pengetahuan melalui peluncuran satelit dan misi ke luar angkasa (History, 2009). Cold War berakhir dengan
perpecahan internal dalam Uni Soviet. Mikhail Gorbachev sebagai Presiden Uni Soviet mengeluarkan
sejumlah gagasan yang tidak sesuai dengan semangat yang ditanamkan dalam ideologi komunis. Gagasan
yang dikeluarkan yaitu reformasi, Перестройка atau perestroika yang merestrukturisasi ekonomi, serta
гла́сность atau glasnost yang mendukung keterbukaan urusan politik kepada publik. Kebijakan Gorbachev
memberikan efek domino bagi keberlangsungan Uni Soviet dan pengamalan ideologi komunis di Eropa Timur
(Crockatt, 2001). Interaksi global yang terjadi setelah keruntuhan Uni Soviet menganut konsep unipolar
karena hanya memiliki satu negara adidaya, yaitu Amerika Serikat.
Dinamika tercipta melalui pembentukan gerakan non-blok oleh para pemimpin dari Ghana, India,
Indonesia, Mesir, dan Yugoslavia. Non-blok didirikan di Ibukota Yugoslavia pada saat itu, Belgrade pada
tahun 1961. Kelima pemimpin dari negara berkembang itu memiliki satu pemandangan yang sama bahwa
posisi negara berkembang pada saat Cold War tidak boleh memihak pada konsep yang dibawa oleh Amerika
Serikat maupun Uni Soviet. Akan tetapi menciptakan kondisi yang netral demi memelihara perdamaian dunia.
Gerakan Non-blok tidak hanya berfungsi sebagai penawar hubungan, tetapi sebagai salah satu cara untuk
bergotong royong mengatasi masalah yang dihadapi penduduk negara berkembang. Non-blok menghambat
paham oligarki dan mengutamakan pemerataan pada pengembangan ilmu pengetahuan (Chopra, 1986)
Momentum penting hubungan internasional pada abad ke-21 terjadi pada peristiwa pengeboman
Gedung WTC di kota New York, AS pada tanggal 9 September 2001 oleh jaringan kelompok teroris yang
berlandaskan pemahaman jihad, Al-Qaeda. 9/11 menyebabkan Presiden AS saat itu, George W. Bush
mengeluarkan Bush Doctrine yang mengultimatum para negara maupun berbagai pihak yang memiliki agenda
untuk mendukung dan menjadi tempat persembunyian para teroris sebagai pernyataan terbuka untuk
menganggap Amerika Serikat serta sekutunya sebagai musuh (Krauthammer, 2001). Peristiwa ini membagi
kembali pengkategorian aktor dalam hubungan internasional. Terciptalah konsep baru dalam
pengklasifikasian ini, yaitu illegitimate actor. Pada abad ini, topik utama yang menjadi pembahasan utama
dalam proses menciptakan kestabilan adalah pemberantasan terorisme, karena terorisme adalah musuh utama
masyarakat global. Demi mencegah peristiwa serupa, pemerintah di berbagai penjuru dunia Bersatu dalam
berbagi informasi yang berpotensi memecah bangsa melalui lembaga Interpol (Interpol, t.t.)
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis berpendapat bahwa hubungan internasional setelah perjanjian
Westphalia bersifat lebih variatif. Perang Dunia I terjadi akibat maraknya berbagai ideologi yang berkembang
pesat dalam tatanan global, terutama di Benua Eropa sebagai poros perkembangan hubungan internasional
dan menyebabkan terbunuhnya Frans Ferdinand yang merupakan Putra Mahkota Austria serta penanda
tanganan Perjanjian Versailles yang merugikan Jerman. Hal ini kemudian memantik Perang Dunia II yang
lebih luas, dan menyebabkan munculnya dua kekuatan baru yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dua negara
ini memulai Perang Dingin yang diakhiri oleh perpecahan dalam internal Uni Soviet dan kekuasaan tunggal
Amerika Serikat. Illegitimate actor, yaitu teroris mendapat panggung utama pada 9 September 2001 dan
Alexander Yudho Pratama (071911233071) – PIHI Week 9 – Kelompok 24
menyebabkan fokus interaksi tidak hanya kepada actor negara, tetapi non-negara dalam usahanya menjaga
stabilitas global.
Referensi:
Carruthers, Susan L., 2001. International History 1900-1945, in Baylis, John & Smith, Steve (eds.), The
Globalization of World Politics, 2nd edition, Oxford University Press.
Chartier, R., 1987. A History of Private Life. dalam Knutsen, Torbjörn L., 1992. A History of International
Relations Theory an Introduction. Manchester: Manchester University Press.
Chopra, Surendra, 1986. The Emerging Trends in the Non-Aligned Movement, dalam The Indian Journal of
Political Science, vol. 47, no. 2.
Crockatt, Richard, 2001. “The End of the Cold War,” in Baylis, John & Smith, Steve (eds.), The Globalization
of World Politics, 2nd edition, Oxford University Press.
Goldstein, Joshua S., 2005. International Relations, Pearson/Longman.
Goldstein, Joshua S., dan Pavelhouse, Jon C., 2014. International Relations. Edisi ke-10. Boston: Pearson.
History, 2009. Cold War History, [Online]. Tersedia dalam: http://www.history.com/topics/cold-war/cold-
war-history# [diakses 20 Oktober 2019]
History, 2018. United Nations, [Online]. Tersedia dalam: https://www.history.com/topics/world-war-
ii/united-nations [diakses 20 Oktober 2019]
Interpol, t.t. Key Dates, [Online]. Tersedia dalam: https://www.interpol.int/Who-we-are/Our-history/Key-
dates [diakses 20 Oktober 2019]
Knutsen, Torbjörn L., 1997. A History of International Relations Theory an Introduction. Manchester:
Manchester University Press.
Krauthammer, C, 2001. Charlie Gibson's Gaffe. The Washington Post, 13 September.
United Nations, t.t. History of the United Nations. United Nations [WWW]. Diakses dari:
https://www.un.org/en/sections/history/history-united-nations/. [Diakses pada 20/10/2019]
Scott, Len, 2001. “International History 1945-1990” in Baylis, John & Smith, Steve (eds.), The Globalization
of World Politics, 2nd edition, Oxford University Press.
Watson, A., 1992. The Evolution of International Society: A Comparative Historical Analysis. London:
Routledge.