Anda di halaman 1dari 31

Perang Dingin

Perang Dingin (bahasa Inggris: Cold War, bahasa Rusia: холо́дная война́, kholodnaya
voyna, 1947–1991) adalah sebutan bagi suatu periode terjadinya ketegangan politik dan
militer antara Dunia Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya,
dengan Dunia Komunis, yang dipimpin oleh Uni Soviet beserta sekutu negara-negara
satelitnya. Peristiwa ini dimulai setelah keberhasilan Sekutu dalam mengalahkan Jerman Nazi
di Perang Dunia II, yang kemudian menyisakan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai dua
negara adidaya di dunia dengan perbedaan ideologi, ekonomi, dan militer yang besar. Uni
Soviet, bersama dengan negara-negara di Eropa Timur yang didudukinya, membentuk Blok
Timur. Proses pemulihan pasca-perang di Eropa Barat difasilitasi oleh program Rencana
Marshall Amerika Serikat, dan untuk menandinginya, Uni Soviet kemudian juga membentuk
COMECON bersama sekutu Timurnya. Amerika Serikat membentuk aliansi militer NATO
pada tahun 1949, sedangkan Uni Soviet juga membentuk Pakta Warsawa pada tahun 1955.
Beberapa negara memilih untuk memihak salah satu dari dua negara adidaya ini, sedangkan
yang lainnya memilih untuk tetap netral dengan mendirikan Gerakan Non-Blok

Peristiwa ini dinamakan Perang Dingin karena kedua belah pihak tidak pernah terlibat dalam
aksi militer secara langsung, namun masing-masing pihak memiliki senjata nuklir yang dapat
menyebabkan kehancuran besar. Perang Dingin juga mengakibatkan ketegangan tinggi yang
pada akhirnya memicu konflik militer regional seperti Blokade Berlin (1948–1949), Perang
Korea (1950–1953), Krisis Suez (1956), Krisis Berlin 1961, Krisis Rudal Kuba (1962),
Perang Vietnam (1959–1975), Perang Yom Kippur (1973), Perang Afganistan (1979–1989),
dan penembakan Korean Air Penerbangan 007 oleh Soviet (1983). Alih-alih terlibat dalam
konflik secara langsung, kedua belah pihak berkompetisi melalui koalisi militer, penyebaran
ideologi dan pengaruh, memberikan bantuan kepada negara klien, spionase, kampanye
propaganda secara besar-besaran, perlombaan nuklir, menarik negara-negara netral, bersaing
di ajang olahraga internasional, dan kompetisi teknologi seperti Perlombaan Angkasa. AS dan
Uni Soviet juga bersaing dalam berbagai perang proksi; di Amerika Latin dan Asia Tenggara,
Uni Soviet membantu revolusi komunis yang ditentang oleh beberapa negara-negara Barat,
Amerika Serikat berusaha untuk mencegahnya melalui pengiriman tentara dan peperangan.
Dalam rangka meminimalkan risiko perang nuklir, kedua belah pihak sepakat melakukan
pendekatan détente pada tahun 1970-an untuk meredakan ketegangan politik.

Pada tahun 1980-an, Amerika Serikat kembali meningkatkan tekanan diplomatik, militer, dan
ekonomi terhadap Uni Soviet di saat negara komunis itu sedang menderita stagnasi
perekonomian. Pada pertengahan 1980-an, Presiden Soviet yang baru, Mikhail Gorbachev,
memperkenalkan kebijakan reformasi liberalisasi perestroika ("rekonstruksi, reorganisasi",
1987) dan glasnost ("keterbukaan", ca. 1985). Kebijakan ini menyebabkan Soviet dan negara-
negara satelitnya dilanda oleh gelombang revolusi damai yang berakhir dengan runtuhnya Uni
Soviet pada tahun 1991, dan pada akhirnya menyisakan Amerika Serikat sebagai satu-satunya
kekuatan militer yang dominan di dunia. Perang Dingin dan berbagai peristiwa yang
menyertainya telah menimbulkan dampak besar terhadap dunia dan sering disebutkan dalam
budaya populer, khususnya dalam media yang menampilkan tema spionase dan ancaman
perang nuklir.

Asal istilah
Pada akhir Perang Dunia II, penulis dan jurnalis Inggris George Orwell menggunakan istilah
perang dingin sebagai istilah umum dalam esainya yang berjudul "You and the Atomic
Bomb" (Anda dan Bom Atom), yang diterbitkan oleh surat kabar Inggris, Tribune, pada
tanggal 19 Oktober 1945. Esai tersebut menggambarkan dunia yang hidup di bawah ancaman
perang nuklir. Orwell menulis:

"Selama empat puluh atau lima puluh tahun terakhir, Mr. H. G. Wells dan yang
lainnya telah memperingatkan kita bahwa manusia akan berada dalam bahaya,
menghancurkan dirinya dengan senjatanya sendiri, menyisakan semut atau beberapa
kelompok spesies lainnya untuk mengambil alih. Barangsiapa yang telah melihat
kehancuran kota-kota di Jerman akan berpikir bahwa gagasan ini setidaknya masuk
akal. Namun, jika melihat dunia secara keseluruhan, peristiwa selama beberapa dekade
terakhir tidak menuju ke arah anarki, namun ke arah pemberlakuan kembali
perbudakan. Kita mungkin tidak menuju ke arah pengrusakan umum, tapi ke zaman
perbudakan kuno yang mengerikan. Teori James Burnham telah banyak dibahas,
namun sebagian kecil orang belum menganggapnya sebagai implikasi ideologi. Jenis
pandangan terhadap dunia, jenis keyakinan, dan struktur sosial mungkin akan
menguasai negara yang tak terkalahkan dan menegakkannya dalam "perang dingin"
permanen dengan tetangganya."[1]

Dalam The Observer edisi 10 Maret 1946, Orwell menulis bahwa "setelah konferensi
Moskow Desember lalu, Rusia mulai melakukan 'perang dingin' terhadap Britania dan
Imperium Britania."[2]

Istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketegangan geopolitik antara Uni Soviet dan
negara satelitnya dengan Amerika Serikat dan sekutu Eropa Barat-nya pasca-Perang Dunia II
dicetuskan pertama kali oleh Bernard Baruch, seorang ahli keuangan Amerika dan penasihat
presiden.[3] Dalam sebuah pidato di South Carolina pada tanggal 16 April 1947,[4] Baruch
menyatakan bahwa: "Janganlah kita tertipu: hari ini kita ada di tengah-tengah perang
dingin."[5] Seorang reporter dan kolumnis surat kabar bernama Walter Lippmann menjabarkan
penjelasan panjang lebar mengenai Perang Dingin dalam bukunya yang berjudul The Cold
War, ketika ditanyakan pada tahun 1947 tentang sumber istilah "perang dingin", ia
menyebutkan bahwa istilah tersebut merujuk pada istilah Perancis dari tahun 1930-an, la
guerre froide.[6]

Latar belakang.
Ada perdebatan di antara para sejarawan mengenai titik awal dari Perang Dingin. Sebagian
besar sejarawan menyatakan bahwa Perang Dingin dimulai segera setelah Perang Dunia II
berakhir, yang lainnya berpendapat bahwa Perang Dingin sudah dimulai menjelang akhir
Perang Dunia I, meskipun ketegangan antara Kekaisaran Rusia, negara-negara Eropa lainnya,
dan Amerika Serikat sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-19.[7]

Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917 (diikuti dengan penarikan mundur pasukannya
dari Perang Dunia I), mengakibatkan Soviet Rusia terisolasi dari diplomasi internasional.[8]
Pemimpin Vladimir Lenin menyatakan bahwa Uni Soviet "dikepung oleh para kapitalis yang
bermusuhan", dan ia memandang diplomasi sebagai senjata untuk menjauhkan Soviet dari
musuh, dimulai dengan pembentukan Komintern Soviet, yang menyerukan pergolakan
revolusioner di luar Soviet.[9]
Pemimpin Soviet Joseph Stalin, yang menganggap Uni Soviet sebagai sebuah "kepulauan
sosialis", menyatakan bahwa Uni Soviet harus memandang "dominasi kapitalis saat ini harus
digantikan oleh dominasi sosialis."[10] Pada awal 1925, Stalin menyatakan bahwa ia
memandang politik internasional sebagai sebuah dunia bipolar di mana Uni Soviet akan
menarik negara-negara lainnya ke arah sosialisme dan negara-negara kapitalis juga akan
menarik negara-negara lain ke arah kapitalisme, sementara dunia sedang berada dalam
periode "stabilisasi sementara kapitalisme" menjelang keruntuhannya.[11]

Berbagai peristiwa menjelang Perang Dunia Kedua menunjukkan adanya saling


ketidakpercayaan dan kecurigaan antara kekuatan Barat dan Uni Soviet, terlepas dari filosofi
umum Partai Bolshevik yang dibentuk untuk menentang kapitalisme.[12] Ada dukungan dari
Barat terhadap gerakan Putih anti-Bolshevik dalam Perang Saudara Rusia,[7] pemberian dana
oleh Uni Soviet kepada pekerja pemberontak Britania pada tahun 1926 menyebabkan Britania
Raya memutuskan hubungan dengan Uni Soviet,[13] deklarasi Stalin tahun 1927 untuk hidup
berdampingan secara damai dengan negara-negara kapitalis diurungkan,[14] tuduhan adanya
konspirasi dalam Peradilan Shakhty tahun 1928 yang direncanakan oleh Britania dan Perancis
memicu kudeta,[15] penolakan Amerika untuk mengakui Uni Soviet hingga tahun 1933,[16] dan
Stalinisme Peradilan Moskow untuk kasus Pembersihan Besar-Besaran, serta tuduhan atas
adanya spionase dari Britania, Perancis, dan Jerman Nazi merupakan peristiwa-peristiwa yang
melatarbelakangi Perang Dingin.[17]

Ketika Tentara Jerman menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni 1941, Sekutu mengambil
keuntungan dari front baru ini dan memutuskan untuk membantu Uni Soviet. Britania
menandatangani persekutuan formal dan Amerika Serikat membentuk kesepakatan informal
dengan Soviet. Pada masa perang, Amerika Serikat memfasilitasi Britania dan Soviet lewat
program Lend-Lease nya.[18]

Bagaimanapun juga, Stalin tetap mencurigai kedua negara tersebut dan percaya bahwa
Britania dan Amerika Serikat bersekongkol untuk memastikan bahwa Soviet akan
menanggung beban terbesar dalam pertempuran menghadapi Jerman Nazi. Menurut
pandangannya ini, Sekutu Barat dengan sengaja menunda untuk membuka front anti-Jerman
kedua dengan tujuan untuk beraksi di saat-saat terakhir dan kemudian membuat penyelesaian
damai. Dengan demikian, persepsi Soviet terhadap Barat menyebabkan munculnya arus
ketegangan dan permusuhan dengan pihak Sekutu.[19]

Akhir Perang Dunia II (1945–1947)


Setelah perang, Sekutu tidak menemui kesepakatan mengenai pembagian dan penetapan
perbatasan di Eropa.[20] Masing-masing pihak memiliki ide-ide yang berbeda mengenai
pembentukan dan pemeliharaan keamanan dunia pascaperang.[20] Sekutu Barat menginginkan
sistem keamanan dengan membentuk seluas mungkin pemerintahan demokrasi, yang
memungkinkan negara-negara untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui organisasi
internasional.[21]

Mengingat sejarah invasi yang sering dilakukan terhadap Rusia,[22] serta besarnya jumlah
korban tewas (diperkirakan 27 juta) dan kehancuran Uni Soviet yang berkelanjutan selama
Perang Dunia II,[23] Uni Soviet berusaha untuk meningkatkan keamanan dengan mendominasi
urusan dalam negeri negara-negara yang berbatasan dengannya.[20][24]
Sekutu Barat sendiri juga memiliki perbedaan mengenai visi mereka terhadap keadaan dunia
pascaperang. Tujuan Roosevelt - kejayaan militer di Eropa dan Asia, pencapaian supremasi
ekonomi global Amerika yang mengalahkan Imperium Britania, dan menciptakan sebuah
organisasi perdamaian dunia - lebih bersifat global dibandingkan dengan Churcill, yang
visinya berfokus untuk mengamankan kontrol atas Laut Tengah, memastikan
keberlangsungan Imperium Britania, dan memerdekakan negara-negara Eropa Timur untuk
menjadikannya sebagai penyangga antara Soviet dan Britania Raya.[25]

Dalam pandangan Amerika, Stalin dianggap sebagai salah satu sekutu potensial untuk
mencapai tujuan mereka, sedangkan dalam pandangan Britania, Stalin dianggap sebagai
ancaman terbesar dalam pencapaian agenda mereka. Dengan didudukinya sebagian besar
negara-negara Eropa Timur oleh Soviet, Stalin berada pada pihak yang beruntung dan kedua
pemimpin Barat saling bersaing untuk memperoleh dukungannya. Perbedaan visi antara
Roosevelt dan Churchill menyebabkan kedua belah pihak melakukan negosiasi secara
terpisah dengan Stalin. Pada bulan Oktober 1944, Churcill melakukan perjalanan ke Moskow
dan sepakat untuk membagi Balkan berdasarkan pengaruh masing-masing, dan tidak lama
kemudian, di Yalta, Roosevelt juga menandatangani kesepakatan terpisah dengan Stalin
mengenai masalah Asia dan menolak untuk mendukung Churcill dalam isu dan Reparasi
Polandia.[25]

Zona pendudukan Sekutu di Jerman pascaperang.

