Anda di halaman 1dari 6

Pandangan Realism, Liberalism, dan Constructivism dalam Melihat Perang Dunia

Dzaky Gibran Noor Fadhilah

NIM : 202110360311035
Departemen Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang

Dalam dunia yang selalu berubah, banyak sekali fenomena hubungan internasional, mulai dari kerjasama
antar bangsa, perang antar bangsa dengan agen-agen lain di luar negeri, hingga pergerakan-pergerakan logis
yang tentunya berdampak pada dunia hubungan internasional. Salah satu fenomena yang paling terkenal dan
juga digunakan oleh para peneliti hubungan internasional sebagai kajian dasar adalah fenomena perang
dunia. Perang dunia sendiri sejauh ini telah terjadi dua kali dalam sejarah. Pengertian perang dunia sendiri
bukanlah perang yang secara langsung menyangkut semua pihak di dunia, melainkan perang yang terjadi di
salah satu belahan dunia yang selanjutnya menjadi fokus utama semua pihak di dunia, khususnya di dunia
hubungan internasional.

Di dunia hubungan internasional juga terdapat istilah yang disebut perspektif. Perspektif adalah “prisma”
atau alat analisis yang digunakan untuk mempelajari atau mengkaji suatu fenomena dalam hubungan
internasional. Perspektif sendiri dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu; Klasik, teori baru, ortodoks
dan anti-ortodoks. Setiap sudut pandang memiliki asumsi dan tema utama tersendiri dan kemudian dapat
digunakan untuk mengkaji dan menganalisis suatu fenomena hubungan internasional.

A. Argumen Dasar Tiap Perspektif

1. Perspektif Realisme

Salah satu teori mainstream klasik dalam kajian hubungan internasional adalah pandangan realisme.
Realisme sendiri muncul dan mempelajari fenomena perang dunia dan bertentangan dengan studi
liberalisme, yang pada dasarnya memiliki asumsi, tema, dan gagasan utama yang bertentangan dengan
realisme. Perang Dunia I merupakan fenomena dengan partisipasi banyak aktor, terutama Negara, kemudian
mempengaruhi dunia dan melahirkan subjek baru berupa Liga Bangsa-Bangsa, yang memiliki hubungan
satu sama lain. . Perang Dunia I juga melahirkan gerakan koalisi dan nonblok yang melibatkan sejumlah
negara yang tidak terlibat langsung dalam fenomena tersebut.

Perang Dunia I berlangsung dari 28 Juli 1914 hingga 11 November 1918, dan perang tersebut berpusat di
Eropa. Perang dunia ini melibatkan negara-negara dengan kekuatan terbesar di dunia saat itu. Perang Dunia
I dibagi menjadi dua faksi yang berlawanan yang terdiri dari aliansi beberapa negara di blok tersebut.
Aliansi pertama adalah Aliansi Sekutu atau dikenal juga dengan Aliansi Entente yang terdiri dari Inggris
Raya (UK), Prancis dan Rusia. Kemudian aliansi lainnya adalah Triple Alliance atau Blok Tengah dengan
Jerman, Austria, Hongaria dan Italia sebagai anggota. Perang Dunia I dilatarbelakangi oleh keinginan
negara-negara besar untuk memperoleh hegemoni atas bangsa lain. Perang Dunia I adalah perang berdarah
dan kemudian merusak stabilitas negara-negara yang terlibat, menyebabkan revolusi masa depan untuk
beberapa negara ini.

Perang Dunia I tidak hanya berfokus pada perang darat. Perang Dunia I juga mempengaruhi perairan Eropa.
Pada hari-hari awal perang, Jerman, yang memiliki armada yang tersebar secara global, digunakan untuk
menenggelamkan kapal penumpang Amerika dan kapal dagang Sekutu. Perang yang terjadi pada Perang
Dunia I dapat dibagi menjadi dua wilayah yaitu Front Barat dan Front Timur. Pembagian wilayah
didasarkan pada kondisi geografis dan bentuk agresi Jerman. Di depan bagian timur, Jerman berdiri di Rusia
di bagian depan Barat. Pertempuran pusat Jerman sangat cepat dan langsung, dan semua negara yang
bertempur dari itu adalah posisi mereka sendiri dari guru masing-masing. Ini digunakan untuk memperluas
koloni Anda sendiri untuk tujuan mengembangkan dan memperkuat pertahanan oleh negara-negara ini dan
memperkuat kekuatan dan bantuan. Perang ini terus menjawab faktor aritmatika lainnya yang memengaruhi
setiap negara baru yang terbentuk di Ottoman, beberapa negara baru terbentuk di wilayah perang, dan
masing-masing negara baru dari perang.

