Abstrak
Hukum intenasional tidak mengatur sejauh mana batasan norma terhadap kegiatan intelijen yang
dapat dilakukan dalam hubungan antar negara. Tidak adanya pengaturan spionase di masa damai dalam hukum
internasional, dimaksudkan untuk menjaga stabilitas politik dan kerjasama dalam hubungan antarnegara.
Spionase merupakan kebutuhan bagi pertahanan negara untuk membela diri dari bahaya sekecil apapun yang
mungkin datang. Penelitian ini menyarankan agar Pemerintah Indonesia memperkuat kemampuan intelijennya
untuk mendukung negara dalam setiap kerjasama internasional dan pemberantasan kejahatan transnasional.,
Kata Kunci: Spionase, Perdamaian dan Keamanan, Kerjasama, Kejahatan Transnasional.
Abstract
International law does not regulate the norm limit the extent to which intelligence activities to do in
the relations between states. This lack of regulation of espionage in peacetime international law, intended to
maintain political stability and cooperation in the relations between states. Espionage is a necessity for national
defense to defend themselves from the slightest danger that might come up. This study recommends that the
Government of Indonesia to strengthen its intelligence capabilities to support the country in any international
cooperation and combating transnational crime.
Keywords: Espionage, Peace and Security, Cooperation, Transnational Crime.
Pendahuluan
Menempatkan praktik spionase di dalam kerangka hukum internasional bukanlah hal
yang mudah. Dalam praktiknya, banyak negara yang menyimpulkan bahwa spionase harus
diyakini sebagai suatu hal yang lumrah dilakukan. Sehingga banyak negara yang saling
memata-matai satu sama lain. Sementara di sisi lain banyak pula yang beranggapan bahwa
pengiriman mata-mata ke dalam teritorial negara lain merupakan pelanggaran hukum
terhadap integritas kedaulatan dan teritorial negara tersebut. Oleh karena itu praktik spionase
fasilitas
untuk
mewujudkan
dan
mendukung
keberlangsungan
kerjasama
internasional. Banyak kerjasama internasional yang berlangsung karena diawali dari rasa
aman dan percaya diantara negara pihak dalam tahapan negosiasi karena spionase hadir
sebagai fasilitas negara untuk membaca kebijakan negara lainnya. Seperti dibentuknya
Proliferation Security Initiative (PSI), yaitu suatu upaya bersama dari beberapa negara untuk
meningkatkan kerjasama internasional, dalam menghentikan pengiriman senjata pemusnah
masal (weapons of mass destruction (WMD)2
Pada umumnya spionase hanya dipergunakan untuk melindungi kepentingan negara
masing-masing yang berdampak merugikan negara yang menjadi target sasarannya.
Meskipun demikian, terdapat fungsi-fungsi positif lain dari kegiatan spionase yang tidak
hanya berguna bagi kepentingan individual negara, namun juga bertujuan untuk menciptakan
keamanan internasional dan mendukung berjalannya kerjasama internasional. Seperti saat
Amerika Serikat mengumumkan pada dunia bahwa Korea Utara memiliki program rahasia
untuk memperkaya uranium untuk senjata nuklir, padahal dalam masa itu, Korea Utara turut
serta dalam kerjasama Non-proliferation Nuclear Treaty (NPT), yang mengharuskan negara
1 Radsan, A. John. The Unresolved Equation of Espionage and International Law. 2007. page. 1. Tipologi
pandangan mengenai keabsahan spionase dalam hukum internasional The literature that does exist on
peacetime espionage can be split into three groups. One group suggests peacetime espionage is legal (or not
illegal) under international law. Another group suggests peacetime espionage is illegal under international
law.18 A third group, straddled between the other two, maintains that peacetime espionage is neither legal nor
illegal
pemilik senjata non-nuklir untuk menghentikan pengembangan dan akuisisi senjata nuklir.3
Pembahasan mengenai kegiatan intelijen dan spionase yang telah sejak lama dipraktekan
dalam hubungan internsional menjadi menarik, ketika tidak ada pembatasan hukum
internasional yang mengaturnya namun sejak lama menjadi nilai yang hidup di masyarakat
internasional.
