Anda di halaman 1dari 17

PERDAMAIAN KONFLIK PEPERANGAN ANTAR NEGARA

MELALUI DIPLOMASI DAN HUKUM INTERNASIONAL

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah
Pengantar Hukum dan Diplomasi
Dosen pengampu: Prof. Dr. Ade Maman Suherman S.H., M.Sc.

oleh:
M Nur Ikhsan
NIM.1817303065

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF.K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2022
A. Pendahuluan
Perdamaian merupakan bentuk sebuah ketenangan dimana yag diciptakan
dari sebuah perkumpulan yang aman sejahtera dan tidak ada konflik. didalam
realita tidak ada yang namanya selalu aman tentram dan terhindar dari konflik.
sebelum terciptanya sebuah perdamaian didahului oleh kondisi yang tidak tentram
yaitunya bias disebut dengan konflik.

konflik ini tercipta dari sebuah hasil permasalahan yang terjadi dari antar
kubu dan berlanjut diselesaikan dengan cara kekerasan yaitunya seperti
peperangan. Karena itulah, perang dan damai adalah permasalahan yang
kompleks dan sangat dinamis. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika
interaksi antar aktor dalam politik global yang semakin hari semakin kompleks.
Kompleksitas dari interaksi ini, terkait dengan munculnya aktor-aktor baru yang
terlibat, yang saat ini tidak lagi difokuskan pada aktor-aktor negara saja, namun
juga munculnya peran dari aktor-aktor non-negara. Aktoraktor non-negara yang
justru mewarnai konstelasi politik dan keamanan internasional di era globalisasi
ini, seperti teroris, kejahatan transnasional, NGO, media internasional, sampai
tokoh individu yang berperan penting dalam percaturan global tadi.1 Saat ini
masalah konflik dan perang menjadi isu kontemporer dalam studi hukum
internasional, lebih banyak lagi ketika timbul korban-korban manusia akibat
peristiwa tersebut. Masalah korban jiwa manusia akibat konflik dan perang
meliputi korban dari pihak sipil maupun korban dari pihak militer. Selama ini
jatuhnya korban dari pihak militer dianggap sebagai konsekuensi logis dari
peristiwa tersebut. Adapun jatuhnya korban sipil dianggap sebagai hal yang
seharusnya tidak terjadi. Secara normatif, masyarakat sipil yang tidak bersenjata
dan tidak terlibat dalam konflik seharusnya menjadi pihak yang bebas dan
dilindungi keselamatannya. Masalah yang memprihatinkan adalah, jika dalam
1
M. Prakoso Aji and Jerry Indrawan, ‘Memahami Studi Perdamaian Sebagai Bagian Dari
Ilmu Hubungan Internasional Understanding Peace Studies As Part of International Relations’,
Pertahanan & Bela Negara, 9.3 (2019), 65–83.
suatu konflik, keberadaan masyarakat sipil justru dimanfaatkan untuk tujuan-
tujuan strategis dan politis dengan mengabaikan hak-hak dan keselamatan
mereka.2 Perang berarti adanya pembunuhan besar-besaran dan sering terjadi
kekejaman-kekejaman, ini hanya merupakan salah satu bentuk perwujudan
daripada naluri untuk mempertahankan diri, yang berlaku baik dalam pergaulan
antar manusia, maupun pergaulan antar bangsa. Karena itu sejarah perang sama
tuanya dengan sejarah umat manusia.3

Diplomasi adalah seni dan praktek bernegosiasi oleh seseorang yang biasa
dikenal dengan sebutan diplomat, diplomat biasanya mewakili sebuah negara atau
organisasi. Kata diplomasi sendiri biasanya langsung terkait dengan diplomasi
internasional yang biasanya mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi, dan
perdagangan. 4 Secara singkatnya diplomasi merupakan serangkaian metode atau
cara yang digunakan oleh negara dalam upaya menyampaikan pesan dan
kepentingan nasionalnya. Pada masa sekarang ini, dengan semakin kompleksnya
isu hubungan internasional membuat pola diplomasi digunakan negara juga
semakin berkembang.5 Hukum internasional telah memberikan suatu pedoman
pelaksanaan yang berupa konvensi-konvensi internasional dalam pelaksanaan
hubungan ini.