Negosiasi lebih lanjut antara Soviet dan Sekutu terkait dengan keseimbangan dunia
pascaperang berlangsung dalam Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, meskipun
konferensi ini juga gagal mencapai konsesus mengenai kerangka kerja pascaperang di
Eropa.[26] Pada bulan April 1945, Churcill dan Presiden Amerika Serikat yang baru, Harry S.
Truman, sepakat untuk menentang keputusan Soviet yang memberi bantuan kepada
pemerintahan Lublin, saingan Pemerintahan Polandia di pengasingan yang dikontrol oleh
Soviet.[27]

Setelah kemenangan Sekutu pada bulan Mei 1945, Soviet secara efektif mulai menduduki
Eropa Timur,[26] sedangkan pasukan Amerika Serikat dan Sekutu Barat tetap bertahan di
Eropa Barat. Di wilayah Jerman yang diduduki Sekutu, Uni Soviet, Amerika Serikat, Britania
Raya dan Perancis mendirikan zona pendudukan dan membentuk kerangka kerja untuk
membagi wilayah-wilayah tersebut menjadi empat zona pendudukan.[28]

Konferensi Sekutu pada tahun 1945 di San Francisco menghasilkan keputusan mengenai
pendirian organisasi PBB multi-nasional untuk memelihara perdamaian dunia, namun
kapasitas penegakannya oleh Dewan Keamanan secara efektif dilumpuhkan oleh kemampuan
anggotanya untuk menggunakan hak veto.[29] Oleh sebab itu, PBB pada dasarnya diubah
menjadi sebuah forum aktif untuk bertukar retorika polemik, dan Soviet dianggap secara
eksklusif sebagai tribun propaganda.[30]

Konferensi Potsdam dan kekalahan Jepang

Winston Churchill, Harry S. Truman dan Joseph Stalin di Konferensi Potsdam, 1945.
Informasi lebih lanjut: Konferensi Potsdam dan Menyerahnya Jepang
Dalam Konferensi Potsdam, yang dimulai pada akhir Juli setelah menyerahnya Jerman,
perbedaan serius muncul terkait dengan perkembangan masa depan Jerman dan Eropa
Timur.[31] Selain itu, jumlah partisipan perang dan perbedaan kebiasaan dijadikan alasan oleh
satu sama lainnya untuk mengkonfirmasi kecurigaan mereka mengenai niat bermusuhan dan
mempertahankan kubu mereka masing-masing.[32] Dalam konferensi ini, Truman
memberitahu Stalin bahwa Amerika Serikat memiliki senjata baru yang kuat.[33]

Stalin menyadari bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan bom atom, dan mengingat
bahwa sasaran Amerika Serikat mungkin adalah saingan Soviet, yaitu Jepang, maka Stalin
menanggapinya dengan tenang. Stalin berkata kalau ia merasa senang atas berita tersebut dan
menyatakan harapannya bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melawan Jepang.[33]
Satu minggu setelah berakhirnya Konferensi Potsdam, Amerika Serikat membom Hiroshima
dan Nagasaki. Tak lama setelah serangan, Stalin protes kepada para petinggi Amerika Serikat
karena kecilnya bagian Jepang yang diduduki Sekutu yang ditawarkan oleh Presiden Truman
kepada Soviet.[34]

Awal Blok Timur

Informasi lebih lanjut: Blok Timur

Perubahan wilayah pasca-perang di Eropa Timur dan pembentukan Blok Timur, yang dijuluki
"Tirai Besi".

Pada awal Perang Dunia II, Uni Soviet meletakkan dasar bagi terbentuknya Blok Timur
dengan mencaplok langsung beberapa negara seperti Republik Sosialis Soviet, yang awalnya
diserahkan kepada Soviet oleh Jerman Nazi dalam Pakta Molotov-Ribbentrop. Wilayah ini
termasuk Polandia bagian timur (kemudian dipisahkan menjadi dua negara Soviet yang
berbeda),[35][36] Estonia (yang kemudian menjadi RSS Estonia),[37] Latvia (menjadi RSS
Latvia),[35][36] Lithuania (menjadi RSS Lithuania),[35][36] bagian timur Finlandia (menjadi RSS
Karelo-Finlandia), dan Rumania timur (yang menjadi RSS Moldavia).[38][39]

Wilayah Eropa Timur yang dibebaskan dari Nazi dan diduduki oleh pasukan Soviet
selanjutnya juga ditambahkan ke Blok Timur dengan mengubahnya menjadi negara satelit,[40]
negara-negara ini di antaranya Jerman Timur,[41] Republik Rakyat Polandia, Republik Rakyat
Bulgaria, Republik Rakyat Hongaria,[42] Republik Sosialis Cekoslowakia,[43] Republik Rakyat
Romania, dan Republik Rakyat Albania.[44]

Rezim Soviet yang muncul di negara-negara Blok Timur tidak hanya mengadopsi sistem
ekonomi komando Soviet, tetapi juga mengadopsi metode brutal yang digunakan oleh Joseph
Stalin dan polisi rahasia Soviet untuk menekan oposisi yang nyata dan potensial.[45] Di Asia,
Tentara Merah telah membanjiri Manchuria pada bulan-bulan terakhir perang, dan
melanjutkan untuk menempati sebagian besar wilayah Korea bagian utara.[46]

Sebagai bagian dari konsolidasi kontrol Stalin atas Blok Timur, NKVD, yang dipimpin oleh
Lavrentiy Beria, mengawasi pembentukan sistem polisi rahasia yang bergaya Soviet di Blok
Timur untuk membasmi perlawanan anti-komunis.[47] Jika muncul sedikit saja semangat
kemerdekaan di negara-negara Blok Timur, mereka yang terlibat akan disingkirkan dari
kekuasaan, diadili, dipenjarakan, dan dalam beberapa kasus, dieksekusi.[48]
Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill khawatir bahwa jumlah besar pasukan
Soviet yang ditempatkan di Eropa pada akhir perang, dan persepsi bahwa pemimpin Soviet
Joseph Stalin tidak dapat diandalkan, akan menimbulkan ancaman bagi Eropa Barat.[49] Pada
bulan April-Mei 1945, Kabinet Perang Britania Raya mengembangkan sebuah rencana
operasi untuk "memaksakan kehendak Amerika Serikat dan Imperium Britania kepada
Rusia".[50] Namun rencana ini ditolak oleh Kepala Staf Komite karena ketidaklayakan sumber
daya militer.[49]

Persiapan untuk "perang baru"

Informasi lebih lanjut: Artikel X dan Tirai Besi

Pada bulan Februari 1946, laporan "Telegram Panjang" George F. Kennan dari Moskow
membantu untuk mengartikulasikan kebijakan pemerintah AS yang semakin intensif dalam
melawan Soviet, yang menjadi dasar bagi strategi Amerika Serikat terhadap Uni Soviet
selama Perang Dingin.[51] Pada bulan September, pihak Soviet merilis telegram Novikov,
yang dikirim oleh duta besar Soviet kepada Amerika Serikat, namun pengiriman telegram ini
ditugaskan dan juga ditulis oleh Vyacheslav Molotov, telegram ini menjelaskan bahwa AS
"berada dalam cengkeraman monopoli kapitalis yang mengembangkan kemampuan militer
dalam rangka mempersiapkan kondisi untuk memenangkan supremasi dunia dalam sebuah
perang baru".[52]

Pada tanggal 6 September 1946, James F. Byrnes menyampaikan pidato di Jerman yang
menyangkal Rencana Morgenthau (sebuah proposal untuk memisahkan dan de-industrialisasi
di Jerman pasca-perang). Byrnes juga memperingatkan Soviet bahwa AS berniat untuk
mempertahankan keberadaan militernya tanpa batas di Eropa.[53] Sebulan kemudian, Byrnes
mengakui bahwa pernyataannya ini merupakan "intisari dari program kami untuk
memenangkan hati warga Jerman [...] itu adalah pertempuran pikiran antara kami dan
Rusia [...]"[54]

Beberapa minggu setelah dirilisnya "Telegram Panjang", mantan Perdana Menteri Britania
Winston Churchill menyampaikan istilah terkenalnya, "Tirai Besi", dalam sebuah pidato di
Fulton, Missouri.[55] Dalam pidato tersebut, Churcill menyerukan agar Inggris-Amerika
bersekutu untuk melawan Soviet, yang dituduhnya telah membentangkan sebuah "tirai besi"
dari "Stettin di Baltik hingga ke Trieste di Adriatik".[40][56]

Pada tahun 1952, Stalin berulang kali mengajukan rencana untuk menyatukan Jerman Timur
dan Jerman Barat di bawah satu pemerintahan tunggal yang dipilih dalam pemilihan umum
yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa jika Jerman yang baru ini terlepas dari aliansi
militer Barat, namun usulan ini ditolak oleh kekuatan Barat. Beberapa sumber
mempersengketakan kesungguhan usulan ini.[57]

Permulaan Perang Dingin (1947–1953)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (1947–1953)

Kominform dan perpecahan Tito–Stalin

Informasi lebih lanjut: Kominform dan Perpecahan Tito–Stalin


Pada bulan September 1947, Soviet membentuk Kominform, yang tujuannya adalah untuk
menegakkan ortodoksi dalam gerakan komunis internasional dan memperketat kontrol politik
atas negara-negara satelit Soviet melalui koordinasi dari pihak komunis di Blok Timur.[58]
Kominform mengalami kemunduran pada bulan Juni berikutnya setelah perpecahan Tito–
Stalin, yang menyebabkan Soviet mengucilkan Yugoslavia. Yugoslavia tetap menjadi negara
komunis, namun mulai mengadopsi posisi Non-Blok.

Kontainmen dan Doktrin Truman

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kontainmen dan Doktrin Truman

Aliansi militer Eropa.

Pada tahun 1947, penasihat Presiden AS Harry S. Truman mendesak Truman untuk
mengambil langkah-langkah segera dalam melawan pengaruh Uni Soviet, mengingat upaya
Stalin (ditengah kebingungan dan keruntuhannya pasca-perang) untuk melemahkan Amerika
Serikat melalui persaingan yang bisa mendorong kalangan kapitalis agar memicu perang
lain.[59] Bulan Februari 1947, pemerintah Britania mengumumkan bahwa mereka tidak
sanggup lagi membiayai rezim militer monarki Yunani dalam Perang Saudara Yunani untuk
melawan pemberontak komunis.

Tanggapan pemerintah Amerika terhadap pengumuman Britania ini adalah bahwa


merekaakan mengadopsi kebijakan kontainmen,[60] yaitu kebijakan yang bertujuan untuk
menghentikan penyebaran komunisme. Truman menyampaikan pidato yang menyerukan
alokasi dana sebesar $ 400 untuk memfasilitasi keterlibatan Amerika Serikat dalam perang
Yunani dan meluncurkan Doktrin Truman, yang menyatakan bahwa konflik tersebut
merupakan kontes antara masyarakat bebas dan rezim totaliter.[60] Meskipun kenyataannya
para pemberontak komunis mendapat bantuan dari pemimpin Yogoslavia Josip Broz Tito,[16]
AS menuduh bahwa Uni Soviet bersekongkol dengan komunis Yunani untuk melawan royalis
dalam upayanya untuk memperluas pengaruh Soviet.[61]

Doktrin Truman menandai awal dari kebijakan pertahanan bipartisan AS dan konsesus
kebijakan luar negeri antara Partai Republik dan Demokrat yang benar-benar berfokus pada
kontainmen (penahanan) dan pencegahan penyebaran komunisme selama dan setelah Perang
Vietnam.[62][63] Partai moderat dan konservatif lainnya di Eropa, serta demokratik sosial,
mulai memberikan dukungan penuh tanpa syarat kepada Sekutu Barat,[64] sedangkan Komunis
Amerika dan Eropa, dengan dibiayai oleh KGB, telibat dalam operasi intelijen,[65] operasi ini
tetap sesuai dengan aturan Moskow, meskipun perbedaan pendapat di kalangan komunis ini
mulai muncul setelah tahun 1956. Kritik lain terkait dengan Doktrin Truman ini berasal dari
aktivis anti-Perang Vietnam, CND dan gerakan pembekuan nuklir.[66]

Rencana Marshall dan kudeta Cekoslowakia

Peta era Perang Dingin di Eropa dan Timur Dekat, menunjukkan negara-negara yang
menerima bantuan Rencana Marshall. Kolum merah menunjukkan jumlah relatif bantuan
yang diterima per negara.

Aliansi perekonomian Eropa.


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Rencana Marshall dan Kudeta Cekoslowakia 1948

Pada awal 1947, Britania, Perancis, dan Amerika Serikat tidak berhasil mencapai kesepakatan
dengan Uni Soviet mengenai rencana pembangunan kembali perekonomian Jerman, termasuk
jumlah rinci tentang penanaman modal industri, barang, dan infrastruktur yang telah
dihancurkan oleh Sekutu selama perang.[67] Bulan Juni 1947, sesuai dengan Doktrin Truman,
Amerika Serikat mengesahkan program Rencana Marshall, yaitu suatu program bantuan
ekonomi bagi semua negara Eropa yang bersedia untuk berpartisipasi, termasuk Uni
Soviet.[67]

Tujuan dari rencana ini adalah untuk membangun kembali sistem demokrasi dan
perekonomian Eropa dan untuk membatasi pengaruh komunis di Eropa.[68] Rencana ini juga
menyatakan bahwa kemakmuran Eropa bergantung pada pemulihan ekonomi Jerman.[69] Satu
bulan kemudian, Truman mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional 1947,
membentuk Departemen Pertahanan terpadu, CIA, dan Badan Keamanan Nasional (NSC).
Hal ini selanjutnya akan menjadi birokrasi utama kebijakan AS dalam Perang Dingin.[70]

Stalin percaya bahwa integrasi ekonomi dengan Barat akan memungkinkan negara-negara
Blok Timur untuk memisahkan diri dari kontrol Soviet, Stalin juga percaya bahwa AS
berusaha untuk “membeli” Eropa agar berpihak kepada AS.[58] Oleh sebab itu, Stalin
melarang negara-negara Blok Timur menerima bantuan Marshall.[58] Alternatif Uni Soviet
dalam menandingi Rencana Marshall, yang konon menghabiskan subsidi Soviet dan
perdagangan dengan Eropa Timur, adalah dengan membentuk Rencana Molotov (kemudian
dilembagakan pada bulan Januari 1949 dengan nama Comecon).[16] Stalin juga
mengkhawatirkan upaya AS untuk merekonstitusi Jerman; visi pasca-perangnya terhadap
Jerman tidak mencakup hal ini, karena Soviet enggan mempersenjatai kembali Jerman atau
dengan kata lain, takut bahwa hal itu akan menimbulkan ancaman lagi terhadap Uni Soviet.[71]

