Anda di halaman 1dari 14

A.

Konsep Manajemen Konflik


Konflik didefinisikan sebagai suatu proses interaksi sosial dimana dua orang atau
lebih, atau dua kelompok atau lebih, berbeda atau bertentangan dalam pendapat atau
tujuan mereka. (Cummings, PW 1986:41). Tidak berbeda dengan pendapat di atas,
Alisjahbana, ST (1986:139), mengartikan konflik adalah perbedaan pendapat dan
pandangan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang akan mencapai nilai yang
sama. Banyak sekali yang mendefenisikan apa itu konflik yang sebenarnya pada intinya
adalah sama. Seperti Folger Et Al menyebutkan bahwa konflik sebagai interaksi orang
saling tergantung yang merasakan ketidakcocokan dan kemungkinan gangguan dari orang
lain sebagai akibat dari ketidakcocokan ini.

Orang sering menganggap bahwa konflik itu sesuatu yang negatif, berbahaya, atau
sesuatu yang harus dihindari. Namun sesungguhnya konflik itu tidak demikian. Konflik
itu bersifat netral. Seperti yang di kemukakan oleh Nicocetra (1997), bahwa
bagaimanapun, konflik itu sendiri netral. Cara orang mengelola konflik, sebaliknya,
adalah indikasi dari kemungkinan hasilnya.

B. Penyebab Terjadinya Konflik

konflik dapat timbul pada berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri individu, antar
individu, kelompok, organisasi, maupun negara. Pendapat Deutch yang dikutip oleh Pernt
dan Ladd (Indati, 1996) menyatakan bahwa proses untuk mendapatkan kesesuaian pada
individu yang mengalami konflik disebut dengan pengelolaan konflik atau bisa disebut
dengan manajemen konflik. Yang akan dibahas pada poin-poin berikutnya.

C. Proses Konflik

Konflik merupakan proses yang dinamis, bukannya kondisi statis. Konflik memiliki awal,
dan melalui banyak tahap sebelum berakhir. Ada banyak pendekatan yang baik untuk
menggambarkan proses suatu konflik antara lain menurut Luthans (2006:140) sebagai
berikut:

1. Antecedent Condition
Merupakan kondisi yang berpotensi untuk menyebabkan, atau mengawali sebuah
episode konflik. Terkadang tindakan agresip dapat mengawali proses konflik. Atecedent
conditions dapat tidak terlihat, tidak begitu jelas di permukaan. Perlu diingat bahwa
kondisi-kondisi ini belum tentu mengawali proses suatu konflik. Sebagai contoh,
tekanan yang didapat departemen produksi suatu perusahaan untuk menekan biaya bisa
menjadi sumber frustasi ketika manager penjualan ingin agar produksi ditingkatkan
untuk memenuhi permintaan pasar yang mendesak. Namun demikian, konflik belum
tentu muncul karena kedua belah pihak tidak berkeras memenuhi keinginannya masing-
masing. Disinilah dikatakan konflik bersifat laten, yaitu berpotensi untuk muncul, tapi
dalam kenyataannya tidak terjadi.

2. Perceived Conflict

Agar konflik dapat berlanjut, kedua belah pihak harus menyadari bahwa mereka
dalam keadaan terancam dalam batas-batas tertentu. Tanpa rasa terancam ini, salah satu
pihak dapat saja melakukan sesuatu yang berakibat negatif bagi pihak lain, namun tidak
disadari sebagai ancaman. Seperti dalam kasus dia atas, bila manager penjualan dan
manager produksi memiliki kebijaksanaan bersama dalam mengatasi masalah
permintaan pasar yang mendesak, bukanya konflik yang akan muncul melainkan
kerjasama yang baik. Tetapi jika perilaku keduanya menimbulkan perselisihan, proses
konflik itu akan cenderung berlanjut.

3. Felt Conflict

Persepsi berkaitan erat dengan perasaan. Karena itulah jika orang merasakan
adanya perselisihan baik secara aktual maupun potensial, ketegangan, frustasi, rasa
marah, rasa takut, maupun kegusaran akan bertambah. Di sinilah mulai diragukannya
kepercayaan terhadap pihak lain, sehingga segala sesuatu dianggap sebagai ancaman,
dan orang mulai berpikir bagaimana untuk mengatasi situasi dan ancaman tersebut.

