Anda di halaman 1dari 20

KEGIATAN BELAJAR 2

DEFINISI KONFLIK, FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB


DAN DAMPAKNYA

Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Menguasai konsep dan teori tentang konflik dan kekerasan, tipe dan bentuk konflik,
faktor-faktor penyebab konflik dan dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan manusia

Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan :


1. Menjelaskan defenisi konflik menurut pandangan para ahli
2. Menelaah tipe dan bentuk konflik
3. Menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya konflik
4. Menganalisis dampak konflik bagi kehidupan manusia

Pokok-Pokok Materi
1. Defenisi Konflik menurut pandangan Para ahli
2. Tipe dan Bentuk Konflik
3. Faktor-faktor Penyebab Konflik
4. Dampak Konflik bagi kehidupan manusia

Metode:

1. Learning Experience
2. Analisis Film
3. Diskusi Kelompok

35
URAIAN MATERI

1. Defenisi Konflik menurut Pandangan Para ahli

a. Pengertian Konflik dan Kekerasan

Konflik adalah hubungan antara kedua pihak atau lebih (individu atau
kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak
sejalan (Marc Howard Ross: 1993). Jadi konflik adalah kenyataan hidup dan tidak
terhindarkan dalam relasi antar individu maupun komunal dan sering bersifat kreatif.
Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat
dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan dan sering menghasilkan
sesuatu yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua orang yang terlibat. Dari
tingkat mikro, antar pribadi, hingga kelompok, organisasi, masyarakat dan Negara,
semua bentuk hubungan manusia – sosial, ekonomi dan kekuasaan, mengalami
perubahan, pertumbuhan dan konflik. Konflik timbul karena adanya
ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan itu. Misalnya kesenjangan status
sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terahadp
sumber daya serta kekuasaan yang tidak seimbang.
Kekerasan adalah perbuatan atau tindakan seseorang atau sekelompok
orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik. Simon Fisher mengatakan kekerasan meliputi tindakan, perkataan,
sikap dan berbagai struktur atau sistim yang menyebabkan kerusakan secara fisik,
mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih
potensinya secara penuh (Simon Fisher: 2000). Sedangkan menurut Eric Fromm,
kekerasan tidak perlu dicari pada insting manusia tapi pada kondisi khas
eksistensinya sebagai manusia (Eric Fromm: 1973). Menurutnya, kekerasan
tidaklah melekat pada watak buruk dalam diri manusia, melainkan bersumber dari
situasi ketika seseorang mengalami hambatan untuk bertumbuh secara baik.
Hambatan ini kemudian membalikkan pertumbuhan positif ke tindakan yang
destruktif. Lebih lanjut Ia mengatakan, sumber kekerasan dalam diri seseorang
yakni kekerasan defensive untuk mempertahankan diri dan kekerasan destruktif
yang bertujuan untuk menyengsarakan atau membunuh orang lain. Thomas

36
Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo
homini lupus) artinya kekerasan bukanlah secara instrinsik ada dalam diri manusia
tetapi ia muncul ketika kepentingan pribadi harus dimenangkan, sehingga
kekerasan menjadi pilihan. Sedangkan menurut Galtung, kekerasan berarti
merugikan dan/atau menciderai. Kekerasan dapat berupa kekerasan fisik dan
mental, kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung (kekerasan structural) dan
kekerasan kultural (Johan Galtung; 2003).
Konflik merupakan bagian hidup yang harus dijalani manusia. Sejarah
mencatat bahwa konflik yang dihadapi manusia sangatlah beragam. Menurut
Habermas, konflik mesti dianggap positif ketika konflik dipahami sebagai sebuah
peluang untuk kemajuan. Dalam kenyataannya, konflik masih dipahami sebagai
sesuatu yang bertentangan dengan norma atau kaidah kehidupan. Artinya konflik
cenderung dimaknai negate, disfungsional dan sering berkembang menjadi konflik
kekerasan (Priyanti: 2003). Berikut ini pandangan para ahli tentang konflik,
diantaranya : Karl Marx, George Simmel, Weber, Lewis A. Coser dan Johan
Galtung, dan akan dibahas satu per satu

b. Pandangan Karl Marx

Konflik menurut Karl Marx terjadi karena adanya perbedaan struktur sosial
dan ekonomi antara kelas-kelas sosial yang semakin melebar dalam masyarakat
khususnya terkait dengan kepemilikan alat produksi. Kesenjangan kelas sosial
tersebut terjadi di antara kelas borjouis (para penguasa) dan kaum proletar (kaum
buruh). Sehingga konflik bertujuan untuk terjadinya perubahan struktur sosial
dalam masyarakat dengan cara revolusi proletariat (Tuhana Taufig Adrianto:
2000).
Marx membagi kesadaran manusia menjadi “kesadaran palsu” dan
“kesadaran benar”. Ia meyakini bahwa kepatuhan para buruh dalam
pekerjaaannya merupakan kesadaran palsu, sebab sesungguhnya dalam diri
mereka terdapat bentuk kebutuhan lain yang ingin diperjuangkannya. Adanya
control terhadap kebutuhan manusia menurutnya akan menghasilkan rasa
teralienasi atau perasaan akan keterasingan. Alienasi tersebut dapat berupa 4 tipe

