal) : Perhatian seorang manajer yang
perhatiannya rendah terhadap produksi dan bawahannya biasanya
menarik diri jika menghadapi konflik. Ia lebih senang bersikap secara
pasif, seolah-olah tidak terjadi konflik dan tidak mau menghadapi
konflik.
e. Mengakomodasi (smoothing) : Perhatian seorang manajer yang
perhatiannya rendah terhadap produksi, sedangkan tinggi perhatiannya
terhadap bawahannya cenderung memberikan akomodasi jika
menghadapi konflik. Ia menyerah kepada keinginan lawan konfliknya
emi hubungan yang baik dan kesejahteraan bawahannya.
2. Teori Thomas dan Kilmann (1978)
Kenneth W. Thomas dan Ralp H. Killmann (1974) mengembangkan
taksonomi gaya manajemen konflik berdasarkan dimensi : (1) kerjasama
pada sumbu horizontal dan (2) keasetifan pada sumbu vertical. Kerja sama
adalah upaya orang untuk memuaskan orang lain jika menghadapi konflik.
Keasertifan adalah upaya orang untuk memuaskan orang lain jika
menghadapi konflik. Berikut adalah gaya kelima jenis gaya manajemen
konflik tersebut.
a. Kompetisi (competing) : Orang-orang yang cenderung ke arah gaya
kompetitif mengambil sikap tegas, dan tahu apa yang mereka inginkan.
Mereka biasanya beroperasi dari posisi kekuasaan, yang diambil dari hal-
hal seperti posisi, pangkat, keahlian, atau kemampuan persuasif. Gaya ini
dapat berguna bila ada keadaan darurat dan keputusan harus membuat
cepat, ketika keputusan itu tidak populer, atau ketika membela terhadap
seseorang yang sedang mencoba untuk memanfaatkan situasi egois.
Namun itu dapat meninggalkan orang merasa memar, tidak puas dan
marah ketika digunakan dalam situasi yang kurang mendesak.
b. Kolaborasi (collaborating) : Orang cenderung ke arah gaya kolaboratif
mencoba untuk memenuhi kebutuhan semua orang yang terlibat. Orang-
orang ini dapat sangat tegas tapi tidak seperti pesaing, mereka bekerja
sama secara efektif dan mengakui bahwa setiap orang adalah penting.
Gaya ini berguna ketika Anda perlu menyatukan berbagai sudut pandang
untuk mendapatkan solusi terbaik, ketika ada konflik sebelumnya dalam
kelompok, atau ketika situasi yang terlalu penting untuk sederhana trade-
off.
c. Kompromi (Compromising) : Orang yang suka gaya mengorbankan
mencoba untuk menemukan solusi yang akan setidaknya sebagian
memuaskan semua orang. Setiap orang diharapkan untuk memberikan
sesuatu, dan kompromi dirinya sendiri juga mengharapkan untuk
melepaskan sesuatu. Kompromi berguna ketika biaya konflik lebih tinggi
daripada biaya kehilangan tanah, saat lawan kekuatan yang sama berada
pada macet dan ketika ada batas waktu menjulang.
d. Akomodasi : Gaya ini menunjukkan kesediaan untuk memenuhi
kebutuhan orang lain dengan mengorbankan kebutuhan orang itu sendiri.
Accommodator sering tahu kapan harus menyerah pada orang lain, tetapi
dapat dibujuk untuk menyerah posisi bahkan ketika itu tidak dibenarkan.
Orang ini tidak tegas tetapi sangat kooperatif. Akomodasi adalah tepat
ketika isu-isu lebih penting ke pihak lain, ketika kedamaian lebih
berharga daripada menang, atau ketika Anda ingin berada dalam posisi
untuk mengumpulkan pada “bantuan” memberi Anda. Namun orang
tidak mungkin kembali nikmat, dan secara keseluruhan pendekatan ini
tidak mungkin untuk memberikan hasil terbaik.
e. Menghindar (avoiding) : Orang cenderung ke arah gaya ini berusaha
untuk menghindari konflik sama sekali. Gaya ini ditandai dengan
mendelegasikan keputusan kontroversial, menerima keputusan default,
dan tidak ingin menyakiti perasaan siapa pun. Hal ini dapat tepat ketika
kemenangan adalah mustahil, ketika kontroversi adalah sepele, atau
ketika orang lain berada dalam posisi yang lebih baik untuk memecahkan
masalah. Namun dalam banyak situasi ini adalah pendekatan yang lemah
dan tidak efektif untuk mengambil.
3. Teori Rahim
M.A. Rahim (1983) mengembangklan model gaya manajemen konflik yang
tidak jauh berbeda dengan model yang dikemukakan oleh Thomas dan
Killman (1974). Klasifikasi gaya manajemen konflik Rahim disusun
berdasrakan dua dimensi : (1) memperhatikan orang lain pada sumbu
horizontal dan (2) memperhatikan diri sendiri. Berdasarkan tinggi
rendahnya, jenis gaya manajemen dibagi menjadi lima, antara lain :
a. Dominasi (dominating) Pihak yang terlibat konflik, hanya berupa
memenuhi tujuannya sendiri dan tidak memperhatikan kebutuhan lawan
konfliknya.
b. Integrasi (Integrating) Pihak yang trelibat konflik berusaha menciptakan
resolusi konflik yang secara maksimal memenuhi tujuan dirinya sendiri
dan tujuan lawan konfliknya.
c. Komromi (compromising) Pengguna gaya ini berusaha memenuhi
sebagian tujuannya dan tujuan lawan onfliknya tanpa berupaya
memaksimalkannya.
d. Menghindar (avoiding) Pihak yang terlibat konflik menolak untuk
berdiskusi mengenai konflik yang terjadi. Ia menolak untuk memenuhi
kebutuhan dirinya sendiri dan kebutuhan lawan konfliknya
e. Menurut (obliging) Pihak yang terlibat konflik, mengombinasikan
perhatiannya yang tinggi terhadap lawan konfliknya dengan perhatiannya
yang rendah terhadap dirinya sendiri.