Pada awal 1948, menyusul laporan yang memperkuat "elemen reaksioner" di Cekoslowakia,
Soviet melaksanakan kudeta di Cekoslowakia, yang merupakan satu-satunya negara Blok
Timur yang diijinkan Soviet untuk mempertahankan struktur demokrasinya.[72][73] Kebrutalan
publik dalam kudeta ini mengejutkan negara-negara Barat, perdebatan muncul di Kongres
Amerika Serikat, yang ketakutan bahwa perang akan terjadi kembali dalam upaya Soviet
untuk menyapu habis seluruh pendukung Rencana Marshall.[74]

Kebijakan kembar Doktrin Truman dan Rencana Marshall menyebabkan miliaran bantuan
ekonomi dan militer mengalir untuk Eropa Barat, Yunani, dan Turki. Dengan bantuan AS,
militer Yunani berhasil memenangkan perang saudara.[70] Partai Demokrasi Kristen Italia juga
sukses mengalahkan aliansi Komunis-Sosialis dalam pemilihan umum tahun 1948.[75] Pada
saat yang bersamaan, terjadi peningkatan aktivitas intelijen dan spionase, pembelotan Blok
Timur, dan pengusiran diplomatik.[76]

Blokade Berlin

C-47s melakukan pembongkaran di Bandar Udara Tempelhof di Berlin selama


berlangsungnya Blokade Berlin.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Blokade Berlin
Amerika Serikat dan Britania menggabungkan zona pendudukan mereka di Jerman menjadi
“Bizonia” (1 Januari 1947, kemudian menjadi “Trizonia” setelah zona pendudukan Perancis
juga digabungkan pada bulan April 1949).[77] Sebagai bagian dari upaya pembangunan
kembali perekonomian Jerman, pada awal 1948 perwakilan dari sejumlah negara Eropa Barat
dan Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan untuk menggabungkan wilayah
pendudukan Jerman Barat menjadi sebuah pemerintahan federal.[78] Selain itu, sesuai dengan
Rencana Marshall, mereka memulai kembali industrialisasi dan menata kembali
perekonomian Jerman bersama-sama, termasuk pengenalan mata uang baru Deutsche Mark
untuk menggantikan mata uang Reichsmark lama yang nilainya telah dijatuhkan oleh
Soviet.[79]

Tidak lama kemudian, Stalin melembagakan Blokade Berlin (24 Juni 1948 - 12 Mei 1949),
salah satu krisis besar pertama yang terjadi selama Perang Dingin, yang bertujuan untuk
memutus akses dan mencegah makanan, bahan, dan perlengkapan lainnya memasuki Berlin
Barat.[80] Amerika Serikat, Britania, Perancis, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan beberapa
negara lainnya memulai “bantuan udara” besar-besaran untuk memasok Berlin Barat dengan
makanan dan perlengkapan lainnya.[81]

Soviet melancarkan kampanye hubungan publik terhadap perubahan kebijakan di Jerman


Barat. Para Komunis di Berlin Timur berupaya untuk mengganggu prosesi pemilihan umum
munisipal di Berlin (seperti yang mereka lakukan dalam pemilu 1946),[77] yang
diselenggarakan pada tanggal 5 Desember 1948 dan menghasilkan 86,3% pemilih sekaligus
kemenangan besar bagi partai non-Komunis.[82] Hasil ini secara efektif membagi Berlin
menjadi dua bagian, yaitu Berlin Timur dan Berlin Barat. 300.000 warga Berlin berunjukrasa
dan mendesak agar bantuan udara internasional untuk Berlin tetap dilanjutkan,[83] dan pilot
US Air Force Gail Halvorsen kemudian menanggapinya dengan membentuk “Operasi
Permen” untuk memasok permen bagi anak-anak Jerman.[84] Pada bulan Mei 1949, Stalin
mundur dan mencabut blokade terhadap Berlin.[47][85]

Awal NATO dan Radio Free Europe

Artikel utama untuk bagian ini adalah: NATO, Radio Free Europe/Radio Liberty, dan
Penyebaran informasi Blok Timur

Presiden Truman menandatangani Amendemen Undang-Undang Keamanan Nasional 1949


dengan para tamu di Oval Office.

Britania, Perancis, Amerika Serikat, Kanada dan delapan negara-negara Eropa Barat
menandatangani Pakta Pertahanan Atlantik Utara pada bulan April 1949 untuk mendirikan
North Atlantic Treaty Organization (NATO).[47] Pada bulan Agustus, perangkat atom Soviet
pertama diledakkan di Semipalatinsk, RSS Kazakhtan.[16] Setelah Soviet menolak untuk
berpartisipasi dalam upaya pembangunan kembali Jerman yang telah ditetapkan oleh negara-
negara Eropa Barat pada tahun 1948,[78][86] AS, Britania, dan Perancis mempelopori
pembentukan Jerman Barat di tiga zona pendudukan mereka yang digabungkan pada bulan
April 1949.[31][87] Soviet kemudian menyikapinya dengan memproklamirkan pendirian
Republik Demokratik Jerman di zona pendudukannya di Jerman Timur pada bulan
Oktober.[31]

Media massa di Blok Timur merupakan organ negara, operasionalnya benar-benar bergantung
dan tunduk pada peraturan partai komunis, media televisi dan radio ditetapkan sebagai badan
usaha milik negara, sedangkan media cetak biasanya dimiliki oleh organisasi politik, sebagian
besarnya dimiliki oleh partai komunis lokal.[88] Propaganda Soviet menggunakan filosofi
Marxis untuk menyerang kapitalisme, mengklaim eksploitasi tenaga kerja, dan perang
terhadap imperialisme.[89]

Seiring dengan diperluasnya siaran British Broadcasting Corporation dan Voice of America
ke Eropa Timur,[90] upaya propaganda besar-besaran dimulai pada tahun 1949 dengan
dibentuknya Radio Free Europe/Radio Liberty, yang didedikasikan untuk memberitakan
mengenai era kekacauan dari sistem komunisme di Blok Timur.[91] Radio Free Europe
berusaha untuk mencapai tujuannya dengan melayani pendengar sebagai stasiun radio
pengganti, serta menjadi alternatif bagi media dalam negeri yang dikontrol dan didominasi
oleh partai.[91] Radio Free Europe Eropa adalah produk dari beberapa arsitek yang paling
menonjol dari strategi Perang Dingin awal Amerika, terutama mereka yang percaya bahwa
Perang Dingin pada akhirnya akan diperjuangkan lewat jalur politik ketimbang militer, seperti
George F. Kennan.[92]

Pembuat kebijakan Amerika, termasuk Kennan dan John Foster Dulles, mengakui bahwa
Perang Dingin pada kenyataannya merupakan sebuah perang gagasan.[92] Amerika Serikat,
dibantu oleh CIA, mendanai daftar panjang proyek-proyek untuk melawan daya tarik komunis
bagi kalangan intelektual Eropa dan negara-negara berkembang, atau dengan kata lain,
mencegah upaya Soviet untuk menyebarkan pengaruh komunisnya.[93] CIA diam-diam juga
mensponsori kampanye propaganda dalam negeri yang disebut Pembasmian untuk
Kebebasan.[94]

Pada awal 1950-an, AS berupaya untuk mempersenjatai kembali Jerman Barat. Pada tahun
1955, AS menjamin keanggotaan penuh Jerman Barat di NATO.[31] Sebelumnya, bulan Mei
1953, Soviet gagal mencegah upaya penggabungan Jerman Barat ke dalam NATO.[95]

Perang Saudara Cina dan SEATO

Informasi lebih lanjut: Perang Saudara Cina dan Pakta Pertahanan Asia Tenggara

Mao Zedong dan Joseph Stalin di Moskow, Desember 1949

Pada tahun 1949, Tentara Pembebasan Rakyat Mao Zedong berhasil menggulingkan
Pemerintahan Nasionalis Kuomintang (KMT) Chiang Kai-shek yang didukung oleh Amerika
Serikat di Tiongkok, dan Uni Soviet kemudian menjalin aliansi dengan Republik Rakyat
Tiongkok yang baru terbentuk.[96] Chiang dan pemerintahan KMT nya mundur ke kepulauan
Taiwan. Karena dihadapkan pada revolusi komunis di Tiongkok dan akhir dari monopoli
atom Amerika Serikat pada tahun 1949, pemerintahan Truman segera memperluas dan
meningkatkan kebijakan kontainmen mereka di Tiongkok.[16] Dalam NSC-68, sebuah
dokumen rahasia pada tahun 1950,[97] disebutkan bahwa Dewan Keamanan Nasional
mengusulkan untuk memperkuat sistem aliansi pro-Barat dan memperbesar pengeluaran
pertahanan.[16]

Amerika Serikat selanjutnya juga mulai memperluas kebijakan kontainmen mereka ke Asia,
Afrika, dan Amerika Latin untuk melawan gerakan nasionalis revolusioner, kebanyakannya
dipimpin oleh partai-partai komunis yang dibiayai oleh Soviet dan berjuang dalam menentang
dominasi kolonial Eropa di Asia Tenggara dan wilayah lainnya.[98] Pada awal 1950-an
(periode ini kadang dikenal dengan “Pactomania”), AS membentuk serangkaian aliansi
dengan Jepang, Australia, Selandia Baru, Thailand, dan Filipina (terutama ANZUS pada
tahun 1951 dan SEATO pada tahun 1954). Aliansi ini membuat AS memiliki sejumlah
pangkalan militer jangka panjang di negara-negara tersebut.[31]

Perang Korea

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Korea

Jenderal Douglas MacArthur, Komandan CiC PBB (duduk), mengamati penembakan laut
Incheon dari USS Mt. McKinley, 15 September 1950.

Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan kontainmen Amerika Serikat adalah
pecahnya Perang Korea. Pada bulan Juni 1950, Tentara Rakyat Korea Utara di bawah arahan
dari Kim Il-Sung menginvasi Korea Selatan.[99] Joseph Stalin “merencanakan,
mempersiapkan, dan memulai” invasi tersebut,[100] menyusun “rencana [perang] dengan rinci”
yang kemudian dikirimkan kepada Korea Utara.[101][102][103][104] Untuk mengejutkan Stalin,[16]
Dewan Keamanan PBB mendukung dan memfasilitasi pertahanan di Korea Selatan, meskipun
Soviet kemudian memboikot sidang sebagai protes karena Taiwan yang diberi kursi tetap di
dewan, bukannya Komunis Cina.[105] Personel militer gabungan PBB yang terdiri dari Korea
Selatan, AS, Britania Raya, Turki, Kanada, Australia, Perancis, Afrika Selatan, Filipina,
Belanda, Belgia, Selandia Baru, dan negara-negara lainnya bersatu untuk menghentikan invasi
ini.[106]

Efek lain dari Perang Korea adalah mendorong NATO untuk mengembangkan struktur
militer.[107] Opini publik di negara-negara yang terlibat, seperti Britania, sebagian besar
menentang perang ini. Banyak yang ketakutan bahwa perang ini akan meningkat menjadi
perang besar dengan Komunis Cina, atau bahkan menjadi perang nuklir. Pandangan yang
berbeda mengenai perang ini seringkali menimbulkan ketegangan dalam hubungan Britania–
Amerika. Karena alasan ini, Britania mengambil langkah cepat untuk meredakan konflik
dengan mencetuskan ide mengenai mempersatukan Korea di bawah naungan PBB dan
penarikan semua pasukan asing.[108]

Meskipun Cina dan Korea Utara sudah lelah akibat perang yang berkelanjutan dan siap untuk
mengakhirinya pada tahun 1952, Stalin bersikeras bahwa mereka harus terus berjuang, dan
gencatan senjata baru disetujui pada tahun 1953 setelah kematian Stalin.[31] Pemimpin Korea
Utara Kim Il Sung kemudian menciptakan kediktatoran yang sangat terpusat dan brutal di
Korea Utara, memberikannya kekuasaan tak terbatas dan menghasilkan sebuah kultus
kepribadian yang tak tertembus berdekade-dekade lamanya.[109][110] Di Korea Selatan,
pemimpin korup Syngman Rhee yang mendapat dukungan dari AS menerapkan sistem
pemerintahan totaliter.[111] Setelah Rhee digulingkan pada tahun 1960, Korea Selatan jatuh di
bawah masa pemerintahan militer yang berlangsung sampai pembentukan kembali sistem
multi-partai pada tahun 1987.

Krisis dan peningkatan (1953-1962)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (1953–1962)

Kekuatan tentara NATO dan Pakta Warsawa di Eropa pada tahun 1959.
Khrushchev, Eisenhower dan de-Stalinisasi

Pada tahun 1953, perubahan dalam kepemimpinan politik di kedua belah pihak turut
menggeser dinamika Perang Dingin.[112] Dwight D. Eisenhower dilantik sebagai Presiden AS
yang baru pada bulan Januari. Selama 18 bulan terakhir pemerintahan Truman, anggaran
pertahanan Amerika Serikat telah meningkat empat kali lipat, dan Eisenhower bertekad untuk
mengurangi sepertiga dari pengeluaran militer sambil terus berjuang dalam Perang Dingin
secara efektif.[16]

Setelah kematian Joseph Stalin, Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Soviet setelah
deposisidan pengeksekusian Lavrentiy Beria dan juga menyingkirkan saingannya seperti
Georgy Malenkov dan Vyacheslav Molotov. Pada tanggal 25 Februari 1956, Khrushchev
mengejutkan delegasi dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet dengan mencela kejahatan
Stalin.[113] Sebagai bagian dari kampanye de-Stalinisasi, ia menyatakan bahwa satu-satunya
cara untuk mereformasi dan menjauh dari kebijakan Stalin adalah dengan mengakui kesalahan
yang dilakukannya pada masa lalu.[70]

Pada tanggal 18 November 1956, saat berpidato kepada duta besar Barat dalam sebuah resepsi
di kedutaan Polandia di Moskow, Khrushchev mengungkapkan kalimat terkenalnya: "Entah
kalian suka atau tidak, sejarah berada di pihak kami. Kami akan mengubur kalian",
pernyataannya ini mengejutkan semua tamu yang hadir.[114] Khrushchev kemudian
mengklaim bahwa ia tidak membicarakan mengenai perang nuklir, melainkan mengenai
kemenangan komunisme atas kapitalisme.[115] Tahun 1961, Khrushchev menyatakan: "bahkan
jika Uni Soviet berada di belakang Barat, dalam satu dekade kekurangan perumahan akan
lenyap, barang-barang konsumsi akan melimpah, dan dalam dua dekade, pembangunan
masyarakat komunis di Uni Soviet akan selesai".[116]

Sekretaris negara Eisenhower, John Foster Dulles, memprakarsai kebijakan "New Look"
sebagai strategi kontainmen (penahanan) baru, yang menyerukan agar AS lebih
mengandalkan senjata nuklir untuk melawan musuh-musuhnya pada masa perang.[70] Dulles
juga menyerukan doktrin "pembalasan besar-besaran" dan menyuruh AS untuk tidak
menanggapi setiap agresi Soviet. Sebagai contoh, karena Soviet memiliki keunggulan nuklir,
Eisenhower, di bawah ancaman dari Khrushchev, menolak untuk campur tangan dalam Krisis
Suez di Timur Tengah pada tahun 1956.[16]

Pakta Warsawa dan Revolusi Hungaria

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pakta Warsawa dan Revolusi Hongaria

Peta negara-negara Pakta Warsawa.

