Anda di halaman 1dari 7

Humanitarian Military Intervention

Disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Hubungan Internasional dan Hak Asasi Manusia

Dosen Pengampu:
Eska Dwipayana Pulungan M.A.

Disusun oleh kelompok 8 :

Aishah Mardiansyah (11211130000030)


Amanda Nabila Chairunnisa (11211130000092)
Anugerah Muhammad El Jauhari (11211130000123)
Mansur Afandi (11211130000121)

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada buku Humanitarian Intervention and International Relations karya dari


Jennifer .Welsh (ed) membahas tentang mengeksplorasi upaya untuk mengembangkan
prinsip dan mekanisme yang terkait dengan intervensi kemanusiaan yang lebih dapat
diterima, yang dikenal sebagai ‘Responsibility to Protect’ (R2P). Dalam buku ini juga
membahas tentang bagaimana masyarakat yang terkena dampak pelanggaran HAM berat
dapat dilindungi serta bagaimana kendala hukum dalam penggunaan kekerasan dan
penghormatan terhadap kedaulatan negara dapat diselaraskan dengan kemauan dan kesiapan
masyarakat internasional untuk mengambil tindakan dalam situasi seperti ini.
Selain itu, kami juga menggunakan buku "Humanitarian Military Intervention: The
Conditions for Success and Failure" karya dari Taylor B. Seybolt yang dimana buku ini
berargumentasi bahwa suatu intervensi hanya dapat dibenarkan jika para pengambil
keputusan cukup yakin bahwa intervensi tersebut akan memberikan lebih banyak manfaat
dibandingkan kerugian. Buku ini juga berpendapat bahwa faktor utama yang menentukan
keberhasilan suatu intervensi kemanusiaan adalah tujuan intervensi dan strategi militer yang
digunakan oleh negara-negara yang melakukan intervensi.
PEMBAHASAN

A. The United Nations and Humanitarian Intervention

Sejak berakhirnya Peran Dingin di wilayah mulai dari Irak Utara hingga Timur, mulai
terjadi situasi yang mendesak dengan penderitaan massal sehingga menyebabkan intervensi
militer eksternal. Beberapa contoh penderitaan massal yang dimaksud diantaranya seperti
Rwanda dan Bosnia yang memiliki alasan yang kuat untuk intervensi, namun sangat
disayangkan tindakan yang diambil terlalu sedikit atau terlambat dalam menyikapinya. Peran
PBB terlibat dalam tindakan ini dengan berbagai cara yang kompleks seperti negara negara
anggota yang memiliki pendapat yang berbeda beda serta badan badan PBB yang memiliki
pandangan dan peran yang berbeda pula, bahkan terkadang berlawanan. Kesulitan PBB
dalam intervensi kemanusiaan menciptakan paradoks. Selama 45 tahun pertama, PBB
menganut prinsip non-intervensi serta mendapatkan dorongan dan dukungan dari pemerintah
negara pasca-kolonial. Namun, pasca-perang dingin, PBB terlibat dalam intervensi, hal ini
terjadi berdasarkan alasan kemanusiaan yang dimana membuat hal tersebut menjadi berubah
dari lembaga tanpa kekerasan menjadi instrumen kekerasan. Dalam chapter ini juga
membahas terkait mengeksplorasi sejarah, penyebab, dan konsekuensi perubahan ini, mulai
dengan menganalisis ketentuan penggunaan kekuatan dalam Piagam PBB, hukum hak asasi
manusia, dan hukum perang sejak 1945.

Pada bagian ini juga membahas tentang doktrin dan praktik PBB terkait intervensi
kemanusiaan pada dan setelah Perang Dingin. Adapun pembahasan tersebut membahas
tentang identifikasi isu-isu dan kontroversi terkait intervensi kemanusiaan di PBB, termasuk
respons terhadap seruan Kofi Annan, ketidakberanian Majelis Umum PBB terhadap praktik
intervensi, dan tantangan dari Bush Doktrin September 2002. Jika dikatakan apakah
permasalahan terkait intervensi kemanusiaan dapat melemahkan atau bahkan menghancurkan
PBB, dan menekankan bahwa saat ini belum ada jawaban pasti dalam hukum internasional
terkait hak negara untuk melakukan intervensi kemanusiaan.

