Orang sering menganggap bahwa konflik itu sesuatu yang negatif, berbahaya, atau
sesuatu yang harus dihindari. Namun sesungguhnya konflik itu tidak demikian. Konflik
itu bersifat netral. Seperti yang di kemukakan oleh Nicocetra (1997), bahwa
bagaimanapun, konflik itu sendiri netral. Cara orang mengelola konflik, sebaliknya,
adalah indikasi dari kemungkinan hasilnya.
konflik dapat timbul pada berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri individu, antar
individu, kelompok, organisasi, maupun negara. Pendapat Deutch yang dikutip oleh Pernt
dan Ladd (Indati, 1996) menyatakan bahwa proses untuk mendapatkan kesesuaian pada
individu yang mengalami konflik disebut dengan pengelolaan konflik atau bisa disebut
dengan manajemen konflik. Yang akan dibahas pada poin-poin berikutnya.
C. Proses Konflik
Konflik merupakan proses yang dinamis, bukannya kondisi statis. Konflik memiliki awal,
dan melalui banyak tahap sebelum berakhir. Ada banyak pendekatan yang baik untuk
menggambarkan proses suatu konflik antara lain menurut Luthans (2006:140) sebagai
berikut:
1. Antecedent Condition
Merupakan kondisi yang berpotensi untuk menyebabkan, atau mengawali sebuah
episode konflik. Terkadang tindakan agresip dapat mengawali proses konflik. Atecedent
conditions dapat tidak terlihat, tidak begitu jelas di permukaan. Perlu diingat bahwa
kondisi-kondisi ini belum tentu mengawali proses suatu konflik. Sebagai contoh,
tekanan yang didapat departemen produksi suatu perusahaan untuk menekan biaya bisa
menjadi sumber frustasi ketika manager penjualan ingin agar produksi ditingkatkan
untuk memenuhi permintaan pasar yang mendesak. Namun demikian, konflik belum
tentu muncul karena kedua belah pihak tidak berkeras memenuhi keinginannya masing-
masing. Disinilah dikatakan konflik bersifat laten, yaitu berpotensi untuk muncul, tapi
dalam kenyataannya tidak terjadi.
2. Perceived Conflict
Agar konflik dapat berlanjut, kedua belah pihak harus menyadari bahwa mereka
dalam keadaan terancam dalam batas-batas tertentu. Tanpa rasa terancam ini, salah satu
pihak dapat saja melakukan sesuatu yang berakibat negatif bagi pihak lain, namun tidak
disadari sebagai ancaman. Seperti dalam kasus dia atas, bila manager penjualan dan
manager produksi memiliki kebijaksanaan bersama dalam mengatasi masalah
permintaan pasar yang mendesak, bukanya konflik yang akan muncul melainkan
kerjasama yang baik. Tetapi jika perilaku keduanya menimbulkan perselisihan, proses
konflik itu akan cenderung berlanjut.
3. Felt Conflict
Persepsi berkaitan erat dengan perasaan. Karena itulah jika orang merasakan
adanya perselisihan baik secara aktual maupun potensial, ketegangan, frustasi, rasa
marah, rasa takut, maupun kegusaran akan bertambah. Di sinilah mulai diragukannya
kepercayaan terhadap pihak lain, sehingga segala sesuatu dianggap sebagai ancaman,
dan orang mulai berpikir bagaimana untuk mengatasi situasi dan ancaman tersebut.
Conflict resolution atau hasil suatu konflik dapat muncul dalam berbagai cara.
Kedua belah pihak mungkin mencapai persetujuan yang mengakhiri konflik tersebut.
Mereka bahkan mungkin mulai mengambil langkah-langkah untuk mencegah
terulangnya konflik di masa yang akan datang. Tetapi terkadang terjadi pengacuan
(suppression) dari konflik itu sendiri. Hal ini terjadi jika kedua belah pihak menghindari
terjadintya reaksi yang keras, atau mencoba mengacuhkan begitu saja ketika terjadi
perselisihan. Konflik juga dapat dikatakan selesai jika satu pihak berhasil mengalahkan
pihak yang lain.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antar lain sebagai berikut:
Tidak menaati aturan yang ada – adanya usaha untuk menguasai atau untuk
merugikan orang lain dengan melakukan perlawanan, barangkali ingin
menjatuhkan orang lain karena pendapatnya tidak di terima.