Tinjauan Teoritis
Berdasarkan latar belakang yang telah dibuat, maka terdapat beberapa teori yang
relevan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Teori Kedaulatan Teritorial
Kedaulatan teritorial berkaitan dengan kewenangan eksklusif suatu negara
terhadap wilayahnya. Kedaulatan teritorial ini sifatnya tidaklah mutlak. Ada
pembatasan-pembatasan yang melekat menurut hukum internasional, antara lain:
(1) Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi eksklusifnya keluar
dari wilayahnya yang dapat mengganggu kedaulatan wilayah negara lain;4
(2) Suatu negara yang memiliki kedaulatan teritorial juga memiliki kewajiban
untuk menghormati kedaulatan teritorial negara lain. Begitu pun
sebaliknya.
Tunduknya suatu negara yang berdaulat atau tunduknya paham kedaulatan
kepada kebutuhan pergaulan masyarakat internasional demikian merupakan syarat
mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat internasional yang teratur. Mengingat
bahwa kehidupan suatu masyarakat internasional yang teratur hanya mungkin dengan
adanya hukum internasional.5 Teori kedaulatan teritorial memiliki relevansi yang kuat
dalam penelitian ini mengingat bahwa praktik spionase merupakan pelanggaran
3 Daryl Kimball. Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy. Dapat dilihat
https://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron, diakses 30 Juni 2014.
4Green, N.A. Maryan. International Law of Peace 2nd ed. London: MacDonald and Evans. 1982. page. 212,
dikutip dari Adolf, Huala. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Bandung: Keni Media. 2011. hlm.
111.
terhadap kedaulatan teritorial yang dimiliki oleh suatu negara. Teori ini juga
diperlukan sebagai dasar suatu negara untuk tidak mengintervensi secara diam-diam
kebijakan dalam negeri suatu negara.
b. Teori Kepentingan Nasional (National Interest)
Kepentingan Nasional adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan
dengan kebutuhan bangsa/ negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan.
Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama diantara semua
negara/bangsa adalah keamanan (mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan
kebutuhan wilayah) serta kesejahteraan. Kedua hal pokok ini yaitu keamanan
(security) dari kesejahteraan (prosperity). Kepentingan nasional diidentikkan dengan
dengan
tujuan
nasional.
Contohnya
kepentingan
pembangunan
ekonomi,
berdampingan secara damai yaitu saling menghormati kedaulatan teritorial masingmasing, saling tidak melakukan agresi (Non Aggression), saling tidak mencampuri
urusan dalam Negeri masing-masing Negara (Non Intervention). Hidup berdampingan
secara damai, persamaan kedudukan dan kedaulatan.
Demikian halnya dengan prinsip non-intervensi di waktu damai. Prinsip ini
secara mendasar tersirat dalam Article 2 Konvensi Montevideo Tahun 1933 yang
berbunyi sebagai berikut: The federal state shall continue a sole person in the eyes
of international law.
negara lain, hendaknya negara tersebut berbuat hal yang serupa kepada negara
lainnya. Prinsip-prinsip tersebut penting untuk digunakan dalam penelitian ini. Sebab,
prinsip-prinsip tersebut menggambarkan bagaimana seyogyanya pelaksanaan hak dan
kewajiban di dalam hubungan antar negara.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang berdasarkan kaidah atau norma
dalam peraturan perundang-undangan.8 Sejalan dengan tujuan dan manfaat penelitian ini,
jenis pendekatan yang digunakan antara lain: pendekatan perundang-undangan (the statute
approach), pendekatan historis, dan pendekatan konseptual. Oleh karena penelitian ini
merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber datanya adalah berupa bahan-bahan
hukum, baik bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier. Pokok penggunaan bahan
hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, antara lain: United Nations Charter,
Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Montevideo 1933, Konvensi Wina 1961, Konvensi
Wina 1969, United Nations Convention on Transnational Organized Crime 2000, Single
Convention on Narcotic Drugs, Convention on Psychotropic Substances 1971, Convention
against the Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988, dan UU No.
17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
8Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press. 2003.
hlm.118.
Pengumpulan bahan hukum/ data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara
teknik studi dokumen. Studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan
dengan permasalahan penelitian. Studi dokumen diperlukan bagi penelitian ini untuk
menganalisa masalah pokok mengenai politik spionase yang seringkali dipergunakan negaranegara high technology dalam hubungan antar negara. Teknik analisis yang digunakan adalah
teknik deskriptif, teknik interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Spionase (pengintaian, memata-matai dari bahasa Perancis: espionnage) adalah
serangkaian proses yang melibatkan sumber daya manusia (agen) atau sarana teknis untuk
mendapatkan informasi yang biasanya tidak tersedia secara publik. Tujuan dari kegiatan ini
adalah untuk mendapatkan informasi yang dapat mempengaruhi pembuat keputusan dan
pembentuk opini untuk menguntungkan kepentingan nasionalnya. Spionase biasanya
dianggap sebagai bagian dari upaya institusional (misal, pemerintahan atau badan intelijen).