Setelah kematian Stalin pada tahun 1953, ketegangan berlangsung dengan sedikit lebih santai,
meskipun situasi di Eropa tetap belum kondusif.[117] Soviet, yang sudah membentuk jaringan
perjanjian bantuan timbal balik dalam Blok Timur pada tahun 1949,[118] juga membentuk
suatu aliansi formal untuk melengkapinya, yaitu Pakta Warsawa pada tahun 1955.[31]

Revolusi Hongaria 1956 terjadi tak lama setelah Khrushchev menghapuskan kekuasaan
pemimpin Stalinis Hongaria Mátyás Rákosi.[119] Sebagai tanggapan terhadap
pemberontakan,[120] rezim baru ini secara resmi dibubarkan oleh polisi rahasia, menyatakan
niatnya untuk menarik diri dari Pakta Warsawa dan berjanji untuk menyelenggarakan
pemilihan umum yang bebas. Tentara Soviet mulai menyerbu.[121] Ribuan warga Hongaria
ditangkap, dipenjarakan, dideportasi ke Uni Soviet,[122] dan lebih dari 200.000 warga
melarikan diri keluar Hongaria.[123] Pemimpin Hongaria Imre Nagy dan yang lainnya
dieksekusi setelah diproses dalam sebuah persidangan rahasia.[124]

Dari 1957 sampai 1961, Khrushchev secara terbuka dan berulang kali mengancam Barat
dengan pemusnahan nuklir. Dia mengklaim bahwa kemampuan rudal Soviet jauh lebih
unggul daripada Amerika Serikat, dan mampu memusnahkan kota-kota di Amerika atau
Eropa. Namun, Khrushchev menolak keyakinan Stalin dalam keniscayaan perang dan
menyatakan bahwa tujuan barunya adalah untuk "hidup berdampingan secara damai".[125]
Kebijakan ini berbeda dengan Soviet pada era Stalin, di mana perjuangan kelas internasional
berarti bahwa kedua kubu yang berlawanan berada pada konflik tak terelakkan dengan
komunisme yang akan menang melalui perang global. Sekarang, perdamaian akan
memungkinkan kapitalisme untuk menghadapi keruntuhannya sendiri,[126] dan juga
memberikan waktu bagi Soviet untuk meningkatkan kemampuan militer mereka,[127] yang
akan tetap bertahan puluhan tahun sampai munculnya era "pemikiran baru" Gorbachev.[128]

Peristiwa di Hongaria melumpuhkan ideologi partai-partai Komunis dunia, terutama di Eropa


Barat, dan terjadi penurunan yang besar dalam jumlah keanggotaan partai. Negara-negara
Barat dan komunis merasa kecewa dengan respon brutal Soviet.[129] Partai komunis di Barat
tidak pernah pulih dari pengaruh Revolusi Hongaria dalam hal keanggotaan partai, fakta yang
segera diakui oleh beberapa pihak, seperti politisi Yugoslavia Milovan Djilas, yang
menyatakan bahwa: "luka yang ditorehkan oleh Revolusi Hongaria terhadap komunisme tidak
pernah benar-benar sembuh".[129]

Ultimatum Berlin dan integrasi Eropa

Wilayah-wilayah di dunia yang berada di bawah pengaruh Soviet setelah Revolusi Kuba
tahun 1959 dan sebelum perpecahan Sino-Soviet tahun 1961.

Selama bulan November 1958, Khrushchev gagal untuk mengubah seluruh Berlin menjadi
"kota yang independen, terdemiliterisasi dan bebas", hal ini membuat Amerika Serikat,
Britania, dan Perancis diberi ultimatum enam bulan untuk menarik pasukan mereka dari
sektor yang masih diduduki di Berlin Barat, atau Khrushchev akan mengalihkan kendali hak
akses Barat ke Jerman Timur. Khrushchev sebelumnya menjelaskan kepada Mao Zedong
bahwa "Berlin adalah testikelnya Barat. Setiap kali saya ingin membuat Barat menjerit, maka
saya akan meremas Berlin."[130] NATO secara resmi menolak ultimatum ini pada pertengahan
Desember dan Khrushchev menarik kembali ultimatumnya dalam konferensi Jenewa.[131]

Lebih luas lagi, salah satu ciri dari tahun 1950-an adalah awal dari integrasi-Eropa, yang
merupakan produk dari Perang Dingin yang memperomosikan politik, ekonomi, dan militer
Truman dan Eisenhower, namun kemudian hal ini dipandang sebagai kebijakan yang ambigu,
takut bahwa Eropa yang independen akan melakukan détente terpisah dari Uni Soviet, yang
bisa digunakan untuk memperburuk perpecahan Barat.[132]

Persaingan di Dunia Ketiga

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kudeta Iran 1953, Kudeta Guatemala 1954, Krisis
Kongo, Dekolonisasi, dan Gerakan Non-Blok
di beberapa negara seperti Guatemala, Indonesia dan Indocina seringkali bersekutu dengan
kelompok komunis, atau yang dianggap oleh Barat dibantu oleh komunis.[70] Dalam konteks
ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet semakin meningkatkan persaingan mereka untuk
menyebarkan pengaruh dengan cara mencari proksi di Dunia Ketiga, dan ini bertepatan
dengan momentum dekolonisasi pada tahun 1950-an dan awal 1960-an.[133] Selain itu, Soviet
terus dirugikan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.[134] Kedua belah pihak mulai melakukan
pengiriman dan penjualan senjata kepada negara-negara Dunia Ketiga untuk mendapatkan
pengaruh.[135]

Amerika Serikat memanfaatkan Central Intelligence Agency (CIA) untuk menyusup ke dalam
pergolakan politik di Dunia Ketiga dan juga untuk mendukung sekutu mereka.[70] Pada tahun
1953, CIA melaksanakan Operasi Ajax, sebuah operasi rahasia yang bertujuan untuk
menggulingkan perdana menteri Iran, Mohammed Mossadegh. Mosadegh yang menganut
prinsip Non-Blok telah menjadi nemesis Timur Tengah bagi Britania sejak ia menasionalisasi
perusahaan minyak Anglo-Iranian Oil Company milik Britania pada tahun 1951. Winston
Churchill mengatakan kepada AS bahwa Mossadegh "semakin beralih ke
komunisme".[136][137][138][139] Shah yang pro-Barat, Mohammad Reza Pahlavi, kemudian naik
jabatan sebagai monarki otokratik.[140] Kebijakan Shah yang baru ini di antaranya melarang
aktivitas partai komunis Tudeh dan penekanan perbedaan pendapat politik oleh SAVAK,
badan keamanan dan intelijen dalam negeri Shah.

Di Guatemala, sebuah kudeta militer yang didukung CIA berhasil menggulingkan presiden
sayap kiri Jacobo Arbenz Guzmán pada tahun 1954.[141] Pemerintah pasca-Arbenz yang
dipimpin oleh Carlos Castillo Armas mengembalikan semua properti milik AS yang
dinasionalisasi, membentuk Komite Nasional Pertahanan Melawan Komunisme, dan
mendekritkan Hukum Pidana Pencegahan Terhadap Komunisme atas permintaan Amerika
Serikat.[142]

Presiden Indonesia, Soekarno, yang menganut prinsip-prinsip Non-Blok, dihadapkan pada


ancaman besar pada awal tahun 1956, ketika beberapa komandan daerah mulai menuntut
otonomi dari Jakarta. Setelah proses mediasi gagal, Soekarno mengambil tindakan tegas untuk
menyingkirkan mereka yang membangkang. Pada bulan Februari 1958, komandan militer di
Sumatera Tengah (Kolonel Ahmad Husein) dan Sulawesi Utara (Kolonel Ventje Sumual)
mendeklarasikan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Permesta, yang
bertujuan untuk menggulingkan rezim Soekarno. Mereka bergabung dengan politisi sipil
lainnya dari Partai Masyumi seperti Sjafruddin Prawiranegara, yang menentang pertumbuhan
pengaruh dari Partai Komunis Indonesia. Karena retorika anti-komunis mereka,
pemberontakan mereka mendapat bantuan senjata, dana, dan bantuan lainnya dari CIA. Hal
ini terbukti saat pesawat Amerika yang dipiloti oleh Allen Lawrence Pope tertembak jatuh di
Ambon pada bulan April 1958. Pemerintah pusat menanggapinya dengan meluncurkan invasi
militer lewat laut dan udara melalui Padang dan Manado. Pada akhir 1958, para pemberontak
berhasil dikalahkan, dan pemberontak yang tersisa menyerahkan diri pada bulan Agustus
1961.[143]

Di Irak, Abd al-Karim Qasim menggulingkan monarki Hashemite pada tahun 1958 dan
membangun aliansi dengan Partai Komunis Irak dan Uni Soviet.[144] Meskipun Partai Ba'ath
yang anti-komunis adalah faksi dominan dalam kabinet Qasim,[145] AS mulai khawatir bahwa
pemberontakan mungkin akan menginspirasi "reaksi berantai" di seluruh Timur Tengah.[146]
Mesir dan Suriah juga berusaha untuk membunuh Qasim untuk alasan mereka sendiri,[147]
CIA juga dianggap berperan dalam mengirimkan saputangan beracun kepada Qasim
(meskipun masih diperdebatkan).[148] Setelah serangkaian kudeta, Ba'athist berhasil merebut
kekuasaan pada tahun 1968, kemungkinan dengan dukungan dari KGB,[149] meskipun militer
Irak juga melakukan kudeta.[150]

Di Republik Kongo, yang baru merdeka dari Belgia pada bulan Juni 1960, CIA menghasut
presiden Joseph Kasa-Vubu untuk memecat Perdana Menteri terpilih Patrice Lumumba dan
membubarkan kabinet Lumumba pada bulan September.[151] Dalam Krisis Kongo yang terjadi
setelahnya, CIA mendukung Kolonel Mobutu dengan cara memobilisasi pasukannya untuk
merebut kekuasaan melalui kudeta militer.[151]

Di Guiana Britania, kandidat Partai Progresif Rakyat (PPP) yang berhaluan kiri, Cheddi
Jagan, memenangkan posisi ketua menteri dalam pemilihan umum kolonial yang
diselenggarakan pada tahun 1953, namun secara cepat dipaksa untuk mengundurkan diri dari
jabatannya setelah adanya suspensi dari Britania Raya yang masih memiliki kewenangan
terhadap konstitusi negara tersebut.[152] Dipermalukan oleh kemenangan telak Jagan yang
diduga Marxis, Britania memenjarakan ketua PPP pada tahun 1955 dan merekayasa
perpecahan antara Jagan dengan rekan PPP nya.[153] Jagan lagi-lagi memenangkan pemilu
kolonial pada tahun 1957 dan 1961. Amerika Serikat menekan Britania untuk menunda
memberikan kemerdekaan kepada Guiana sampai haluan politik Jagan telah
teridentifikasi.[154]

Karena dilelahkan oleh perang gerilya komunis yang menuntut kemerdekaan Vietnam,
Perancis setuju untuk melakukan negosiasi dengan komunis Vietnam. Dalam Konferensi
Jenewa, perjanjian damai ditandatangani, dan Vietnam dibagi menjadi Vietnam Utara yang
pro-Soviet dan Vietnam Selatan yang pro-Barat. Antara tahun 1954 dan 1961, Amerika
Serikat mengirimkan bantuan ekonomi dan penasihat militer untuk memperkuat rezim pro-
Barat Vietnam Selatan dalam menghalangi upaya komunis yang berniat untuk
mengacaukannya.[16]

Banyak negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menolak tekanan
untuk memihak salah satu blok. Pada tahun 1955, dalam Konferensi Bandung di Indonesia,
puluhan negara Dunia Ketiga memutuskan untuk keluar dari Perang Dingin.[155] Konsesus
yang ditetapkan di Bandung mencapai puncaknya dengan didirikannya Gerakan Non-Blok
yang bermarkas di Belgrade pada tahun 1961.[70] Sementara itu, Khrushchev memperluas
kebijakan Moskow dengan menjalin hubungan dengan India dan negara-negara netral lainnya.
Gerakan kemerdekaan di Dunia Ketiga mengubah tatanan dunia pasca-perang menjadi lebih
pluralistik dengan diterapkannya dekolonisasi bagi negara-negara Afrika dan Timur Tengah
dan semangat nasionalisme juga meningkat di Asia dan Amerika Latin.[16]

Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa

Diagram perkembangan Perlombaan Angkasa pada tahun 1957–1975.