2.2.4. Manifest Conflict

Persepsi dan perasaan menyebabkan orang untuk bereaksi terhadap situasi


tersebut. Begitu banyak bentuk reaksi yang mungkin muncul pada tahap ini adalah
berbagai argumentasi, tindakan agresif, atau bahkan munculnya niat baik yang
menghasilkan penyelesaian masalah yang konstruktif.

2.2.5. Conflict Resolution or Suppression

Conflict resolution atau hasil suatu konflik dapat muncul dalam berbagai cara.
Kedua belah pihak mungkin mencapai persetujuan yang mengakhiri konflik tersebut.
Mereka bahkan mungkin mulai mengambil langkah-langkah untuk mencegah
terulangnya konflik di masa yang akan datang. Tetapi terkadang terjadi pengacuan
(suppression) dari konflik itu sendiri. Hal ini terjadi jika kedua belah pihak menghindari
terjadintya reaksi yang keras, atau mencoba mengacuhkan begitu saja ketika terjadi
perselisihan. Konflik juga dapat dikatakan selesai jika satu pihak berhasil mengalahkan
pihak yang lain.

2.2.6. Conflict Alternatif

Ketika konflik terselesaikan, tetap ada perasaan yang tertinggal. Terkadang


perasaan lega dan harmoni yang terjadi, seperti ketika kebijaksanaan baru yang
dihasilkan dapat menjernihkan persoalan di antara kedua belah pihak dan dapat
meminimasik konflik-konflik yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Tetapi
jika yang tertinggal adalah perasaan tidak enak dan ketidakpuasan, hal ini dapat menjadi
kondisi yang potensial untuk episode konflik yang selanjutnya. Pertanyaan kunci adalah
apakah pihak-pihak yang terlibat lebih dapat bekerjasama, atau malah semakin jauh
akibat terjadinya konflik.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antar lain sebagai berikut:

 Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikasi. Komunikasi


yang gagal membuat isi berita atas pesan tidak lengkap dan tidak jelas, lengkap
dan jelas tetapi tidak sampai pada si penerima dengan baik dan tepat pada
waktunya, sampai dengan baik dan tepat pada waktunya tetapi tidak diterima dan
ditangkap utuh.
 Perbedaan tujuan karena perbedaan nilai hidup yang dipegang. Tindakan dan
langkah-langkah yang diambil berbeda; cara penyampaian pendapat dan irama
penyampaian berbeda; hal ini juga menyebabkan kurangnya kerjasama. 
Adanya persaingan yang tidak sehat.

 Tidak menaati aturan yang ada – adanya usaha untuk menguasai atau untuk
merugikan orang lain dengan melakukan perlawanan, barangkali ingin
menjatuhkan orang lain karena pendapatnya tidak di terima.

 Pelecehan pribadi (bisa dengan perkataan) maupun kedudukan.

Beberapa hal tersebut diatas merupakan faktor-faktor penyebab konflik, pada poin
berikutnya akan membahas bagaimana manajemen konflik sesuai tipe-tipe konflik
yang ada.

D. Kategori Konflik

1. Tipe Desktruktif

Ini merupakan tipe konflik yang negative atau menghancurkan. Biasanya adanya
usaha ekspansi yang meninggi di atas isu awalnya atau bisa di katakan indivudi
cenderung menyalahkan. Konflik yang terjadi bisa menimbulkan kerugian antara
individu-individu yang terlibat di dalam konflik tersebut. Ada banyak keadaan di mana
konflik menyebabkan orang yang mengalaminya mengalami goncangan (jiwa). Bisa juga
seperti perasaan cemas/tegang (stres) yang tidak perlu atau yang mencekam. Komunikasi
yang menyusut. Persaingan yang semakin meningkat.