Istilah spionase pada mulanya dianggap sebagai suatu keadaan memata-matai musuh
potensial atau aktual, terutama untuk tujuan militer dan pertahanan. 10 Spionase adalah bagian
dari kegiatan intelijen, yang juga berkaitan dengan analisis laporan diplomatik, surat kabar,
majalah, publikasi teknis, statistik komersial, dan siaran radio dan televisi. Dalam beberapa
tahun terakhir, aktivitas spionase telah sangat dibantu oleh kemajuan teknologi, khususnya di
bidang intersepsi sinyal radio dan ketinggian tinggi fotografi. Spionase merupakan kejahatan
menurut kode hukum dari banyak negara.11 Namun tidak ada pelarangan spionase di dalam
hukum internasional.
dalam
https://www.mi5.gov.uk/home/the-threats/espionage/what-is-
10 Jenis dan tujuan spionase sangatlah kompleks. Dewasa ini tujuan dari spionase tidaklah hanya kebijakan
negara, namun kini telah berkembang yaitu untuk memata-matai perusahaan, yang dikenal sebagai spionase
industrial.
11 Berbagai kodifikasi hukum mengenai Spionase dan Anti-spionase dibentuk oleh berbagai negara,
Lihat: Espionage Act 1917 of United States Federal Law, Official Secrets Act 1989 of United
Kingdom, Criminal Code Amendment (Espionage and Related Matters) Act 2002 of Australia, The
Official Secrets Act 1923 of India, Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2011 tentang
Intelijen Negara, dan lain sebagainya.
Pengetahuan dan informasi adalah kekuatan. Sejak ribuan tahun yang lalu hal ini
telah dikemukakan oleh banyak pendapat seperti Kautilya dan Sun Tzu,12 yang berpendapat
bahwa informasi dan pengetahuan merupakan senjata yang paling penting dalam
melaksanakan urusan negara. Dalam bidang pertahanan dan militer, pengetahuan tentang
musuh, kemampuan perang musuh, keterbatasan dan intensi mereka sangat penting untuk
melemahkan atau mengeksploitasi kekuatan mereka. Aksi spionase memang bukanlah hal
yang baru dalam dunia intelijen. Hampir semua negara, bahkan organisasi swasta dan bisnis
pun memilikinya. Dikenal pula organisasi intelijen kuat di tingkat dunia seperti CIA (USA),
KGB (Rusia), MI-6 (Inggris), dan Mossad (Israel).13
Spionase di masa perang adalah legal di dalam hukum internasional. Tindakan ini
dianggap sebagai salah satu dari seni mempertahankan diri dalam perang. Dalam konflik
militer, spionase dianggap diperbolehkan karena banyak negara mengakui bahwa dengan
adanya spionase, suatu misi lebih mudah dan sukses dijalankan. Hal ini diatur secara legal
dalam hukum humaniter internasional, khususnya yang tercantum dalam Pasal 24 dalam
Konvensi Den Haag IV (Regulations Respecting the Laws and Customs of War on Land)
menegaskan bahwa[r]uses of war and the employment of measures necessary for obtaining
information about the enemy and the country are considered permissible. Para tentara atau
agen spionase memakai penyamaran untuk menyembunyikan identitas mereka yang
sebenarnya dari musuh, untuk menembus garis musuh dan mengumpulkan data intelijen.
Namun, jika penyamaran mereka tertangkap di belakang garis musuh, mereka tidak berhak
untuk mendapatkan status tawanan perang dan tunduk pada penuntutan dan penghukuman
(termasuk eksekusi).
Setelah berakhirnya perang dunia, kondisi masyarakat internasional mulai beranjak
kondusif
hingga dapat dikatakan waktu yang damai (peace time). Namun, keberadaan
praktik pengintaian atau spionase tetap ada bahkan semakin nyata di waktu yang damai. Baik
selama perang, maupun selama era perdamaian, negara tetap memata-matai satu sama lain.
