Pokok-Pokok Materi
1. Defenisi Konflik menurut pandangan Para ahli
2. Tipe dan Bentuk Konflik
3. Faktor-faktor Penyebab Konflik
4. Dampak Konflik bagi kehidupan manusia
Metode:
1. Learning Experience
2. Analisis Film
3. Diskusi Kelompok
35
URAIAN MATERI
Konflik adalah hubungan antara kedua pihak atau lebih (individu atau
kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak
sejalan (Marc Howard Ross: 1993). Jadi konflik adalah kenyataan hidup dan tidak
terhindarkan dalam relasi antar individu maupun komunal dan sering bersifat kreatif.
Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat
dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan dan sering menghasilkan
sesuatu yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua orang yang terlibat. Dari
tingkat mikro, antar pribadi, hingga kelompok, organisasi, masyarakat dan Negara,
semua bentuk hubungan manusia – sosial, ekonomi dan kekuasaan, mengalami
perubahan, pertumbuhan dan konflik. Konflik timbul karena adanya
ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan itu. Misalnya kesenjangan status
sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terahadp
sumber daya serta kekuasaan yang tidak seimbang.
Kekerasan adalah perbuatan atau tindakan seseorang atau sekelompok
orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik. Simon Fisher mengatakan kekerasan meliputi tindakan, perkataan,
sikap dan berbagai struktur atau sistim yang menyebabkan kerusakan secara fisik,
mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih
potensinya secara penuh (Simon Fisher: 2000). Sedangkan menurut Eric Fromm,
kekerasan tidak perlu dicari pada insting manusia tapi pada kondisi khas
eksistensinya sebagai manusia (Eric Fromm: 1973). Menurutnya, kekerasan
tidaklah melekat pada watak buruk dalam diri manusia, melainkan bersumber dari
situasi ketika seseorang mengalami hambatan untuk bertumbuh secara baik.
Hambatan ini kemudian membalikkan pertumbuhan positif ke tindakan yang
destruktif. Lebih lanjut Ia mengatakan, sumber kekerasan dalam diri seseorang
yakni kekerasan defensive untuk mempertahankan diri dan kekerasan destruktif
yang bertujuan untuk menyengsarakan atau membunuh orang lain. Thomas
36
Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo
homini lupus) artinya kekerasan bukanlah secara instrinsik ada dalam diri manusia
tetapi ia muncul ketika kepentingan pribadi harus dimenangkan, sehingga
kekerasan menjadi pilihan. Sedangkan menurut Galtung, kekerasan berarti
merugikan dan/atau menciderai. Kekerasan dapat berupa kekerasan fisik dan
mental, kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung (kekerasan structural) dan
kekerasan kultural (Johan Galtung; 2003).
Konflik merupakan bagian hidup yang harus dijalani manusia. Sejarah
mencatat bahwa konflik yang dihadapi manusia sangatlah beragam. Menurut
Habermas, konflik mesti dianggap positif ketika konflik dipahami sebagai sebuah
peluang untuk kemajuan. Dalam kenyataannya, konflik masih dipahami sebagai
sesuatu yang bertentangan dengan norma atau kaidah kehidupan. Artinya konflik
cenderung dimaknai negate, disfungsional dan sering berkembang menjadi konflik
kekerasan (Priyanti: 2003). Berikut ini pandangan para ahli tentang konflik,
diantaranya : Karl Marx, George Simmel, Weber, Lewis A. Coser dan Johan
Galtung, dan akan dibahas satu per satu
Konflik menurut Karl Marx terjadi karena adanya perbedaan struktur sosial
dan ekonomi antara kelas-kelas sosial yang semakin melebar dalam masyarakat
khususnya terkait dengan kepemilikan alat produksi. Kesenjangan kelas sosial
tersebut terjadi di antara kelas borjouis (para penguasa) dan kaum proletar (kaum
buruh). Sehingga konflik bertujuan untuk terjadinya perubahan struktur sosial
dalam masyarakat dengan cara revolusi proletariat (Tuhana Taufig Adrianto:
2000).
