Mediasi Konflik
Peran Pihak Ketiga dalam
Penyelesaian Konflik
231
... Manfaat Mediasi
Tujuan mediasi untuk membantu menemukan alternatif penyelesaian atas konflik yang
disepakati dan dapat diterima oleh para pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.
Dengan demikian proses negosiasi yang terjadi merupakan proses yang “forward
looking” dan bukan “backward looking”. Mediasi mengupayakan penyelesaian yang
dapat diterima oleh kedua belah pihak bukan mencari kebenaran atau dasar hukum
yang diterapkan. “The goal is not truth finding or law imposing, but problem
solving” (Lovenheim, 1996:1.4). Melalui proses mediasi diharapkan terjalinnya
komunikasi yang lebih baik diantara para pihak. Menjadikan pihak-pihak yang
bersengketa dapat mendengar, memahami penjelasan-argumentasi-alasan yang
menjadi dasar atau pertimbangan pihak lain. Dengan pelibatan pihak ketiga sebagai
mediator diharapkan dapat mengurangi rasa marah atau bermusuhan antara pihak
yang satu dengan yang lain. Memahami kekurangan, kelebihan, dan kekuatan masing-
masing, dan diharapkan dapat mendekatkan cara pandang kedua belah pihak yang
berkonflik menuju fokus kompromi yang dapat diterima.
Pihak-pihak yang terlibat konflik adalah pelaku utama yang harus terlibat dan
berperan aktif dalam proses penyelesaian. Tetapi kecenderungan konflik yang ada saat
ini biasanya selalu melibatkan pihak luar untuk terlibat juga. Hal ini disebabkan karena
empat hal; Pertama, sumber konflik justru lebih banyak karena faktor luar. Kedua,
interdependensi global yang ada mengakibatkan perlunya pihak ketiga turun campur
sebagai pencegahan agar konflik tidak meluas ke negaranya. Ketiga, biaya konflik
berupa tragedi kemanusiaan membuat pihak luar memiliki legitimasi untuk tidak tinggal
diam atau melakukan intervensi. Keempat, adanya kesepakatan dari hampir semua
kajian konflik bahwa konflik yang berlarut-larut hanya dapat diselesaikan dengan
melibatkan pihak luar.
Intervensi pihak ketiga dalam konflik internasional telah memiliki sejarah panjang
dan menjadi sebuah spektrum luas yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu serta telah
mengalami evolusi dari waktuke waktu. Secara sederhana, pihak ketiga adalah individu
232
atau kolektif yang berada di luar konflik antara dua pihak atau lebih yang mencoba
membantu mereka mencapai penyelesaian masalah melalui berbagai kesepakatan.
Keterlibatan pihak ketiga yang paling baik dan efektif adalah apabila
kehadirannya terjadi karena memang diperlukan dan berhasil membantu para
pemimpin setiap pihak yang terlibat konflik untuk menemukan sendiri cara
penyelesaiannya serta berhasil membangun hubungan kerjasama satu sama lain,
sehingga pada akhirnya jasanya tidak diperlukan atau diinginkan lagi. Tidak ada
strategi pendekatan keterlibatan pihak ketiga yang paling baik dalam resolusi konflik,
karena fungsi keberadaannya hanyalah merupakan kompensasi bagi adanya
kekurangan yang ada dalam perselisihan atau konflik itu. Karenanya, pihak ketiga
harus berupaya menyediakan obat sebanyak jumlah penyakit yang ada, obat yang
akan menyembuhkan masyarakat atau kelompok dari penyakit konflik negatif. Tetapi
itu bukan berarti bahwa keterlibatan pihak ketiga sama sekali tidak memiliki pola.
Sangat penting untuk memilah berbagai kemungkinan taktik pihak ketiga, mulai
dari yang mudah sampai skala terberat. Dalam skala ringan, banyak memfasilitasi
berbagai aktifitas yang disandarkan pada kemampuan taktik berkomunikasi. Pihak
ketiga merancang pertemuan para pihak yang terlibat konflik, mendorong
pemahaman bersama untuk menemukan alternatif penyelesaian konflik, mencoba
meningkatkan kepemimpinan, dan menyampaikan pesan. Dalam skala moderat,
aktifitas ditekankan pada taktik formulasi dimana pihak mediator menentukan
struktur agenda, mempengaruhi cara pandang baru terhadap berbagai isu yang ada
dan menyediakan berbagai kemungkinan penyelesaian konflik.