12 Sun, Tzu, The Art of War, terjemahan Samuel B. Griffith, London: Oxford University Press, 1971,
dan Kautilya Artharasta, terjemahan L.N. Rangarajan, New Delhi: Penguin Books, 1992, memberi
perhatian besar pada fungsi intelijen perang. Sun Tzu cenderung memberi perhatian lebih banyak
pada dinas intelijen, sedangkan Kautilya pada bagaimana operasi intelijen harus dilakukan. Informasi
tersebut harus diperoleh dari sumber yang benar-benar mengetahui situasi musuh (chapter 13:
Employment of Secret Agents).
13 Soetopo, F.X. Top Secret: Dinamika Intelijen Dunia: Membongkar Operasi Rahasia CIA, KGB, MI-6,
Mossad, Gestapo, Stasi, dan BND, hlm. 6
Tidak pernah ada perang tanpa mata-mata, dan tidak pernah terjadi perdamaian di mana
mata-mata tidak terlibat dalam persiapan untuk perang lain di masa depan. 14 Tidak adanya
pengaturan spionase di masa damai dalam hukum internasional, dimaksudkan untuk menjaga
stabilitas politik dan kerjasama dalam hubungan antarnegara. Tindakan masa perang atau
damai spionase tidak diatur dalam hukum internasional positif. Tidak ada hukum, perjanjian,
norma, atau kebiasaan, yang dapat mendikte apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dimatamatai. Menurut Michael Kapp, penangkapan mata-mata diatur oleh hukum domestik dari
negara sasaran dan juga diatur oleh norma-norma kebiasaan. Lima norma kebiasaan dari
penangkapan mata-mata selama masa damai didasarkan pada: 15
(1) Location is Paramount: Spying in international areas does not violate
international law. Infringing upon states territory violates both domestic and
international laws and, as such, a spy is subject to the usual domestic
consequences. The response to overflights or other technological invasions of
territory are determined by the ability of the target state to take definitive
action to defeat such remote intrusions;
(2) The Lack of Enforcement of International Law: Espionage during
peacetime, regardless if performed by the uniform military or a civilian
agency, is expressly prohibited by well-established international law, but still
occurs without substantial or permanent punishment to the spying state;
(3) The Forfeiture of Technology: Any equipment apprehended in the course of
capturing a spy is fair game to permanent seizure, close inspection and
reverse engineering;
(4) The Fate of Spies is Directly Linked to the Amount of Media Attention:
When the espionage has been exposed to widespread public knowledge, the
spying nation should expect the return of its prisoners after a decent interval
for propaganda, including possible show trials. This release will occur in
conjunction (admitted or not) with a prisoner exchange or for the final
propaganda value of making a "humanitarian" gesture of release, usually with
an apology or acknowledgment that does not necessarily have to be truly
heartfelt or sincere by the spying state and/or the spies themselves. This
apology still provides the target state the ability to assert, particularly for
domestic or other friendly audiences, that it was the victim;
(5) The Fate of Anonymous Spies: When a failed espionage mission has not been
exposed to the public, usually in less-free societies, foreign spies may be
captured and held in prison for decades or simply be executed, possibly under
color of domestic law, depending on applicable domestic laws and/or customs.
14 Michael Kapp. Spying for Peace: Explaining the Absence of the Formal Regulation of Peacetime
Espionage. The University of Chicago. 2007. Page.1
15 Ibid, hlm. 5.
20
bertujuan untuk menjaga perdamaian dan keamanan bersama dari ancaman konflik yang
mungkin terjadi di wilayah sekitar Eropa.
Selain berfungsi untuk membentuk sebuah keamanan bersama di dunia
(international security), spionase juga bekerja sebagai pengendali bilamana terdapat stategi
intelijen asing yang hendak memicu perang. Hal ini terjadi pada The Cuban Missiles Crisis,
19 Joel Blocker, Western Press Review: EU's Rapid Reaction Force and Other Subjects Radio Free
Europe broadcast, (Nov. 21, 2000) (explaining that the RRF is tailored to respond to a host of
different threats, including crisis management, humanitarian relief and peace-keeping). Dikutip dalam
jurnal Christopher D. Baker Tolerance of International Espionage: A Functional Approach. American
University International Law Review 19, no. 5 (2003). page. 1100
20 Council of the European Union."CSDP structures and instruments". Lihat
http://www.eeas.europa.eu/csdp/structures-instruments-agencies/, diakses 24 Juni 2014.