Marx membagi kesadaran manusia menjadi “kesadaran palsu” dan
“kesadaran benar”. Ia meyakini bahwa kepatuhan para buruh dalam
pekerjaaannya merupakan kesadaran palsu, sebab sesungguhnya dalam diri
mereka terdapat bentuk kebutuhan lain yang ingin diperjuangkannya. Adanya
control terhadap kebutuhan manusia menurutnya akan menghasilkan rasa
teralienasi atau perasaan akan keterasingan. Alienasi tersebut dapat berupa 4 tipe
37
yakni alienasi dari proses poduksi, alienasi dari produk yang dhasilkan oleh
kegiatan indvidu, alienasi dari manusia lain di sekitarnya serta alienasi dari dirinya
sendiri.
Manusia selalu berada dalam pengaruh struktur sosialnya. Bentuk
dominasi yang dinyatakan melalui orientasi budaya dapat memengaruhi
kesadaran subjektif individu. Bentuk dominasi ini dapat meliputi pembentukan
pandangan hidup dan cara berpikir dengan tujuan untuk memperkuat struktur
kekuasaan. Dalam masyarakat kapitalis akan terjadi dominasi baik dalam bentuk
halus maupun tajam yang berupa ekspansi kapasitas produksi dari sistim
kapitalias itu sendiri. Sekalipun kaum buruh yang mengalami dominasi dan
kesulitan ekonomi serta kesengsaraan namun mereka menjadi orang pasif dan
pasrah. Mereka lebih suka mendukung status quo dan menjamin keselamatan
mereka serta usaha mempertahankan kesejahteraan daripada mengambil resiko
masuk dalam perjuangan revolusioner untuk menghasilkan perubahan sosial yang
diinginkan. Pada sisi lain, peran negara relative lebih pasif dibandingkan dengan
peran institusi-institusi yang mempunyai otonomi seperti lembaga pendidikan,
organisasi ilmiah dan professional, media masa, dan lain sebagainya. Bagi Marx,
lembaga-lembaga ini memiliki otonomi yang penting untuk berkembang sesuai
dengan logikanya sendiri terlepas dari kontrol politik secara terbuka. Sekalipun
demikian, institusi tersebut harus bekerja dalam suatu kerangka biasa yang
ditentukan oleh pemerintah. Jadi sistim politik merupakan sebab dari dominasi
ekonomi dan dominasi budaya. Hasilnya adalah keasadaran individu dibentuk
untuk menjamin kesetiaan politik mereka dan konformintas terhadap persyaratan
sistim itu.
Marx memberikan gambaran tentang model-model konflik klas revolusioner
dan perubahan sosial (the model of revolutionary class conflict and social change).
Menurutnya semakin besar terdapat ketidakadilan dalam distribusi sumber-
sumber langka yang ada dalam sistim itu, maka akan semakin besar terjadi konflik
kepentingan antara segmen dominan dan subordinat.
38
c. Pandangan George Simmel
39
Selain hal tersebut di atas, konflik akan berlangsung brutal jika kekerasan
tersebut dipersepsi oleh para pelaku sebagai alat atau media untuk
memperjuangkan kepentingan individu dari masing-masing kelompok. Dalam
posisi semacam ini, pelaku pertikaian sama-sama meyakini bahwa hanya dengan
cara mengalahkan musuhlah maka kehidupannya akan menjadi lebih terjamin.
Model semacam ini banyak terjadi dalam peristiwa kekerasan di Indonesia.
d. Pandangan Weber
40
karena itu semakin cenderung mereka menarik kembali legitimasi. Semakin
besar diskontinuitas di dalam hirarkhi sosial, semakin inten tingkat kemarahan
diantara mereka yang memiliki hirarkhi yang rendah, oleh karena itu semakin
cenderung mereka menarik kembali legitimasi. Semakin rendah angka mobilitas
sosial ke atas dalam hirarkhi kekuasaan, martabat, dan kekayaan, semakin inten
tingkat kemarahan di antara mereka yang menyangkal peluang, oleh karena itu
semakin cenderung mereka menarik kembali legitimasi.