37
yakni alienasi dari proses poduksi, alienasi dari produk yang dhasilkan oleh
kegiatan indvidu, alienasi dari manusia lain di sekitarnya serta alienasi dari dirinya
sendiri.
Manusia selalu berada dalam pengaruh struktur sosialnya. Bentuk
dominasi yang dinyatakan melalui orientasi budaya dapat memengaruhi
kesadaran subjektif individu. Bentuk dominasi ini dapat meliputi pembentukan
pandangan hidup dan cara berpikir dengan tujuan untuk memperkuat struktur
kekuasaan. Dalam masyarakat kapitalis akan terjadi dominasi baik dalam bentuk
halus maupun tajam yang berupa ekspansi kapasitas produksi dari sistim
kapitalias itu sendiri. Sekalipun kaum buruh yang mengalami dominasi dan
kesulitan ekonomi serta kesengsaraan namun mereka menjadi orang pasif dan
pasrah. Mereka lebih suka mendukung status quo dan menjamin keselamatan
mereka serta usaha mempertahankan kesejahteraan daripada mengambil resiko
masuk dalam perjuangan revolusioner untuk menghasilkan perubahan sosial yang
diinginkan. Pada sisi lain, peran negara relative lebih pasif dibandingkan dengan
peran institusi-institusi yang mempunyai otonomi seperti lembaga pendidikan,
organisasi ilmiah dan professional, media masa, dan lain sebagainya. Bagi Marx,
lembaga-lembaga ini memiliki otonomi yang penting untuk berkembang sesuai
dengan logikanya sendiri terlepas dari kontrol politik secara terbuka. Sekalipun
demikian, institusi tersebut harus bekerja dalam suatu kerangka biasa yang
ditentukan oleh pemerintah. Jadi sistim politik merupakan sebab dari dominasi
ekonomi dan dominasi budaya. Hasilnya adalah keasadaran individu dibentuk
untuk menjamin kesetiaan politik mereka dan konformintas terhadap persyaratan
sistim itu.
Marx memberikan gambaran tentang model-model konflik klas revolusioner
dan perubahan sosial (the model of revolutionary class conflict and social change).
Menurutnya semakin besar terdapat ketidakadilan dalam distribusi sumber-
sumber langka yang ada dalam sistim itu, maka akan semakin besar terjadi konflik
kepentingan antara segmen dominan dan subordinat.

38
c. Pandangan George Simmel

Serupa dengan Marx, George Simmel juga memandang bahwa konflik


merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan di dalam suatu masyarakat. Namun
Simmel tidak sependapat untuk melihat struktur sosial sebagai sistim yang hanya
terbagi atas dua (kelas dominan dan subordinat) tetapi lebih pada suatu proses
asosiatif dan disosiatif yang saling bercampur dan tidak dapat saling dipisahkan.
Pemisahan itu hanya dapat dilakukan dalam tingkat analisa bukan pada level
realitas.
Terkait dengan kekerasan yang terjadi dalam konflik, Simmel mengajukan
proposisi tentang intensitas konflik sebagai berikut:
1). Semakin besar tingkat keterlibatan emosi di dalam konflik, konflik akan semakin
keras. Semakin besar solidaritas di antara para anggota yang terlibat dalam
konflik, semakin besar pula tingkat keterlibatan emosinya. Semakin besar
keharmonisan yang ada sebelumnya di antara anggota yang terlibat konflik,
semakin besar pula tingkat keterlibatan emosinya.
2). Semakin suatu konflik dirasakan oleh para anggota yang terlibat konflik sebagai
sesuatu yang memperjuangkan kepentingan individu, semakin cenderung
konflik akan berlangsung keras.
3). Semakin konflik dapat dipahami sebagai sesuatu yang akan berakhir, semakin
kurang kecenderungan konflik akan menjadi keras.

Berdasarkan proposisi tersebut, maka menurut Simmel kekerasan di dalam


konflik terjadi karena pertama: keterlibatan emosional dari para anggota, dimana
keterlibatan tersebut dipengaruhi oleh solidaritas dan harmonitas yang tercipta
sebelumnya. Kedua: konflik dipersepsi sebagai suatu media untuk
memperjuangan kepentingan pribadi dari masing-masing anggota. Suatu tindakan
emosional yang tidak rasional atau dalam bahasa sosiologi dianggap sebagai
“unobtainable”, tidak dapat mencapai ukuran-ukuran yang masuk akal. Perilaku
semacam itu sulit dikendalikan, jika hanya mengandalkan anjuran-anjuran rasional
karena para pelaku sedang tidak dalam kondisi emosi yang normal.