Beberapa hal tersebut diatas merupakan faktor-faktor penyebab konflik, pada poin
berikutnya akan membahas bagaimana manajemen konflik sesuai tipe-tipe konflik
yang ada.
D. Kategori Konflik
1. Tipe Desktruktif
Ini merupakan tipe konflik yang negative atau menghancurkan. Biasanya adanya
usaha ekspansi yang meninggi di atas isu awalnya atau bisa di katakan indivudi
cenderung menyalahkan. Konflik yang terjadi bisa menimbulkan kerugian antara
individu-individu yang terlibat di dalam konflik tersebut. Ada banyak keadaan di mana
konflik menyebabkan orang yang mengalaminya mengalami goncangan (jiwa). Bisa juga
seperti perasaan cemas/tegang (stres) yang tidak perlu atau yang mencekam. Komunikasi
yang menyusut. Persaingan yang semakin meningkat.
2. Tipe Konstruktif
Ini adalah tipe konflik yang positif atau yang membangun. Tipe ini merupakan
bentuk penanganan konflik yang cenderung melakukan negosiasi sehingga terjadi satu
tawar menawar yang menguntungkan serta tetap mempertahankan interaksi sosialnya.
Selain itu dapat pula menggunakan bentuk lain yang disebut reasoning yaitu sudah dapat
berpikir secara logis dalam penyelesaian masalah. Konflik ini berkebalikan dengan
konflik destruktif karena konflik konstruktif justru menyebabkan timbulnya keuntungan-
keuntungan dan bukan kerugian-kerugian bagi individu atau organisasi yang terlibat di
dalamnya.
Gaya kura-kura
Seperti halnya kura-kura yang lebih senang menarik diri untuk bersembunyi di
balik tempurungnya, maka begitulah orang yang mengalami konflik dan
menyelesaikannya dengan cara menghindar dari pokok persoalan maupun dan orang-
orang yang dapat menimbulkan masalah. Orang yang menggunakan gaya ini percaya
bahwa setiap usaha memecahkan konflik hanya akan sia-sia. Lebih mudah menarik
diri dari konflik, secara fisik maupun psikologis, daripada menghadapinya.
Gaya rubah
Tujuan atau kepentingan pribadi yang dirasa sebagai hal yang sangat penting
sehingga harus dipertahankan atau tidak penting sehingga bisa dikorbankan.
Hubungan dengan pihak lain. Sama halnya dengan tujuan pribadi, hubungan
dengan pihak lain ketika konflik terjadi bisa menjadi sangat penting atau sama
sekali tidak penting.
Menurut Boardman dan Horowitz (Mardianto, 2000), karakteristik kepribadian
berpengaruh terhadap gaya manajemen konflik individu. Karakteristik yang berpengaruh
adalah kecenderungan agresif, kebutuhan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi
kooperatif atau kompetitif, kemampuan berempati dan kemampuan menemukan alternatif
penyelesaian konflik. Boardman dan Horowitz juga mengatakan bahwa faktor jenis
kelamin dan sikap etnosentrik sangat berpengaruh pada proses penyelesaian dan akhir
konflik. Sikap etnosentrik adalah cara pandang yang menggunakan norma kelompok
sebagai tolak ukur dalam memandang segala sesuatu serta mengukur atau menilai orang
lain. Hal ini akan memperkecil kemungkinan terjadi proses pemecahan masalah yang
produktif dalam interaksi antar individu dalam kelompok yang berbeda. Selain itu
kemampuan manajemen konflik juga banyak didukung oleh karakteristik-karakteristik
seperti keterbukaan akan pendapat, hubungan yang hangat, serta kebiasaan untuk tidak
memecahkan masalah secara sepihak. Manajemen konflik disebut konstruktif bila dalam
upaya menyelesaikan konflik tersebut kelangsungan hubungan antara pihakpihak yang
berkonflik masih terjaga dan masih berinteraksi secara harmonis.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar maka
faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen konflik adalah faktor eksternal yang
meliputi pendidikan dalam keluarga, lingkungan rumah dan sekolah, dan solidaritas
kelompok, sedangkan faktor internal meliputi ketidakmampuan adaptasi yang
menimbulkan tekanan sehingga mudah frustasi konflik batin, tidak peka pada perasaan
orang lain dan emosi yang labil.