B. The United Nations Charter

Pada tahun 1942 - 1945, saat merencanakan pembentukan PBB, terdapat aliansi
perang PBB yang terlibat dalam perang dunia. Piagam PBB pada dasarnya bersifat non -
intervensionis yang membatasi penggunaan kekuatan internasional untuk pertahanan diri atau
sebagai bantuan dalam operasi militer yang diotorisasi oleh PBB. Meskipun piagam secara
tidak langsung membahas tentang intervensi kemanusiaan namun terdapat beberapa aturan
dan tujuan terkait yang telah ditetapkan. Seperti yang tertera pada pasal 2(4) yang melarang
ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik
suatu negara. Pasal 2(7) menyatakan bahwa PBB tidak dapat campur tangan dalam urusan
domestik suatu negara, tetapi prinsip ini tidak mengurangi langkah-langkah penegakan
hukum yang terdapat pada Bab VII piagam.

Meskipun Pasal 2(7) sering dikutip oleh negara-negara pasca-kolonial untuk


mempertahankan kedaulatan, ironisnya ketentuan ini berasal dari tekanan Inggris yang ingin
melindungi Kekaisaran Inggris. Meskipun terdapat larangan intervensi, Piagam ini memberi
ruang bagi intervensi kemanusiaan melalui referensi hak asasi manusia. PBB dianggap
sebagai entitas yang lebih dari sekadar aliansi perdagangan yang bertujuan untuk
mengembangkan hubungan persahabatan antar negara dan memajukan kerja sama
internasional untuk memecahkan masalah ekonomi, sosial, budaya, dan kemanusiaan. Piagam
PBB juga memberikan ruang bagi intervensi kemanusiaan melalui Dewan Keamanan PBB.
Pasal 2(7) memungkinkan tindakan penegakan hukum di negara-negara berdasarkan Bab VII
Piagam, yang memberikan keluasan pada Dewan Keamanan kewenangan dalam mengatasi
ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau tindakan agresi. Namun pada
pasal 42 dan 51 memberikan Dewan Keamanan fleksibilitas untuk menentukan jenis tindakan
militer yang dapat dilakukan.

C. Parallel streams : Human Rights law and the laws of war


Sejak tahun 1945, perkembangan politik dan hukum telah membawa tindakan
pemerintah di bawah pengawasan internasional, dengan dampak signifikan pada kekuasaan
negara terhadap warganya. Dua aliran hukum internasional yang penting adalah Hukum Hak
Asasi Manusia, yang menangani penyiksaan dan pembunuhan melanggar hukum, serta
Hukum Perang atau Hukum Humaniter Internasional, khususnya dalam perlindungan warga
sipil.Konsep utama dalam konteks ini adalah "kejahatan terhadap kemanusiaan," yang
mencakup kejahatan ekstrem yang dapat dihukum secara internasional dan melibatkan
tindakan pemerintah terhadap warganya sebagai subjek tindakan internasional. Konsep ini
ditegaskan dalam Piagam Nuremberg, Piagam Tokyo, dan keputusan Nuremberg dan Tokyo
pada tahun 1945 dan 1946, serta dalam Konvensi Genosida PBB tahun 1948.

Hukum Hak Asasi Manusia pertama kali diakui dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia 1948, yang memberikan substansi pada hak asasi manusia dan dianggap sebagai
interpretasi berwibawa tentang hak asasi manusia. Hukum ini berkembang dengan adopsi dua
kovenan hak asasi manusia pada tahun 1966. Isu krusial terkait intervensi adalah hak
menentukan nasib sendiri, di mana setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan status
politik dan mengembangkan dirinya sendiri.Perjanjian hak asasi manusia PBB, seperti
Konvensi tentang Penyiksaan 1984, memberikan yurisdiksi kepada negara untuk mengadili
pelanggaran hak asasi manusia terhadap warganya. Namun, intervensi kemanusiaan tidak
selalu diakui oleh negara pada saat perjanjian ini disepakati. Terdapat deklarasi, seperti
'Deklarasi tentang Tidak Dapat Diterimanya Intervensi dalam Urusan Dalam Negeri Negara'
tahun 1965, yang menegaskan prinsip non-intervensi.