39
Selain hal tersebut di atas, konflik akan berlangsung brutal jika kekerasan
tersebut dipersepsi oleh para pelaku sebagai alat atau media untuk
memperjuangkan kepentingan individu dari masing-masing kelompok. Dalam
posisi semacam ini, pelaku pertikaian sama-sama meyakini bahwa hanya dengan
cara mengalahkan musuhlah maka kehidupannya akan menjadi lebih terjamin.
Model semacam ini banyak terjadi dalam peristiwa kekerasan di Indonesia.

d. Pandangan Weber

Weber berfokus pada sisi historis transisi masyarakat tradisional menuju


masyarakat kapitalis modern. Menurutnya masyarakat akan diarahkan
rasionalitasnya daripada nilai-nilai tradisional. Meluasnya birokrasi di dalam
wilayah ekonomi dan pasar menjadikan individu harus mempergunakan
rasionalitasnya. Hal ini juga semakin menghilangnya moral tradisonal sebagai
pedoman kehidupan. Rasionalisasi kehidupan dapat membawa kebebasan baru
bagi individu-individu dari dominasi dogma religious, komunitas, klas, dan
kekuatan tradisonal lain menuju bentuk dominasi baru. Dominasi baru berupa
kekuatan ekonomi yang bersifat impersonal (seperti pasar, birokrasi yang
berbadan hukum), yang oleh luasnya alat administrasi dikembangkan oleh negara.
Weber melihat korelasi yang tinggi antara kekuasaan (power), kekayaan
(wealth) dan martabat (prestige). Dalam istilah Weber, jabatan atau wewenang
dalam kekuasaan politik (party), pemilikan posisi ekenomi yang menguntungkan
(class) dan keanggotaan di dalam kedudukan sosial yang tinggi (status group).
Ketegangan dan kemarahan yang termanifestasikan dalam tindak kekerasan
terkait dengan diskontinuitas distribusi ketiga hal tersebut.
Dalam hubungan dengan ketidaksamarataan (inequality) dan konflik,
Weber mengatakan:
1. Semakin besar tingkat kemunduran legitimasi dari kewenangan politik, semakin
cenderung terjadi konflik antara superordinate dan subordinat. Semakin besar
korelasi keanggotaan di dalam kelas; status di dalam kelompok dan partai (atau
akses pada kekuasaan, kekayaan dan martabat), semakin intens tingkat
kemarahan di antara pihak yang menyangkal keaggotaan (atau akses), dan

40
karena itu semakin cenderung mereka menarik kembali legitimasi. Semakin
besar diskontinuitas di dalam hirarkhi sosial, semakin inten tingkat kemarahan
diantara mereka yang memiliki hirarkhi yang rendah, oleh karena itu semakin
cenderung mereka menarik kembali legitimasi. Semakin rendah angka mobilitas
sosial ke atas dalam hirarkhi kekuasaan, martabat, dan kekayaan, semakin inten
tingkat kemarahan di antara mereka yang menyangkal peluang, oleh karena itu
semakin cenderung mereka menarik kembali legitimasi.
2. Semakin pemimpin karismatik dapat muncul untuk memobilisasi kemarahan
subordinat di dalam sistim, semakin besar akan terjadi konflik antara
superordinate dan subordinat. Semakin kondisi: 1). Tinggi korelasi keanggotaan;
2). Tinggi diskontinuitas hirarkhi sosial; dan 3).Rendahnya mobilitas sosial ke
atas, maka semakin cenderung akan memunculkan kepemimpinan kharismatik.
3. Semakin efektif pemimpin kharismatik di dalam memobilisasi subordinat dalam
menyukseskan konflik, semakin besar tekanan untuk meneruskan
kewenangannya dalam penciptaan sistim aturan dan kewenangan adminsitratif.
4. Semakin sistim aturan dan kewenangan administrasi dalam meningkatkan
kondisi : 1). Tingginya korelasi keanggotaan; 2). Tingginya diskontinuitas hirarkhi
sosial dan; 3). Rendahnya mobilitas sosial ke atas, maka semakin besar akan
terjadi kemunduran legitimasi dari kewenangan politik dan semakin cenderung
akan terjadi konflik antara superordinate dan subordinat.
Dalam analisis Weber di atas, kekerasan di dalam konflik itu dapat terjadi
karena kemarahan kelompok subordinat yang tidak puas dengan akses-akses
mereka pada: kekuasaan, kekayaan, dan prestise yang ada pada dirinya.
Lemahnya akses mereka pada aspek strategi kehidupan tersebut dipersepsi
akan menutup peluangnya dalam upaya menaikkan level hirarkhi sosialnya.
Anggapan semacam itu juga akan mendorong semakin kerasnya konflik antar
pihak atas dan bawah.

