Karena mandat dan wewenang tersebut, Dewan Keamanan PBB mengirim pasukan
damainya ke wilayah RDK karena telah dianggap mengganggu perdamain dan keamanan
dunia. Anggota personil dari MONUSCO terdiri dari tentara dan sukarelawan dari negara-
negara anggota PBB. Prioritas tugasnya ialah melindungi warga sipil yang ada di RDK
dengan mendukung dan memperkuat militer yang ada di RDK, termasuk pula untuk
reformasi peradilah dan polisi militer. Reformasi tersebut dilakukan untuk memperkuat RDK
di daerah konflik dan membebaskan RDK dari kelompok pemberontak bersenjata. Mereka
juga mempunyai wewenang untuk menggunakan segala cara untuk memastikan keamanan
warga sipil, personil kemanusiaan, dan pembela hak asasi manusia yang mendapat ancaman
kekerasan fisik dan untuk mendukung pemerintah RDK dalam upaya konsolidasi stabilitas
dan perdamaian di wilayah RDK.
Menurut Johan Galtung, resolusi konflik melalui peacekeeping adalah suatu upaya
atau proses menghentikan kekerasan melalui intervensi seperti pengiriman pasukan
perdamaian. Salah satu bentuk dari peacekeeping ini ialah bentuk internasional, yakni upaya
penghentian kekerasan di bawah perlindungan UN Charter. Kasus ini sesuai dengan konsep
tersebut karena penyelesaian konflik yang terjadi di RDK dilakukan melalui intervensi
dengan pengiriman pasukan perdamain dari Dewan Keamanan PBB di bawah perlindungan
UN Charter. Karena Dewan Keamanan PBB mempunyai mandat dan wewenang yang tertulis
di UN Charter untuk menghentikan konflik dengan cara-cara yang telah diatur di dalamnya.
Hubungan antara Amerika Serikat dengan Iran memang telah mengalami pasang surut
sejak lama. Mereka sudah lama menjalin hubungan kerjasama nuklir sejak tahun 1957
dimana AS dan Iran menandatangani perjanjian kerjasama nuklir sipil. Namun, seiring
dengan berjalannya waktu, hubungan mereka sudah tidak berjalan mulus lagi sejak terjadinya
revolusi Islam di Iran pada tahun 1979. Sejak saat itu, hubungan mereka semakin retak dan
mereka juga sudah memutus hubungan kerjasama nuklir mereka. Karena hal tersebut, banyak
terjadi kasus program nuklir yang melibatkan kedua negara tersebut yang keadaannya
semakin memanas setiap tahunnya.
Hingga pada tahun 2015, Amerika Serikat dan Iran mencapai kesepakatan mengenai
program nuklir. Kesepakatan ini dilaksanakan di Wina, Austria dan dihadiri oleh kelompok
P5+1 (AS, Inggris, Perancis, Rusia, Cina, dan Jerman) yang merupakan lima negara anggota
tetap Dewan Keamanan PBB dan dalam pertemuan negosiasi kesepakatan ini, setiap
pemerintah negara diwakili oleh menteri luar negerinya. Perundingan antara Iran dan enam
negara kekuatan dunia sebenarnya telah berlngsung sejak tahun 2006, namun baru
mendapatkan kesepakatan final pada tahun 2015. Kesepakatan ini yang akan membatasi
pengembangan program nuklir Iran dan mengijinkan negara tersebut untuk terus menjalankan
program nuklir sipil mereka dengan imbalan penghapusan sanksi ekonomi yang disetujui
oleh kelompok negara P5+1 begitu Iran mematuhi persyaratan kesepakatan nuklir.
Kesepakatan ini juga mewakili kompromi bersejarah yang telah berlangsung lama, yang
terkadang mengancam timbulnya konflik baru di Timur Tengah. Bahkan masing-masing
presiden di setiap negara yang bersepakat sangat mengapresiasi hasil dari kesepakatan
tersebut karena melalui kesepakatan inilah babak baru hubungan antar negara di dunia telah
dimulai.
Sejarah Myanmar memang penuh dengan perang yang nyaris tanpa henti. Proses
pembentukan Myanmar secara tradisional berlangsung tengah peperangan antarkelompok.
Konflik yang terjadi di Myanmar di adalah konflik yang sifatnya dalam negeri, karena tidak
melibatkan pihak-pihak lain di luar Myanmar yang ikut berkonflik. Konflik dalam negeri
biasanya mencakup perselisihan suku, agama, politik, sosial-ekonomi, dan perselisihan lain
berdasarkan identitas kelompok. Selain masalah etnis yang telah sedikit penulis kemukakan,
seperti yang disebutkan di awal, militer memang menjadi biang keladi utama kisruh di
Myanmar.
Keragaman etnis, budaya, dan agama, walaupun di dalamnya terdapat satu etnis
dominan, Burma, yang merupakan 69 persen dari seluruh penduduk Myanmar. Faktor
keragaman etnis yang cenderung sering terjadi pertentangan di antaranya, paling banyak
menyedot energi politik dan ekonomi pemerintah pusat. Upaya pemerintah pusat, yang
didominasi etnis Burma, untuk melakukan Burmaisasi kelompok-kelompok etnis yang ada
merupakan sumber utama konflik dan instabilitas domestik. Setelah berdekade mengalami
konflik, pemilu tahun 2010 melambangkan munculnya sebuah jaman baru di Myanmar.
Reformasi di bidang politik dan ekonomi sudah di mulai, perjanjian gencatan senjata sudah
ditandatangani dengan kesepakatan dari seluruh kelompok-kelompok etnis, debat-debat
publik dan kebebasan yang lebih luas dari media telah dimungkinkan, demonstrasi telah
diizinkan, sejumlah besar tahanan-tahanan politik telah dibebaskan.
Myanmar tentunya menjadi salah satu negara berkembang yang mulai mempraktikkan
demokrasi dan mewujudkan perdamaian di negaranya pascakonflik internal yang
berkepanjangan. Proses transisi politik dan langkah perdamaian yang cepat di Myanmar
menjadi daya tarik tersendiri bagi Norwegia untuk meningkatkan kerjasama pemberian
bantuannya kepada Myanmar. Atas dasar itulah, Norwegia mulai mengembangkan strategi
kerjasama dengan pemerintah Myanmar sejak tahun 2012. Strategi tersebut meliputi
kerjasama pengembangan jangka panjang untuk bidang-bidang, seperti perdamaian,
demokrasi, reformasi, serta manajemen sumber daya alam, utamanya sektor energi dan
lingkungan (perubahan iklim). Tujuan pemerintah Norwegia menjalin hubungan kerjasama
dengan pemerintah Myanmar adalah untuk berkontribusi dalam mewujudkan perdamaian dan
rekonsiliasi, termasuk mengembangkan kondisi sosial dan ekonomi Myanmar.
Dalam beberapa tahun terakhir, bantuan Norwegia yang mengalir ke Myanmar
meningkatkan secara sangat signifikan. Dukungan terkait promosi terhadap demokrasi dan
bantuan darurat (emergency aid) menjadi yang utama di dalamnya. Upaya menciptakan
perdamaian memang sangat baik jika dimulai dari upaya promosi demokrasi, termasuk
mengirimkan bantuan-bantuan kemanusiaan. Terkait proses reformasi politik, Norwegia
berkontribusi dalam menyediakan bantuan tenaga ahli dan juga membagi pengalaman-
pengalaman dengan pemerintah Myanmar. Norwegia memang tidak memberikan bantuan
kepada Myanmar secara G to G, dan bantuan dana yang dikirimkan umumnya disalurkan
kepada organisasi-organisasi relawan.