2. Semakin pemimpin karismatik dapat muncul untuk memobilisasi kemarahan
subordinat di dalam sistim, semakin besar akan terjadi konflik antara
superordinate dan subordinat. Semakin kondisi: 1). Tinggi korelasi keanggotaan;
2). Tinggi diskontinuitas hirarkhi sosial; dan 3).Rendahnya mobilitas sosial ke
atas, maka semakin cenderung akan memunculkan kepemimpinan kharismatik.
3. Semakin efektif pemimpin kharismatik di dalam memobilisasi subordinat dalam
menyukseskan konflik, semakin besar tekanan untuk meneruskan
kewenangannya dalam penciptaan sistim aturan dan kewenangan adminsitratif.
4. Semakin sistim aturan dan kewenangan administrasi dalam meningkatkan
kondisi : 1). Tingginya korelasi keanggotaan; 2). Tingginya diskontinuitas hirarkhi
sosial dan; 3). Rendahnya mobilitas sosial ke atas, maka semakin besar akan
terjadi kemunduran legitimasi dari kewenangan politik dan semakin cenderung
akan terjadi konflik antara superordinate dan subordinat.
Dalam analisis Weber di atas, kekerasan di dalam konflik itu dapat terjadi
karena kemarahan kelompok subordinat yang tidak puas dengan akses-akses
mereka pada: kekuasaan, kekayaan, dan prestise yang ada pada dirinya.
Lemahnya akses mereka pada aspek strategi kehidupan tersebut dipersepsi
akan menutup peluangnya dalam upaya menaikkan level hirarkhi sosialnya.
Anggapan semacam itu juga akan mendorong semakin kerasnya konflik antar
pihak atas dan bawah.
41
sumber langka. Terkait dengan legitimasi, disebabkan oleh kecilnya saluran
saluran untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang ada, dan perubahan
deprivasi absolut ke relative (Turner: 1991).
Coser menyampaikan pandangannya tentang kekerasan konflik (the
violence of conflict) sebagai berikut:
1. Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu-isu yang
realistik atau tujuan yang dapat dicapai (obtainable goals), semakin cenderung
mereka melihat kompromi sebagai alat untuk merealisasikan kepentingannya,
oleh karenanya kekerasan konflik akan berkurang.
2. Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu yang
tidak realisitik dan tujuan yang tidak dicapai (unobtainable golas). Semakin
besar tingkat emosional akan dapat membangunkan dan terlibat dalam konflik,
oleh karenanya konflik akan semakin keras.
3. Semakin berkurangnya fungsi interdependensi antara unit-unit sosial di dalam
system, semakin kurang tersedianya alat-alat institusi untuk menahan konflik
dan ketegangan semakin keras suatu konflik.
42
f. Pandangan Johan Galtung
Johan Galtung memberikan analogi sebuah segitiga untuk menjelaskan
factor-faktor yang mendasari sebuah konflik. Menurut Galtung, konflik yang
bersifat terbuka, langsung dan keras yang dibangun oleh faktor struktural dan
kultural yang sedikit pemicu, maka akan menyebabkan perilaku konflik yang
merusak. Mitchel yang menulis tentang struktur konflik internasional juga
menggunakan segitiga konflik Galtung untuk menjelaskan struktur dasar sebuah
konflik, seperti di bawah ini:
Gambar 1
Segitiga Konflik
BEHAVIOR (PERILAKU)
Tampak di
Permukaan
Tidak tampak
di permukaan
43
2. Tipe dan Bentuk Konflik
Menurut Simon Fisher, ada 4 tipe konflik yakni (Simon Fisher: 2000):
1). Tanpa konflik (Nihil konflik), yakni dalam kesan umum baik. Hal ini terjadi
jika setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, meningini agar keadaan
ini terus berlangsung, maka mereka harus hidup bersemangat dan dinamis,
memanfaatkan konflik, perilaku dan tujuan serta mengelola konflik secara kreatif;
2). Konflik laten, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan
sehingga dapat ditangani secara efektif;
3). Konflik terbuka, adalah yang berakar dalam dan sangat nyata, serta
memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai
efeknya;
4) Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan
muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi
dengan meningkatnya komunikasi.