e. Pandangan Lewis A. Coser


Konflik menurut Coser disebabkan oleh adanya kelompok lapisan bawah
yang semakin mempertanyakan legitimasi dari keberadaan distribusi sumber-

41
sumber langka. Terkait dengan legitimasi, disebabkan oleh kecilnya saluran
saluran untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang ada, dan perubahan
deprivasi absolut ke relative (Turner: 1991).
Coser menyampaikan pandangannya tentang kekerasan konflik (the
violence of conflict) sebagai berikut:
1. Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu-isu yang
realistik atau tujuan yang dapat dicapai (obtainable goals), semakin cenderung
mereka melihat kompromi sebagai alat untuk merealisasikan kepentingannya,
oleh karenanya kekerasan konflik akan berkurang.
2. Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu yang
tidak realisitik dan tujuan yang tidak dicapai (unobtainable golas). Semakin
besar tingkat emosional akan dapat membangunkan dan terlibat dalam konflik,
oleh karenanya konflik akan semakin keras.
3. Semakin berkurangnya fungsi interdependensi antara unit-unit sosial di dalam
system, semakin kurang tersedianya alat-alat institusi untuk menahan konflik
dan ketegangan semakin keras suatu konflik.

Berdasarkan gagasan Cooser, dapat diduga, kekerasan yang terjadi


disebabkan karena adanya isu-isu nonrealistic di dalamnya. Isu yang tidak realistik
adalah isu yang tujuan-tujuannya tidak dapat direalisir. Cooser mencontohkan: isu
tentang agama, isu tentang etnis dan suku merupakan sesuatu yang tidak realistik.
Konflik yang terjadi karena isu tersebut dikonsepsikan akan berlangsung secara
keras. Misalnya konflik di Maluku dan Maluku Utara.
Dalam pemikiran Cooser, lama tidaknya satu konflik dipengaruhi oleh 3 hal:
Luas sempitnya tujuan konflik, pengetahuan sang pemimpin tentang simbol-
simbol kemenangan atau kekalahan dalam konflik dan dalam mempersuasi
pengikutnya. Dalam pemikiran semacam ini, maka tentu saja peran pemimpin
sangat besar seperti beberapa kasus di Indonesia.

42
f. Pandangan Johan Galtung
Johan Galtung memberikan analogi sebuah segitiga untuk menjelaskan
factor-faktor yang mendasari sebuah konflik. Menurut Galtung, konflik yang
bersifat terbuka, langsung dan keras yang dibangun oleh faktor struktural dan
kultural yang sedikit pemicu, maka akan menyebabkan perilaku konflik yang
merusak. Mitchel yang menulis tentang struktur konflik internasional juga
menggunakan segitiga konflik Galtung untuk menjelaskan struktur dasar sebuah
konflik, seperti di bawah ini:

Gambar 1
Segitiga Konflik

BEHAVIOR (PERILAKU)

Tampak di
Permukaan

Tidak tampak
di permukaan

ATTITUDE (SIKAP) CONTEXT (KONTEKS)


SITUASI KULTURAL SITUASI STRUKTURAL

Hampir setiap orang cenderung melihat kekerasan adalah perilaku


(behavior) yang nampak. Misalnya: meludahi, memaki, membakar, bahkan
membunuh .Akan tetapi perilaku tersebut tidak dapat terjadi tanpa factor-faktor yang
tidak tampak di permukaan, yakni sikap (attitude) dan konteks (context) yang
terakumulasi karena tidak adanya pengelolaan konflik yang baik. Dengan sedikit
pemicu, misalnya hal-hal yang pada umumnya nampak sepele, kekerasan pun
dapat terjadi.

43
2. Tipe dan Bentuk Konflik

Menurut Simon Fisher, ada 4 tipe konflik yakni (Simon Fisher: 2000):
1). Tanpa konflik (Nihil konflik), yakni dalam kesan umum baik. Hal ini terjadi
jika setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, meningini agar keadaan
ini terus berlangsung, maka mereka harus hidup bersemangat dan dinamis,
memanfaatkan konflik, perilaku dan tujuan serta mengelola konflik secara kreatif;
2). Konflik laten, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan
sehingga dapat ditangani secara efektif;
3). Konflik terbuka, adalah yang berakar dalam dan sangat nyata, serta
memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai
efeknya;
4) Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan
muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi
dengan meningkatnya komunikasi.

Selain tipologi konflik yang dipaparkan oleh Fisher, beberapa bentuk dan
kategori konflik menurut hasil penelitian Pusat Studi dan Pengembangan
Perdamaian yakni: konflik atas sumber daya, konflik mengenai informasi, konflik
terkait dengan hubungan, konflik terkait kepentingan atau kebutuhan-kebutuhan

44
psikologi, konflik mengenai struktur (sosial dan organisasi), dan konflik mengenai
nilai (Alviani Permata; 2012).