Periode setelah 1956 ditandai dengan kemunduran serius bagi Uni Soviet, terutama pecahnya
aliansi Cina-Soviet, yang dimulai dengan perpecahan Sino-Soviet. Mao membela Stalin
ketika Khrushchev mengkritiknya setelah kematiannya pada tahun 1956, dan menganggap
pemimpin Soviet yang baru sebagai "pemula yang dangkal", Mao juga menuduhnya telah
kehilangan sisi revolusioner.[156] Sementara itu, Khrushchev, yang merasa terganggu atas
sikap Mao yang anti-perang nuklir, menyebut pemimpin Cina sebagai "orang yang gila
takhta".[157]

Setelah hal itu terjadi, Khrushchev melakukan berbagai upaya untuk membangun kembali
aliansi dengan Cina, namun Mao menolak setiap usulannya.[156] Permusuhan Cina-Soviet ini
akhirnya tumpah dalam perang propaganda intra-komunis.[158] Selanjutnya, Soviet mulai
berfokus pada persaingan sengit dengan Cina untuk memperebutkan posisi sebagai pemimpin
gerakan komunis dunia.[159]

Dilatardepani oleh senjata nuklir, Amerika Serikat dan Uni Soviet mulai bersaing untuk
membangun persenjataan nuklir dan mengembangkan senjata jangka-panjang yang bisa
mereka pergunakan untuk menyerang satu sama lain.[31] Bulan Agustus 1957, Soviet berhasil
meluncurkan peluru kendali balistik antar benua pertama (ICBM),[160] dan pada bulan
Oktobernya, Soviet meluncurkan satelit Bumi pertama, Sputnik.[161] Peluncuran Sputnik ini
menandai dimulainya Perlombaan Angkasa antara Soviet dan Amerika Serikat. Persaingan ini
memuncak dengan pendaratan Apollo di Bulan, yang dideskripsikan oleh astronot Frank
Borman sebagai "pertempuran dalam Perang Dingin".[162]

Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi

Fidel Castro (kanan) dan Che Guevara, 1961.

Di Kuba, Gerakan 26 Juli berhasil merebut kekuasaan pada bulan Januari 1959, menjatuhkan
Presiden Fulgencio Batista, yang rezimnya tidak populer dan tidak direstui oleh pemerintahan
Eisenhower.[163]

Hubungan diplomatik antara Kuba dan Amerika Serikat terus berlanjut selama beberapa
waktu setelah kejatuhan Batista, namun Presiden Eisenhower sengaja meninggalkan ibu kota
untuk menghindari pertemuan dengan pemimpin pemuda revolusioner Kuba Fidel Castro
pada bulan April, dan memerintahkan Wakil Presiden Richard Nixon untuk mengadakan
pertemuan dengan Castro di kediamannya.[164] Eisenhower tidak yakin, apakah Castro seorang
komunis atau bukan. Eisenhower juga menentang upaya Kuba untuk mengurangi
ketergantungan ekonomi mereka pada Amerika Serikat.[165] Kuba mulai melakukan negosiasi
pembelian senjata dengan Eropa Timur pada bulan Maret 1960.[166]

Bulan Januari 1961, sesaat sebelum turun dari jabatannya, Eisenhower secara resmi
memutuskan hubungan dengan pemerintah Kuba. Pada bulan April 1961, Presiden Amerika
yang baru terpilih, John F. Kennedy, dengan bantuan dari CIA, gagal menginvasi pulau-pulau
di Playa Girón dan Playa Larga di Provinsi Las Villas — kegagalan yang mempermalukan
Amerika Serikat di mata dunia.[165] Castro menanggapinya dengan mengadopsi paham
Marxisme-Leninisme, dan Soviet berjanji untuk memberikan dukungan lebih lanjut kepada
Kuba.[165]

Krisis Berlin 1961


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Krisis Berlin 1961, Tembok Berlin, dan
Pembelotan dan emigrasi Blok Timur

Tank Soviet berhadapan dengan tank Amerika Serikat di Checkpoint Charlie, 27 Oktober,
selama berlangsungnya Krisis Berlin 1961

Krisis Berlin 1961 adalah insiden besar terakhir yang terjadi dalam masa Perang Dingin
terkait dengan status Berlin dan kondisi Jerman pasca-Perang Dunia II. Pada awal 1950-an,
pendekatan Soviet mengenai kebijakan pembatasan emigrasi ditiru oleh sebagian besar negara
Blok Timur lainnya.[167] Namun, ratusan ribu warga Jerman Timur beremigrasi ke Jerman
Barat setiap tahunnya melalui "celah" yang terdapat dalam sistem antara Berlin Timur dan
Berlin Barat dan dengan bantuan dari pasukan Sekutu di Jerman Barat.[168]

Emigrasi menyebabkan berpindahnya sumber daya manusia yang berpotensi seperti kalangan
profesional terdidik dari Jerman Timur ke Jerman Barat, hampir 20% penduduk Jerman Timur
telah bermigrasi ke Jerman Barat pada tahun 1961.[169] Pada bulan Juni, Uni Soviet
mengeluarkan ultimatum baru yang menuntut penarikan pasukan Sekutu dari Berlin Barat.[170]
Permintaan tersebut ditolak, dan pada tanggal 13 Agustus, Jerman Timur mendirikan
penghalang kawat berduri yang kemudian konstruksinya diperluas hingga kelak membentuk
Tembok Berlin, yang secara efektif menutup "celah" antara kedua wilayah tersebut.[171]

Krisis Rudal Kuba dan penggulingan Khrushchev

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Proyek Kuba dan Krisis Rudal Kuba

Kapal P-2 milik Angkatan Laut Amerika Serikat terbang di atas sebuah kapal barang Soviet
selama Krisis Rudal Kuba.

Setelah Invasi Teluk Babi, Kennedy terus mencari cara untuk menggulingkan Castro,
Kennedy dan pemerintahannya bereksperimen secara diam-diam dengan memfasilitasi
penggulingan pemerintahan Kuba. Harapan yang signifikan disematkan pada sebuah program
rahasia bernama Proyek Kuba, yang dirancang di bawah pemerintahan Kennedy pada tahun
1961.

Pada bulan Februari 1962, Khrushchev mengetahui rencana Amerika terhadap Kuba: "proyek
Kuba" — disetujui oleh CIA dan menetapkan penggulingan pemerintah Kuba pada bulan
Oktober, kemungkinan melibatkan militer Amerika — dan Kennedy mungkin memerintahkan
operasi pembunuhan terhadap Castro.[172] Sebagai respon, Soviet mempersiapkan pemasangan
rudal nuklirnya di Kuba.[172]

Khawatir, Kennedy memutuskan berbagai reaksi untuk menanggapinya, dan akhirnya


menanggapi instalasi rudal nuklir Soviet di Kuba dengan melakukan blokade laut dan
memberikan ultimatum kepada Soviet. Khrushchev mundur dari konfrontasi, dan Uni Soviet
membongkar rudalnya dengan imbalan janji Amerika agar tidak lagi menyerang Kuba.[173]

Krisis Rudal Kuba (Oktober-November 1962) membawa dunia lebih dekat ke arah perang
nuklir daripada sebelumnya.[174] Lebih lanjut, peristiwa tersebut juga menunjukkan konsep
saling meyakinkan akan bahaya kehancuran, bahwa negara adidaya tidak siap untuk
menggunakan senjata nuklir mereka, takut akan adanya kehancuran global total karena saling
balas dendam.[175] Dampak dari krisis ini menyebabkan dilakukannya upaya pertama dalam
membatasi perlombaan senjata nuklir dengan pelucutan senjata dan perbaikan hubungan,[117]
meskipun upaya-upaya untuk mencegah meletusnya perang nuklir telah ditetapkan sejak
tahun 1961 melalui Perjanjian Antartika.[176]

Tahun 1964, rekan Kremlin Khrushchev berhasil menggulingkannya, namun tetap


mengizinkannya untuk pensiun dengan damai.[177] Khrushchev dituduh memerintah dengan
kasar dan inkompetensi, dia juga dianggap telah menghancurkan sektor pertanian Soviet dan
membawa dunia ke ambang perang nuklir.[177] Khrushchev juga dikatakan telah
mempermalukan dunia komunis ketika ia meresmikan pembangunan Tembok Berlin, yang
dianggap sebagai sebuah penghinaan publik untuk Marxisme-Leninisme.[177] Posisi jabatan
Nikita Khrushchev digantikan oleh Leonid Brezhnev sebagai pemimpin Partai Komunis dan
sementara Alexei Kosygin menduduki kursi Perdana Menteri.

Konfrontasi melalui détente (1962–1979)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (1962–1979)
Kekuatan pasukan NATO dan Pakta Warsawa di Eropa tahun 1973.

Amerika Serikat mendarat untuk pertama kalinya di bulan pada tahun 1969—puncak dari
perlombaan angkasa.

F-4 Phantom II milik US Navy menyadap pesawat Tupolev Tu-95 D Soviet pada awal 1970-
an.

Pada periode 1960-an dan 1970-an, peserta Perang Dingin berjuang untuk menyesuaikan diri
dengan pola baru hubungan internasional yang lebih rumit, dunia tidak lagi dibagi menjadi
dua blok besar yang bertentangan.[70] Dari awal periode pasca-perang, Eropa Barat dan Jepang
dengan cepat pulih dari kehancuran Perang Dunia II dan mulai mengalami pertumbuhan
ekonomi yang kuat sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an, dengan PDB per kapita yang
hampir mendekati Amerika Serikat, sedangkan perekonomian Blok Timur mengalami
stagnasi.[70][178]

Sebagai akibat dari krisis minyak 1973, dikombinasikan dengan semakin kuatnya pengaruh
Dunia Ketiga dengan mendirikan organisasi-organisasi seperti Organisasi Negara-Negara
Pengekspor Minyak (OPEC) dan Gerakan Non-Blok, negara-negara Dunia Ketiga memiliki
lebih banyak ruang untuk memproklamirkan kemerdekaan mereka dan semakin menunjukkan
bahwa mereka tahan banting terhadap tekanan dari negara adidaya.[98] Sementara itu, Soviet
dipaksa untuk mengalihkan perhatiannya pada isu-isu internal seperti permasalahan ekonomi
di dalam negeri.[70] Selama periode ini, pemimpin Soviet seperti Leonid Brezhnev dan Alexei
Kosygin mulai menerapkan pendekatan détente.[70]

Pengunduran diri Perancis dari NATO

Artikel utama untuk bagian ini adalah: NATO#Pengunduran diri Perancis dari NATO

Keberlangsungan NATO sudah menghadapi tantangan pada awal sejarahnya, krisis terjadi
selama kepemimpinan Charles de Gaulle dari Perancis pada tahun 1958 dan seterusnya. De
Gaulle protes mengenai kuatnya peran Amerika Serikat dalam organisasi dan cemburu atas
"hubungan istimewa" antara Amerika Serikat dan Britania Raya. Dalam sebuah memo yang
dikirimkan pada Presiden Dwight D. Eisenhower dan Perdana Menteri Harold Macmillan
pada tanggal 17 September 1958, ia berpendapat untuk membentuk tiga serangkai direktorat
yang akan memposisikan Perancis pada kedudukan yang sama dengan Amerika Serikat dan
Britania Raya, dan juga perluasan cakupan NATO ke wilayah geografis yang memiliki
kepentingan dengan Perancis, seperti Aljazair Perancis, yang pemberontakannya di dukung
oleh Perancis.[179]

Karena respon yang diberikan tidak memuaskan, de Gaulle mulai mengembangkan penangkal
nuklir Perancis secara independen dan pada tahun 1966, Perancis mengundurkan diri dari
NATO, diikuti dengan pengusiran semua pasukan NATO dari daratan Perancis.[180]

Invasi Cekoslowakia

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Musim Semi Praha dan Invasi Pakta Warsawa ke
Cekoslowakia

Pada tahun 1968, periode liberalisasi politik di Cekoslowakia, yang dijuluki dengan Musim
Semi Praha, berlangsung dengan berbagai aksi, di antaranya "Program Aksi" liberalisasi, yang
menuntut perluasan kebebasan pers, kebebasan berbicara dan kebebasan bergerak, juga
penekanan ekonomi pada barang-barang konsumsi, kemungkinan sistem multi partai,
membatasi kekuasaan polisi rahasia,[181][182] dan kemungkinan Cekoslowakia untuk menarik
diri dari Pakta Warsawa.[183]

Sebagai jawaban atas aksi Musim Semi Praha, tentara Soviet bersama dengan sebagian besar
sekutu Pakta Warsawa mereka, menyerbu Cekoslowakia.[184] Invasi ini diikuti oleh
gelombang emigrasi, sekitar 70.000 warga Ceko dan Slowakia melarikan diri, dan total
akhirnya mencapai 300.000 jiwa.[185] Invasi ini memicu protes keras dari Yugoslavia,
Rumania, Cina, dan juga dari partai-partai komunis di Eropa Barat.[186]

Doktrin Brezhnev

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Doktrin Brezhnev

Leonid Brezhnev dan Richard Nixon selama kunjungan Brezhnev ke Washington pada Juni
1973; kunjungan ini adalah permulaan détente antara Amerika Serikat dan Soviet.

Pada bulan September 1968, dalam pidatonya di Kongres Kelima Partai Persatuan Pekerja
Polandia, sebulan setelah menginvasi Cekoslowakia, Brezhnev menyampaikan Doktrin
Brezhnev; yang mengklaim bahwa "hak kami untuk melanggar kedaulatan negara manapun
jika ada yang berupaya untuk menggantikan Marxisme-Leninisme dengan kapitalisme".
Dalam pidatonya, Brezhnev menyatakan:[183]

Ketika kekuatan yang memusuhi sosialisme mencoba untuk mengubah haluan
beberapa negara sosialis menuju kapitalisme, itu bukan hanya menjadi masalah
bagi negara yang bersangkutan, namun masalah umum dan kepedulian dari
semua negara-negara sosialis. ”
Doktrin tersebut dilatarbelakangi oleh kegagalan Marxisme-Leninisme dalam meningkatkan
kesejahteraan di negara-negara seperti Polandia, Hongaria dan Jerman Timur, yang
mengalami penurunan standar hidup yang kontras dengan kemakmuran Jerman Barat dan
negara Eropa Barat lainnya.[187]

Krisis di Dunia Ketiga

Lihat pula: Operasi Power Pack, Pembantaian di Indonesia 1965–1966, Perang Vietnam,
Kudeta Chili 1973, Operasi Burung Kondor, Perang Enam Hari, Perang Atrisi, Perang Yom
Kippur, Perang Ogaden, Perang Saudara Angola, dan Invasi Indonesia ke Timor Timur

Alexei Kosygin (kiri) di samping Presiden AS Lyndon B. Johnson (kanan) dalam Konferensi
Tingkat Tinggi Glassboro.

