DOSEN PENGAJAR :
DR. RAWA EL AMADY, M.A
OLEH:
APEN TARUNA (2295101021)
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia
menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup,
terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai
kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis,
kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.
Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness)
dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya
tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong
terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum
proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan
antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat
mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan
konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak
akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti
pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik
juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik
juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda
ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan
subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Resolusi konflik dalam bahasa Inggris dikenal dengan conflict resolution yang
memiliki makna berbeda-beda menurut para ahli yang fokus meneliti tentang konflik.
Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine (1998: 3) adalah (1) tindakan
mengurai suatu permasalahan, (2) pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan
permasalahan.
Dari pemaparan teori menurut para ahli tersebut maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu cara pihak-pihak yang
berkonflik dengan atau tanpa bantuan pihak luar untuk menyelesaikan konflik. Resolusi
konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif
untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang
berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan
melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk menjembatani dan membantu
pihak-pihak yang berkonflik dalam memecahkan masalahnya dengan diutamakan cara
yang damai. Secara umum, untuk menyelesaikan konflik dikenal beberapa istilah:
a) Konsiliasi, di mana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk
mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau
memaksakan kehendaknya masing-masing;
b) Mediasi, ketika kedua pihak sepakat mencari nasihat dari pihak ketiga (berupa tokoh,
ahli atau lembaga tertentu yang dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian yang
mendalam tentang permasalahan yang dihadapi dalam konflik), nasihat yang diberikan
oleh mediator tidak mengikat kedua pihak yang bertikai dalam konflik, hanya sebatas
sebagai saran;
c) Arbitrasi, kedua belah pihak sepakat untuk mendapat keputusan akhir yang bersifat
legal dari arbiter sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan konflik (Keethaponcalan,
2017: 60). Pihak-pihak wajib menjalankan keputusan yang telah diambil oleh arbiter.
1) Menyalurkan berbagai ketegangan yang bersifat laten (tidak begitu nampak) agar
tidak terjadi akumulasi ketegangan yang bisa membuat konflik jadi makin besar dan
sulit untuk diselesaikan. Dengan mengatasi berbagai konflik secara 52 laten diharapkan
mengurangi bentuk-bentuk polarisasi, politisasi dan bentukbentuk provokasi yang akan
semakin memperparah konflik.