1962, dimana AS melakukan penerbangan pengintaian diatas Kuba setelah delapan laporan
pengintaian CIA menunjukkan bahwa bagian-bagian rudal dari kapal Soviet sedang
diturunkan di pelabuhan Kuba untuk dibangun pangkalan rudal disana. 21 Ancaman tersebut
berpotensi sangat dekat dengan wilayah AS, sehingga AS merasa perlu untuk segera
mempertahankan diri. Namun bibit pertikaian ketiga negara tersebut akhirnya dapat
diselesaikan dengan negosiasi yang damai. AS meminta Rusia untuk menghentikan
pembuatan pangkalan rudal tersebut, dan AS berjanji akan menghentikan ancaman blokade
atas Kuba.22
Penyerangan berdasarkan informasi spionase yang dilakukan Amerika Serikat saat
itu menimbulkan banyak pro dan kontra di dalam masyarakat internasional. Namun, dalam
jurnalnya yang berjudul Espionage and the Doctrine of Non-Intervention in Internal Affairs,
Quincy Wright mengemukakan lima alasan yang memungkinkan Amerika Serikat dibenarkan
melakukan spionase di masa damai:23
a. Spionase merupakan praktek umum yang dilakukan oleh semua negara;
b. Spionase merupakan kebutuhan untuk membela diri;
c. Spionase melengkapi kebutuhan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan;
d. Keberatan Rusia dalam pandangan kegiatan spionase sendiri tidak masuk akal;
dan
e. Spionase berkebajikan dalam mengintervensi komunisme.
Kasus tersebut menggambarkan betapa pentingnya fungsi spionase bagi deteksi dini
pertahanan dan keamanan suatu negara. Sebab secara normatif kegiatan intelijen adalah
bagian dari kegiatan keamanan nasional (national security).24 Hukum internasional pun
23 Q. Wright, Espionage and the Doctrine of Non-Intervention in Internal Affairs (1962) in R. Stanger ed.,
Essays on Espionage and International Law, 3. Dikutip dalam jurnal Craig Brown. Espionage in International
Law: A Necessary Evil. Faculty of Law, University of Western Ontario. 1999. Page. 29.
secara tersirat memberikan toleransi kepada negara-negara untuk saling mencari tahu
informasi penting yang berguna bagi pertahanan dan keamanan mereka.
Spionase sebagai bagian dari intelijen negara memberikan penilaian tentang
berbagai isu yang sedang berkembang, kecenderungan strategis ke depan baik pada tingkat
regional maupun global, perkembangan teknologi, dan kemampuan negara lain yang tidak
dimiliki negaranya sendiri. Seluruh informasi tersebut akan diberikan kepada pemerintahnya
sebagai input dalam merumuskan kebijakan luar negeri. Namun negara tentu akan mencari
informasi sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya mengenai motif kerjasama internasional
yang ditawarkan.
Saat ini tidak ada negara di dunia yang terisolasi dan tidak membuka diri terhadap
hubungan dengan negara lain. Setiap negara pasti membutuhkan kerjasama dengan pihak
lain. Hubungan kerjasama internasional ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
eksistensi keberadaan suatu negara dalam tata pergaulan internasional. Disamping demi
terciptanya perdamaian dan kesejahteraan hidup yang merupakan dambaan setiap manusia,
setiap negara tentu memiliki kelebihan, kekurangan dan kepentingan yang beragam. Hal-hal
inilah yang mendorong negara melakukan hubungan dan kerjasama internasional di berbagai
sektor kehidupan bernegara. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini,
tidak ada satu negara yang tidak memiliki perjanjian dengan negara lain, dan tidak ada satu
negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya.25
Menurut Vienna Convention on the Law of Treaties 1969,26 negosiasi atau
perundingan merupakan tahapan utama dalam pembuatan perjanjian internasional. Dalam
tahapan negosiasi inilah, sangat diperlukan kelihaian negosiator untuk membaca arah
24 Jemadu, Aleksius. dkk. Reformasi Intelijen Negara. Pacivis. Jakarta: 2005. hlm. 50. Dalam
rangka memperkuat keamanan nasional itu, intelijen biasanya mempunyai empat fungsi utama yaitu
(1) mengumpulkan informasi, (2) menganalisis informasi dan menyampaikan kepada pembuat
kebijakan, (3) melakukan operasi tertutup (covert action), dan (4) melakukan counterintelligence.
Seluruh fungsi tersebut dilakukan untuk memperkuat sistem peringatan dini (early warning system)
keamanan nasional dalam menghadapi serangan strategis yang mungkin tiba-tiba terjadi.