3. Faktor Penyebab Konflik dan Kekerasan


Konflik atau kekerasan tidak terjadi dengan sendirinya, biasanya ada pemicu.
Johan Galtung membagi penyebab terjadinya kekerasan atas 3 tipe yakni: 1].
Kekerasan struktural yakni kekerasan yang muncul karena adanya Undang-
Undang, peratuan, dan ketentuan yang diproduksi oleh Negara dan yang tidak adil
bagi semua. Kekerasan struktural terkait dengan ketidakadilan struktural, yakni
ketidakadilan sosial yang muncul karena adanya Undang-Undang, peraturan, dan
ketentuan-ketentuan yang tidak adil. 2]. Kekerasan kultural mencakup aspek-aspek
dalam suatu kebudayaan yang dikonstruksi oleh masyarakat untuk menjustifikasi
dan melegitimasi kekerasan yang dilakukan. Mencakup aspek-aspek agama,
ideology, seni, bahasa, ilmu pengetahuan, dan lainnya. 3] Kekerasan langsung
adalah bentuk kekerasan yang dilakukan secara langsung, seperti pemukulan atau
pembunuhan terhadap orang atau kelompok tertentu, atau penembakan oleh aparat
negara terhadap para demonstran. Contoh kekerasan langsung bisa dilihat pada
kasus penembakan warga masyarakat di Lombok, kekerasan di Dayak dan Madura,
Ambon, Poso, dll. Kekerasan langsung secara kolektif oleh masyarakat biasanya
memperoleh legitimasi dan justifikasi dari kekerasan kultural ataupun kekerasan
struktural (Galtung dalam Yusuf Asry; 2013).
Tipologi kekerasan menurut Galtung menggunakan 6 ruang yakni: Alam,
Manusia Sosial, Dunia, Kebudayaan dan Waktu. Mengacu dari skema ruang
tersebut, Galtung mengatakan bahwa penyebab kekerasan alam berasal dari alam,
termasuk dari tubuh manusia, dan tak dikehendaki (oleh subjek manusia manapun);
kekerasan langsung/aktor didefenisikan dalam ruang orang, sosial dan dunia dan
dikehendaki oleh individu-individu yang bertindak sendirian atau dalam kolektifitas;
Kekerasan struktural atau tak langsung didefenisikan sebagai kekerasan yang
terbentuk dalam ruang orang, sosial, dan dunia dan tak dikehendaki; kekerasan
kultural berfungsi untuk melegitimasi kekerasan langsung dan struktural, sehingga
memotivasi aktor untuk melakukan kekerasan langsung atau untuk menghilangkan

45
kekerasan struktural balasan; dapat dikehendaki atau tidak dikehendaki; dan
kekerasan waktu berarti dampak negative terhadap generasi kehidupan yang akan
datang. Kasus ekstrem: kehidupan yang tidak lagi dapat direproduksi atau
berkelanjutan (Johan Galtung; 2003).
Studi yang dilakukan terhadap konflik yang terjadi di Maluku memperlihatkan
ada 4 faktor penyebab terjadinya konflik yakni:
1). Faktor politik. Bahwa konflik merebak karena kepentingan atau rekayasa
elit politik baik di tingkat pusat maupun lokal (Bdk. Stokhof dan Murni Jamal,ed:
2003; John Piris: 2004). Situasi dan pengaruh perpolitikan para elit di tingkat pusat
dan lokal ini juga yang terjadi di beberapa daerah di Timor dan Aceh.

2). Faktor Ekonomi. Yakni tidak meratanya proses pembangunan dari


pemerintah pusat menyebabkan sebagian besar masyarakat hidup dalam
kemiskinan dan keterbelakangan. Tingginya angka ketergantungan dari pemerintah
lokal terhadap pemerintah pusat yang bersifat sentralistik menimbulkan
kesenjangan ekonomi antar wilayah dan masyarakat semakin melebar (Lambang
Triyono: 2001).

3). Faktor Budaya. Hal ini terkait dengan kebijakan pembangunan tentang
sistim pemerintahan desa yang mengakibatkan goncangan terhadap kebudayaan
lokal dan tatanan adatis masyarakat. Faktor tersebut juga didukung oleh
perkembangan Ipteks yang menyebabkan semakin melemahnya sistim adat dan
pergeseran nilai dan perilaku sehingga masyarakat teralienasi dari budaya.