G. STRATEGI KONFLIK
Strategi konflik adalah proses menentukan tujuan seseoraang terlibat suatu
konflik dan pola interaksi yang digunakan untuk mencapai keluaran konflik
yang diharapkan. Langkah-langkah penyusunan strategi konflik :
1. Analisis SWOT
Analisis SWOT mengenai diri sendiri akan mencerminkan kekuatan dan
kelemahan diri sendiri dalam menghadapi konflik. Analisis SWOT mengenai
lawan konflik akan mencerminkan peluang dan ancaman dari lawan konflik.
2. Menentukan tujuan konflik
Tujuan konflik adalah sesuatu yang ingin dicapai saat menghadapi dan
menyelesaikan konflik. Lebih spesifik adalah target keluaran yang
diharapkan. Contoh a) Menciptakan hubungan baik dengan manajemen
(atasan dan bawahan) b) Bekerja lebih keras dan disiplin c) Mendorong
meningkatkan produktivitas.
3. Pola interaksi konflik
Pola interaksi konflik merupakan bentuk interaksi dengan pihak lawan
konflik dalam upaya mencapai keluaran konflik yang diharapkan. Faktor-
faktor yang memepegaruhi :1) gaya manajemen konflik yang digunakan oleh
pihak-pihak yang terlibat konflik; 2) perkembangan situasi konflik.