Ketentuan-ketentuan dari konvensi ini kemudian menjadi dasar bagi


negara-negara dalam melaksanakan hubungannya dengan negara lainnya di
dunia. Awalnya pelaksanaan hubungan diplomatik antar negara didasarkan pada
prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara, prinsip kebiasaan

2
Ambarwati, et all, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal xii-xiii.
3
Syahmin AK SH, Hukum Internasional Humaniter 1 Bagian Umum, C. V. ARMICO,
Bandung, 1985, hal 6.
4
Asep Setiawan, Teori dan Praktek Diplomasi (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2016), hlm. 1.
5
R.P. Barston, Modern Diplomacy (New York: Longman ,1997), hlm. 1.
berkembang demikian pesatnya hingga hampir seluruh negara di dunia melakukan
hubungan internasionalnya berdasarkan pada prinsip tersebut.

Dengan semakin pesatnya pemakaian prinsip kebiasaan yang dianut oleh


praktik-praktik negara kemudian prinsip ini menjadi kebiasaan internasional yang
merupakan suatu kebiasaan yang diterima umum sebagai hukum oleh masyarakat
internasional. Dengan semakin berkembangnya hubungan antar negara, maka
dirasakan perlu untuk membuat suatu peraturan yang dapat mengakomodasi
semua kepentingan negara-negara tersebut hingga akhirnya Komisi Hukum
Internasional (International Law Comission) menyusun suatu rancangan konvensi
internasional yang merupakan suatu wujud dari kebiasaan-kebiasaan internasional
di bidang hukum diplomatik yang kemudian dikenal dengan Viena Convention on
Diplomatic Relation 1961 (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik).
6

Konvensi Wina 1961 adalah sebagai pengakuan oleh semua negara-negara


akan adanya wakil-wakil diplomatik yang sudah ada sejak dahulu. Konvensi
Wina 1961 telah menandai sejarah sangat penting karena masyarakat
internasional dalam mengatur hubungan bernegara telah dapat menyusun
kodifikasi prinsip-prinsip hukum diplomatik, khususnya yang menyangkut
kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang sangat mutlak diperlukan bagi
semua negara, khususnya para pihak agar di dalam melaksanakan hubungan satu
sama lain dapat melakukan fungsi dan tugas diplomatiknya dengan baik dalam
rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta dalam
meningkatkan hubungan bersahabat di antara semua negara.

Konvensi Wina 1961 membawa pengaruh sangat besar dalam


perkembangan hukum diplomatik. Hampir semua negara yang mengadakan
hubungan diplomatik menggunakan ketentuan dalam konvensi ini sebagai
6
Sigit Fahrudin, dalam Artikel, “Hubungan Diplomatik Menurut Hukum Internasional” Law
Online Library.
landasan hukum pelaksanaannya. Agar suatu konvensi dapat mengikat negara
tersebut maka tiap negara haruslah menjadi pihak dalam konvensi. kesepakatan
untuk mengikatkan diri pada konvensi merupakan tindak lanjut negara-negara
setelah diselesaikan suatu perundingan untuk membentuk perjanjian internasional.
Tindakan-tindakan inilah yang melahirkan kewajiban-kewajiban tertentu bagi
negara, kewajiban tersebut antara lain adalah kewajiban untuk tidak melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi.7 Akibat dari
pengikatan diri ini adalah negara-negara yang menjadi peserta harus tunduk pada
peraturan-peraturan yang terdapat dalam konvensi baik secara keseluruhan atau
sebagaian.

Akibat dari adanya perbedaan-perbedaan pandangan yang bertentangan


mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam
perjanjian internasional oleh dua negara akan menimbulkan sengketa.
Berdasarkan kajian historis diplomasi, telah didokumentasikan ada sekitar 14
ragam tindakan atau reaksi yang dilakukan suatu negara kepada negara lain jika
suatu sengketa terjadi. Di antaranya adalah surat protes, denials/accusation
(tuduhan/penyangkalan), pemanggilan dubes untuk konsultasi, penarikan dubes,
ancaman boikot atau embargo ekonomi (parsial atau total), propaganda anti
negara tersebut di dalam negeri, pemutusan hubungan diplomatik secara resmi,
mobilisasi pasukan militer (parsial atau penuh) walaupun sebatas tindakan
nonviolent, peniadaan kontak antar warganegara (termasuk komunikasi), blokade
formal, penggunaan kekuatan militer terbatas (limited use of force) dan
pencetusan perang.8

Namun tindakan-tindakan itu tidak selalu berurutan. Untuk sampai kepada


tingkat ketegangan berupa pemutusan hubungan diplomatik, apalagi perang, perlu

7
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Vol. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
8
Sigit Fahrudin, dalam Artikel, “Hubungan Diplomatik Menurut Hukum Internasional” Law
Online Library.
ditakar terlebih dahulu derajat urgensinya sebelum pengambilan keputusan yang
bersifat drastis tersebut. Perang adalah kebijakan ekstrim yang bias saja terjadi,
namun tidak terjadi begitu saja.