Mayat Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem.

Pada akhir April 1965, Presiden Lyndon B. Johnson mendaratkan 22.000 tentaranya di
Republik Dominika dan kemudian mendudukinya selama satu tahun melalui invasi yang
diberi kode Operasi Power Pack. Operasi ini dilakukan untuk membendung ancaman
menyebarnya revolusi bergaya Kuba di Amerika Latin.[16] Pemilihan presiden
diselenggarakan pada tahun 1966, yang menghasilkan kemenangan bagi konservatif Joaquín
Balaguer. Meskipun Balaguer mendapat dukungan dari sektor-sektor elit dan kelompok
petani, lawan politiknya dari partai PRD, mantan presiden Juan Bosch, tidak aktif
berkampanye.[188] Aktivis PRD dilumpuhkan dengan kekerasan oleh polisi Dominika dan
angkatan bersenjata.[188]

Di Indonesia, anti-komunis garis keras Jenderal Soeharto meraih kendali pemerintahan dari
pendahulunya, Soekarno, dan kemudian mulai membangun "Orde Baru". Dari tahun 1965
sampai 1966, militer Indonesia melakukan pembunuhan massal terhadap sekitar setengah juta
anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia serta organisasi-organisasi sayap kiri
lainnya.[189]

Meningkatnya konflik yang sedang berlangsung antara pemimpin Vietnam Selatan Ngô Đình
Diệm dengan komunis Front Nasional untuk Pembebasan Vietnam Selatan (NLF) membuat
Johnson mengirimkan 575.000 tentara Amerika ke Asia Tenggara untuk melumpuhkan NLF
dan sekutu Vietnam Utara mereka dalam Perang Vietnam, namun kebijakan ini memakan
banyak biaya dan melemahkan perekonomian AS, dan pada tahun 1975, krisis ini memuncak
dengan kegagalan Amerika Serikat. Dunia memandang peristiwa ini sebagai kekalahan
memalukan bagi sebuah negara adidaya yang paling kuat di tangan salah satu negara
termiskin dunia.[16] Vietnam Utara menerima persetujuan Soviet untuk memulai perang pada
tahun 1959. Uni Soviet mengirimkan 15.000 penasihat militer dan bantuan dana sebesar $ 450
juta kepada Vietnam Utara selama perang, sedangkan Cina mengirimkan 320.000 tentara dan
bantuan dana senilai $180 juta.[190]
Di Chili, kandidat Partai Sosialis Salvador Allende memenangkan pemilihan presiden tahun
1970, menjadi Marxis terpilih demokratis pertama yang menjadi presiden di negara-negara
Amerika.[191] Jenderal Augusto Pinochet melakukan kudeta terhadap pemerintahan pada
tanggal 11 September 1973 dan dengan cepat mengambilalih semua kekuasaan politik
menjadi kediktatoran militer, tindakannya ini direstui oleh AS. Reformasi Allende ekonomi
diurungkan dan lawan sayap kiri tewas atau ditahan di kamp-kamp interniran di bawah arahan
dari Dirección de Inteligencia Nacional (DINA).

Henry Kissinger, Penasihat Keamanan Nasional dan Sekretaris Negara Amerika Serikat pada
masa pemerintahan Presiden Nixon dan Ford, merupakan salah satu tokoh kunci dalam
Perang Dingin (1969-1977).

Sementara itu, Operasi Burung Kondor di Amerika Selatan — yang digunakan oleh para
diktator di Argentina, Brasil, Bolivia, Chili, Uruguay, dan Paraguay untuk menekan
perbedaan pendapat dengan sayap kiri — juga mendapat dukungan dari Amerika Serikat, dan
(kadang-kadang akurat) diperkirakan juga terdapat Kuba atau Soviet di belakang gerakan
oposisi tersebut.[192]

Amerika Serikat juga tidak senang saat Jamaika mulai menjalin hubungan yang lebih erat
dengan pemerintah Kuba setelah pemilihan Michael Manley pada tahun 1972.[193] Amerika
Serikat meresponnya dengan mendanai lawan-lawan politik Manley, mendorong
pemberontakan dalam tubuh tentara Jamaika, dan menyewa tentara bayaran untuk menentang
pemerintahan Manley.[153] Kekerasan pun terjadi.

Situasi di Timur Tengah terus menjadi sumber persengketaan. Mesir, yang menerima banyak
bantuan senjata dan bantuan ekonomi dari Uni Soviet, adalah klien Soviet yang merepotkan.
Dengan terpaksa, Uni Soviet berkewajiban untuk membantu Mesir dalam Perang Enam Hari
(dengan mengirimkan penasihat militer dan teknisi) dan Perang Atrisi (dengan mengirimkan
pilot dan pesawat) untuk melawan Israel yang pro-Barat.[194] Di samping pembelotan Mesir,
dari yang sebelumnya pro-Soviet menjadi pro-Amerika pada tahun 1972 (dibawah
kepemimpinan Anwar El Sadat),[195] rumor mengenai intervensi Soviet dalam Perang Yom
Kippur pada tahun 1973 menyebabkan terjadinya pengiriman tentara Amerika besar-besaran
dan mengancam akan menghancurkan détente.[196] Meskipun pada era pra-Sadat Mesir
merupakan penerima bantuan terbesar Soviet di Timur Tengah, Soviet juga sukses menjalin
hubungan erat dengan komunis di Yaman Selatan, serta pemerintahan nasionalis Aljazair dan
Irak.[195] Soviet secara langsung memihak dan membantu Palestina dalam menghadapi konflik
dengan Israel, termasuk dukungan untuk Yasser Arafat dan Organisasi Pembebasan
Palestina.[197] Dari tahun 1973-1975, CIA berkolusi dengan pemerintah Iran untuk membiayai
dan mempersenjatai pemberontak Kurdi dalam Perang Irak–Kurdi Kedua dengan tujuan untuk
melumpuhkan pemimpin Irak Ahmed Hassan al-Bakr. Saat Iran dan Irak menandatangani
Perjanjian Aljazair pada tahun 1975, dukungan untuk Iran pun juga turut berhenti.[198]

Seorang tentara Amerika dalam Perang Vietnam, 3 Agustus 1965.

Di Afrika, militer Somalia yang dipimpin oleh Mohamed Siad Barre melakukan kudeta tak
berdarah pada tahun 1969 dan mendirikan Republik Demokratik Somalia yang berpaham
sosialis. Uni Soviet berjanji untuk mendukung Somalia. Empat tahun kemudian, Kaisar
Ethiopia Haile Selassie yang pro-Amerika digulingkan dalam kudeta tahun 1974 oleh
kelompok Derg, sebuah kelompok militer radikal pro-Soviet yang dipimpin oleh Mengistu
Haile Mariam. Mariem menjalin hubungan dengan Kuba dan Soviet.[199] Saat peperangan
antara Somalia dan Ethiopia pecah pada tahun 1977-1978, Barre kehilangan dukungan Soviet
dan kemudian bersekutu dengan Amerika Serikat. Tentara Kuba juga berperan dalam perang
ini dengan memihak Ethiopia.[199]

Revolusi Anyelir di Portugis pada tahun 1974 yang melawan keotoriteran Estado Novo
membuat Portugis kembali ke sistem multi-partai dan sekaligus memfasilitasi kemerdekaan
koloni Portugis di Angola dan Timor Timur. Di Afrika, pemberontak Angola mengobarkan
perang kemerdekaan multi-faksi menentang kekuasaan Portugis sejak tahun 1961, setelah
perang ini usai, perang dua dasawarsa menggantikan perang anti-kolonial, yang ditandai
dengan peperangan antara komunis Gerakan Rakyat Pembebasan Angola (MPLA), yang
didukung oleh Kuba dan Soviet, dengan Front Pembebasan Nasional Angola (FNLA), yang
didukung oleh Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, dan pemerintahan Mobutu di
Zaire. AS, pemerintahan apartheid Afrika Selatan, dan beberapa negara Afrika lainnya juga
mendukung faksi ketiga, Uni Nasional untuk Kemerdekaan Penuh Angola (UNITA). Tanpa
berkonsultasi dengan Soviet, Kuba mengirimkan tentaranya untuk berjuang bersama
MPLA.[199] Pemerintah apartheid Afrika Selatan juga mengirimkan tentara untuk membantu
UNITA, namun MPLA berada di atas tangan karena didukung oleh Kuba dan Soviet.[199]

Di Asia Tenggara, koloni Timor Timur secara sepihak memproklamasikan kemerdekaannya


dari Portugis di bawah sayap kiri Fretilin pada bulan November 1975. Dengan dukungan dari
Australia dan Amerika Serikat, Soeharto menginvasi Timor Timur pada bulan Desember —
yang memulai pendudukan Indonesia di Timor Timur selama seperempat abad.[200]

Selama Perang Vietnam, Vietnam Utara menginvasi dan menduduki sebagian Kamboja untuk
digunakan sebagai pangkalan militer, yang juga berperan dalam memicu pecahnya Perang
Saudara Kamboja antara pemerintah pro-Amerika Lon Nol dan pemberontak Maoist Khmer
Merah. Dokumen yang ditemukan dari arsip Soviet mengungkapkan bahwa invasi Vietnam
Utara ke Kamboja pada tahun 1970 dilaksanakan atas permintaan dari Khmer Merah setelah
bernegosiasi dengan Nuon Chea.[201] AS dan Vietnam Selatan menanggapinya dengan
melancarkan kampanye pengeboman dan serangan darat, efek dari operasi ini masih
diperdebatkan oleh para sejarawan.[202] Di bawah kepemimpinan Pol Pot, Khmer Merah
membantai 1-3 juta, dari 8,4 juta total penduduk Kamboja, di ladang pembantaian.[203][204][205]
Sosiolog Martin Shaw menggambarkan kekejaman ini sebagai "genosida paling murni dari
era Perang Dingin".[206] Vietnam menggulingkan Pol Pot pada tahun 1979 dan membentuk
pemerintah boneka di bawah pimpinan Heng Samrin.

Perbaikan hubungan Cina-Amerika

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kunjungan Nixon ke Tiongkok tahun 1972

Sebagai akibat dari perpecahan Sino-Soviet, ketegangan yang berlangsung di sepanjang


perbatasan Cina-Soviet mencapai puncaknya pada tahun 1969, dan Presiden Amerika Serikat
Richard Nixon memutuskan untuk memanfaatkan konflik tersebut sebagai alat untuk
menggeser keseimbangan kekuasaan ke arah Barat dalam Perang Dingin.[207] Cina juga
berusaha meningkatkan hubungan dengan Amerika Serikat dalam upayanya untuk mengambil
keuntungan dari Soviet.
Pada bulan Februari 1972, Nixon mengumumkan pemulihan hubungan dengan Cina.[208] Ia
melakukan kunjungan ke Beijing dan bertemu dengan Mao Zedong dan Zhou Enlai. Pada saat
itu, sumber daya nuklir Uni Soviet telah setara dengan Amerika Serikat, Perang Vietnam juga
telah melemahkan pengaruh Amerika di Dunia Ketiga dan mendinginkan hubungannya
dengan Eropa Barat.[209] Meskipun konflik tak langsung antara dua adidaya dalam Perang
Dingin terus berlanjut sampai akhir 1960-an dan awal 1970-an, ketegangan perlahan-lahan
mulai mereda.[117]

Nixon, Brezhnev, détente, dan Penembakan Pesawat Korean Air Lines


Penerbangan 902

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perundingan Pembatasan Senjata Strategis,
Perjanjian Helsinki, dan Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa

Leonid Brezhnev dan Jimmy Carter menandatangani traktat SALT II, 18 Juni 1979 di Wina

Setelah kunjungannya ke Tiongkok, Nixon bertemu dengan para pemimpin Soviet, termasuk
Brezhnev di Moskow.[210] Perundingan Pembatasan Senjata Strategis (SALT) antara kedua
belah pihak menghasilkan dua kesepakatan mengenai pengawasan penggunaan senjata, yaitu
SALT I, pakta pembatasan senjata komprehensif pertama yang ditandatangani oleh kedua
negara adidaya,[211] dan Traktat Peluru Kendali Anti-Balistik, yang mengatur mengenai
pembatasan sistem peluru kendali anti-balistik yang digunakan untuk mempertahankan
wilayah terhadap senjata nuklir yang dibawa misil. Ini bertujuan untuk membatasi
pengembangan peluru kendali anti-balistik dan rudal nuklir berbiaya mahal.[70]

Nixon dan Brezhnev mengumumkan era baru "hidup berdampingan secara damai" dan
membangun pendekatan hubungan baru yang disebut détente (peredaan ketegangan) antara
dua negara adidaya. Sementara itu, Brezhnev berusaha untuk memperbaiki kembali
perekonomian Soviet yang mengalami penurunan akibat besarnya pengeluaran militer.[16]
Antara tahun 1972 dan 1974, kedua belah pihak juga sepakat untuk memperkuat hubungan
ekonomi mereka,[16] di antaranya dengan melakukan perjanjian dalam rangka peningkatan
aktivitas perdagangan. Sebagai hasil dari perundingan mereka, détente menggantikan era
permusuhan dari Perang Dingin dan kedua negara bisa hidup secara berdampingan.[210]

Sementara itu, perkembangan hubungan AS dan Soviet juga bertepatan dengan "Ostpolitik"
Kanselir Jerman Barat Willy Brandt.[186] Perjanjian lainnya yang disahkan untuk menstabilkan
situasi di Eropa adalah Perjanjian Helsinki, yang ditandatangani dalam Konferensi Keamanan
dan Kerjasama di Eropa pada tahun 1975.[212]

Memburuknya hubungan pada akhir 1970-an

Pada tahun 1970-an, KGB, yang dikepalai oleh Yuri Andropov, terus menekan kritikus-
kritikus terkenal yang mengkritik kepemimpinan Soviet seperti Aleksandr Solzhenitsyn dan
Andrei Sakharov.[213] Selama periode détente ini, konflik tak langsung antara kedua negara
adidaya masih terus terjadi di Dunia Ketiga, khususnya dalam krisis politik di Timur Tengah,
Chili, Ethiopia, dan Angola.[214]

Presiden Jimmy Carter berusaha untuk menetapkan pembatasan perlombaan persenjataan


lebih lanjut dengan mengesahkan SALT II pada tahun 1979,[215] namun upayanya ini dirusak
oleh peristiwa lainnya pada tahun itu, yaitu Revolusi Iran yang didukung oleh KGB,[216]
Revolusi Nikaragua untuk menggulingkan rezim pro-AS, dan yang paling membuat AS
berang; intervensi Soviet dalam Perang Afganistan pada bulan Desember.[16]

"Perang Dingin Kedua" (1979-1985)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (1979–1985)

Istilah "Perang Dingin Kedua" merujuk pada periode peningkatan kembali ketegangan Perang
Dingin dan konflik antara kedua belah pihak pada akhir 1970-an dan awal 1980-an.
Ketegangan sangat meningkat antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan masing-masingnya
menjadi lebih ter-militeristik.[12] Diggins mengungkapkan: "Reagan mengerahkan segalanya
untuk berjuang dalam 'Perang Dingin Kedua' dengan mendukung kontra-pemberontakan di
Dunia Ketiga."[217] Sementara Cox menyatakan: "Intensitas 'Perang Dingin Kedua' sehebat
durasinya yang singkat."[218]

Perang Soviet-Afganistan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Saudara Afganistan dan Perang Soviet-
Afganistan

Presiden Reagan menunjukkan dukungannya dalam pertemuan dengan para pemimpin


Mujahidin Afganistan di Gedung Putih, 1983.