H. METODE PENANGANAN KONFLIK


Dalam menyelesaikan konflik kita membutuhkan beberapa metode. Metode
yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah :
1. Mengurangi konflik Untuk metode pengurangan konflik salah satu cara yang
sering efektif adalah dengan mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling
thing down). Meskipun demikian cara semacam ini sebenarnya belum
menyentuh persoalan yang sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat
“musuh bersama”, sehingga para anggota di dalam kelompok tersebut bersatu
untuk menghadapi “musuh” tersebut. Cara semacam ini sebenarnya juga
hanya mengalihkan perhatian para anggota kelompok yang sedang
mengalami konflik.
2. Menyelesaikan konflik. Cara dengan metode penyelesaian konflik yang
ditempuh adalah sebagai berikut :
a. Dominasi (Penekanan) Metode-metode dominasi biasanya memilki dua
macam persamaan, yaitu:
 Mereka menekan konflik, dan bahkan menyelesaikannya dengan jalan
memaksakan konflik tersebut menghilang “di bawah tanah”;
 Mereka menimbulkan suatu situasi manang-kalah, di mana pihak yang
kalah terpaksa mengalah karena otoritas lebih tinggi, atau pihak yang
lebih besar kekuasaanya, dan mereka biasanya menjadi tidak puas,
dan sikap bermusuhan muncul.
Tindakan dominasi dapat terjadi dengan macam-macam cara sebagai
berikut :
 Memaksa (Forcing) Apabila orang yang berkuasa pada pokoknya
menyatakan “Sudah, jangan banyak bicara, saya berkuasa di sini, dan
Saudara harus melaksanakan perintah saya”, maka semua argumen
habis sudah. Supresi otokratis demikian memang dapat menyebabkan
timbulnya ekspresi-ekspresi konflik yang tidak langsung, tetapi
destruktif seperti misalnya ketaatan dengan sikap permusuhan
(Malicious obedience) Gejala tersebut merupakan salah satu di antara
banyak macam bentuk konflik, yang dapat menyebar, apabila supresi
(peneanan) konflik terus-menerusa diterapkan.
 Membujuk (Smoothing) Dalam kasus membujuk, yang merupakan
sebuah cara untuk menekan (mensupresi) konflik dengan cara yang
lebih diplomatic, sang manager mencoba mengurangi luas dan
pentingnya ketidaksetujuan yang ada, dan ia mencoba secara sepihak
membujuk pihak lain, untuk mengkuti keinginannya. Apabila sang
manager memilki lebih banyak informasi dibandingkan dengan pihak
lain tersebut, dan sarannya cukup masuk akal, maka metode tersebut
dapat bersifat efektif. Tetapi andaikata terdapat perasaan bahwa sang
menejer menguntungkan pihak tertentu, atau tidak memahami
persoalan yang berlaku, maka pihak lain yang kalah akan
menentangnya.
 Menghindari (Avoidence) Apabila kelompok-kelompok yang sedang
bertengkar datang pada seorang manajer untuk meminta
keputusannya, tetapi ternyata bahwa sang manajer menolak untuk
turut campur dalam persoalan tersebut, maka setiap pihak akan
mengalami perasaan tidak puas. Memang perlu diakui bahwa sikap
pura-pura bahwa tidak ada konflik, merupakan seuah bentuk tindakan
menghindari. Bentuk lain adalah penolakan (refusal) untuk
menghadapi konflik, dengan jalan mengulur-ulur waktu, dan
berulangkali menangguhkan tindakan, “sampai diperoleh lebih banyak
informasi”.
 Keinginan Mayoritas (Majority Rule) Upaya untuk menyelesaikan
konflik kelompok melalui pemungutan suara, dimana suara terbanyak
menang (majority vote) dapat merupakan sebuah cara efektif, apabla
para angota menganggap prosedur yang bersangkutan sebagai
prosedur yang “fair” Tetapi, apabila salah satu blok yang memberi
suara terus-menerus mencapai kemenangan, maka pihak yang kalah
akan merasa diri lemah dan mereka akan mengalami frustrasi.
3. Penyelesaian secara integratif