Dalam teori diplomasi klasik kerap disebut bahwa perang terjadi jika
diplomasi telah gagal. Pada praktek politik kontemporer, perang dan diplomasi
dapat saja berjalan bersamaan. Namun demikian pencetusan perang tetap
merupakan keputusan besar dengan biaya yang sangat mahal, baik secara
ekonomis, politis bahkan pengorbanan darah/nyawa.

Oleh sebab itu, pencetusannya tidak cukup hanya karena pertimbangan


emosional. Perkembangan dunia yang terdiri dari berbagai negara berdaulat ini,
terdapat dua faktor yang paling penting dalam pemeliharaan perdamaian, yaitu
hukum internasional dan diplomasi. Hukum internasional memberikan tatanan
bagi dunia yang bagaimanapun anarkis, bagi pemeliharaaan perdamaian.9

B. Rumusan Masalah
a) Menjelaskan Perdamaian konflik peperangan antar Negara
b) Menjelaskan diplomasi
c) Menjelaskan hukum internasional
d) Peran diplomasi dan hukum internasional terhadap perdamaian perang

9
Sigit Fahrudin, dalam Artikel, “Hubungan Diplomatik Menurut Hukum Internasional” Law
Online Library.
C. PEMBAHASAN

a) Perdamaian Antar Negara

Perdamaian pada umumnya diasosiasikan dengan konsep resolusi konflik,


dimana dalam proses penyelesaian konflik tersebut, tidak ada kekerasan yang
digunakan untuk mencapai situasi damai. Perdamaian sendiri dapat diartikan,
sebagai suatu kondisi di mana masyarakat bisa hidup secara berdampingan,
meskipun masyarakat tersebut memiliki perbedaan budaya, sosial, dan lain-lain.
Perbedaan tersebut bukanlah suatu hambatan karena adanya kemampuan untuk
berkomunikasi secara baik, sehingga adanya pemahaman dan toleransi yang baik
diantara masyarakat yang berbeda tersebut.10

Berbicara studi perdamaian, studi perdamaian ini adalah sebuah


pembaharuan dalam pembahasan hukum international. Studi perdamaian ini
sudah ada sejak pasca peperangan dunia kedua. Studi ini membahas tentang hasil
persatuan antar Negara-negara yang tepatnya Negara yang terlibat pada
peperangan pada peperangan dunia.

memang Studi Perdamaian hanya berfokus terhadap bahasan perlombaan


senjata antara Blok Barat vs Blok Timur, serta kemungkinan pecahnya perang
nuklir, mengingat era Perang Dingin adalah era yang ditandai oleh nuclear
hostility, oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Setelah Perang Dingin telah
selesai, konflik didalam negara (intra-state) banyak bermunculan, terkadang
berkembang menjadi masalah internasional (internationalized). Masalah lokal
dengan cepat menjadi internasional.

Bapak Studi Perdamaian, Johan Galtung dari PRIO, menjelaskan bahwa


damai adalah kondisi tanpa kekerasan Memahami Studi Perdamaian Sebagai
10
M. Prakoso Aji and Jerry Indrawan, ‘Memahami Studi Perdamaian Sebagai Bagian Dari
Ilmu Hubungan Internasional Understanding Peace Studies As Part of International Relations’,
Pertahanan & Bela Negara, 9.3 (2019), 65–83
Bagian dari Ilmu yang bukan hanya bersifat personal atau langsung tetapi juga
bersifat struktural atau tidak langsung. Galtung juga menekankan bahwa kondisi
damai adalah kondisi tanpa kekerasan dan ketidakadilan sosial didalam
masyarakat.11 Johan Galtung juga menyebutkan bahwa terdapat dua definisi
tentang perdamaian. Pertama, negative peace, yang ditandai dengan ketiadaan
konflik antara kedua pihak atau lebih yang berusaha mencapai kepentingan
masing-masing, ketiadaan asimetri ketakutan, dan ketiadaan perbenturan
kepentingan. Ciri-ciri lainnya, adalah ketiadaan penunjukkan kekuatan (show of
force) dan suasana yang terjadi bukan sekedar tanpa perang, tetapi ketidakadilan
sosial dan penindasan ekonomi belum terselesaikan.12 Kedua yaitunya Positive
Peace yang ditandai dengan keberadaan suatu perangkat penyelesaian konflik
yang bersifat non-koersif untuk mencegah timbulnya konflik.