Hukum Perang atau Hukum Humaniter Internasional juga memberikan dasar


potensial untuk intervensi kemanusiaan. Konvensi Jenewa dan Protokol I dan II menegaskan
kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi konvensi tersebut. Namun, ketentuan
non-intervensionis ditemukan, seperti dalam Protokol II Jenewa 1977, yang melarang campur
tangan dalam konflik bersenjata non-internasional. Sebagai hasil dari perubahan dinamika
internasional, perkembangan hukum ini menunjukkan pergeseran menuju pengakuan bahwa
perlakuan pemerintah terhadap warganya menjadi masalah kepentingan internasional yang
sah. Meskipun demikian, isu non-intervensi masih menjadi fokus beberapa negara dan
perjanjian.

D. The United Nations and Intervention: 1945 - 1990


Pada era Perang Dingin, banyak anggota PBB merasa curiga terhadap praktik
intervensi kemanusiaan. Intervensi oleh sekutu mereka dianggap mencurigakan secara hukum
maupun kebijakan. Sejak 1946, masalah intervensi terhadap pemerintahan Jenderal Franco di
Spanyol menciptakan kompleksitas interpretasi terhadap Piagam PBB. Mulai pertengahan
1960-an, anggota PBB yang baru merdeka dari kolonialisme menolak doktrin intervensi,
serta mengaitkannya dengan era kolonialisme. Respons PBB terhadap intervensi militer,
meskipun tidak konsisten, umumnya cenderung mengutuknya, terutama yang
mengatasnamakan kemanusiaan. Catatan Dewan Keamanan tidak ideal untuk menganalisis
pandangan negara selama Perang Dingin karena banyak isu tidak dibahas atau di-veto,
terutama oleh Uni Soviet atau Amerika Serikat. Oleh karena itu, fokus utama pada sikap
Majelis Umum memberikan catatan lebih lengkap dan mencerminkan pandangan anggota
secara keseluruhan. Majelis Umum hampir selalu mengutuk berbagai intervensi militer,
termasuk di antaranya intervensi Inggris-Prancis di Suez (1956), Uni Soviet di Hongaria
(1956), Indonesia di Timor Timur (1975), Maroko di Sahara Barat (1975), Vietnam di
Kamboja (1978), dan Uni Soviet di Afghanistan (1979). Namun, tidak semua intervensi
dikecam, seperti intervensi India di Goa (1962) dan Uni Soviet di Cekoslowakia (1968).

Konflik pandangan yang menarik terjadi selama Perang India-Pakistan tahun 1971.
India mendukung intervensi di Pakistan Timur dengan alasan kemanusiaan setelah kekejaman
pasukan Pakistan. Meskipun Uni Soviet mendukung, mayoritas anggota PBB berpegang pada
prinsip non-intervensionisme. Perwakilan AS mengutuk tindakan India. Setelah veto Soviet
di Dewan Keamanan, Majelis Umum mengeluarkan resolusi gencatan senjata, mengakhiri
perang pada 16 Desember.Terdapat pengecualian penting di Dewan Keamanan terkait
intervensi dalam situasi internal, khususnya terkait dengan Rhodesia (1966) dan Afrika
Selatan (1977), dimana diterapkan sanksi di bawah bab VII Piagam. Namun, Dewan tidak
memberikan izin untuk intervensi militer langsung. Kesimpulannya, aturan non-intervensi
tetap fundamental selama Perang Dingin, namun terdapat tren bertentangan yang
menunjukkan penerimaan legitimasi intervensi, terutama untuk mendukung penduduk yang
terancam, terutama dalam konteks perjuangan penentuan nasib sendiri. Sejumlah penulis
melihat potensi bahwa Dewan Keamanan PBB dapat memberi izin intervensi kemanusiaan.