4. Faktor Agama. Salah satu penyebab konflik kekerasan lainnya adalah


“Agama”. Agama muncul dalam 2 wajah (ambivalen), pada satu sisi agama bisa
menjadi sumber damai tapi di sisi lain juga menjadi pemicu konflik dan kekerasan.
Perang Salib yang terdiri dari 9 babak, berlangsung sejak tahun 1096 sampai
1291 M adalah salah satu bukti sejarah tentang agama menjadi pemicu dan sumber
kekerasan. Perang selama 195 tahun merupakan puncak bentuk kekerasan
massal, berlangsung lama dan mengakibatkan korban yang sangat besar di kedua

46
belah pihak. Perang tersebut salah satunya disebabkan karena pembenaran
terhadap perang berdasarkan penafsiran terhadap agama secara khusus teks-teks
Kitab Suci (Alviani Permata:2012). Hal yang sama terjadi juga dalam beberapa
peristiwa konflik kekerasan di Indonesia di antaranya Poso, Jawa Barat, Nusa
Tenggara Barat, Madura dan Maluku (Lambang Trijono: 2004 ).
Konflik bernuansa agama terjadi karena beberapa sebab: 1) perbedaan
doktrin atau pembelaan klaim kebenaran, yang menyebabkan pemeluk agama
menganggap bahwa agamanya yang paling benar atau setidaknya memiliki
kebenaran yang paling unggul dibanding agama-agama lain; 2) identifikasi pemeluk
agama dengan suku atau ras dapat menyebakan konflik bernuansa keagamaan; 3)
berkaitan dengan mitos mayoritas dan minoritas. Pemeluk agama yang secara
kuantitatif lebih besar atau bersifat mayoritas merasa bahwa mereka yang berhak
menentukan seluruh kehidupan masyarakat dengan mengabaikan pemeluk agama
yang lain yang minoritas (Yusak Setyawan: 2017).
Charles Kimbal mengatakan ada 5 tanda agama menjadi bencana yakni: 1)
klaim kebenaran mutlak; 2) kepatuhan/ketertundukan buta; 3) membangun saman
ideal; 4) Tujuan menghalalkan berbagai cara; 5) Mendeklarasikan perang suci
(Charles Kimball: 2013). Untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai sarana bisa
digunakan baik itu “formal” (hubungan kekerabatan, perkawinan, pertemanan,
pengajian/khotbah, internet/media cetak/media elektronik, buku dan tulisan-tulisan,
konflik SARA, lingkungan Lapas/Kriminal maupun “non formal” (pesantren,
sekolah/universitas, Organisasi Masyarakat).
Teori tentang penyebab terjadinya konflik memang sangat beragam seperti
yang dilakukan oleh para ahli dengan metode dan sasaran yang berbeda pula.
Simon Fisher membagi pemikiran para ahli tersebut dalam 6 kerangka pikir terkait
dengan penyebab terjadinya konflik yakni :
a. Teori hubungan masyarakat: menganggap bahwa konfik disebabkan karena
polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara
kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.

47
b. Teori negosiasi prinsip: menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-
posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-
pihak yang mengalami konflik.
c. Teori Kebutuhan manusia: berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam
disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yakni fisik, mental, dan sosial yang
tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan
otonomi seringkali merupakan inti dari percakapan.
d. Teori identitas: berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang
terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di
masa lalu yang tidak diselesaikan.
e. Teori kesalahpahaman antar budaya: berasumsi bahwa konflik disebabkan
karena ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya
yang berbeda.
f. Teori transformasi konflik: berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-
masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-
masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Konflik yang terjadi dalam masyarakat adat mesti dipahami dengan melihat
jenis-jenis analisa konflik dari beberapa aspek yang bisa dijadikan pendekatan yakni
analisis budaya, analisis sosial, sejarah, ekonomi, politik dan gender (Aholiab
Watloly: 2016).

1. Analisis budaya, mengkaji dan memahami konflik yang terjadi atau potensi
konflik dari sudut pandang budaya, adat kebiasaan, simbol-simbol, ungkapan-
ungkapan yang digunakan masyarakat lokal.
2. Analisis modal sosial mengkaji bagaimana pola hubungan yang terjadi dalam
masyarakat, baik dalam hubungan antar individu, maupun kelompok dalam
suatu kelompok komunitas yang sama.
3. Analisis sejarah, mengkaji konflik atau potensi konflik dari sudut pandang
peristiwa sejarah serta kronologi (urut-urutan peristiwa yang terjadi).
4. Analisis ekonomi, mengkaji konflik dari sisi kesejahteraan setelah konflik serta
mengkaji penguasaan dan akses terhadap sumber daya ekonomi.

48
5. Analisis politik, dilakukan dengan mengkaji potensi konflik dilihat dari factor
kepentingan dan kekuasaan yang terdapat di dalam masyarakat.
6. Analisis gender, bertujuan mengetahui sejauhmana keterlibatan perempuan
dalam mengadapi konflik yang terjadi di masyarakat serta sejauhmana
perempuan bisa menyelesaikan konflik.

