Anda di halaman 1dari 20

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL PASCA PERANG DUNIA II


Dosen Pengampu: Bapak Bustanul Arifien, M.H.

KELOMPOK IV

Muhammad Ulin Nuha : 18103070079


Bondan Juliano Muhammad : 18103070082
Ilham Oktavian : 18103070083
Alif Bagus Prasetyo : 18103070084
Subhan Zein El Bahri : 18103070085
Moh. Wakid : 18103070086
Putri Aisyah : 18103070087
Dadik Andiyanto : 18103070090
Carla Yvete Pramesvara : 18103070091
Rafiq Arifianto : 18103070093
Rosyidatul Marzuqoh : 18103070094
Nydia Alzena Aristawanty : 18103070095

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2019-2020
BAB I
Pembahasan

A. Perkembangan Internasional Pasca Perang Dunia II

Berakhirnya Perang Dunia II telah mengubah perkembangan politik dunia.


Setelah Perang Dunia II ini, Uni Soviet dan Amerika Serikat menjadi dua adidaya
dunia. Dua negara tersebut memiliki perbedaan ideologi, Amerika Serikat memiliki
ideologi liberal-kapitalis, sedangkan Uni Soviet berideologi sosialis-komunis. Dalam
waktu singkat memang pernah terjadi persahabatan diantara keduanya, namun kemudian
muncul antagonisme diantara mereka. Ada dua karakter pada periode ini, Pertama,
adanya keprihatinan akan ambisi rivalnya yang menimbulkan pesimisme. Kedua,
Amerika Serikat dan Uni Soviet merupakan kekuatan militer yang sangat kuat dan
memiliki kemampuan untuk menghancurkan musuhnya dengan senjata pemusnah masal
(atom/nuklir). Perbedaan pandangan ini lah yang kemudian menciptakan suatu kebencian
diantara keduanya hingga menimbulkan perang yang dikenal dengan Perang Dingin.
Dalam masa ini munculah beberapa peristiwa sebagai berikut:1

1. Doktrin Pembendungan pada Februari 1946, Stalin memberikan pidato yang


berbicara tentang “tak terhindarnya konflik dengan kekuatan kapitalis". Ia
mendesak rakyat Soviet untuk tidak terperdaya dengan berakhirnya perang yang
berarti negara bisa santai. Sebaliknya perlu mengintensifkan usaha memperkuat dan
mempertahankan tanah air. Tidak lama setelah munculnya tulisan George F
Kennan, diplomat Kedubes AS di Uni Soviet, yang memaparkan tentang
kefanatikan Uni Soviet, hingga Presiden Harry S Truman mendeklarasikan apa
yang kemudian disebut Doktrin Truman. Doktrin ini menggaris bawahi strategi
pembendungan politik luar negeri AS sebagai cara untuk menghambat ambisi
ekspansionis Uni Soviet. AS juga merekrut sekutu-sekutunya untuk mewujudkan
tujuan itu. Karena menurut teori domino, jika satu negara jatuh maka akan
berjatuhanlah negara-negara tetangga lainnya.

1
Hetherington, Marc J., and Bruce A. Larson. Parties, Politics, and Public Policy in America (11th edition,
2009). Hal 301.
2. Lingkungan Pengaruh dan Pembentukan Blok Ketidakmampuan sebuah negara
adidaya memelihara ”lingkungan pengaruh” diinterpretasikan sebagai akibat dari
program global negara adidaya yang lain. Misalnya ketika Uni Soviet memasuki
Eropa Timur, para pemimpin AS menilainya sebagai bagian dari usaha Uni Soviet
menaklukan dunia. Begitu pula ketika AS membentuk Pakta ANZUS pada tahun
1951, para pemimpin Uni Soviet menilainya sebagai bagian dari usaha AS untuk
mendominasi dunia. Perebutan lingkungan pengaruh diantara dua negara adidaya
ini melahirkan sebuah pola yang bipolar. AS dan sekutunya merupakan satu polar,
sedangkan di polar (kutub) yang lain muncul Uni Soviet dengan sekutunya.