25 Mauna, Boer. Op.Cit. hlm. 82.
26 Ibid, hlm. 83. Terdapat 3 (tiga ) tahapan dalam pembuatan perjanjian internasional (treaty making
power) yaitu, tahap perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification).
27 Kenneth W. Abbott, "Trust But Verify": The Production of Information in Arms Control Treaties and
Other International Agreements, cornell int'l l. j. 1, 33 (1993) stating that assurance procedures enhance
interactive communications between parties entering into an agreement and allow the parties to communicate
their concerns. Dikutip dalam Christopher D. Baker. Tolerance of International Espionage: A Functional
Approach. American University International Law Review 19, no. 5 (2003). page. 1105.
28 Christopher D. Baker . Ibid. page. 1106. highlighting that states may be more confident and willing to
enter into an agreement once they are certain that the current participating states have adequate assurance
procedures in place .
29 Geoffrey B. Demarest. Espionage in International Law, 24 Denv. J. Int'l l. & pol'y 321, 325-26 (1996)
providing that assurances further states' goals of "promoting cooperation and keeping the agreement intact.
Dikutip dalam Christopher D. Baker . Ibid. page. 1106.
suatu kerjasama
internasional meskipun memiliki potensi resiko tinggi. Sebab, ketika negara dipersenjatai
dengan spionase sebagai alat untuk memata-matai dan menguping perilaku pihak lain,
negara memiliki kepastian yang lebih besar karena dapat memvalidasi kepatuhan pihak lain
30 Nikitin, Mary Beth. Proliferation Security Initiative (PSI). Congressional Research Service: 2012. on
Summary: The Proliferation Security Initiative (PSI) was formed to increase international cooperation in
interdicting shipments of weapons of mass destruction (WMD), their delivery systems, and related materials.
The Initiative was announced by President Bush on May 31, 2003. PSI does not create a new legal framework
but aims to use existing national authorities and international law to achieve its goals. Initially, 11 nations
signed on to the Statement of Interdiction Principles that guides PSI cooperation. As of May 2012, 98
countries (plus the Holy See) have committed formally to the PSI principles, although the extent of participation
may vary by country. PSI has no secretariat, but an Operational Experts Group (OEG), made up of 21 PSI
participants, coordinates activities.
dilihat
di
http://www.nti.org/treaties-and-
32 Nikitin, Mary Beth. Op. cit, page. 1. enhance the capabilities of our military, intelligence, technical,
and law enforcement communities to prevent the movement of WMD materials, technology, and expertise to
hostile states and terrorist organizations.
itu, terhadap isi dari kerjasama internasional. Setidaknya mendeteksi adanya wanprestasi,
ketika peserta lain gagal untuk mematuhi perjanjian internasional tersebut.33
Hal ini diperlukan karena pada umumnya hanya sedikit kerjasama internasional yang
mewajibkan pesertanya untuk melaporkan, mem-validasi, dan memberi jaminan atas
berlakunya isi perjanjian tersebut bagi mereka. Bahkan, kegiatan pemantauan hasil kerjasama
tersebut sering dijadwalkan dan diatur sedemikian rupa agar saling meguntungkan. Sebagai
contoh, verifikasi protokol dari Perjanjian Komprehensif Uji Coba Nuklir (Comprehensive
Nuclear Test-Ban Treaty (CTBT)) menetapkan prosedur yang mengijinkan negara pesertanya
untuk diperiksa di negaranya (on-site inspection), sehingga negara tersebut dapat
mempersiapkan terlebih dahulu proses pemeriksaan. Hal ini tentu memungkinkan terjadinya
ketidakakuratan proses validasi dan sandiwara kepatuhan diantara negara-negara peserta.34
Seperti hal nya yang berhasil dilakukan India ketika uji coba nuklir di negaranya.
India berhasil menyamarkan persiapan uji coba nuklir pada tahun 1999, oleh karena
mengetahui jadwal orbit satelit pengawas di sekitar fasilitas pengujian. Hal tersebut
menimbulkan ketidakpuasan negara-negara yang merasa perlu mengidentifikasi lebih dalam
tentang keberlakuan kerjasama internasional diantara mereka.35 Padahal perjanjian CTBT ini
mewajibkan semua negara pesertanya untuk:36
1) Each State Party undertakes not to carry out any nuclear weapon test explosion
or any other nuclear explosion, and to prohibit and prevent any such nuclear
explosion at any place under its jurisdiction or control.