Hal ini termasuk tidak adanya kondisi-kondisi yang menekan atau


menyengsarakan manusia, yang meliputi spektrum kondisi yang sangat luas,
terjaminnya kebutuhan lahiriah (keamanan dari kekerasan dan kelaparan) dan
batiniah (keamanan dari rasa takut, jaminan untuk melakukan ibadah, serta
kebebasan untuk berpikir dan berpendapat). Adanya perangkat penyelesaian
konflik yang demokratis dan non-koersif, situasi ketiadaan perang, terciptanya
keadilan sosial, kemakmuran ekonomi, dan pembagian politik yang luas adalah
langkah awal terciptanya positive peace.13

Oleh sebab itu, dalam kondisi damai positif menurut Galtung, haruslah
terdapat hubungan yang baik dan adil dalam semua segi kehidupan, baik sosial,
ekonomi, politik, maupun ekologi. Dengan demikian, kekerasan struktural seperti
kemiskinan dan kelaparan, kekerasan sosio-kultural seperti rasisme, seksisme,

11
Loreta N. Castro dan Jasmine N. Galace, Peace Education: Pathway to A Culture of Peace,
(Cuezon City: Centre of Peace Education, 2010), hlm. 19.
12
Johan Galtung, Peace By Peaceful Means, (London: SAGE Publications, 1996), hlm. 2.
13
A. A. Banyu Perwita dan Nabilla Sabban (ed), Kajian Konflik dan Perdamaian,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm. 3-4.
dan intoleransi beragama, ataupun kekerasan ekologi, seperti perusakan alam,
polusi, dan konsumsi yang berlebihan menjadi sirna.

Kondisi damai positif inilah yang harus diusahakan setelah tercapainya


damai negatif, yaitu dengan tidak adanya kekerasan langsung atau fisik, baik
makro maupun mikro, seperti peperangan, penyiksaan, serta kekerasan terhadap
anak-anak dan perempuan.14 Akan tetapi, sekalipun tidak ada kekerasan
langsung, eksistensi dari kekerasan struktural yang ada (damai negatif) dapat
juga mengakibatkan konflik muncul kembali (re-lapse) dan perdamaian menjadi
terganggu.15

b) Diplomasi

Diplomasi merupakan salah satu kajian utama dalam studi hubungan


internasional. Dalam pendekatan tradisional, diplomasi didefinisikan sebagai
sebuah seni bernegosiasi dengan negara yang lain. Dalam perkembangan
diplomasi saat ini, beberapa ahli mengatakan bahwa diplomasi telah
meninggalkan sisi tradisionalnya yaitu dominasi negara. Telah terjadi
perubahan sifat diplomasi yang mana diplomasi mengarah pada manajemen
hubungan antara negara dan aktor hubungan internasional yang lain.16

Diplomasi internasional ini merupakan membangun komunikasi antar


satu Negara dengan Negara lain guna membahas objek pembahasan yang
mana membawa keuntungan terhadap Negara yang menawarkan dan
ditawarkan . diplomasi sudah terjadi sejak dahulu kala yaitunya sejak zaman
perang dunia sampai sekarang. Salah satu contoh yang terjadi di Indonesia
yaitunya ketika pasca proklamasi yang mana masih ada pertempuran di

14
Loreta N. Castro dan Jasmine N. Galace, Peace Education: Pathway to A Culture of Peace,
(Cuezon City: Centre of Peace Education, 2010), hlm. 21.
15
Charles Webel dan Johan Galtung, Handbook of Peace and Conflict Studies, (New York:
Routledge, 2007), hlm. 6
16
Arif Saefudin, ‘Kontribusi Usman Janatin Dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia, 1962-
1966’, Jurnal Artefak, 4.2 (2017), 95 <https://doi.org/10.25157/ja.v4i2.903>.
beberapa kota di indonesai yang dilakukan oleh tentara belanda. Dalam hal ini
akhirnya Indonesia mengutus Sutan Sjahrir serta Hj. Agus Salim untuk
melakukan perundingan di PBB dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia dari belanda.