Amerika Serikat dan sekutunya membentuk Organisasi Pertahanan Atlantik Utara


(North Atlantic Treaty Organization/NATO) yang berdiri pada tanggal 4 April 1949 di
Washington, AS. Apabila salah satu anggota NATO diserang, maka serangan itu dianggap
sebagai serangan terhadap NATO. Di pihak lain, Uni Soviet dan sekutunya membentuk
Pakta Warsawa (Warsawa Pact) pada tanggal 14 Mei 1955 di Praha-Cekoslowakia atas
dasar ”Pact of Mutual Assistance and Unified Command”. Di berbagai kawasan pun
muncul blok-blok yang memihak salah satu negara adidaya, di Asia Tenggara dibentuk
South East Asia Treaty Organization (SEATO) pada tanggal 8 September 1954 di Manila,
Philipina. SEATO ditujukan untuk menahan pengaruh komunis di Asia Tenggara,
khususnya di Vietnam. Sebagai salah satu organisasi yang berdiri di Asia Tenggara,
negara-negara utama di Asia Tenggara malah tidak diikutsertakan di SEATO, anggota-
anggotanya yang utama justru negara-negara Blok Barat yang dipimpin oleh AS.

Di kawasan Timur Tengah juga dibentuk Organisasi Pertahanan Timur Tengah


(Middle Eastern Treaty Organization/METO). Sedangkan Uni Soviet juga menjalin
kerjasama dengan RRC pada tahun 1950 untuk menghadapi kemungkinan agresi Jepang
sebagai negara di bawah kendali AS. Serta pembentukan Cominform (The Communist
Information Bureau) di Beograd, Yugoslavia pada tahun 1947. Di sisi lain, kegiatan
spionase juga turut mewarnai Perang Dingin. KGB (Komitet Gusudarstvennoy
Bezopasnosti), dinas rahasia Uni Soviet, dan CIA (Central Intelligence Agency), dinas
rahasia AS selalu berusaha untuk memperoleh informasi rahasia mengenai segala hal yang
menyangkut negara-negara yang berada di bawah pengaruh kedua belah pihak serta
informasi-informasi sensitif mengenai lawannya sendiri.
Lebih jauh, bila disimak dalam eskalasi Perang Dingin yang melibatkan ketegangan
dan persaingan antara Soviet dan AS ini, tentara Amerika dan Soviet tidak pernah bertemu
secara langsung dalam medan perang, namun bertempur secara tidak langsung (proxy war),
seperti dalam Perang Korea (1950-an) dan Perang Vietnam (1950-an-1970-an). Kedua
perang tersebut merupakan perang antara pemerintah Utara yang komunis (didukung oleh
Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok), dan pemerintahan Selatan yang dibantu oleh AS.
Perang Korea berakhir dengan pembagian Korea, sementara perang Vietnam dimenangkan
oleh Vietnam (Komunis) setelah AS mundur dari Vietnam. Selain itu, salah satu konflik
penting pada masa ini adalah Krisis Rudal Kuba pada tahun 1962. Selama krisis ini, AS
dan Uni Soviet berada pada posisi yang sangat dekat untuk saling menyerang dengan
senjata nuklir.2

Pada masa Perang Dingin, pemerintah mencoba mencari orang yang diduga sebagai
Komunis. Orang yang diduga komunis akan kehilangan pekerjaan, masuk penjara, atau
bakan terbunuh. Banyak aktor dan pengarang yang masuk ke daftar hitam. Peristiwa ini
disebut sebagai "Red Scare". Perlombaan senjata juga berlangsung antara Amerika Serikat
dengan Soviet. Amerika Serikat banyak menghabiskan dana untuk proyek-proyek
pertahanan. Selain perlombaan senjata, perlombaan luar angkasa juga berlangsung.
Perlombaan ini dimulai ketika Soviet meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Dalam
beberapa tahun, baik AS maupun Soviet telah meluncurkan satelit, dan juga mengirimkan
hewan dan manusia ke luar angkasa. Pada tahun 1969, Apollo 11 berhasil
mendaratkan Neil Armstrong dan Buzz Aldrin di Bulan.