Selain tipologi konflik yang dipaparkan oleh Fisher, beberapa bentuk dan
kategori konflik menurut hasil penelitian Pusat Studi dan Pengembangan
Perdamaian yakni: konflik atas sumber daya, konflik mengenai informasi, konflik
terkait dengan hubungan, konflik terkait kepentingan atau kebutuhan-kebutuhan
44
psikologi, konflik mengenai struktur (sosial dan organisasi), dan konflik mengenai
nilai (Alviani Permata; 2012).
45
kekerasan struktural balasan; dapat dikehendaki atau tidak dikehendaki; dan
kekerasan waktu berarti dampak negative terhadap generasi kehidupan yang akan
datang. Kasus ekstrem: kehidupan yang tidak lagi dapat direproduksi atau
berkelanjutan (Johan Galtung; 2003).
Studi yang dilakukan terhadap konflik yang terjadi di Maluku memperlihatkan
ada 4 faktor penyebab terjadinya konflik yakni:
1). Faktor politik. Bahwa konflik merebak karena kepentingan atau rekayasa
elit politik baik di tingkat pusat maupun lokal (Bdk. Stokhof dan Murni Jamal,ed:
2003; John Piris: 2004). Situasi dan pengaruh perpolitikan para elit di tingkat pusat
dan lokal ini juga yang terjadi di beberapa daerah di Timor dan Aceh.
3). Faktor Budaya. Hal ini terkait dengan kebijakan pembangunan tentang
sistim pemerintahan desa yang mengakibatkan goncangan terhadap kebudayaan
lokal dan tatanan adatis masyarakat. Faktor tersebut juga didukung oleh
perkembangan Ipteks yang menyebabkan semakin melemahnya sistim adat dan
pergeseran nilai dan perilaku sehingga masyarakat teralienasi dari budaya.
46
belah pihak. Perang tersebut salah satunya disebabkan karena pembenaran
terhadap perang berdasarkan penafsiran terhadap agama secara khusus teks-teks
Kitab Suci (Alviani Permata:2012). Hal yang sama terjadi juga dalam beberapa
peristiwa konflik kekerasan di Indonesia di antaranya Poso, Jawa Barat, Nusa
Tenggara Barat, Madura dan Maluku (Lambang Trijono: 2004 ).
Konflik bernuansa agama terjadi karena beberapa sebab: 1) perbedaan
doktrin atau pembelaan klaim kebenaran, yang menyebabkan pemeluk agama
menganggap bahwa agamanya yang paling benar atau setidaknya memiliki
kebenaran yang paling unggul dibanding agama-agama lain; 2) identifikasi pemeluk
agama dengan suku atau ras dapat menyebakan konflik bernuansa keagamaan; 3)
berkaitan dengan mitos mayoritas dan minoritas. Pemeluk agama yang secara
kuantitatif lebih besar atau bersifat mayoritas merasa bahwa mereka yang berhak
menentukan seluruh kehidupan masyarakat dengan mengabaikan pemeluk agama
yang lain yang minoritas (Yusak Setyawan: 2017).
Charles Kimbal mengatakan ada 5 tanda agama menjadi bencana yakni: 1)
klaim kebenaran mutlak; 2) kepatuhan/ketertundukan buta; 3) membangun saman
ideal; 4) Tujuan menghalalkan berbagai cara; 5) Mendeklarasikan perang suci
(Charles Kimball: 2013). Untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai sarana bisa
digunakan baik itu “formal” (hubungan kekerabatan, perkawinan, pertemanan,
pengajian/khotbah, internet/media cetak/media elektronik, buku dan tulisan-tulisan,
konflik SARA, lingkungan Lapas/Kriminal maupun “non formal” (pesantren,
sekolah/universitas, Organisasi Masyarakat).
Teori tentang penyebab terjadinya konflik memang sangat beragam seperti
yang dilakukan oleh para ahli dengan metode dan sasaran yang berbeda pula.