2. Tipe Konstruktif

Ini adalah tipe konflik yang positif atau yang membangun. Tipe ini merupakan
bentuk penanganan konflik yang cenderung melakukan negosiasi sehingga terjadi satu
tawar menawar yang menguntungkan serta tetap mempertahankan interaksi sosialnya.
Selain itu dapat pula menggunakan bentuk lain yang disebut reasoning yaitu sudah dapat
berpikir secara logis dalam penyelesaian masalah. Konflik ini berkebalikan dengan
konflik destruktif karena konflik konstruktif justru menyebabkan timbulnya keuntungan-
keuntungan dan bukan kerugian-kerugian bagi individu atau organisasi yang terlibat di
dalamnya.

E. Pengelolaan Konflik (Conflict Management)

Pengelolaan konflik bertujuan untuk mengembangkan dan memberikan


serangkaian pendekatan, alternatif untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan
mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat (Fisher, 2000).
Menurut Johnson setiap orang memiliki Relegiusitas masing-masing dalam mengelola
konflik. Relegiusitas-Relegiusitas ini merupakan hasil belajar, biasanya dimulai dari masa
kanak-kanak dan berlanjut hingga remaja (Supratiknya, 1995).

1. Gaya dalam Mengelola Konflik

Berdasarkan dua pertimbangan di atas, Johnson mengemukakan 5 gaya dalam


mengelola konflik, yaitu :

 Gaya kura-kura

Seperti halnya kura-kura yang lebih senang menarik diri untuk bersembunyi di
balik tempurungnya, maka begitulah orang yang mengalami konflik dan
menyelesaikannya dengan cara menghindar dari pokok persoalan maupun dan orang-
orang yang dapat menimbulkan masalah. Orang yang menggunakan gaya ini percaya
bahwa setiap usaha memecahkan konflik hanya akan sia-sia. Lebih mudah menarik
diri dari konflik, secara fisik maupun psikologis, daripada menghadapinya.

 Gaya ikan hiu

Menyelesaikan masalah dengan gaya ini adalah menaklukkan lawan dengan


cara menerima solusi konflik yang ditawarkan. Bagi individu yang menggunakan
cara ini, tujuan pribadi adalah yang utama, sedangkan hubungan dengan pihak lain
tidak begitu penting. Konflik harus dipecahkan dengan cara satu pihak menang dan
pihak lain kalah. MencaSpiritual kemenangan dengan cara menyerang, mengungguli,
dan mengancam.
 Gaya kancil

Pada gaya ini, hubungannya sangat diutamakan dan kepentingan pribadi


menjadi kurang penting. Penyelesaian konflik menggunakan cara ini adalah dengan
menghindari masalah demi kerukunan.

 Gaya rubah

Gaya ini lebih menekankan pada kompromi untuk mencaSpiritual tujuan


pribadi dan hubungan baik dengan pihak lain yang sama-sama penting.

 Gaya burung hantu

Gaya ini sangat mengutamakan tujuan-tujuan pribadi sekaligus hubungannya


dengan pihak lain, bagi orang-orang yang menggunakan gaya ini untuk
menyelesaikan konflik menganggap bahwa konflik adalah masalah yang harus dicari
pemecahannya yang mana harus sejalan dengan tujuan pribadi maupun tujuan lawan.
Gaya ini menunjukkan bahwa konflik bermanfaat meningkatkan hubungan dengan
cara mengurangi ketegangan yang terjadi antar dua pihak yang bertikai.

2. Empat Kuadran dalam Manajemen Konflik

1.) Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi)

Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik kolaborasi


atau bekerja sama. Tujuan adalah mengatasi konflik dengan menciptakan
penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua
pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena
harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung
ekstrim satu sama lainnya. Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua
pihak untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang
yang kokoh. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing
pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan
berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan
tersebut.
2) Kuadran Menang-Kalah (Persaingan)

Kuadran kedua ini memastikan bahwa ada pihak yang memenangkan


konflik dan pihak lain kalah. Biasanya menggunakan kekuasaan atau pengaruh untuk
mencaSpiritual kemenangan. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan
diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau
kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak
mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah,
sehingga hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian
yang cepat dan tegas.

3) Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi)

Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kalahmenang


ini berarti ada pihak berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan
pihak lain. Gaya digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih
besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat
dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang kita inginkan. Mengalah
dalam hal ini bukan berarti kalah, tetapi kita menciptakan suasana untuk
memungkinkan penyelesaian terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak.

4) Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari konflik)

Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan


menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Bisa berarti bahwa
kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan
kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Cara ini sebenarnya hanya bisa
dilakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting.

Pada dasarnya klasifikasi manajemen konflik yang telah dikemukakan


berdekatan maknanya satu sama lain, hanya saja masing-masing ahli mempunyai
perspektif pendekatan dan istilah yang berbeda. Setelah memperhatikan klasifikasi
manajemen konflik di atas, maka penelitian ini akan menggunakan klasifikasi
manajemen konflik dari Gottman dan Korkoff (Mardianto, 2000) dengan pertimbangan
bahwa klasifikasi dari kedua ahli tersebut mewakili berbagai macam manajemen
konflik yang ada dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti yaitu:

1) Positive problem solving terdiri dari kompromi dan negosiasi. Kompromi


adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat mengurangi
tuntutannya agar tercaSpiritual suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.

2) Conflict engagement (menyerang dan lepas control). Manajemen konflik


ini lebih bersifat mengontrol dan tidak menyerang lawan dalam proses penyelesaian
konflik tetapi lebih-lebih dengan cara yang bersifat perdamaian tanpa menyerang lawan
yang berkonflik.

3) Withdrawal (menarik diri). Pada manajemen konflik ini penyelesaian


konflik, pihak yang berkonflik tidak menarik diri dari konflik yang dialami dan tidak
menggunakan mekanisme pertahan diri, tetapi lebih berusaha menampilkan diri untuk
terus mempertahankan diri guna meyelesaikan konflik yang terjadi.

4) Compliance (menyerah). Manajemen konflik ini penyelesaian konflik


lebih bersifat tidak menyerah dan berusaha terus dalam penyelesai konflik yang terjadi.

F. Faktor-faktor yang Memengaruhi Manajemen Konflik

Pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di


dalam diri individu (internal) dan kondisi eksternal. Cara individu bertingkah laku dalam
menghadapi konflik dengan orang lain akan ditentukan oleh seberapa penting tujuan-
tujuan pribadi dan hubungan dengan pihak lain yang dirasakan sehingga ada dua hal yang
menjadi pertimbangan dalam penyelesaian masalah, yaitu :

 Tujuan atau kepentingan pribadi yang dirasa sebagai hal yang sangat penting
sehingga harus dipertahankan atau tidak penting sehingga bisa dikorbankan.

 Hubungan dengan pihak lain. Sama halnya dengan tujuan pribadi, hubungan
dengan pihak lain ketika konflik terjadi bisa menjadi sangat penting atau sama
sekali tidak penting.
Menurut Boardman dan Horowitz (Mardianto, 2000), karakteristik kepribadian
berpengaruh terhadap gaya manajemen konflik individu. Karakteristik yang berpengaruh
adalah kecenderungan agresif, kebutuhan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi
kooperatif atau kompetitif, kemampuan berempati dan kemampuan menemukan alternatif
penyelesaian konflik. Boardman dan Horowitz juga mengatakan bahwa faktor jenis
kelamin dan sikap etnosentrik sangat berpengaruh pada proses penyelesaian dan akhir
konflik. Sikap etnosentrik adalah cara pandang yang menggunakan norma kelompok
sebagai tolak ukur dalam memandang segala sesuatu serta mengukur atau menilai orang
lain. Hal ini akan memperkecil kemungkinan terjadi proses pemecahan masalah yang
produktif dalam interaksi antar individu dalam kelompok yang berbeda. Selain itu
kemampuan manajemen konflik juga banyak didukung oleh karakteristik-karakteristik
seperti keterbukaan akan pendapat, hubungan yang hangat, serta kebiasaan untuk tidak
memecahkan masalah secara sepihak. Manajemen konflik disebut konstruktif bila dalam
upaya menyelesaikan konflik tersebut kelangsungan hubungan antara pihakpihak yang
berkonflik masih terjaga dan masih berinteraksi secara harmonis.