B. Pengaruh Konflik Ideologi dan Perang Dingin Terhadap Hukum Internasional


Kontemporer
Sejak berdirinya negara komunis Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur
lainnya para ahli hukum dan negarawannya telah mengambil sikap tersendiri terhadap
hukum internasional yang mereka sebut hukum borjuis. Para ahli hukum Uni Soviet
menafsirkan hukum Internasional sebagai refleksi kehendak negara-negara penguasa.
Namun ini tidak menutup kemungkinan bagi kaum komunis untuk menjalin hubungan
dengan negara-negara lain atas dasar hukum Internasional. Sekalipun negara sosialis dan

2
Marfleet, B. Gregory. "The Operational Code of John F. Kennedy During the Cuban Missile Crisis: A
Comparison of Public and Private Rhetoric". Hal 545
negara kapitalis memiliki pandangan berbeda tentang norma-norma hukum internasional,
mereka dapat bersepakat tentang norma-norma tertentu yang membentuk sekumpulan
norma hukum internasional.
Perbedaan ideologis, perbedaan cara pandang tentang bagaimana menata
masyarakat, negara dan hubungan-hubungan internasional ini kemudian mencapai suatu
taraf yang kritis ketika dua negara adidaya Uni Soviet dan Amerika Serikat terlibat ke
dalam apa yang disebut dengan perang dingin. Perang dingin merupakan suatu peristiwa
besar yang tidak dicirikan dengan permusnahan umat manusia secara besar-besaran tetapi
berkaitan dengan kehidupan yang terpengaruh dari harta benda yang dikorbankan,
jangkauan geografis, dan dampak lingkungan dalam sejarah umat manusia.3
Perang dingin ditandai dengan suatu kekhawatiran yang tinggi akan timbulnya
kekerasan serta mobilisasi dan perencanaan yang rinci serta terus-menerus untuk
menyiapkan perang oleh kedua kubu, yang aliansi dan hubungan hegemoniknya
menjangkau ke berbagai penjuru dunia. Di mana setiap bagian dianggap memiliki nilai
strategis dapat dikatakan bahwa perang dingin telah melibatkan lebih banyak umat
manusia dibandingkan dengan konflik-konflik besar sebelumnya. Pada saat tengah
memuncaknya seakan terdapat dua dunia di planet ini dan antara keduanya hubungan
perdagangan serta hubungan yang lain secara drastis dikurangi. Dalam banyak hal
terdapat dua sistem hukum internasional dan dua sistem tatanan dunia. Akhirnya perang
dingin telah menjadi bagian dari lingkungan seakan tidak akan pernah berakhir.
Selama berlangsungnya perang dingin, Uni Soviet sering dituduh “mengekspor”
revolusi dengan cara melanggar hukum internasional, termasuk prinsip-prinsip non
intervensi dalam urusan dalam negeri negara-negara lain. Namun para ahli hukum Uni
Soviet biasanya mencari justifikasi dalam doktrin-doktrin yang dikemukakan para
pemimpin politiknya. Sementara itu dunia ketiga telah dijadikan ajang konfrontasi
Timur-Barat sehingga sangat merugikan proses pembangunan politik dan ekonomi di
negara-negara tersebut dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Iklim politik
selama perang dingin membangkitkan kesan bahwa hukum internasional masih jauh dari
tahapan optimal atau bahkan minimal. Posisi kedua pihak yang berkonfrontasi tidak saja
berbeda akan tetapi tidak mungkin dirujukan. Akibatnya banyak norma hukum
3
HATA, Hukum Internasional : Sejarah dan Perkembangan Hingga Pasca Perang Dingin, Malang :
Setara Press, hlm 32
internasional mendapatkan interprestasi yang berlebihan dan dapat dieksploitasi sesuai
kehendak masing-masing pihak.
Kedua belah pihak juga cenderung untuk menggunakan kata yang sama untuk
pengertian yang berbeda misalnya jika kata demokrasi dan hak menentukan nasib sendiri
muncul dalam dokumen internasional penggunaannya sangat membingungkan dari segi
hukum.
C. Hukum Internasional Pasca Perang Dunia II
Berakhirnya perang dingin ditandai dengan runtuhnya negara adidaya Uni Soviet
pada akhir tahun 1991. Sepanjang menyangkut hukum internasional, perubahan sikap
Soviet mulai tampak dengan naiknya Mikhail Gorbachev ke panggung kekuasaan negeri