Berkat penjelasan di atas dalam kaitannya dengan Perang Dunia I, fenomena ini dapat ditelaah dan
kemudian dianalisis dari sudut pandang realisme klasik. Asumsi realis pertama mengasumsikan bahwa
negara adalah aktor utama dan terpenting. Dapat dilihat bahwa Perang Dunia I melibatkan negara-negara
Eropa secara langsung dalam konflik ini, yang merupakan bukti nyata dari pemikiran realis dan asumsi
dasarnya yang dianggap realisme sifat manusia adalah pesimis dan menganggap bahwa hubungan
internasional saling bertentangan dan cenderung menyebabkan konflik. Asumsi kedua, negara dipandang
sebagai unified actor, artinya suatu negara dapat membuat kebijakan dalam dan luar negeri. Hipotesis ketiga
adalah bahwa negara dipandang sebagai aktor rasional dengan maksud bahwa apa yang dilakukan dan
diputuskan oleh negara telah mewakili warganya dengan mengambil posisi dalam keadaan tertentu. Namun,
hal ini kemudian dalam Perang Dunia I tidak dapat dibuktikan sampai setelah Perang Dunia I berakhir.

Asumsi keempat, keamanan nasional penting bagi suatu negara. Dapat dikatakan bahwa hipotesis keempat
memberikan penjelasan tentang asal muasal mengapa Perang Dunia I mungkin terjadi. Dari pembunuhan
Franz Ferdinand dan imperialisme yang dilakukan melalui perluasan kekuasaan dan pendudukan wilayah
negara lain, Perang Dunia I dimungkinkan. Realisme sendiri tidak menganggap bahwa aktor-aktor dalam
hubungan internasional dapat bekerjasama atau berkoordinasi, hal ini dikarenakan asumsi pertama dari teori
itu sendiri dan anggapan bahwa kekuasaan dalam pandangan dunia Hubungan internasional merupakan hal
yang sangat penting untuk menentukan posisi suatu negara di dunia. Suatu negara memang bisa
bekerjasama atau bersekutu, namun hal ini hanya bisa terjadi jika pihak-pihak yang terlibat memiliki tujuan
atau kepentingan yang sama terhadap fenomena tersebut. Selain itu, klaim dari sudut pandang realis yang
dapat dilihat dari fenomena Perang Dunia I adalah bahwa keberadaan LBB belum memenuhi fungsinya
sebagai lembaga atau organisasi internasional untuk menjaga perdamaian setelah Perang Dunia I yang
kemudian dapat dihubungkan dengan pernyataan realis bahwa organisasi dan aktor selain negara tidak
memiliki kekuasaan dan bahwa kekuasaan tertinggi yang sama hanya dapat bekerja jika mendapat
persetujuan dan legalitas dari negara yang bersangkutan.

2. Perspektif Liberalisme

Munculnya Perang Dunia I (1914-1918) menjadi pendorong awal terbentuknya HI, guna mencegah
terulangnya perang dunia (the war that end all wars). Memerlukan upaya untuk mengatasi masalah perang
total antar tentara dan penggunaan senjata modern yang dapat mengakibatkan kehancuran total, sehingga
cita-cita tidak terulangnya perang dunia dapat tercapai.