1. Manajemen Konflik yang Tidak Produktif
Manfaat utama dalam membahas metode-metode yang tidak efektif ini adalah
memungkinkan kita mengidentifikasi mereka dalam perilaku orang lain dan juga dalam
perilaku kita sendiri. Jika kita telah mengidentifikasi metode-metode ini, kita dapat
berusaha mengurangi mereka dalam komunikasi yang kita lakukan.
Salah satu reaksi terhadap konflik yang paling sering dilakukan adalah
penghindaran (avoidance). Sering ini dijumpai dalam bentuk pelarian fisik. Orang
mungkin meninggalkan tempat konflik, tidur, atau menyetel radio keras-keras. Reaksi ini
dapat pula berbentuk penghindaran emosional dan intelektual. Disini orang meninggalkan
konflik secara psikologis dengan tidak menanggapi argumen atau masalah yang
dikemukakan.
2) Pemaksaan
Ini adalah teknik yang digunakan oleh negara-negara atau pasangan suami istri
yang sedang berperang. Juga teknik ini sering digunakan oleh para mahasiswa/i yang
sedang berpacaran.
3) Minimasi
4) Menyalahkan
Paling sering konflik disebabkan oleh banyak macam faktor sehingga setiap upaya
untuk hanya memecahkan satu atau dua di antaranya akan berakhir dengan kegagalan.
Meskipun demikian, seringkali orang menerapkan strategi bertengkar yang di sebut
menyalahkan orang lain. Dalam beberapa kasus kita menyalahkan diri kita sendiri.
Namun, lebih sering kita menyalahkan orang lain. Ini merupakan hal tidak efektif dalam
mengelola konflik.
5) Peredam
6) Karung goni
Hal ini merupakan hal yang sangat berbahaya. Mengapa? Karena ini mengacu pada
tindakan menimbun kekecewaan dan kemudian menumpahkannya pada lawan
bertengkar.
Menurut George Bach dan Peter Wyden dalam buku nya yang berjudul Intimate Enemy
(1968), ada beberapa pedoman untuk mengelola konflik menjadi lebih produktif.
Kita perlu memahami orang lain. Seperti, dengan melakukan hal ini apakah si A
akan baik-baik saja? Atau dengan berkata hal ini dia tidak akan tersinggung? Dengan
demikian kita menjadi seorang yang lebih melihat reaksi orang lain ketika kita hendak
mengeluarkan tindakan atau kata-kata. Jangan melewati batas-batas – seperti mencela
orang tua, atau pekerjaan orang tua orang lain.
Maksudnya adalah saat kita menghadapi konflik, kita harus aktif – bukan dengan
menutup telinga (atau ogah mendengar pertentangan yang sedang dihadapi). Atau dengan
meninggalkan rumah. Masa pendinginan adakalanya baik dan bisa juga kurang efektif.
Maksdunya adalah ketika kita tidak setuju dengan pendapat orang lain – kita
ungkapkan perasaan kita. Bicarakanlah.
Ini sebenarnya sudah termasuk di dalam poin yang kedua, yaitu dimana kita harus
fokus pada permasalahan yang terjadi – tidak melantur ke masalah-masalah yang lain.
Seperti halnya, mengatakan ibunya, atau kejadian lain yang tidak ada hubungannya
dengan masalah pada saat itu.
REFERENSI
Wartini, Sri. 2015. Strategi Manajemen Konflik Sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja
Teamwork Tenaga Kependidikan. Jurnal Manajemen dan Organisasi, No. 1