Anda di halaman 1dari 3

Reza Firmansyah

195120400111044
1. Jelaskan tujuan terbentuknya PBB jika dilihat dari perspektif Realis!
Perspektif Realisme lahir dari gagalnya Liga Bangsa-Bangsa — sekarang Perserikatan
Bangsa-Bangsa bentukan kaum idealis/Liberal dalam mencegah terjadinya World War II.
Realis mengkritik bahwa Liberalisme terlalu menaruh kepercayaan terhadap harmoni
kepentingan yang dapat menghindarkan negara untuk berperang satu sama lain, padahal
tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut belum tentu dapat mencegah agresivitas dan
egosentrik negara maupun individu tertentu. Realis disini berpendapat bahwa politik
internasional merupakan ajang atau arena untuk struggle for power.
Sistem internasional menurut Realis bersifat anarkis, sehingga negara hanya bisa
mengandalkan dirinya sendiri dan tidak ada otoritas di luar negara. Sebuah organisasi
internasional didirikan dengan tujuan mengejar kepentingan bersama (Archer, 1992). Realis
beranggapan bahwa tujuan PBB dibentuk yaitu untuk power-balancing antar negara agar
tidak ada negara yang kedudukannya lebih tinggi atau di bawah negara lain. Sebagai contoh,
yaitu Dewan Keamanan PBB, yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelima negara yang
tergabung merupakan negara yang patut dihargai karena power yang dimiliki tiap negara
tersebut. Seperti fungsi organisasi internasional menurut Realis, yaitu ajang atau wadah
untuk mencari power. Selain itu, Dewan Keamanan PBB dinilai Realis mampu menciptakan
stabilitas internasional melalui distribution of power mereka.

2. Jelaskan bagaimana Liberal menjelaskan tentang intervensi kemanusiaan (militer)!


Dalam konteks Liberal, intervensi terkait masalah kemanusiaan yang terbilang
darurat dapat dilakukan. Namun dengan catatan, intervensi tersebut dilakukan untuk
melindungi hak asasi manusia yang telah dilanggar. Walaupun, intervensi guna melindungi
hak asasi manusia yang dimaksud dapat melibatkan masyarakat liberal dalam peperangan
dengan masyarakat non-liberal. Beberapa pokok pikiran tentang alasan perang yang harus
dihindari dan perdamaian yang harus diperjuangkan memaparkan bahwa terdapat empat
prinsip yang harus dipegang, yaitu: prinsip anti-dominasi asing, prinsip de-militerisasi,
pemisahan antara masalah ekonomi dengan hubungan militer, dan prinsip non-intervensi
(Kant, 1795).
Prinsip anti-dominasi asing menjelaskan seluruh negara yang telah merdeka tidak
boleh diintervensi atau dikuasai negara lain dalam berbagai hal, terutama secara militer.
Prinsip de-militerisasi memaparkan apabila penegakan perdamaian abadi dan meredanya
suasana saling ancam telah terjadi sebaiknya negara rela untuk menghapus kekuatan
militernya. Pemisahan antara masalah ekonomi dengan hubungan militer mengharapkan
semua negara untuk memisahkan friksi militer dengan hutang luar negeri agar perdamaian
dunia tercapai. Prinsip non-intervensi menghimbau semua negara agar tidak mencampuri
urusan domestik negara lain terutama dengan tidak menggunakan kekerasan.
Di samping itu, seorang politisi Partai Buruh Inggris bernama Norman Angell juga
berpendapat bahwa peperangan dan invasi militer dapat menjadi sesuatu yang tidak
relevan dan tidak berguna jika antar negara saling menggantungkan ekonominya, dimana
hal tersebut menciptakan sebuah integrasi dalam ekonomi. Hal itu ditunjukkan dalam
kondisi Eropa sebelum World War terjadi. Adapun Machiavelli yang menggagas tentang
Liberal Imperialis menjelaskan bahwa dalam menjaga kelangsungan hidupnya, suatu negara
harus melakukan ekspansi yang berkelanjutan. Ekspansi yang dimaksud mencakup
penambahan wilayah, kekayaan alam, dan penduduk yang dibutuhkan agar pemerintah
tidak runtuh dan keamanan rakyat terjaga.
Bagi Kant, negara liberal yang merasa nyaman berada dalam stabilitas dan ketiadaan
ancaman keamanan cenderung terus-menerus berupaya untuk mempertahankan bahkan
memperbaiki kondisi tersebut dengan cara meningkatkan komitmen internasionalnya untuk
menjaga perdamaian melalui pengembangan prinsip demokrasi, partisipasi dalam organisasi
internasional, penandatanganan pakta pertahanan, dan peningkatan hubungan ekonomi. 1
Selain itu, kekuatan militer sebagai instrumen utama sudah tidak digunakan lagi oleh suatu
negara terhadap negara lain. Penggunaan kekuatan militer untuk pertahanan dan keamanan
dapat dijadikan pilihan terakhir jika tidak ada instrumen lagi dalam perlindungan warga
negara dan penyelesaian pertikaian.
Peristiwa yang telah terjadi karena terlambatnya masyarakat internasional dalam
pencegahan bencana kemanusiaan seperti ethnic cleansing dan genocide di Burundi,
Kosovo, Rwanda, dan tempat lainnya menumbuhkan kembali semangat para pemimpin
dunia untuk mengangkat isu HAM yang secara politik dan hak-hak sipil mereka terkait satu
sama lain. Masyarakat global menilai instrumen hukum untuk mencegah bencana
kemanusiaan seperti peristiwa di atas kurang memadai. Hingga 1990-an, hanya tersedia Bab
7 Piagam PBB sebagai instrumen. Instrumen tersebut pun diniliai kurang luas dan kurang
efisien dalam penanganannya. Dewan Keamanan PBB dianggap sangat terlambat dalam
menangani bencana kemanusiaan yang dialami kaum minoritas Tutsi di Burundi dan
Rwanda.
Untuk memperbaiki instrument Bab 7 Piagam PBB yang dinilai gagal dalam
mencegah bencana kemanusiaan skala besar, penerapan prinsip Responsibility to Protect
atau R-to-P diusulkan Canada melalui International Commission of Intervention and State
Sovereignty. R-to-P membolehkan intervensi kemanusiaan dilakukan oleh pasukan asing
tanpa harus ditugaskan oleh Dewan Keamanan PBB jika ada situasi yang mengarah kepada:
kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, ethnic cleansing, dan genocide. Ketidakjelasan
komitmen internasional untuk memperjuangkan keamanan manusia akibat masyarakat
global yang terpecah dalam menentukan antara Bab 7 Piagam PBB atau R-to-P untuk
diterapkan hampir melahirkan kembali bencana kemanusiaan skala besar lainnya di Libya,
Syria, dan Kosovo.

1
Hadiwinata, Bob Sugeng. 2017. Studi dan Teori Hubungan Internasional: Arus Utama, Alternatif, dan
Reflektivis. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Bibliography
Kant, I. (1795). Perpetual Peace: a Philosophical Essay.
Archer, C. (1992). International Organization. Routledge.

Anda mungkin juga menyukai