E. The United Nations and Intervention 1991 - 2000


Setelah berakhirnya perang dingin, PBB terlibat dalam praktik dan doktrin intervensi
kemanusiaan dalam berbagai situasi yang luar biasa. Persoalan mengenai apakah intervensi
militer secara paksa di negara lain untuk melindungi kehidupan penduduknya dapat
dibenarkan menjadi permasalahan yang sensitif secara politik karena adanya gabungan dari
sejumlah besar faktor. Faktor baru yang paling signifikan adalah perubahan sifat hubungan
kekuatan besar di Dewan Keamanan. Sejak akhir tahun 1980-an dan seterusnya, seiring
dengan jatuhnya sistem komunis di Uni Soviet, Lima Permanen lebih bersedia bekerja sama
dalam isu-isu perdamaian dan keamanan dibandingkan sebelumnya. Selain itu, ada kemauan
yang lebih besar untuk memandang konflik internal sebagai potensi ancaman terhadap
stabilitas internasional, dan oleh karena itu perlu diambil tindakan oleh Dewan Keamanan.
Pada saat yang sama, ketegangan serius antara negara-negara besar masih terjadi, seringkali
menghambat kesepakatan mengenai aksi militer dan banyak anggota PBB yang terus
khawatir bahwa negara-negara besar, baik bertindak sesuai kerangka PBB atau tidak yang
memungkinkan akan mencampuri urusan dalam negeri mereka.

F. Issues and Controversies at the united nations


Bab ini membahas tentang isu intervensi kemanusiaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Adanya keterlibatan komunitas internasional dalam intervensi telah berdampak
kepada arah perubahan tugas, harapan, serta pemikiran organisasi di PBB. Topik terkait
intervensi kemanusiaan pasca perang dingin telah menjadi suatu topik yang kontroversi
karena hal tersebut bertentangan dengan norma kedaulatan. Sekretaris Jenderal Kofi Annan
dalam bab ini telah mengadvokasi intervensi dalam kasus-kasus dengan menguraikan kriteria
intervensi yang dapat dibenarkan.
Dalam pidatonya, Annan secara vokal mendukung intervensi kemanusiaan dilakukan
dalam kondisi darurat walaupun banyak negara yang menolak. pidato Annan juga
menggambarkan adanya pergeseran dalam memandang negara sebagai subjek dari lembaga
serta norma internasional dan menekankan kepada negara bahwa negara adalah pelayan
rakyat. Annan menyarankan adanya kriteria yang harus dipenuhi untuk bisa melakukan suatu
intervensi, yaitu hilangnya nyawa dalam skala yang besar.
Sejak tahun 1990an, PBB mendapatkan tugas, harapan baru, dan tantangan karena
intervensi kemanusiaan. Dewan keamanan memperluas kekuasaan dalam mengotorisasi
penggunaan kekerasan dalam maksud kemanusiaan. dalam bab ini juga dijelaskan adanya
pandangan-pandangan yang berkembang mengenai intervensi kemanusiaan pada norma yang
mengakui kemungkinan intervensi tersebut dalam maksud kemanusiaan. Seperti yang telah
diusulkan oleh Komisi Internasional untuk Intervensi dan Kedaulatan Negara (ICISS) bahwa
ada tanggung jawab untuk melindungi dan juga tantangan dalam mendapatkan dukungan
global.
Selanjutnya yaitu kebutuhan akan administrasi internasional yang sering ikut dalam
intervensi. Hal ini mengarah kepada perdebatan terkait peran PBB dalam mengelola wilayah.
Dalam bab ini disebutkan juga saran akan pendekatan alternatif seperti pencegahan dan
perlindungan perlu dipertimbangkan disamping intervensi. terdapat kesulitan dalam
menemukan keseimbangan antara intervensi dan pencegahan serta penekanan terdapat
pentingnya pemilihan umum multipartai dalam upaya administratif pasca intervensi.