33 Christopher D. Baker .Op.Cit. page. 1108. Instead, functionalists predict that states view peace as a
"superordinate goal," and will cooperate with other states to achieve peace regardless of the prospective
imposition of punitive sanctions.81 In this sense, espionage buttresses the functional approach to international
cooperation. Espionage may be thought of as a tool that enables "super-validation" of international compliance
with security agreements.
34 Patricia Hewitson, Nonproliferation and Reduction of Nuclear Weapons: Risks of Weakening the
Multilateral Nuclear Nonproliferation norm, 21 Berkeley J. Int'l l. 405, 448-49 (2003) (noting that the CTBT
establishes "global verification regime" which relies on a number of techniques to ensure compliance). Dikutip
dalam jurnal Christopher D. Baker. Tolerance of International Espionage: A Functional Approach. American
University International Law Review 19, no. 5 (2003). page. 1102.
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances,1988, tentu diawali dengan adanya kebutuhan
negara-negara untuk bekerjasama dalam mengatasi kejahatan narkotika yang melintasi batas
negara. Konvensi ini diprakarsai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan tujuan untuk
mempromosikan kerjasama di antara para pihak sehingga mereka dapat lebih efektif
menanggulangi peredaran gelap narkotika dan psikotropika dalam dimensi internasional.
Dalam melaksanakan kewajiban konvensi, para pihak harus mengambil tindakan
yang diperlukan, termasuk langkah-langkah legislatif dan administratif, agar disesuaikan
dengan sistem legislatif negara masing-masing.39 Salah satu contoh betapa sulitnya
mengendalikan perdagangan gelap narkotika adalah Afghanishtan. Di Afghanishtan, opium
merupakan komoditas utama dan terbesar yang diproduksi oleh negara tersebut. Produksi
panen opium yang besar tentu memerlukan pasar yang luas. Oleh karena itulah perdagangan
gelap opium beredar dengan melalui banyak sindikat.40 Menurut UNODC, Afghanishtan tidak
mungkin mampu dengan sendirian menghentikan produksi opium di dalam negeri melalui
kebijakan pertaniannya sendiri. Dibutuhkan kerjasama diantara negara-negara untuk
mencegah dan menanggulangi masuk dan beredarnya opium secara bebas di pasar gelap.
Dalam hal inilah, spionase menjadi fasilitas untuk membantu pencegahan, masuknya
peredaran gelap narkotika dari-dan-ke dalam teritori negara.
Kejahatan transnasional semakin berkembang cepat pasca periode Perang Dingin
berakhir. Karakteristik ancaman juga berubah menjadi multidimensional. Ancaman dapat
38 Quincy Wright, Espionage and the Doctrine of Non-Intervention in Internal Affairs , In Essays on
Espionage and International Law, pointing out that historical conceptions of espionage developed before the
evolution of instantaneous radio communications and satellites. Dikutip dalam jurnal Christopher D. Baker.
Tolerance of International Espionage: A Functional Approach. American University International Law Review
19, no. 5 (2003). page. 1110.
39 Article 2 Point (1) United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and
Psychotropic Substances, 1988, The purpose of this Convention is to promote co-operation among the Parties
so that they may address more effectively the various aspects of illicit traffic in narcotic drugs and psychotropic
substances having an international dimension. In carrying out their obligations under the Convention, the
Parties shall take necessary measures, including legislative and administrative measures, in conformity with the
fundamental provisions of their respective domestic legislative systems.
40 Addiction, Crime And Insurgency:The Transnational Threat Of Afghan Opium. Dapat diunduh
dalam http://www.unodc.org/ documents/ data-and-analysis/ Afghanistan/ Afghan_ Opium_ Trade_
2009 _web.pdf. Between 2002 and 2008, Afghan farmers earned a total of about US$ 6.4 billion
from opium poppy cultivation, and Afghan traffickers approximately US$ 18 billion from local opiate
processing and trading. During the same seven-year period, the transnational trade in Afghan opiates
produced a total turn over of US$ 400 to 500 billion. Arrests figures suggest that there may be around
1 million traffickers involved in bringing opiates to some 16 million opiate users across the world
every year.
juga dijelaskan sebagai segala sesuatu yang membahayakan kedaulatan suatu negara,
integritas wilayah, keselamatan warga negara, dan kehidupan demokratis baik yang bersifat
konvensional maupun non-konvensional. Segala ancaman ringan maupun berat yang muncul
dewasa ini perlu diwaspadai dan diantisipasi. Disinilah peran spionase sebagai sarana
pendeteksi dini masalah-masalah yang mungkin juga kasat mata telah terjadi. Negara
memang memiliki kedaulatan teritorial, yurisdiksi, dan hak non-intervensi untuk mengatur
sendiri kepentingan nasionalnya. Namun dengan lajunya kejahatan transnasional di era global
ini. Tidak mungkin bagi suatu negara untuk mengatasi segala resiko dan ancaman tersebut
sendirian. Diperlukan spionase sebagai suatu alat semu yang justru mendukung berjalannya
perjanjian-perjanjian internasional berjalan efektif, untuk menanggulangi masalah-masalah
internasional saat ini.