Berkat penjelasan di atas dalam kaitannya dengan Perang Dunia I, fenomena ini dapat ditelaah dan
kemudian dianalisis dari sudut pandang liberasisme. Asumsi liberalis pertama mengasumsikan bahwa
manusia ini memiliki baik dasar sifat. Manusia adalah memiliki cara yang baik, tidak melalui kekerasan atau
perang. Manusia masih memiliki hati nurani untuk melakukan perdamaian. Negara terbentuk dari
sekumpulan manusia-manusia yang mempunyai persamaan, jika manusia tersebut mempunyai sifat yang
baik, sebuah negara juga pula mempunyai sifat yang baik. Asumsi kedua, Liberalisme tidak membatasi diri
pada satu jenis aktor, yaitu state actor atau negara, yang mampu menyelenggarakan urusan internasional. Di
sisi lain, non-state actor dapat memainkan peran dalam pengelolaan hubungan internasional. Bahkan dalam
liberalisme, non-state actor dianggap memainkan peran yang lebih besar daripada pemain negara. Asumsi
ketiga adalah hubungan kerjasama internasional dilihat dari sudut pandang liberalisme. Liberalisme sangat
mementingkan kebebasan dan kemajuan individu. Individu akan membentuk kelompok atau organisasi yang
akan dapat membawa kenikmatan satu sama lain. Dan dengan menyatukan kepentingan bersama, setiap
individu dapat menemukan kepuasan di dalam komunitas ini.

Menurut sudut pandang liberalisme, Perang Dunia I adalah akibat dari salah perhitungan, egoisme, dan
kecerobohan para penguasa otokratis, seperti Prusia (sekarang Jerman) dan Austria. Perang Dunia I
menggiring para pemikir liberal untuk menyimpulkan bahwa perdamaian bukanlah kondisi yang alami,
tetapi harus dibangun. Kaum liberal menemukan bahwa para pemimpin yang tidak demokratis cenderung
membuat keputusan yang mematikan, sehingga menyeret negara itu ke dalam keadaan perang.

3. Perspektif Konstrutivisme

Ketika melihat penjelesan mengenai Perang Dunia 1, terdapat tiga elemen dari konstruktivisme yang
membuatnya lain dari teori dalam hubungan internasional. Pertama, politik global menurut konstruktivisme
dipandu oleh ide, norma, dan nilai yang berasal dari individuindividu. Mereka fokus pada dimensi
intersubjektif yang menekankan pada aspek keberadaan manusia, bagaimana ide mereka mengkonsepsi
dunia. Kedua, struktur ideasional memiliki efek konstitutif bukan hanya regulatif. Dengan demikian, struktur
menuntun individu untuk meredefinisi kepentingna dan identitas dalam proses interaksinya (sosialisasi), hal
yang dalam Neorealisme dan Neoliberalisme dianggap konstan karena peran kekuatan dan institutusi
internasional ketiga, struktur ideasional dan indivu saling mengangkat dan menentukan satu sama lainnya.
Struktur mengangkat individu dalam kepentingan dan identitas, sementara struktur juga memproduksi dan
mereproduksi, juga diubah oleh praktik-praktik agen yang tidak berkesinambungan.

B. Argumen Pembeda Antar Perspektif

 Perspektif Realisme

Realisme lebih memilih menyelesaikan konflik dengan cara perang, kemudian sifat manusia adalah pesimis
dan menganggap bahwa hubungan internasional saling bertentangan dan cenderung menyebabkan konflik.
Karena itu menurut saya, perang dunia merupakan salah satu cara bagi mereka ( pemikir realism/kaum
realism untuk menyelesaikan sebuah masalah yang sedang mereka alami. Kemudian realis menganggap
bahwa negara dipandang sebagai aktor rasional dengan maksud bahwa apa yang dilakukan dan diputuskan
oleh negara telah mewakili warganya dengan mengambil posisi dalam keadaan tertentu.