G. Controversies about Humanitarian Military Intervention


Intervensi militer kemanusiaan telah menjadi isu kebijakan luar negeri yang penting.
Konsep tanggung jawab negara untuk melindungi warga sipil, termasuk dengan kekerasan
sebagai langkah terakhir semakin diterima meskipun itu kontroversial. Bacaan ini membahas
faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran dan pelaksanaan intervensi militer kemanusiaan.
Beberapa prinsip perang adil dibahas, termasuk otoritas yang benar, niat yang benar, pilihan
terakhir, sarana yang proporsional, dan prospek keberhasilan yang wajar. Intervensi
kemanusiaan bersifat sangat politis, jadi intervensi lebih mungkin berhasil jika negara pelaku
intervensi memiliki kepentingan politik dan kemanusiaan, bukan hanya kemanusiaan. Faktor
kunci lainnya untuk keberhasilan intervensi kemanusiaan meliputi mandat yang kuat,
pasukan militer yang terlatih dengan peralatan memadai, aturan pertempuran yang
merefleksikan tujuan kemanusiaan, kapasitas untuk bekerja sama dengan personel bantuan
kemanusiaan, respons yang cepat, dan strategi yang koheren. Tanpa strategi yang jelas,
intervensi kemanusiaan cenderung gagal.

H. Judging Success and Failure

Bacaan ini membahas tentang intervensi kemanusiaan oleh pemimpin politik dalam
menangani krisis kemanusiaan. Intervensi hanya dapat dibenarkan secara etis jika
kemungkinan keberhasilan dalam menyelamatkan lebih banyak nyawa dibandingkan tanpa
intervensi. Dalam argumennya, sangat sulit untuk memprediksi hasil intervensi dengan pasti,
tetapi pelajaran dapat dipelajari dari pengalaman dan diterapkan bijaksana pada skenario
masa depan. Bab tersebut mengenai pengembangan metodologi untuk menentukan apakah
intervensi militer kemanusiaan masa lalu berhasil menyelamatkan nyawa. Intervensi yang
berbeda memiliki tingkat keberhasilan yang bervariasi. Diajukan sebuah tipologi untuk
intervensi militer kemanusiaan berdasarkan tumpang tindih antara kepentingan kemanusiaan
dan kepentingan politik. Keberhasilan intervensi tergantung pada diagnosis yang tepat
tentang penyebab kematian dan cara mengatasinya. Penting juga, bahwa strategi harus
ditentukan berdasarkan tujuan intervensi, meski kendala politik dan militer sering
menghalangi. Pemimpin politik memiliki prospek sukses lebih besar jika mencocokkan
tujuan dan strategi serta menerapkan kemampuan militer dan kemauan politik yang
diperlukan.

PENUTUP

Kesimpulan

Intervensi kemanusiaan telah menimbulkan tantangan bagi organisasi Perserikatan


Bangsa-Bangsa (PBB). PBB telah memainkan peran ganda sebagai penegak hak asasi
manusia internasional dan hukum humaniter sebagai entitas global yang bertanggung jawab
dalam penggunaan kekuatan. Intervensi kemanusiaan ini dilihat sebagai sarana untuk
mengatasi hubungan antara hukum dan kekuasaan dalam sebuah organisasi internasional
namun kenyataannya, intervensi kemanusiaan telah menimbulkan potensi ancaman dan
tantangan bagi PBB. Walaupun intervensi kemanusiaan ini dapat mencegah pelanggaran
berulang terhadap norma-norma internasional.
Terdapat perkembangan yang muncul dan mengkhawatirkan dari adanya intervensi
kemanusiaan sejak tahun 1991. kekhawatiran tersebut terkait kedaulatan, peningkatan
persenjataan nasional, kekecewaan terhadap kemampuan PBB, perbedaan pandangan antar
negara di PBB, hingga kecurigaan antar negara-negara berkembang.
Isu intervensi kemanusiaan juga menjadi isu yang kontroversial. ada beberapa prinsip
dan strategi yang koheren sebagai kunci dalam keberhasilan intervensi ini. Intervensi yang
berbeda akan memiliki keberhasilan yang berbeda juga. Sehingga dalam bab terakhir
dijelaskan tentang evaluasi keberhasilan intervensi dan percobaan mengembangkan
metodologi untuk dapat menilai apakah suatu intervensi militer kemanusiaan dapat dikatakan
berhasil menyelamatkan nyawa.

DAFTAR PUSTAKA

Welsh, Jennifer M. (ed.), Humanitarian Intervention and International Relations (Oxford, 2003;online
edn, Oxford Academic, 7 Apr 2004) Chapter 2
Seybolt,T.B (2007). Humanitarian Military Intervention : The aConditions for Success and Failure.
United Kingdom : Oxford University Press (Chapter 1 and 2).

Anda mungkin juga menyukai