Sedikitnya terdapat 5 (lima) masalah yang kerap kali terjadi di dalam spektrum
kejahatan transnasional, seperti: terorisme; proliferasi nuklir; narkotika; perusakan
lingkungan hidup; dan perdagangan manusia (human trafficking) yang membutuhkan
kerjasama internasional dalam proses penanggulangannya. Sebab, negara dengan segala
kekuatan dan kemampuannya tidak mungkin mampu bekerja sendiri menyelesaikan
kejahatan-kejahatan yang umumnya terorganisir lintas batas negara. Spionase berperan
penting dalam mendukung kerjasama internasional. Namun meskipun spionase tersedia
sebagai alat untuk mengupayakan pemberantasan kejahatan transnasional, hendaknya dalam
memanfaakan spionase dalam berkoordinasi dan bekerja sama, negara-negara saling untuk
tidak mengesampingkan prinsip-prinsip bernegara dalam hukum internasional seperti
penghormatan kedaulatan negara dan prinsip bertetangga baik (good-neighbourlines), agar
tidak melewati koridor-koridor eksklusif dari kewenangan negara untuk mengatur urusan
dalam negerinya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai fungsi spionase sebagai
alat untuk mendukung keamanan dan kerjasama antarnegara dalam perspektif hukum
transnasional dapat disimpulkan bahwa:
1) Spionase memiliki fungsi positif sebagai alat penjaga perdamaian dan keamanan
internasional. Hukum internasional tidak dapat mengatur spionase dalam sebuah aturan
formal. Tidak adanya pengaturan spionase di masa damai dalam hukum internasional,
dimaksudkan untuk menjaga stabilitas politik dan kerjasama dalam hubungan
antarnegara. Dalam hal ini spionase merupakan hal yang harus dapat ditoleransi untuk
penghormatan kedaulatan negara dan prinsip-prinsip hukum internasional lain seperti goodneighbouliness dan non-intervensi.
Saran
Saran yang dapat diajukan dari penelitian ini adalah:
1) Perlu dibuat suatu kesepakatan negara-negara di dunia mengenai pembatasan etik
spionase untuk menjaga koridor prinsip hukum internasional. Guna mendapatkan pula
status legal dari spionase dalam mendukung terciptanya perdamaian dan keamanan
dunia;
2) Peran intelijen Indonesia harus diperkuat melalui peningkatan skill dan teknologi yang
diiringi dengan profesionalisme dan nasionalisme yang tinggi, untuk mendukung negara
dalam setiap kerjasama internasional yang bertujuan memberantas
kejahatan
transnasional; dan
3) Negara harus terus menerus melakukan pembaharuan dengan cara-cara yang inovatif
untuk memanfaatkan fungsi spionase dalam intelijen negara. Guna memberantas
kejahatan transnasional, mengawal kerjasama-kerjasama internasional yang dapat saja
berpotensi merugikan negara dan turut menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
Daftar Referensi
Abbott. W. Kenneth. (1993). "Trust But Verify": The Production of Information in Arms
Control Treaties and Other International Agreements, cornell int'l l. j. 1, 33.
Addiction, Crime And Insurgency: The Transnational Threat Of Afghan Opium. (2009).
Dapat diunduh dalam http://www.unodc.org/ documents/ data-and-analysis/ Afghanistan/
Afghan_ Opium_ Trade_ 2009 _web.pdf.
Adolf, Huala. (2011). Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Bandung: Keni
Media.
Amiruddin dan Zainal Asikin. (2003). Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Rajawali Press.
Baker. Christopher D. (2003). Tolerance of InternAtional Espionage: A Functional Approach.
American University International Law Review 19.
Demarest, Geoffrey B.. (1996). Espionage in International Law, 24 Denv. J. Int'l l. & pol'y.
Green, N.A. Maryan. (1982) International Law of Peace 2nd ed. London: MacDonald and
Evans.