Tentara Soviet di Afganistan.

Pada bulan April 1978, Partai Demokrasi Rakyat Afganistan (PDPA) yang berhaluan komunis
merebut kekuasaan atas Afganistan melalui Revolusi Saur. Dalam hitungan bulan, penentang
pemerintahan komunis melancarkan pemberontakan di Afganistan timur, yang dengan cepat
berkembang menjadi perang saudara antara gerilyawan mujahidin melawan tentara
pemerintah. Pemerintah Pakistan memfasilitasi para pemberontak dengan pusat-pusat
pelatihan rahasia, sedangkan Uni Soviet mengirim ribuan penasihat militer untuk mendukung
pemerintahan PDPA.[219] Sementara itu, meningkatnya gesekan antara faksi-faksi
yangbersaing di PDPA – faksi Khalq yang dominan dan Parcham yang lebih moderat –
menyebabkan pemberhentian anggota kabinet dan penangkapan perwira militer Parchami
dengan dalih kudeta terhadap Parchami. Pada pertengahan 1979, Amerika Serikat memulai
sebuah program rahasia untuk membantu mujahidin.[220]

Bulan September 1979, Presiden Khalqist Nur Muhammad Taraki dibunuh dalam sebuah
kudeta PDPA yang diatur oleh rekannya sesama anggota Khalq bernama Hafizullah Amin,
yang kemudian menjadi presiden. Amin dibunuh oleh pasukan khusus Soviet pada bulan
Desember 1979. Setelah kematiannya, sebuah pemerintahan yang diorganisir oleh Soviet, di
bawah pimpinan Babrak Karmal, mengisi kekosongan kekuasaan. Pasukan Soviet dikerahkan
untuk menstabilkan Afganistan di bawah pemerintahan Karmal, yang telah menjadi boneka
Soviet. Akibatnya, Soviet terlibat langsung dalam apa yang kemudian menjadi perang
domestik di Afganistan.[221]

Carter menanggapi intervensi Soviet di Afganistan dengan cara menarik kembali perjanjian
SALT II dari Senat, melakukan embargo dalam pengiriman gandum dan barang-barang
teknologi pada Uni Soviet, serta meningkatkan pengeluaran militer. Amerika Serikat juga
melakukan pemboikotan terhadap Olimpiade Moskow 1980. Carter menyatakan bahwa
tindakan Soviet merupakan "ancaman yang paling serius terhadap perdamaian selama Perang
Dingin Kedua".[222]

Reagan dan Thatcher

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Doktrin Reagan

Kabinet Thatcher bertemu dengan Kabinet Reagan di Gedung Putih, 1981.

Pada bulan Januari 1977, empat tahun sebelum menjadi presiden, Ronald Reagan
mengungkapkan dalam percakapannya dengan Richard V. Allen, mengenai harapan dasarnya
terkait dengan Perang Dingin: "Ide saya mengenai kebijakan Amerika terhadap Uni Soviet
sederhana, dan beberapa orang akan menyebutnya sangat sederhana, yaitu: Kita menang dan
mereka kalah. Bagaimana menurut Anda?".[223] Tahun 1980, Ronald Reagan mengalahkan
Jimmy Carter dalam pemilu presiden 1980. Setelah kemenangannya, ia bersumpah akan
meningkatkan anggaran militer dan menghadapi Soviet di manapun.[224] Baik Reagan maupun
Perdana Menteri Britania Raya yang baru, Margaret Thatcher, sama-sama mengecam Uni
Soviet dan ideologinya. Reagan menyebut Uni Soviet sebagai sebuah "kekaisaran jahat" dan
meramalkan bahwa komunisme akan hancur menjadi "tumpukan abu sejarah".[225]

Meskipun sentimen anti-Amerika di Iran setelah Revolusi Iran meningkat, pemerintahan


Reagan tetap mengulurkan tangan kepada pemerintah anti-komunis Ayatollah Khomeini
dalam upayanya untuk merekrut teokrasi bagi Amerika pada tahun 1980-an. Direktur CIA
William Casey menggambarkan pemerintahan Khomeini sebagai pemerintahan yang "goyah
dan [mungkin] dalam pergerakan ke arah kebenaran... AS hampir tidak memiliki kartu untuk
dimainkan; sementara Uni Soviet memiliki banyak kartu."[226] Salah satu metode yang
dilakukan Amerika untuk mendukung Iran adalah dengan penjualan senjata secara rahasia.
Pada tahun 1983, CIA merilis daftar panjang komunis Iran dan aktivis sayap kiri lainnya yang
dicurigai bekerja dalam pemerintahan Khomeini.[227] Sebuah komisi khusus kemudian
melaporkan bahwa daftar itu disusun untuk mengambil "langkah-langkah, termasuk eksekusi
massal, untuk mengeliminasi semua infrastruktur pro-Soviet di Iran."[227]

Pada awal 1985, prinsip anti-komunis Reagan telah berkembang menjadi sikap yang dikenal
sebagai Doktrin Reagan — yang mana, selain penahanan, juga dirumuskan hak tambahan
untuk menumbangkan pemerintahan komunis yang ada.[228] Selain melanjutkan kebijakan
Carter yang mendukung penentang Islam dalam melawan Soviet dan PDPA di Afganistan,
CIA juga berusaha melemahkan Uni Soviet dengan cara mempromosikan politik Islam di
mayoritas Islam Soviet Asia Tengah.[229] Di samping itu, CIA mendorong anti-komunis ISI di
Pakistan agar bersedia melatih Muslim dari seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam jihad
melawan Uni Soviet.[229] A

Gerakan solidaritas dan darurat militer di Polandia

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Solidarność dan Darurat militer di Polandia

Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke negara kelahirannya, Polandia, pada tahun 1979 telah
mendorong kebangkitan spiritual dan nasionalis yang memicu lahirnya gerakan solidaritas
dan semangat anti-komunisme. Hal ini diperkirakan merupakan penyebab dilakukannya
upaya pembunuhan terhadap Paus Yohanes Paulus II dua tahun kemudian.[230]

Pada bulan Desember 1981, Wojciech Jaruzelski bereaksi terhadap krisis di Polandia dengan
memberlakukan masa darurat militer. Untuk menanggapinya, Reagan memberlakukan sanksi
ekonomi terhadap Polandia.[231] Mikhail Suslov, ideolog top di Kremlin, menyarankan agar
pemimpin Soviet tidak campur tangan jika Polandia jatuh di bawah kendali gerakan
Solidaritas, karena takut hal itu akan menimbulkan sanksi ekonomi yang lebih berat lagi, yang
berarti akan menjadi malapetaka bagi perekonomian Soviet.[231]

Isu ekonomi dan militer Soviet dan AS

Informasi lebih lanjut: Era stagnasi, Strategi Inisiatif Pertahanan, RSD-10 Pioneer, MGM-
31 Pershing, Kematian Leonid Brezhnev, Yuri Andropov, dan Konstantin Chernenko

Perbandingan stok senjata nuklir AS dan Soviet/Rusia, 1945–2006

Delta 183 diluncurkan, membawa sensor eksperimen Strategi Inisiatif Pertahanan "Delta
Star".

Moskow telah membangun sumber daya militer yang menghabiskan 25 persen dari produk
nasional bruto Uni Soviet, dengan mengorbankan barang-barang konsumsi dan investasi di
sektor sipil.[232] Pengeluaran Soviet untuk perlombaan senjata dan kompetisi Perang Dingin
lainnya semakin diperparah oleh masalah struktural dalam sistem perekonomian Soviet,[233]
yang mengalami stagnasi ekonomi selama satu dekade dalam tahun-tahun terakhir
pemerintahan Brezhnev.

Pemboikotan Olimpiade Moskow 1980 (biru) dan Olimpiade Los Angeles 1984 (merah).

Investasi Soviet dalam sektor pertahanan tidak didorong oleh kepentingan militer, namun
sebagian besar untuk mendukung kepentingan partai-partai besar dan birokrasi negara, yang
bergantung pada sektor militer untuk mendukung kekuasaan dan hak istimewa mereka.[234]
Militer Uni Soviet merupakan militer terbesar di dunia dalam hal jumlah dan jenis senjata,
jumlah tentara, dan jumlah pangkalan militer yang mereka miliki.[235] Namun, keuntungan
kuantitatif yang dipegang oleh militer Soviet seringkali dirahasiakan keberadaannya, sehingga
Blok Timur secara dramatis tertinggal oleh Barat.[236]

Setelah seorang anak Amerika berusia sepuluh tahun bernama Samantha Smith mengirimkan
surat kepada Yuri Andropov, yang mengungkapkan ketakutannya atas perang nuklir,
Andropov mengundang Smith ke Uni Soviet.

Pada awal 1980-an, Uni Soviet telah membangun persenjataan dan pasukan militer yang
melebihi Amerika Serikat. Segera setelah Soviet menginvasi Afganistan, Presiden Carter
memulai pembangunan besar-besaran militer Amerika Serikat. Upaya ini semakin
diintensifkan oleh pemerintahan Reagan, yang meningkatkan pengeluaran militer dari 5,3
persen/total GNP pada tahun 1981 menjadi 6,5 persen pada tahun 1986,[237] jumlah anggaran
militer terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat.[238]
Ketegangan terus meningkat pada awal 1980-an ketika Reagan mengaktifkan kembali
program B-1 Lancer yang sebelumnya dibatalkan oleh pemerintahan Carter, memproduksi
LGM-118 Peacekeeper,[239] menginstal rudal jelajah AS di Eropa, dan mengumumkan
program eksperimental Strategi Inisiatif Pertahanan, yang dijuluki "Star Wars" oleh
media,yaitu program pertahanan untuk menembak jatuh rudal musuh di tengah-tengah
penerbangannya.[240]

Dilatarbelakangi oleh meningkatnya ketegangan antara Soviet dan Amerika Serikat, serta
dipasangnya rudal balistik RSD-10 Pioneer milik Soviet yang mengarah ke Eropa Barat,
NATO memutuskan – di bawah dorongan dari Presiden Carter – untuk menginstal rudal
jelajah dan MGM-31 Pershing milik Amerika Serikat di Eropa, terutama di Jerman Barat.[241]
Rudal-rudal ini ditempatkan dengan jarak mencolok, hanya berjarak 10 menit dari
Moskow.[242]

Setelah pembangunan militer Reagan selesai, Soviet tidak menanggapinya dengan


mengembangkan sumber daya militernya lebih besar lagi karena pengeluaran militer Soviet
sudah sangat besar.[243] Besarnya anggaran militer Soviet mengakibatkan tidak efisiennya
pembangunan dalam sektor manufaktur dan pertanian, yang akhirnya menjadi beban berat
bagi perekonomian Soviet.[244] Di saat yang bersamaan, produksi minyak di Arab Saudi
meningkat,[245] bahkan produksi minyak di negara-negara non-OPEC juga meningkat pada
periode tersebut, termasuk Soviet.[246] Perkembangan ini memberikan kontribusi terhadap
fenomena banjir minyak 1980-an yang mempengaruhi Uni Soviet. Minyak mulai menjadi
sumber utama pendapatan ekspor Soviet.[232][244] Namun, permasalahan perekonomian
komando,[247] turunnya harga minyak, dan pengeluaran militer yang tetap besar secara
bertahap membawa perekonomian Soviet menuju stagnasi.[244]

Pada tanggal 1 September 1983, Uni Soviet menembak jatuh Korean Air Penerbangan 007,
pesawat Boeing 747 yang mengangkut 269 penumpang, termasuk anggota Kongres Larry
McDonald. Pesawat itu ditembak karena melanggar wilayah udara Soviet dengan melewati
pantai barat Pulau Sakhalin, di dekat Kepulauan Moneron —tindakan yang oleh Reagan
dianggap sebagai "pembantaian". Tindakan Soviet ini semakin meningkatkan dukungan bagi
AS supaya segera menerjukan militernya.[248] NATO mengadakan latihan militer Able Archer
83 pada bulan November 1983, yang merupakan simulasi peluncuran nuklir secara nyata.
Peristiwa ini disebut-sebut sebagai saat yang paling berbahaya bagi dunia sejak Krisis Rudal
Kuba pada tahun 1962. Setelah pemimpin Soviet memahami maksud dari latihan militer
tersebut, maka diputuskan bahwa perang nuklir semakin dekat.[249]