Perkembangan teknologi, informasi dan transportasi menghasilkan


beberapa perubahan. Aktifitas diplomasi tidak lagi secara ekslusif menjadi
domain dari aktor diplomasi resmi dibawah negara. Harold Nicholson
mengatakan bahwa pertumbuhan komunikasi dan teknologi menyebabkan
peran dan fungsi dari duta besar menjadi menurun dan diplomat mengalami
penurunan derajat kerja sebagai staf administrasi.

Hal ini menunjukkan bahwa saat ini, dalam lingkup diplomasi, peran
publik tidak dapat dihentikan. Kompleksitas dari permasalahan dan hubungan
antar manusia serta dukungan dari teknologi informasi dan transportasi
membuat diplomasi publik semakin penting dan signifikan. Praktek diplomasi
saat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Faktor-faktor tersebut adalah revolusi dalam teknologi dan informasi,


peningkatan peran media masa, globalisasi di bisnis dan system keuangan
sehingga meningkatkan aktifitas diplomasi ekonomi, peningkatan partisipasi
publik dalam hubungan internasional, perkembangan isu antar negara seperti
hak asasi manusia, lingkungan, pengungsi, terorisme dan kriminalitas
internasional.17 Hal ini membawa implikasi bahwa permasalahan internasional
saat ini sedang berada dalam tanggung jawab publik secara umum.
Pertimbangan ini membuat banyak negara saat ini sedang berusaha untuk
memperkuat peran warga negaranya dalam diplomasi.18

17
Saefudin.
18
Djelantik, Sukawarsini, Diplomasi antara Teori dan Praktik
c) Hukum internasional

Hukum internasional bukan suatu yang lebih tinggi yang mempunyai


kekuatan mengikat di luar kemauan negara. Kelemahan dari teori-teori ini
ialah bahwa mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana
caranya hukum internasional yang tergantung dari kehendak negara dapat
mengikat suatu negara.

Muncul pertanyaan bagaimana jika suatu negara secara sepihak


membatalkan niatnya untuk terikat pada hukum internasional, sehingga tidak
mempunyai kekuatan mengikat lagi, masih patutkah dinamakan hukum? Teori
ini tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa suatu negara baru, sejak
menjadi bagian dalam masyarakat internasional sudah terikat oleh hukum
internasional, terlepas dari mau atau tidak tunduk pada hukum internasional.

Hukum internasional adalah hukum yang mana peraturan dibuat untuk


mengatu rseluruh Negara-negara yang ada diseluruh belahan penjuru dunia.
Hukum internasional ini mengatur tentang kebijakan yang saling menjaga
kestabilan , keamanan, dan ketentraman antar Negara.

Sumber hukum intemasional berbeda dengan Hukum Nasional. HI


memiliki keunikan tersendiri, terutama ketiadaan pernyataan yang secara
eksplisit menyebutkan apa sumber-sumber hukum intemasional itu sendiri
yang dijadikan sebagai sumber hukum dalam memutuskan sengketa
internasional. HI tidak memiliki organ-organ yang pada umumnya ada di
tingkat nasional, seperti lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif.19

Dalam Statuta the International Court of justice (ICJ), salah satu main
organ PBB yang berfungsi mengadili sengketa internasional antar negara,
19
Dixon, Martin, Textbook on International Law (Great Britain: 2nd edition, blackstone Press
Limited , 1993), hlm. 19.
disebutkan tentang sumber-sumber hukum yang dapat dijadikan tuntunan bagi
hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang masuk ke
International Court of justice atau Mahkamah Intemasional, Dalam Pasal 38
Ayat (1) Statuta ICJ menyebutkan bahwa : "The Court, whose function is to
decide in accordance with international law such disputes as are submitted to
it, shall apply: a. international conventions, whether general or particular,
establishing rules expressly recognized by the contesting states; b.
international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the
general principles of law recognized by civilized nations; d. subject to the
provisions of Article 59, [.e. that only the parties bound by the decision in any
particular case] judicial decisions and the teachings of the most highly
qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the
determination of rules of law".