4. Dampak Konflik dan Kekerasan


Konflik kekerasan pada hakekatnya menimbulkan dampak negatif yakni
keretakan hidup persekutuan (persaudaraan), perubahan kepribadian individu,
kerusakan harta benda dan jatuhnya korban jiwa, serta dominasi dan penaklukan
terhadap individu maupun kelompok lainnya. Dengan kata lain konflik menimbulkan
kerugian fisik, material, ekonomi, dan psikologis serta korban baik individu maupun
komunitas. Bahkan menyebabkan peradaban manusia terpuruk dan terjadi
degradasi nilai-nilai kemanusiaan.
Dampak konflik secara luas bagi kehidupan masyarakat adat atau keutuhan
hidup orang bersaudara menurut Watloly (Aholiab Watloly: 2016) adalah sebagai
berikut:
a. Dampak sosial
Konflik berdampak terhadap terciptanya kesengsaraan pandang bagi
masyarakat dalam wilayah konflik, merenggangnya hubungan antar warga,
terjadinya ketegangan dan keretakan hubungan sosial antara individu maupun
kelompok masyarakat. Hal itu menyebabkan persekutuan menjadi terpecah dan
tersegregasi dalam ruang-ruang pengungsian serta relokasi yang membelenggu
kehidupan mereka.

b. Dampak kejiwaan dan perilaku


Konflik membawa dampak perubahan kejiwaan dan perilaku individu,
kepribadian masyarakat berubah menjadi brutal, saling curiga, membenci, dan
kahirnya berdampak pada tindakan kekerasan.

49
c. Dampak ekonomi
Konflik berdampak terhadap lumpuhnya roda perekonomian masyarakat,
distribusi barang dan jasa menjadi sangat terbatas, dan terjadinya penguasaan
secara ilegal terhadap sumber-sumber perekonomian warga masyarakat.

d. Dampak pendidikan
Konflik membawa dampak mundur dan terhambatnya pendidikan di segala
jenis dan jenjang generasi, sehingga generasi mengalami kegagalan dalam
membangun masa depan dalam persaingan global.

e. Dampak pembangunan
Konflik berdampak pada kurangnya kelancaran dan keberlangsungan
pembangunan bagi kemajuan kehidupan masyarakat sehingga akan
memengaruhi tingkat kemajuan hidup masyarakat.

f. Dampak keamanan
Konflik yang terjadi dalam masyarakat bila tidak dikelola dengan baik, maka
akan meluas dengan tindak kekerasan yang tinggi. Berbagai aksi illegal dan
kejahatan muncul karena keamanan tidak terjamin dengan baik. Dengan
demikian, berbagai kemungkinan bisa terjadi seperti: lumpuhnya roda
perekonomian masyarakat dan pendidikan formal akan menjadi terhambat.

g. Dampak hukum
Konflik akan berdampak pada lemahnya penegakan dan pelayanan hukum,
sehingga menyebabkan banyak kerugian yang dialami. Misalnya korupsi yang
tidak terjamah oleh hukum, tindakan-tindakan kriminal yang luput dari penegakan
hukum, sehingga menimbulkan kerugian harga benda, hilangnya nyawa, serta
berbagai cacat fisik dan mental dalam kehidupan warga masyarakat.

h. Dampak konflik bagi keutuhan negeri adat, Konflik komunitas adat yang diteliti
menggambarkan kondisi negeri adat tersebut menjadi hancur porak poranda,

50
warga masyarakat kehilangan rumah bahkan harta benda yang mereka miliki.
Konflik juga menyebabkan ikatan kekerabatan menjadi hancur, perpecahan
dalam negeri adat. Ada juga warga adat yang mengungsi dalam kondisi
tersegregasi serta terhegemoni dalam kehidupannya secara individual, tanpa
memikirkan kesatuan serta keutuhan hidup persaudaraan.
Analisis dampak konflik dalam masyarakat berdampak positif maupun negatif
masing-masing akan dijabarkan sebagai berikut (Aholiab watloly: 2016) :
a. Analisis Dampak Negatif
Konflik berdampak pada keretakan dalam hubungan antara masyarakat
adat sehingga memengaruhi hubungan kekerabatan antara masyarakat adat.
Berbagai dampak negatif sebagai berkikut:
 Hancurnya hubungan kekerabatan. Konflik membuat hubungan yang
terjaga sejak datuk-datuk menjadi renggang, orang tidak lagi saling tegur
dalam perjumpaan. Hubungan yang harmonis menjadi kaku sehingga
mengancam kehidupan manusia.
 Keretakan hubungan. Konflik membawa keretakan hubungan antar
masyarakat satu dengan yang lainnya. Mereka yang dulunya hidup
dengan saling percaya antara satu dengan yang lain, kini menjadi saling
curiga, saling melirik dan memandang orang lain sebagai musuh bukan
sebagai saudara yang harus dilindungi dan diperlakukan sama dengan diri
sendiri. Bahkan orang mengkleim orang lain yang tidak seagama dengan
dirinya, atau tidak satu etnik dengan dirinya sebagai orang lain.
 Terjadi perubahan kepribadian individu. Konsep hidup orang bersaudara
yang terpatri dalam masyarakat Maluku secara utuh terbangun dan sudah
ada sejak lama, menjadi berubah karena konflik. Perubahan kepribadian
itu membuat orang dahulu terkenal sebagai orang yang baik dalam
pergaulan berubah menjadi pesimis terhadap segala hal. Perubahan
kepribadian kepribadian seseorang dalam situasi konflik bisa disebabkan
pengaruh hidup sehari-hari, kondisi fisik emosi, pengaruh sosial, dan
pengaruh keluarga.