itu. Program restrukturisasi (perestroika) yang dicanangkan antara lain mencakup
hubungan internasional dan hukum internasional. Ia mengembangkan lebih jauh konsep
peaceful coexistence dengan menyatakan bahwa hidup berdampingan secara damai
merupakan syarat bagi kelangsungan hidup umat manusia. Ia menekankan bahwa saling
ketergantungan diantara negara-negara semakin besar dan intensif di berbagai bidang.
Kerjasama ini juga diharuskan akibat permasalahan bersama seperti kelangkaan bahan
baku, bahaya ekologis, permasalahan sosial di negara-negara berkembang, dan yang lebih
penting lagi ancaman senjata nuklir yang telah menempatkan kelangsungan hidup
manusia dalam keraguan. Pada Kongres Partai Komunis Uni Soviet tahun 1966 telah
dibuang ciri-ciri peaceful coexistence sebagai suatu bentuk khusus perjuangan kelas.
Sikap Soviet terhadap bentuk ketertiban dunia sebagaimana diharapkan Gorbachev
diikuti langkah-langkah positif di arena internasional. Dalam suatu memorandum tentang
perkembangan hukum internasional yang diajukan kepada sekretaris jenderal PBB
dinyatakan bahwa hukum internasional harus diangkat ke tingkat yang lebih tinggi. Ia
harus menjadi hukum untuk keamanan menyeluruh serta tanggung jawab negara terhadap
umat manusia. Berlawanan dengan para penguasa komunis yang pendahulunya tidak
menyukai proses peradilan internasional, Gorbachev bahkan mendorong agar forum
Mahkamah Internasional lebih sering dimanfaatkan. Ia menyatakan agar negara-negara
mengakui yurisdiksi yang mengikat lembaga peradilan tersebut. Majelis umum dan
dewan keamanan PBB harus mempeloporinya dengan lebih sering meminta pendapat
hukum (advisory opinion) Mahkamah Internasional. Disarankan agar dibentuk suatu
Mahkamah untuk menyelidiki terorisme (John Quigley).
Sebagaimana telah diakui bersama kebijakan-kebijakan yang ditempuh
Gorbachev akhirnya membawa keruntuhan negara adidaya Uni Soviet dan paham
komunis di negara tersebut. Glasnot dan Perestroika yang dicanangkannya telah
menggelinding terlalu cepat sehingga menimbulkan disintegrasi di negara adidaya
tersebut, dan lebih tragis lagi sang arsitek sendiri harus tersingkir dari panggung
kekuasaan. Namun merupakan kenyataan bahwa runtuhnya Uni Soviet merupakan
keruntuhan salah satu sistem totaliter terbesar yang pernah dipraktekkan suatu pemerintah
negara pada abad ini.
Dalam suatu perdebatan politik dan hukum di saat terakhir berdirinya Uni Soviet
dan kemudian di negara Rusia serta negara-negara bekas Uni Soviet, perhatian ditujukan
pada pembentukan struktur konstitusional dan mekanisme pengamanan untuk
memastikan bahwa baik warga negara maupun lembaga-lembaga legislative tidak akan
lagi dibutakan terhadap fakta-fakta yang diperlukan untuk merumuskan suatu politik luar
negeri yang sehat dan taat hukum. Peranan lembaga perwakilan rakyat dalam
memberikan persetujuan terhadap perjanjian internasional dan dalam membuat serta
meninjau keputusan-keputusan yang berpengaruh atas perdamaian dan keamanan
internasional misalnya, dapat diperkuat. Penting bagi para ahli hukum internasional untuk
terus berkiprah memnegakkan dan mempertahankan struktur yang dapat bertahan lama
untuk mendukung pandangan demokratos berdasarkan hukum dalam merumuskan dan
mengimplementasikan politik luar negeri. (Lori Fisler Damrosch et.al, 1995:15).
Bahkan dalam suatu masyarakat yang relative terbuka seperti Amerika Serikat,
dengan tradisi yang panjang dalam hal kesadaran masyarakat akan kebijakan pemerintah
serta perdebatan yang hangat seputar masalah tersebut, menurut sementara pengamat
(Lori Fisler Damrosch et.al, 1995:15) masih banyak yang harus dilakukan untuk
memperkuat kontrol demokrasi atas kebijakan luar negerinya, terutama pada bidang-
bidang dimana kerahasiaan masih dijaga ketat. Kebijakan di bidang intelejen seringkali
dilakukan tanpa mengindahkankan hukum internasional. Sejak pertengahan tahun 1970-
an kongres AS mulai mengeluarkan sejumlah peraturan dan prosedur untuk memastikan