Simon Fisher membagi pemikiran para ahli tersebut dalam 6 kerangka pikir terkait
dengan penyebab terjadinya konflik yakni :
a. Teori hubungan masyarakat: menganggap bahwa konfik disebabkan karena
polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara
kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
47
b. Teori negosiasi prinsip: menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-
posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-
pihak yang mengalami konflik.
c. Teori Kebutuhan manusia: berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam
disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yakni fisik, mental, dan sosial yang
tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan
otonomi seringkali merupakan inti dari percakapan.
d. Teori identitas: berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang
terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di
masa lalu yang tidak diselesaikan.
e. Teori kesalahpahaman antar budaya: berasumsi bahwa konflik disebabkan
karena ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya
yang berbeda.
f. Teori transformasi konflik: berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-
masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-
masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Konflik yang terjadi dalam masyarakat adat mesti dipahami dengan melihat
jenis-jenis analisa konflik dari beberapa aspek yang bisa dijadikan pendekatan yakni
analisis budaya, analisis sosial, sejarah, ekonomi, politik dan gender (Aholiab
Watloly: 2016).
1. Analisis budaya, mengkaji dan memahami konflik yang terjadi atau potensi
konflik dari sudut pandang budaya, adat kebiasaan, simbol-simbol, ungkapan-
ungkapan yang digunakan masyarakat lokal.
2. Analisis modal sosial mengkaji bagaimana pola hubungan yang terjadi dalam
masyarakat, baik dalam hubungan antar individu, maupun kelompok dalam
suatu kelompok komunitas yang sama.
3. Analisis sejarah, mengkaji konflik atau potensi konflik dari sudut pandang
peristiwa sejarah serta kronologi (urut-urutan peristiwa yang terjadi).
4. Analisis ekonomi, mengkaji konflik dari sisi kesejahteraan setelah konflik serta
mengkaji penguasaan dan akses terhadap sumber daya ekonomi.
48
5. Analisis politik, dilakukan dengan mengkaji potensi konflik dilihat dari factor
kepentingan dan kekuasaan yang terdapat di dalam masyarakat.
6. Analisis gender, bertujuan mengetahui sejauhmana keterlibatan perempuan
dalam mengadapi konflik yang terjadi di masyarakat serta sejauhmana
perempuan bisa menyelesaikan konflik.
49
c. Dampak ekonomi
Konflik berdampak terhadap lumpuhnya roda perekonomian masyarakat,
distribusi barang dan jasa menjadi sangat terbatas, dan terjadinya penguasaan
secara ilegal terhadap sumber-sumber perekonomian warga masyarakat.
d. Dampak pendidikan
Konflik membawa dampak mundur dan terhambatnya pendidikan di segala
jenis dan jenjang generasi, sehingga generasi mengalami kegagalan dalam
membangun masa depan dalam persaingan global.
e. Dampak pembangunan
Konflik berdampak pada kurangnya kelancaran dan keberlangsungan
pembangunan bagi kemajuan kehidupan masyarakat sehingga akan
memengaruhi tingkat kemajuan hidup masyarakat.
f. Dampak keamanan
Konflik yang terjadi dalam masyarakat bila tidak dikelola dengan baik, maka
akan meluas dengan tindak kekerasan yang tinggi. Berbagai aksi illegal dan
kejahatan muncul karena keamanan tidak terjamin dengan baik. Dengan
demikian, berbagai kemungkinan bisa terjadi seperti: lumpuhnya roda
perekonomian masyarakat dan pendidikan formal akan menjadi terhambat.
g. Dampak hukum
Konflik akan berdampak pada lemahnya penegakan dan pelayanan hukum,
sehingga menyebabkan banyak kerugian yang dialami. Misalnya korupsi yang
tidak terjamah oleh hukum, tindakan-tindakan kriminal yang luput dari penegakan
hukum, sehingga menimbulkan kerugian harga benda, hilangnya nyawa, serta
berbagai cacat fisik dan mental dalam kehidupan warga masyarakat.
h. Dampak konflik bagi keutuhan negeri adat, Konflik komunitas adat yang diteliti
menggambarkan kondisi negeri adat tersebut menjadi hancur porak poranda,
50
warga masyarakat kehilangan rumah bahkan harta benda yang mereka miliki.
