Disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Hubungan Internasional dan Hak Asasi Manusia
Dosen Pengampu:
Eska Dwipayana Pulungan M.A.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak berakhirnya Peran Dingin di wilayah mulai dari Irak Utara hingga Timur, mulai
terjadi situasi yang mendesak dengan penderitaan massal sehingga menyebabkan intervensi
militer eksternal. Beberapa contoh penderitaan massal yang dimaksud diantaranya seperti
Rwanda dan Bosnia yang memiliki alasan yang kuat untuk intervensi, namun sangat
disayangkan tindakan yang diambil terlalu sedikit atau terlambat dalam menyikapinya. Peran
PBB terlibat dalam tindakan ini dengan berbagai cara yang kompleks seperti negara negara
anggota yang memiliki pendapat yang berbeda beda serta badan badan PBB yang memiliki
pandangan dan peran yang berbeda pula, bahkan terkadang berlawanan. Kesulitan PBB
dalam intervensi kemanusiaan menciptakan paradoks. Selama 45 tahun pertama, PBB
menganut prinsip non-intervensi serta mendapatkan dorongan dan dukungan dari pemerintah
negara pasca-kolonial. Namun, pasca-perang dingin, PBB terlibat dalam intervensi, hal ini
terjadi berdasarkan alasan kemanusiaan yang dimana membuat hal tersebut menjadi berubah
dari lembaga tanpa kekerasan menjadi instrumen kekerasan. Dalam chapter ini juga
membahas terkait mengeksplorasi sejarah, penyebab, dan konsekuensi perubahan ini, mulai
dengan menganalisis ketentuan penggunaan kekuatan dalam Piagam PBB, hukum hak asasi
manusia, dan hukum perang sejak 1945.
Pada bagian ini juga membahas tentang doktrin dan praktik PBB terkait intervensi
kemanusiaan pada dan setelah Perang Dingin. Adapun pembahasan tersebut membahas
tentang identifikasi isu-isu dan kontroversi terkait intervensi kemanusiaan di PBB, termasuk
respons terhadap seruan Kofi Annan, ketidakberanian Majelis Umum PBB terhadap praktik
intervensi, dan tantangan dari Bush Doktrin September 2002. Jika dikatakan apakah
permasalahan terkait intervensi kemanusiaan dapat melemahkan atau bahkan menghancurkan
PBB, dan menekankan bahwa saat ini belum ada jawaban pasti dalam hukum internasional
terkait hak negara untuk melakukan intervensi kemanusiaan.
Pada tahun 1942 - 1945, saat merencanakan pembentukan PBB, terdapat aliansi
perang PBB yang terlibat dalam perang dunia. Piagam PBB pada dasarnya bersifat non -
intervensionis yang membatasi penggunaan kekuatan internasional untuk pertahanan diri atau
sebagai bantuan dalam operasi militer yang diotorisasi oleh PBB. Meskipun piagam secara
tidak langsung membahas tentang intervensi kemanusiaan namun terdapat beberapa aturan
dan tujuan terkait yang telah ditetapkan. Seperti yang tertera pada pasal 2(4) yang melarang
ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik
suatu negara. Pasal 2(7) menyatakan bahwa PBB tidak dapat campur tangan dalam urusan
domestik suatu negara, tetapi prinsip ini tidak mengurangi langkah-langkah penegakan
hukum yang terdapat pada Bab VII piagam.
Hukum Hak Asasi Manusia pertama kali diakui dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia 1948, yang memberikan substansi pada hak asasi manusia dan dianggap sebagai
interpretasi berwibawa tentang hak asasi manusia. Hukum ini berkembang dengan adopsi dua
kovenan hak asasi manusia pada tahun 1966. Isu krusial terkait intervensi adalah hak
menentukan nasib sendiri, di mana setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan status
politik dan mengembangkan dirinya sendiri.Perjanjian hak asasi manusia PBB, seperti
Konvensi tentang Penyiksaan 1984, memberikan yurisdiksi kepada negara untuk mengadili
pelanggaran hak asasi manusia terhadap warganya. Namun, intervensi kemanusiaan tidak
selalu diakui oleh negara pada saat perjanjian ini disepakati. Terdapat deklarasi, seperti
'Deklarasi tentang Tidak Dapat Diterimanya Intervensi dalam Urusan Dalam Negeri Negara'
tahun 1965, yang menegaskan prinsip non-intervensi.
Konflik pandangan yang menarik terjadi selama Perang India-Pakistan tahun 1971.
India mendukung intervensi di Pakistan Timur dengan alasan kemanusiaan setelah kekejaman
pasukan Pakistan. Meskipun Uni Soviet mendukung, mayoritas anggota PBB berpegang pada
prinsip non-intervensionisme. Perwakilan AS mengutuk tindakan India. Setelah veto Soviet
di Dewan Keamanan, Majelis Umum mengeluarkan resolusi gencatan senjata, mengakhiri
perang pada 16 Desember.Terdapat pengecualian penting di Dewan Keamanan terkait
intervensi dalam situasi internal, khususnya terkait dengan Rhodesia (1966) dan Afrika
Selatan (1977), dimana diterapkan sanksi di bawah bab VII Piagam. Namun, Dewan tidak
memberikan izin untuk intervensi militer langsung. Kesimpulannya, aturan non-intervensi
tetap fundamental selama Perang Dingin, namun terdapat tren bertentangan yang
menunjukkan penerimaan legitimasi intervensi, terutama untuk mendukung penduduk yang
terancam, terutama dalam konteks perjuangan penentuan nasib sendiri. Sejumlah penulis
melihat potensi bahwa Dewan Keamanan PBB dapat memberi izin intervensi kemanusiaan.
Bacaan ini membahas tentang intervensi kemanusiaan oleh pemimpin politik dalam
menangani krisis kemanusiaan. Intervensi hanya dapat dibenarkan secara etis jika
kemungkinan keberhasilan dalam menyelamatkan lebih banyak nyawa dibandingkan tanpa
intervensi. Dalam argumennya, sangat sulit untuk memprediksi hasil intervensi dengan pasti,
tetapi pelajaran dapat dipelajari dari pengalaman dan diterapkan bijaksana pada skenario
masa depan. Bab tersebut mengenai pengembangan metodologi untuk menentukan apakah
intervensi militer kemanusiaan masa lalu berhasil menyelamatkan nyawa. Intervensi yang
berbeda memiliki tingkat keberhasilan yang bervariasi. Diajukan sebuah tipologi untuk
intervensi militer kemanusiaan berdasarkan tumpang tindih antara kepentingan kemanusiaan
dan kepentingan politik. Keberhasilan intervensi tergantung pada diagnosis yang tepat
tentang penyebab kematian dan cara mengatasinya. Penting juga, bahwa strategi harus
ditentukan berdasarkan tujuan intervensi, meski kendala politik dan militer sering
menghalangi. Pemimpin politik memiliki prospek sukses lebih besar jika mencocokkan
tujuan dan strategi serta menerapkan kemampuan militer dan kemauan politik yang
diperlukan.
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Welsh, Jennifer M. (ed.), Humanitarian Intervention and International Relations (Oxford, 2003;online
edn, Oxford Academic, 7 Apr 2004) Chapter 2
Seybolt,T.B (2007). Humanitarian Military Intervention : The aConditions for Success and Failure.
United Kingdom : Oxford University Press (Chapter 1 and 2).