bahwa kongres AS menerima informasi tentang kegiatan dinas-dinas intelejen, agar bisa
mengawasi mereka dan jika perlu menguranginya. Sekalipun belum banyak yang
dilakukan, namun para pemimpin negara adidaya tersebut akhir-akhir ini mulai
memperhatikan dampak negative dari kegiatan tersebut terhadap politik luar negeri.
Dalam segi penegakkannya, hukum internasional masih sangat lemah jika
dibandingkan dengan hukum nasional karena kurang atau tidak adanya mekanisme
domestik untuk memberlakukan hukum internasional sebagaimana yang dimiliki hukum
nasional, bahkan di negara seperti AS. Di negara ini hukum internasional telah
dinyatakan secara konstitusional sebagai supreme law of land (US Contitution), article
VI, Clause 2, dan pengadilan-pengadilan federal diberikan yurisdiksi atas perkara-perkara
yang timbul dari perjanjian internasional (US Constitution, article III, Section 2). Di
samping itu sejak lama pengadilan-pengadilan AS telah memberlakukan hukum
kebiasaan internasional sebagaimana dibuktikan dalam pendapat Mahkamah Agung AS
dalam perkara Paquete Habana (1900) sebagai berikut:
“International law is a part of our law, and must be ascertained and
administered by the court of justice of appropriate jurisdiction, as often as questions of
right depending upon it are duly presented for their determination. For this purpose,
where there is no treaty, and no controlling executive or legislative act or judicial
decision, resort must be had to the customs and usages of civilized nations”.
Petunjuk-petunjuk umum ini tidak dapat diartikan bahwa hukum internasional
selalu diberlakukan pengadilan-pengadilan AS. Pengadilan telah mengembangkan
perbedaan antara apa yang disebut self-executing treaties dan non self executing treaties.
Yang disebut pertama adalah perjanjian internasional yang diterapkan langsung oleh
pengadilan, tetapi yang lainnya harus menunggu peraturan implementasi dari badan
legislative atau eksekutif, juga pengadilan-pengadilan AS tidak akan menerapkan kaidah
hukum internasional, baik yang bersumber pada perjanjian maupun kebiasaan, yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih baru. Satu hal positif
yang dilakukan para ahli hukum internasional AS adalah tanggung jawab sosial dan
moral yang diwujudkan dalam pemberian masukan-masukan kepada para pemimpin
bangsanya dalam rangka penegakkan hukum internasional. Misalnya yang dilakukan
ketua Perhimpunan Hukum Internasional Amerika (American Society of International
Law), Louis Henkin (1993) dengan mengirim surat terbuka kepada presiden terpilih
Clinton pada tanggal 17 Desember 1992 sebagai berikut:
“I believe that the changed world order provides a fresh opportunity for the
United States to help realize its goal of half a century ago. To that end I call upon you :
1) to seize the earliest opportunity to declare that international peace and security and
the rule of law will be the pillars of US foreign policy”.
Dalam pertemuan 150 pakar pada hari yang sama yang membahas dan
mempertimbangkan International Law Issues Facing the Clinton Administration telah
dikirimkan laporan kepada presiden terpilih serta para pejabat tim transisinya yang
berbunyi antara lain:
“The new administration should make successful conclusion of the current round
of GATT negotiation and the perfecting of NAFTA matters of highest priority. The new
administration should persue prompt action and several major multilateral treaties. This
includes four human rights treties ripe for US ratification, some of which have been
pending before the senate since their submission by Presiden Carter : the UN
Convention on Racial Discrimination, Discriminatio Againts Women, Rights of the child,
and American Human Rights Conventation. The United States should actively
particiupate in efforts whitin the UN to render the UN convention on the law of the sea