Dengan menyelesaikan konflik secara integratif, konflik antar kelompok


diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang bisa dipecahkan
dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah (problem solving). Pihak-
pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba memecahkan masalahnya,dan
bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi. Meskipun hal ini
merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam prakteknya sering sulit
tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang sunguh-
sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan persoalan.
Win-Lose Orientation terdiri dari lima orientasi sebagai berikut:

a. Win-Lose (Menang – Kalah) Paradigma ini mengatakan jika “saya menang,


anda kalah “. Dalam gaya ini seseorang cenderung menggunakan kekuasaan,
jabatan, mandat, barang milik, atau kepribadian untuk mendapatkan apa
yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Dengan paradigma ini
seseorang akan merasa berarti jika ia bisa menang dan orang lain kalah. Ia
akan merasa terancam dan iri jika orang lain menang sebab ia berpikir jika
orang lain menang pasti dirinya kalah. Jika menang pun sebenarnya ia
diliputi rasa bersalah karena ia menganggap kemenangannya pasti
mengorbankan orang lain. Pihak yang kalah pun akan menyimpan rasa
kecewa, sakit hati, dan merasa diabaikan. Sikap Menang-Kalah dapat
muncul dalam bentuk Menggunakan orang lain, baik secara emosional atau
pun fisik untuk kepentingan diri, Mencoba untuk berada di atas orang lain,
Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri nampak baik, Selalu
mencoba memaksakan kehendak tanpa memperhatikan perasaan orang lain,
Iri dan dengki ketika orang lain berhasil
b. Lose-Win (Kalah – Menang) Dalam gaya ini seseorang tidak mempunyai
tuntutan, visi, dan harapan. Ia cenderung cepat menyenangkan atau
memenuhi tuntutan orang lain. Mereka mencari kekuatan dari popularitas
atau penerimaan. Karena paradigma ini lebih mementingkan popularitas dan
penerimaan maka menang bukanlah yang utama. Akibatnya banyak perasaan
yang terpendam dan tidak terungkapkan sehingga akan menyebabkan
penyakit psikosomatik seperti sesak napas, saraf, gangguan sistem peredaran
darah yang merupakan perwujudan dari kekecewaan dan kemarahan yang
mendalam.
c. Lose-Lose (Kalah – Kalah) Biasanya terjadi jika orang yang bertemu sama-
sama punya paradigma Menang-Kalah. Karena keduanya tidak bisa
bernegosiasi secara sehat, maka mereka berprinsip jika tidak ada yang
menang , lebih baik semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh, yang ada
hanya perasaan dendam tanpa menyadari jika orang lain kalah dan dirinya
kalah sama saja dengan bunuh diri.
d. Win (Menang) Orang bermentalitas menang tidak harus menginginkan orang
lain kalah. Yang penting adalah mereka mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Orang bermentalitas menang menjadi egois dan akan mencapai
tujuannya sendiri. Jika hal ini menjadi pola hidupnya maka ia tidak akan bisa
akrab dengan orang lain, merasa kesepian, dan sulit kerja sama dalam tim.
e. Win-Win (Menang-Menang) Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan
hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi.
Menang-Menang berarti mengusahakan semua pihak merasa senang dan
puas dengan pemecahan masalah atau keputusan yang diambil. Paradigma
ini memandang kehidupan sebagai arena kerja sama bukan persaingan.
Paradigma ini akan menimbulkan kepuasan pada kedua belah pihak dan akan
meningkatkan kerja sama kreatif.
Kompromi Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan
menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik. Cara ini lebih
memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari
dua belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun
kalah. Meskipun demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan
ini bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik
pula bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling
bertentangan atau berkonflik. Yang termasuk kompromi diantaranya adalah:
a. Akomodasi Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan
cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain
tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah
taktik perdamaian.
b. Sharing Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi
kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lain
menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap,
tetapi memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA

Killman dan Thomas. 2009. Konflik dan Manajemen Konflik, Teori, Aplikasi dan
Penelitan. Jakarta : Salemba Humanika.

Ross. 2010. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Prespektif Islam. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.

Stroner & Feeman. 2009. Bagaimana Mengelola Konflik ,terj. Arif Santoso. Jakarta:
Bumi Aksara.

Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi Dan Penelitian.
Jakarta: Salemba Hunamika.

Anda mungkin juga menyukai