Sedangkan dalam ayat (2) nya, memberikan kekuasaan bagi ICJ untuk
memutuskan kasus secara pantas dan adil (ex aequo et bono) berdasarkan
prinsip-prinsip umum ("This provision shall not prejudice the power of the
Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree
thereto”).Mahkamah Internasional mempunyai kekuasaan untuk memutus
berdasarkan pada pertimbangan hakim atau arbitrator sebagai “the fairest
solution in the circumstances” tanpa mempertimbangkan aturan yang
berlaku.20 Hukum internasional bukan suatu yang lebih tinggi yang
mempunyai kekuatan mengikat di luar kemauan negara. Kelemahan dari teori-
teori ini ialah bahwa mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan
bagaimana caranya hukum internasional yang tergantung dari kehendak
negara dapat mengikat suatu negara. Muncul pertanyaan bagaimana jika suatu
negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk terikat pada hukum
20
Pranoto Iskandar, dkk., Hukum Interasional Kontemporer (Bandung: PT. Refika Aditama,
2006), hlm. 121.
internasional, sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi, masih
patutkah dinamakan hukum? Teori ini tidak dapat menjawab pertanyaan
mengapa suatu negara baru, sejak menjadi bagian masyarakat internasional
sudah terikat oleh hukum internasional, terlepas dari mau atau tidak tunduk
pada hukum internasional.

Keberadaan hukum internasional sebagai suatu norma hukum, sebagai


hukum yang tumbuh, berlaku dan berkembang di dalam masyarakat
internasional-tanpa dibuat dan dipaksakan oleh lembaga supra nasional-
sangat sulit untuk dibantah eksistensi hukum internasional itu sebagai suatu
norma hukum.

Eksistensi hukum internasional sekarang ini tidak perlu diragukan


lagi.masyarakat internasional kini telah menerimanya sebagai suatu norma
hukum yang mengatur masyarakat internasional.beberapa bukti seperti di
bawah ini dapat dikemukakan untuk menunjukkan bahwa hukum
internasional dalam kehidupan sehari-hari telah diterima, dipatuhi dan
dihormati sebagai suatu norma hukum, seperti misalnya :

a. Alat-alat perlengkapan negara, khususnya yang bertugas menangani


masalahmasalah luar negeri atau internasional, menghormati kaidah-
kaidah hukum intemasional yang mengatur hubungan-hubungan yang
diadakannya dengan sesama alat-alat perlengkapan dari negara lain.
b. Perselisihan-perselisihan internasional, khususnya yang menyangkut
masalah yang mengandung aspek hukum-walaupun tidak selalu-
diselesaikan melalui jalur-jalur hukum internasional, seperti misalnya
mengajukan ke Mahkamah Internasional, Mahkamah Arbitrase
Internasional dan upaya-upaya hukum lainnya. Demikian pula
putusan-putusan dari badan-badan peradilan itu-diakui oleh para pihak
mengandung nilai-nilai hukum internasional, meskipun dalam
praktiknya kadang-kadang tidak ditaati. Namun demikian, hal ini
tidaklah mengurangi nilai hukum yang terkandung di dalamnya.
c. Pelanggaran-pelanggaran atas kaedah-kaedah hukum internasional
berita-berita media massa, hanyalah sebagian kecil saja jika
dibandingkan dengan perilaku dan tindakan-tindakan negara-negara
yang mentaati hukum internasional itu.
d. Kaidah-kaidah hukum internasional bisa diterima dan diadaptasi
sebagai bagian dari hukum nasional negara-negara. ini berarti bahwa
Negara-negara sudah menerima hukum internasional sebagai suatu
bidang hukum yang berdiri sendiri yang dengan melalui cara atau
prosedur tertentu dapat diterima menjadi bagian dari hukum nasional.
Bahkan dalam beberapa hal, hukum internasional mau tidak mau
diperhitungkan dan diperhatikan oleh negara-negara di dalam
menyusun peraturan perundangundangan nasional mengenai suatu
masalah tertentu.21

d) Peran Diplomasi dan Hukum Internasional terhadap perdamaian


perang

Peperangan memang bukan hal yang asing lagi bagi kita.


Perang sudah terjadi pada zaman dahulu kala. Dengan berperang
sebuah kelompok dapat menaklukan wilayah yang baru guna nantinya
sebagai tempat tinggal, membuat kerajaan, benteng dan lain-lain.