Ketidaksetujuan publik AS mengenai campur tangan AS dalam konflik negara lain sudah
berlangsung sejak akhir Perang Vietnam.[250] Pemerintahan Reagan menekankan taktik
kontra-pemberontakan dan penyelesaian cepat dalam mencampuri konflik asing.[250] Pada
tahun 1983, pemerintahan Reagan ikut campur tangan dalam Perang Saudara Lebanon,
menginvasi Grenada, membom Libya, dan mendukung gerakan Contras di Amerika Tengah –
paramiliter anti-komunis yang berusaha menggulingkan pemerintahan pro-Soviet Sandinista
di Nikaragua.[98] Intervensi Reagan terhadap Grenada dan Libya mendapat dukungan dari
publik AS, namun dukungannya pada Contra mengundang kontroversi.[251]

Sementara itu, Soviet sendiri mengeluarkan biaya tinggi dalam memfasilitasi intervensi
mereka terhadap asing. Meskipun Brezhnev meyakini pada tahun 1979 bahwa Perang Soviet-
Afganistan akan berlangsung singkat, gerilyawan Muslim, yang dibantu oleh AS dan negara-
negara lainnya, mengobarkan perlawanan sengit terhadap invasi tersebut.[252] Kremlin
mengirimkan hampir 100.000 tentara untuk mendukung rezim boneka di Afganistan, yang
dijuluki oleh para pengamat luar dengan "perang 'Vietnam'-nya Soviet".[252] Namun, dampak
perang Afganistan ini jauh lebih parah bagi Soviet ketimbang dampak Perang Vietnam bagi
Amerika Serikat, karena konflik ini juga bertepatan dengan periode kekacauan dan krisis
internal dalam birokrasi dan perekonomian Soviet.[253]

Seorang pejabat senior di Departemen Luar Negeri AS memprediksikan pada awal 1980-an,
ia menyatakan bahwa "invasi yang mengakibatkan krisis dalam negeri bagi Soviet... mungkin
itu adalah hukum termodinamika entropi... yang terjebak dengan sistem Soviet, yang sekarang
tampaknya lebih banyak mengeluarkan energi untuk menjaga keseimbangannya ketimbang
untuk memperbaikinya. Kita bisa melihat periode kebangkitan asing pada saat mengalami
keruntuhan internal".[254][255]

Tahun-tahun terakhir (1985–1991)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (1985–1991)

Mikhail Gorbachev dan Ronald Reagan menandatangani Traktat INF di Gedung Putih, 1987

Reformasi Gorbachev

Informasi lebih lanjut: Mikhail Gorbachev, perestroika, dan glasnost

Setelah tanggal 11 Maret 1985, Mikhail Gorbachev menjadi Sekretaris Jenderal Partai
Komunis Uni Soviet yang kelima untuk menggantikan Konstantin Chernenko yang sudah
wafat.

Pada saat Mikhail Gorbachev, yang relatif masih muda, menjadi Sekretaris Jenderal pada
tahun 1985,[225] perekonomian Soviet sedang stagnan dan mengalami penurunan tajam dalam
penerimaan mata uang asing akibat turunnya harga minyak dunia pada tahun 1980-an.[256]
Masalah ini memaksa Gorbachev untuk mengambil langkah-langkah guna membangkitkan
kembali keterpurukan Soviet.[256]

Gorbachev menyatakan bahwa untuk membangkitkan kembali Soviet, diperlukan perubahan


yang mendalam dalam struktural Soviet. Pada bulan Juni 1987, Gorbachev mengumumkan
agenda reformasinya yang disebut perestroika atau restrukturisasi.[257] Perestroika
memungkinkan lebih efektifnya sistem kuota produksi, kepemilikan swasta atas bisnis dan
juga membuka jalan bagi investor asing. Langkah ini dimaksudkan untuk mengarahkan
sumber daya negara dari pembiayaan militer yang mahal untuk menunjang Perang Dingin ke
pengembangan sektor sipil yang lebih produktif.[257]

Meskipun muncul skeptisisme dari negara-negara Barat, pemimpin Soviet yang baru ini
terbukti berkomitmen untuk memperbaiki kondisi perekonomian Soviet yang buruk,
bukannya melanjutkan perlombaan senjata dengan Barat.[117][258] Untuk melawan penentang
reformasinya yang berasal dari internal partai, Gorbachev secara bersamaan memperkenalkan
glasnost, atau keterbukaan. Kebijakan ini memungkinkan meningkatnya kebebasan pers dan
transparansi lembaga-lembaga negara.[259] Glasnost dimaksudkan untuk mengurangi korupsi
dalam tubuh Partai Komunis dan memoderasi penyalahgunaan kekuasaan di Komite
Sentral.[260] Glasnost juga memungkinkan meningkatnya kontak antara warga Soviet dan
Dunia barat, khususnya dengan Amerika Serikat, yang memberikan kontribusi bagi
peningkatan détente antara kedua negara.[261]

Perbaikan hubungan

Informasi lebih lanjut: Konferensi Tingkat Tinggi Reykjavík, Traktat INF, dan START I

Menanggapi konsesi politik dan militer Kremlin yang baru, Reagan setuju untuk mengadakan
kembali perundingan dengan Soviet terkait dengan isu-isu ekonomi dan perlombaan
senjata.[262] Perundingan pertama diadakan pada bulan November 1985 di Jenewa, Swiss.[262]
Dalam perundingan tersebut, kedua pemimpin negara, disertai oleh seorang penerjemah,
sepakat untuk mengurangi persenjataan nuklir di masing-masing negara sebesar 50 persen.[263]
Perundingan kedua, Konferensi Tingkat Tinggi Reykjavík, diselenggarakan di Islandia.
Perundingan tersebut berjalan lancar hingga pembicaraan bergeser ke arah Strategi Inisiatif
Pertahanan Reagan yang ingin dieliminasi oleh Gorbachev, namun Reagan menolaknya.[264]
Negosiasi akhirnya gagal, namun dalam perundingan ketiga pada tahun 1987, kedua belah
pihak berhasil menghasilkan terobosan dengan ditandatanganinya Traktat Angkatan Nuklir
Jangka Menengah (INF). Traktat ini menghapuskan keberadaan semua senjata nuklir, rudal
balistik, dan rudal jelajah di kedua belah pihak dengan jarak antara 500 dan 5.500 kilometer
beserta infrastrukturnya.[265]

Ketegangan antara Timur dengan Barat mereda dengan cepat pada pertengahan 1980-an.
Tahun 1989, bertempat di Moskow, Gorbachev dan pengganti Reagan, George H. W. Bush,
menandatangani perjanjian START I, yang mengakhiri perlombaan senjata antar kedua
negara.[266] Selama tahun-tahun berikutnya, Soviet dihadapkan pada keruntuhan
perekonomian yang diakibatkan oleh turunnya harga minyak dunia dan besarnya pembiayaan
militer.[267] Selain itu, penempatan militer di negara sekutunya diakui tidak relevan lagi bagi
Soviet, dan pada tahun 1987, Soviet secara resmi mengumumkan kalau ia tidak akan ikut
campur lagi dalam urusan dalam negeri negara-negara sekutunya di Eropa Timur.[268]

Tahun 1989, pasukan Soviet mundur dari Afganistan,[269] dan setahun kemudian Gorbachev
menyetujui reunifikasi Jerman,[267] satu-satunya alternatif untuk menanggapi skenario
Tianmen.[270] Ketika Tembok Berlin runtuh, konsep "Common European Home" yang
dicetuskan oleh Gorbachev mulai terbentuk.[271]

Pada tanggal 3 Desember 1989, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Malta, Gorbachev dan
George H. W. Bush secara resmi menyatakan bahwa Perang Dingin sudah berakhir.[272]
Setahun kemudian, dua negara tersebut bermitra dalam Perang Teluk melawan Irak.[273]

Goyahnya sistem Soviet

Informasi lebih lanjut: Perekonomian Uni Soviet, Revolusi 1989, dan Jalur Baltik

Runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989.

Pada tahun 1989, sistem aliansi Soviet berada di ambang keruntuhan. Akibat hilangnya
dukungan militer dari Soviet, satu-persatu para pemimpin negara-negara komunis Pakta
Warsawa juga kehilangan kekuasaan.[269] Di Uni Soviet sendiri, kebijakan glasnost
melemahkan ikatan yang selama ini menyatukan Soviet.[268] Bulan Februari 1990, dengan
semakin memuncaknya isu pembubaran Uni Soviet, para pemimpin Partai Komunis terpaksa
menyerahkan tampuk kekuasaannya yang telah bertahan selama 73 tahun.[274]

Pada saat yang sama, isu kemerdekaan yang dipicu oleh glasnost semakin mendorong negara-
negara Soviet untuk memisahkan diri dari Moskow. Negara-negara Baltik mulai menarik diri
dari Soviet sepenuhnya.[275] Gelombang revolusi damai 1989 yang melanda Eropa Tengah dan
Eropa Timur meruntuhkan kedigjayaan komunisme Soviet di negara-negara seperti Polandia,
Hongaria, Cekoslowakia dan Bulgaria.[276] Rumania menjadi satu-satunya negara Blok Timur
yang menggulingkan kekuasaan komunis secara keras dengan mengeksekusi kepala
negaranya.[277]

Pembubaran Uni Soviet

Informasi lebih lanjut: January 1991 events in Latvia, Upaya kudeta di Soviet
1991, Sejarah Uni Soviet (1982–1991), dan Pembubaran Uni Soviet

Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, akhir resmi dari Uni Soviet

Sikap permisif Gorbachev terhadap Eropa Timur awalnya tidak meluas ke wilayah Soviet,
bahkan Bush, yang berjuang untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan Soviet,
mengutuk pembunuhan pada bulan Januari 1991 di Latvia dan Lituania. Bush
memperingatkan bahwa hubungan ekonomi akan dibekukan jika kekerasan terus terjadi.[278]
Uni Soviet secara fatal dilemahkan oleh kudeta yang gagal pada tahun 1991 dan
meningkatnya jumlah republikan Soviet, khususnya di Rusia, yang mengancam akan
memisahkan diri dari Uni Soviet. Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, yang didirikan
pada tanggal 21 Desember 1991, dipandang sebagai entitas penerus Uni Soviet, namun,
menurut para pemimpin Rusia, tujuannya adalah untuk "memungkinkan perpisahan secara
beradab" antara republik-republik Soviet dan juga sebanding dengan kelonggaran
konfederasi.[279] Uni Soviet secara resmi dibubarkan pada tanggal 25 Desember 1991.[280]

Dampak
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dampak Perang Dingin

NATO/CSTO

NATO telah memperluas cakupannya ke negara-negara bekas Pakta Warsawa dan bekas Uni
Soviet sejak berakhirnya Perang Dingin.

Setelah Perang Dingin, Rusia sebagai ahli waris utama Uni Soviet memotong pengeluaran
militer secara drastis. Restrukturisasi ekonomi menyebabkan jutaan warga di seluruh Uni
Soviet menganggur.[281] Sedangkan reformasi kapitalis mengakibatkan terjadinya resesi parah,
lebih parah daripada yang dialami oleh AS dan Jerman selama Depresi Besar.[282]

Setelah berakhir, Perang Dingin masih terus mempengaruhi dunia.[12] Setelah pembubaran
Uni Soviet, dunia pasca-Perang Dingin secara luas dianggap sebagai dunia yang unipolar,
menyisakan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia.[283][284][285] Perang
Dingin juga membantu mendefenisikan peran politik Amerika Serikat di dunia pasca-Perang
Dunia II: pada tahun 1989 AS menjalin kerjasama militer dengan 50 negara dan memiliki
526.000[286] tentara di luar negeri yang tersebar di puluhan negara, dengan 326.000 terdapat di
Eropa (dua pertiganya di Jerman Barat),[287] dan sekitar 130.000 terdapat di Asia (terutama di
Jepang dan Korea Selatan).[286] Perang Dingin juga menandai puncak pengembangan industri-
militer, terutama di Amerika Serikat, dan pendanaan militer secara besar-besaran.[288]
Pengembangan industri militer ini memiliki dampak besar terhadap negara yang
bersangkutan; membantu membentuk kehidupan kemasyarakatan, kebijakan, dan hubungan
luar negeri negara tersebut.[289]

Pengeluaran militer Amerika Serikat selama berlangsungnya Perang Dingin diperkirakan


sekitar $ 8 triliun, sedangkan hampir 100.000 orang Amerika kehilangan nyawa mereka
dalam Perang Korea dan Perang Vietnam.[290] Sulit untuk memperkirakan jumlah korban dan
kerugian dari pihak Soviet, namun jika dilihat dari komparasi produk nasional bruto mereka,
maka biaya keuangan yang dikeluarkan oleh Soviet selama Perang Dingin jauh lebih besar
daripada yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat.[291]

Selain hilangnya nyawa warga sipil oleh para tentara tak berseragam, jutaan jiwa juga tewas
dalam perang proksi antar kedua negara adidaya di berbagai belahan dunia, terutama di Asia
Tenggara.[292] Sebagian besar perang proksi dan bantuan untuk konflik-konflik lokal turut
berakhir seiring dengan usainya Perang Dingin. Perang antar-negara, perang etnis, perang
revolusi, serta jumlah pengungsi menurun tajam pada tahun-tahun pasca-Perang Dingin.[293]

Di sisi lain, konflik-konflik antar-negara di Dunia Ketiga tidak sepenuhnya terhapus pasca-
Perang Dingin. Ketegangan ekonomi dan sosial yang dulu dimanfaatkan sebagai "bahan
bakar" Perang Dingin terus berlangsung di Dunia Ketiga.[12] Kegagalan kontrol negara di
sejumlah wilayah yang dulunya dikuasai oleh pemerintah komunis telah menghasilkan
konflik sipil dan etnis baru, terutama di negara-negara bekas Yugoslavia.[12] Berakhirnya
Perang Dingin telah menghantarkan Eropa Timur pada era pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan jumlah negara demokrasi liberal, sedangkan di bagian lain dunia, seperti di
Afganistan, kemerdekaan diikuti dengan kegagalan negara.[12]

Anda mungkin juga menyukai