51
 Kerusakan harta benda dan jatuhnya korban jiwa. Ketika konflik tertutup
berubah menjadi konflik terbuka, maka yang terjadi adalah kekerasan. Hal
ini menyebabkan rusaknya infrastruktur dan harta benda, penjarahan dan
sebagainya. Selain hal itu ada juga korban jiwa yang berjatuhan akibat
konflik yang tidak terkendalikan.
 Terjadi dominasi dan penaklukan. Dominasi dan penaklukan terhadap
suatu kelompok dalam konflik merupakan hal yang hampir wajar terjadi
dalam masyarakat yang berkonflik. Ketika konflik semakin memuncak,
salah satu kelompok menjadi tidak berdaya sehingga terjadi dominasi dan
penaklukan Dominasi terhadap kelompok yang lemah dilakukan oleh
pihak yang dianggap mempunyai kewenangan.

b. Analisis Dampak Positif.


Selain dampak negatif, ada juga dampak positif di antaranya:
 Solidaritas kelompok menguat. Konflik yang terjadi dalam masyarakat bisa
mendorong perubahan sikap seseorang terhadap kelompok, dimana
orang yang tadinya merasa acuh tak acuh terhadap kelompoknya akan
berbalik menjadi pro pada kelompoknya. Munculnya solidaritas kelompok
(solidaritas ingroup) yang tinggi. Solidaritas atau yang lebih dikenal
dengan kerjasama, dalam kelompok masyarakat akan lebih baik dan
terjadi dengan baik karena merasa memiliki identitas yang sama dalam
menghadapi ancaman dari luar kelompoknya. Identitas kelompok akan
tetap dipertahankan dengan survive menghadapi musuh.
 Menguatnya karakter hidup orang bersaudara. Konflik membuat orang
menjadi sadar kembali menghidupkan karakter hidup orang bersaudara
yang hidup sepenanggungan atau hidup berbela rasa dan meyatu rasa.
Kesadaran mengembalikan norma dan nilai adat. Konflik menumbuhkan
kesadaran dalam masyarakat terhadap norma dan nilai sosial yang harus
dipulihkan untuk membangun hubungan sosial di antara mereka.
 Konflik menyebabkan kurangnya ketergantungan antara individu dan
kelompok. Pasca konflik orang mulai belajar mandiri dengan

52
kehidupannya sendiri karena kondisi keamanan mulai membaik serta
tanggungjawab kepada diri sendiri dan kelompok mulai terlihat jelas.
 Munculnya kekuatan seimbang. Ketika posisi aman pada suatu lokasi
yang berkonflik maka bisa terciptanya kompromi baru bagi pihak yang
berkonflik. Kompromi itu bisa dalam situasi rekonsiliasi antara kelompok
orang bersaudara yang bertikai. Kehidupan orang bersaudara menjadi
solidaritas kelompok menguat, menguatnya karakter hidup orang
bersaudara, ketergantungan antar individu dan kelompok berkurang,
munculnya kekuatan yang seimbang, kesadaran kembali nilai dan norma,
menghidupkan norma-norma lama dan menciptakan norma-norma baru.

TUGAS

Kerjakan tugas berikut ini:


1. Pilihlah salah satu film pendek tentang konflik dan analisislah konflik tersebut
dengan menggunakan salah satu teori konflik. Bisa menggunakan link ini : Konflik/
Kerusuhan Slipi https://www.youtube.com/watch?v=tj_T1YYnSc4 atau konflik
Maluku https://www.youtube.com/watch?v=NcMc7r8xjXc atau memilih yang
lainnya
2. Buatlah pemetaan konflik apa saja yang terjadi di lokasi anda (siapa pelakunya, di
mana konflik terjadi, kapan dan bagaimana konflik tersebut terjadi). Demikian juga
pemetaan situasi potensi konflik (konflik belum terjadi)!
3. Buatlah analisis konflik dan analisis dampak konflik antar orang bersaudara di
negeri adat masing-masing. Kemudian digambarkan dalam pohon masalah
(masalah inti, dampak/effect dan factor penyebabnya)

53

Anda mungkin juga menyukai