Secara tradisional, fungsi Perwakilan Diplomatik baik Duta


Besar maupun pejabat diplomatik lainnya adalah untuk mewakili
negaranya dan mereka itu bertindak sebagai suara dari pemerintahnya
21
Dina Sunyowati, ‘HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM
HUKUM NASIONAL (Dalam Perspektif Hubungan Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Di
Indonesia)’, Jurnal Hukum Dan Peradilan, 2.1 (2013), 67 <https://doi.org/10.25216/jhp.2.1.2013.67-
84>.
di samping sebagai penghubung antara pemerintah negara penerima
dan negara pengirim22. Tapi disisi lain perwakilan diplomatic
mempunyai peran yang sangat penting untuk mewujudkan sebuah
perjuangan Negara untuk meraih hak haknya serta menyelesaikan
sengketa konflik yang terjadi.

John T. Rourke menyatakan bahwa fungsi diplomasi adalah


mengamati dan melaporkan (observe and report), mengadakan
perundingan (negotiating), perwakilan substantive (substantive
representation), perwakilan simbolik (symbolically representation),
campur tangan (intervene), dan propagandaBruce Russet dan Harvey
Starr memandang bahwa fungsi diplomasi paling tidak mencakup lima
hal, yaitu manajemen konflik (conflict management), penyelesaian
masalah (solving problems), meningkatkan dan memfasilitasi
komunikasi antarbudaya dalam makna yang lebih luas, negosiasi dan
tawar menawar, serta mengelola program politik luar negeri terhadap
negara lain.23

D. Kesimpulan

Kejahatan perang merupakan kejahatan internasional yang luar biasa yang


tindakannya mengacu pada nilai-nilai kemanusiaan internasional. Kejahatan
perang menimbulkan kerugian sangat besar terhadap SDM dan SDA. Dengan
adanya diplomatik dan hukum internasional berguna dalam mencegah dan juga
menanggulangi serta menghukum dari kejadian pra dan pasca peperangan.
Diplomatik juga tidak hanya untuk mencegah sebuah konflik tapi juga dapat di

22
Kevin Gerson Inkiriwang, ‘Efektivitas Konvensi Wina 1961 Tentang Hubungan Diplomatik
Dalam Mengatasi Konflik . Antar Negara’, Lex Et Societatis, 3.1 (2015), 33–43
<https://doi.org/10.35796/les.v3i1.7068>.
23
Ibid
gunakan sebagai perantara kerja sama antar Negara satu dengan Negara yang lain
agar sama – sama dapat mwujudkan impan dan tujuan dari kedua Negara tersebut.

Daftar Pustaka

A. A. Banyu Perwita dan Nabilla Sabban (ed), Kajian Konflik dan Perdamaian,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015)

Ambarawati, Denny Ramdhany & Rina Rusman, 2010. Hukum Humaniter Internasional
dalam Studi Hubungan Internasional. Rajawali Pers. Jakarta.

Arif Saefudin, ‘Kontribusi Usman Janatin Dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia, 1962-


1966’, Jurnal Artefak, 4.2 (2017)
Dina Sunyowati, HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM
HUKUM NASIONAL (Dalam Perspektif Hubungan Hukum Internasional Dan Hukum
Nasional Di Indonesia)’, Jurnal Hukum Dan Peradilan, 2.1

Dixon, Martin, Textbook on International Law, 2nd Edition, Blackstone Press


Limited,Great Britain, 1993

Indrawan, Jerry. Pengantar Studi Keamanan. (Malang: Intrans Publishing. 2019)

J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Vol. 2, (Jakarta: Sinar Grafika. 2007)

Kevin Gerson Inkiriwang, ‘Efektivitas Konvensi Wina 1961 Tentang Hubungan


Diplomatik Dalam Mengatasi Konflik . Antar Negara’, Lex Et Societatis, 3.1 (2015)

Setiawan Asep. Teori dan Praktek Diplomasi (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta. 2016).

Sigit Fahrudin, dalam Artikel, “Hubungan Diplomatik Menurut Hukum Internasional”


Law Online Library.

Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Diplomatik dan Konsuler(Jakarta: PT. Tatanusa. 2013)

Pranoto Iskandar, dkk., Hukum Interasional Kontemporer (Bandung: PT. Refika Aditama,
2006)

Anda mungkin juga menyukai