Dister (1988) menjelaskan lebih dalam mengenai keutamaan agama sebagai


pendidikan dan pegangan hidup bermasyarakat. Fungsi agama tersebut merupakan wujud
kecerdasan Spiritual individu yang berkaitan langsung dengan moral dan nilai sosial
individu. Selanjutnya dikatakan bahwa nilai-nilai moral manusia berupa keadilan,
kejujuran, keteguhan hati dimiliki tiap-tiap individu dan interaksi dengan Tuhan akan
menuntut manusia untuk menerapkan nilai-nilai yang benar. Hal ini berlaku pada saat
individu melakukan interaksi dengan sesama manusia.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar maka
faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen konflik adalah faktor eksternal yang
meliputi pendidikan dalam keluarga, lingkungan rumah dan sekolah, dan solidaritas
kelompok, sedangkan faktor internal meliputi ketidakmampuan adaptasi yang
menimbulkan tekanan sehingga mudah frustasi konflik batin, tidak peka pada perasaan
orang lain dan emosi yang labil.
1. Manajemen Konflik yang Tidak Produktif

Manfaat utama dalam membahas metode-metode yang tidak efektif ini adalah
memungkinkan kita mengidentifikasi mereka dalam perilaku orang lain dan juga dalam
perilaku kita sendiri. Jika kita telah mengidentifikasi metode-metode ini, kita dapat
berusaha mengurangi mereka dalam komunikasi yang kita lakukan.

1) Penghindaran, Non-negosiasi, dan Redefenisi.

Salah satu reaksi terhadap konflik yang paling sering dilakukan adalah
penghindaran (avoidance). Sering ini dijumpai dalam bentuk pelarian fisik. Orang
mungkin meninggalkan tempat konflik, tidur, atau menyetel radio keras-keras. Reaksi ini
dapat pula berbentuk penghindaran emosional dan intelektual. Disini orang meninggalkan
konflik secara psikologis dengan tidak menanggapi argumen atau masalah yang
dikemukakan.

Dalam non-negosiasi – jenis ini khusus penghindaran, seseorang tidak mau


mendiskusikan atau mendengarkan argumen pihak lain. Kadang-kadang nonnegosiasi ini
dilakukan dalam bentuk memaksakan pendapatnya sampai pihak lain menyerah. Ini
adalah teknik yang dinamakan “Streamrolling”(bulldoser).

Adakalanya konflik atau sumber yang dituduh sebagai penyebab konflik


diredefenisi sedemikian rupa sehingga seakan-akan sama sekali tidak ada konflik, seperti
bila orang berkata, “Ini bukan kencan – hanya perjalanan bisnis yang kita lakukan
bersama.” Kali lain, konflik mungkin diredefenisi sehingga menjadi masalah yang sama
sekali berbeda, seperti bila seseorang berkata, “Kecemburuanmu berlebihan. Sebaiknya
kamu berkonsultasi ke psikiater. Saya tidak sanggup menghadapi kecemburuanmu setiap
hari.”

Perhatikanlah bahwa dengan perilaku-perilaku seperti ini, sumber konflik tidak


pernah di hadapi. Ia hanya di kesampingkan. Suatu saat konflik ini akan muncul kembali.

2) Pemaksaan

Barangkali metode paling tidak produktif untuk menangani konflik adalah


pemaksaan fisik. Bila dihadapkan pada konflik, banyak orang berusaha memaksakan
keputusan atau cara berpikir mereka dengan menggunakan pemaksaan atau kekuatan
fisik. Ada pun, pemaksaan ini lebih bersifat emosional daripada fisik. Tetapi, apapun
yang di lakukan, pokok masalahnya tetap tidak tersentuh. Pihak yang “menang” adalah
pihak yang paling banyak menggunakan kekuatan.

Ini adalah teknik yang digunakan oleh negara-negara atau pasangan suami istri
yang sedang berperang. Juga teknik ini sering digunakan oleh para mahasiswa/i yang
sedang berpacaran.

3) Minimasi

Adakalanya kita mengatasi konflik dengan menganggapnya remeh. Kita


mengatakan dan barangkali percaya, bahwa konflik, penyebabnya, dan akibatnya sama
sekali tidak penting. Kita menggunakan minimasi bila kita menganggap enteng perasaan
orang lain. Seperti halnya, “Mengapa kamu marah? Saya hanya terlambat dua jam.
Dengan melakukan ini kita sama halnya mengatakan bahwa tindakan orang lain tersebut
tidak pantas.