 Perspektif Liberalisme

Kaum liberal pada umumnya memandang positif atau optimis tentang sifat manusia. Mereka memiliki
keyakinan besar terhadap akal pikiran dan rasionalitas, sehingga dapat dipakai pada masalah-masalah
internasional. Sebelumnya, asumsi dasar liberalisme yang memiliki pandangan positif tentang sifat manusia,
meyakini hubungan internasional dapat bersifat kooperatif serta percaya terhadap kemajuan. Selain itu,
berbeda dengan realis yang melihat negara sebagai aktor utama, kaum liberal memiliki aktor tidak terpusat
pada negara saja, seperti NGO, INGO, TNCs, MNC, dan individu. Salah satu karakteristik yang menandai
liberalisme berawal dari concern kaum liberalis terhadap perdamaian dunia yang diganggu adanya
peperangan hingga meyakini perang bisa diselesaikan dan menjalin hubungan kerja sama antar negara
karena memang pada dasarnya sifat alamiah manusia senang bekerja sama baik antar individu maupun antar
kelompok.

 Perspektif Konstruktivisme

Menurut realis, kondisi dunia anarki dan tidak dapat dirubah ketika aktor memasuki interaksi, dan
kepentingan sudah ada terlebih dahulu. Namun konstruktivisme melihat kepentingan baru tercipta Ketika
actor memasuki interkasi. Selain itu, konstruktivisme tidak mememrcayai bahwa anarki dan hubungan
internasional itu permanen dan semata-mata dibentuk oleh aspek materal. Anarki itu bisa dirubah melalui
“learning process”.

C. Analisis ketiga perspektif dengan pemahaman masing-masing


 Perspektif Realisme
Dari yang saya lihat bahwa perspektif realisme ini sendiri tidak memiliki asumsi bahwa aktor hubungan
internasional bisa melakukan kerja sama ataupun koordinasi. Hal ini disebabkan karena asumsi pertama,
bahwasanya konsep power dalam dunia hubungan internasonal adalah suatu hal yang sangatlah penting
untuk menentukan posisi negara-negara di dunia. Suatu negara seharusnya bisa bekerjasama maupun
besekutu, namun hal itu dapat terjadi apabila pihak-pihak yang berkaitan memiliki tujuan ataupun
kepentingan yang sama.

 Perspektif Liberalisme
Dari yang saya pahami tentang perspektif liberalisme ini bahwa kaum liberal memandang positif tentang
sifat manusia, akal pikiran maupun prinsip-prinsip berdasarkan logika yang dapat digunakan dalam
memecahkan persoalan internasional ini. Pemikiran kaum liberal ini erat hubungannya dengan aturan hukum
yang berlaku dalam politik modern. Mereka berpendapat bahwa modernisasi adalah proses yang
menimbulkan kemajuan diberbagai bidang dalam kehidupan. Proses modernisasi ini memperluas ruang
lingkup bagi kerja sama internasional.

 Perspektif Konstruktivisme
Dari yang saya ketahui dalam perspektif konstruktivisme ini menjelaskan bahwa realita hubungan
internasional yang dianggap sebagai berbagi ide dari para pelaku kaum empiris dunia ini. Aktor-aktor dalam
tindakan ini tidak dipengaruhi oleh kepentingan, namun oleh gagasan yang dibangun sendiri, karena
kepentingan itu jika kita urutkan dari belakang akan sampai pada gagasan. Konstruktivisme bisa kita lihat
sebagai temuan dari interaksi antar manusia tentang metode dalam berhubungan dengan pelaku ketika
berselisih. Manusia bisa menemukan metode selain perang dalam memecahkan permasalahan ataupun
perselisian.

Bisa diketahui bahwasanya perang dunia sangat merugikan wilayah maupun penuduk-penduduk yang
terkena peperangan, maka dari itu beberapa ahli mengemukakan pandangan argumennya tentang perspektif-
perspektif yang ada, seperti perspektif realisme, liberalisme dan konstruktivisme. Ketiga perspektif ini
tentunya mempunyai pandangan berbeda dalam melihat perang dunia. Dapat kita mengerti perspektif-
perspektif diatas mengemukakan hal-hal yang berbeda pada setiap argumen.
DAFTAR PUSTAKA

Azrudin, Mirza jaka suryana, ‘Analisis Konstruktivisme Tentang Persepsi Ancaman’, Global & Strategis,
Th. 7 No.January 2013 (2013), 21–22

Anda mungkin juga menyukai