Konflik juga menyebabkan ikatan kekerabatan menjadi hancur, perpecahan
dalam negeri adat. Ada juga warga adat yang mengungsi dalam kondisi
tersegregasi serta terhegemoni dalam kehidupannya secara individual, tanpa
memikirkan kesatuan serta keutuhan hidup persaudaraan.
Analisis dampak konflik dalam masyarakat berdampak positif maupun negatif
masing-masing akan dijabarkan sebagai berikut (Aholiab watloly: 2016) :
a. Analisis Dampak Negatif
Konflik berdampak pada keretakan dalam hubungan antara masyarakat
adat sehingga memengaruhi hubungan kekerabatan antara masyarakat adat.
Berbagai dampak negatif sebagai berkikut:
Hancurnya hubungan kekerabatan. Konflik membuat hubungan yang
terjaga sejak datuk-datuk menjadi renggang, orang tidak lagi saling tegur
dalam perjumpaan. Hubungan yang harmonis menjadi kaku sehingga
mengancam kehidupan manusia.
Keretakan hubungan. Konflik membawa keretakan hubungan antar
masyarakat satu dengan yang lainnya. Mereka yang dulunya hidup
dengan saling percaya antara satu dengan yang lain, kini menjadi saling
curiga, saling melirik dan memandang orang lain sebagai musuh bukan
sebagai saudara yang harus dilindungi dan diperlakukan sama dengan diri
sendiri. Bahkan orang mengkleim orang lain yang tidak seagama dengan
dirinya, atau tidak satu etnik dengan dirinya sebagai orang lain.
Terjadi perubahan kepribadian individu. Konsep hidup orang bersaudara
yang terpatri dalam masyarakat Maluku secara utuh terbangun dan sudah
ada sejak lama, menjadi berubah karena konflik. Perubahan kepribadian
itu membuat orang dahulu terkenal sebagai orang yang baik dalam
pergaulan berubah menjadi pesimis terhadap segala hal. Perubahan
kepribadian kepribadian seseorang dalam situasi konflik bisa disebabkan
pengaruh hidup sehari-hari, kondisi fisik emosi, pengaruh sosial, dan
pengaruh keluarga.
51
Kerusakan harta benda dan jatuhnya korban jiwa. Ketika konflik tertutup
berubah menjadi konflik terbuka, maka yang terjadi adalah kekerasan. Hal
ini menyebabkan rusaknya infrastruktur dan harta benda, penjarahan dan
sebagainya. Selain hal itu ada juga korban jiwa yang berjatuhan akibat
konflik yang tidak terkendalikan.
Terjadi dominasi dan penaklukan. Dominasi dan penaklukan terhadap
suatu kelompok dalam konflik merupakan hal yang hampir wajar terjadi
dalam masyarakat yang berkonflik. Ketika konflik semakin memuncak,
salah satu kelompok menjadi tidak berdaya sehingga terjadi dominasi dan
penaklukan Dominasi terhadap kelompok yang lemah dilakukan oleh
pihak yang dianggap mempunyai kewenangan.
52
kehidupannya sendiri karena kondisi keamanan mulai membaik serta
tanggungjawab kepada diri sendiri dan kelompok mulai terlihat jelas.
Munculnya kekuatan seimbang. Ketika posisi aman pada suatu lokasi
yang berkonflik maka bisa terciptanya kompromi baru bagi pihak yang
berkonflik. Kompromi itu bisa dalam situasi rekonsiliasi antara kelompok
orang bersaudara yang bertikai. Kehidupan orang bersaudara menjadi
solidaritas kelompok menguat, menguatnya karakter hidup orang
bersaudara, ketergantungan antar individu dan kelompok berkurang,
munculnya kekuatan yang seimbang, kesadaran kembali nilai dan norma,
menghidupkan norma-norma lama dan menciptakan norma-norma baru.
TUGAS
53