233
terkadang menjadi alternatif yang relatif mudah diterima. Kehadiran unofficial actors
dalam penyelesaian konflik sangat membantu para official actors. Mediasi un-official
jauh lebih mampu menyelesaikan masalah daripada seorang diplomat profesional
sekalipun dalam mencegah jawaban hipotetik. Para praktisi unofficial lebih mampu
menjadikan konflik menang-kalah atau yang didasarkan atas power menjadi ke arah
terbentuknya komunikasi, confidence building, problem solving, sehingga menjadi solusi
menang-menang.
Para pihak yang mengikuti proses mediasi ini berkeinginan untuk menyelesaikan
konflik. Oleh karena itu, para pihak akan melakukan proses mediasi dengan itikad baik,
bersikap kooperatif dengan mediator selama proses mediasi berlangsung; menghadiri
pertemuan mediasi sesuai dengan tanggal dan tempat yang telah disepakati. Salah satu
pihak ataupun kedua belah pihak dapat kapan saja mengundurkan diri dari proses
mediasi yang sedang berlangsung. Para pihak sepakat bahwa apabila nantinya salah
satu pihak atau kedua belah pihak memutuskan untuk mengundurkan diri atau keluar
dari proses mediasi maka hal tersebut didiskusikan terlebih dahulu dihadapan mediator
dan para pihak yang berkonflik. Apabila para pihak mencapai suatu kesepakatan dalam
proses mediasi, maka kesepakatan itu haruslah ditulis dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak sebelum meninggalkan proses mediasi. Kesepakatan yang dicapai dalam
proses mediasi barulah dianggap mengikat apabila telah tertulis dan ditandatangani oleh
para pihak yang bersengketa. Apabila mediator menganggap bahwa permasalahan tidak
dapat diselesaikan melalui proses mediasi, maka proses mediasi berakhir setelah
mediator menyampaikan hal tersebut kepada para pihak.
234
Intervensi pihak ketiga harus melahirkan hasil yang produktif dan inovatif. Oleh
karena itu Fisher (2001) mensyaratkan empat strategi penting yang harus dilakukan;
menimbulkan motivasi positif yang saling mutualistis; menciptakan suasana komunikasi
yang terbuka dan jujur; mendiagnosa berbagai isu dan proses konflik; dan membuat
aturan interaksi melalui rangkaian kerjasama dalam menemukan penyelesaian.
Pandangan lain dari Zartman yang mengungkap lima kesulitan dalam perspektif
yang lebih komprehensif mengapa mediasi dan negosiasi sukar dilakukan dalam konflik
internal; Pertama, tidak adanya keinginan untuk melakukan kompromi dari setiap pihak
yang terlibat konflik. Kedua, situasi atau konteks yang ada belum memungkinkan untuk
dilakukannya mediasi atau belum terciptanya kondisi hurting stalemate. Ketiga,
ketiadaan agen yang mampu menjembatani antar pihak yang terlibat konflik. Keempat,
belum terciptanya hurting stalemate menyebabkan pihak ketiga sulit untuk menemukan
pintu masuk untuk mengajak seluruh pihak bertikai duduk di meja perundingan. Kelima,
persamaan identitas dan solidaritas cenderung tergantung pada konflik. Konfliklah yang
akan melindungi identitas dan solidaritas tersebut sehingga tanpa konflik, dua hal
tersebut akan lenyap. Dalam kasus Aceh, beberapa kesulitan yang diungkap Zartman
berhasil diatasi, tetapi sebagian lagi sulit. Wagner mengatakan masalah dalam perang
sipil adalah bukannya kompromi yang mustahil, tetapi kesulitan dalam menemukan cara
memaksakan sebuah kompromi. Meskipun pihak-pihak yang ada mau melakukan
kompromi atas tujuan politiknya. Ketakutan mereka mungkin akan mencegahnya untuk
melakukan membuat sebuah keputusan dalam kompromi tersebut .
235
236