4) Menyalahkan

Paling sering konflik disebabkan oleh banyak macam faktor sehingga setiap upaya
untuk hanya memecahkan satu atau dua di antaranya akan berakhir dengan kegagalan.
Meskipun demikian, seringkali orang menerapkan strategi bertengkar yang di sebut
menyalahkan orang lain. Dalam beberapa kasus kita menyalahkan diri kita sendiri.
Namun, lebih sering kita menyalahkan orang lain. Ini merupakan hal tidak efektif dalam
mengelola konflik.

5) Peredam

Peredam mencakup beragam teknik bertengkar yang secara harfiah membungkam


pihak lain. Salah satunya adalah dengan menangis. Ini hal paling sering di alami oleh
wanita, ketika menghadapi suatu konflik yang begitu complicated dan tidak tahu
bagaimana lagi cara mengatasinya, mereka cenderung menangis. Hal lain yang terjadi dan
mungkin juga dilakukan adalah dengan meluapkan emosi secara berlebihan: teriak-teriak,
menjerit, yang sebenarnya sama sekali tidak membuat konflik menjadi selesai.

6) Karung goni

Hal ini merupakan hal yang sangat berbahaya. Mengapa? Karena ini mengacu pada
tindakan menimbun kekecewaan dan kemudian menumpahkannya pada lawan
bertengkar.

2. Manajemen Konflik yang Efektif

Menurut George Bach dan Peter Wyden dalam buku nya yang berjudul Intimate Enemy
(1968), ada beberapa pedoman untuk mengelola konflik menjadi lebih produktif.

1) Berkelahi secara sportif

Kita perlu memahami orang lain. Seperti, dengan melakukan hal ini apakah si A
akan baik-baik saja? Atau dengan berkata hal ini dia tidak akan tersinggung? Dengan
demikian kita menjadi seorang yang lebih melihat reaksi orang lain ketika kita hendak
mengeluarkan tindakan atau kata-kata. Jangan melewati batas-batas – seperti mencela
orang tua, atau pekerjaan orang tua orang lain.

2) Bertengkar secara aktif

Maksudnya adalah saat kita menghadapi konflik, kita harus aktif – bukan dengan
menutup telinga (atau ogah mendengar pertentangan yang sedang dihadapi). Atau dengan
meninggalkan rumah. Masa pendinginan adakalanya baik dan bisa juga kurang efektif.

3) Bertanggung jawab atas pikiran dan perasaan Anda

Maksdunya adalah ketika kita tidak setuju dengan pendapat orang lain – kita
ungkapkan perasaan kita. Bicarakanlah.

4) Langsung dan Spesifik

Ini sebenarnya sudah termasuk di dalam poin yang kedua, yaitu dimana kita harus
fokus pada permasalahan yang terjadi – tidak melantur ke masalah-masalah yang lain.
Seperti halnya, mengatakan ibunya, atau kejadian lain yang tidak ada hubungannya
dengan masalah pada saat itu.
REFERENSI

A. DeVito, Joseph. 2011. Komunikasi Antarmanusia: Manajemen Konflik, p299-309.

Drs. H. Ahmad, T. Manajemen Konflik.

Mardianto, A. dkk. 2000. Penggunaan Manajemen Konflik Ditinjau Dari Status


Keikutsertaan Dalam Mengikuti Kegiatan Pencinta Alam Di Universitas Gajah Mada.
Jurnal Psikologi, No. 2

Miyarso, Estu. 2006. Manajemen Konflik Mahasiswa Sebagai Metode Pembelajaran


Alternatif. Jurnal Penelitian.

Muspawi, Mohamad. 2014. Manajemen Konflik (Upaya Penyelesaian Konflik dalam


Organisasi). Jurnal Penelitian, Vol 16 No. 2

Robert D, Enright. 2015. Forgiveness Therapy: American Psyicological Association.


Washington, DC.

Wartini, Sri. 2015. Strategi Manajemen Konflik Sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja
Teamwork Tenaga Kependidikan. Jurnal Manajemen dan Organisasi, No. 1

Anda mungkin juga menyukai