acceptable to no-signatory states with a view to US ratification. The new administration
should develop a comprehensive US policy on war crimes, including any international
institutional implications that such a policy may entail”. (Louis Henkin, 1993).
Dalam dua tahun pertama pemerintahan Clinton banyak diantara usulan tersebut
telah direalisasikan dengan partisipasi ASIL, atau para anggotanya.
Uni Soviet memiliki praktek yang berbeda di bidang penerapan hukum
internasional. Pengadilan-pengadilan Soviet tidak pernah menerapkan hukum kebiasaan
sebagai sumber hukum, dan hanya dalam perkara-perkara yang langka seperti di bidang
transportasi international. Perjanjian international dijadikan bahan pertimbangan. Baik
dalam konstitusi maupun perundang-undangan lain tidak terdapat landasan bagi
pengadilan untuk menerapkan hukum internasional. Juga tidak terdapat pengaturan
umum untuk memecahkan konflik antara hukum internasional dan hukum nasional. Yang
ada hanya penyelesaian terpisah-pisah dalam berbagai peraturan yang menunjuk pada
perjanjian internasional. Selama pergolakan konstitusional tak lama sebelum keruntuhan
Uni Soviet sejumlah sarjana Soviet menuntut adanya pengaturan konstitusi atas aturan-
aturan nasional yang bertentangan sebagai upaya untuk memberikan primasi pada hukum
internasional atas politik. (Lori Fisler Damrosch, et.al, 1995:17).
D. Internet dan Hukum Internasional
Teknologi informasi dalam bentuk internet telah mempercepat proses hukum
internasional setidak-tidaknya dalam tiga hal: Pertama, internet memfasilitasi negosiasi
rejim hukum perjanjian internasional yang memungkinkan mekanisme hukum
internasional yang baru untuk berfungsi secara efektif dan lebih cepat. Kedua, internet
mengubah keseimbangan kepentingan yang membentuk dinamika politik yang
menentukan kandungan hukum internasional. Ketiga, sifat global internet bertentangan
dengan ide hukum perdata internasional publik untuk mengatur kegiatan e commerce dan
kegiatan politik, baik secara langsung maupun tidak, dengan menyiapkan kerangka bagi
kegiatan internasional yang bersifat privat.
1. Internet memperbaiki efektivitas sistem Hukum Internasional
Pengaruh internet sudah sangat jelas dalam memberikan kemudahan pada saat
perjanjian-perjanjian internasional dinegosiasikan, dalam hal perjanjian internasional
ini memberikan pengaruhnya pada perilaku negara, dan dalam memaksakan norma-
norma internasional secara langsung terhadap negara dan individu. Selanjutnya,
internet juga memfasilitasi hukum internasional publik dalam dua hal: Pertama, ia
mengurangi biaya transaksi dan mempercepat proses negosiasi perjanjian-perjanjian
internasional. Kedua, internet memberdayakan kelompok-kelompok yang
mengadvokasi perjanjian internasional, terutama NGO, dengan memberikan
kemudahan kepada mereka untuk menjalin ikatan-ikatan melintasi batas-batas negara
dan untuk berpartisipasi dalam karya persiapan perjanjian internasional sekali pun
mereka tidak memiliki sumber-sumber substansial.
2. Internet mendorong penerimaan Hukum Internasional Publik oleh Negara
Internet mendorong penerimaaan hukum internasional publik oleh negara
melalui pemberdayaan kelompok-kelompok kepentingan nasional yang
mengadvokasi ratifikasi perjanjian internasional yang baru. Inila salah satu aspek dari
interpenetration. Aspek yang lainnya adalah penerimaan norma-norma internasional
dalam legislasi nasional dan diputuskannya kasus-kasus nasional dan internasional
oleh pengadilan nasional.
3. Internet membantu mendeteksi pelanggaran dan memobilisasi sanksi
Internet mendorong kebutuhan pada hukum internasional publik dengan
memudahkan pendeteksian pelanggaran dan memobilisasi kepatuhannya. Semakin
banyak lembaga yang berkepentingan dengan implementasi perjanjian internasional
yang menggunakan internet. Disamping itu dukungan NGO lewat internet juga
memegang peran penting. Peranan NGO dalam mempromosikan dan mengadopsi
perjanjian internasional tidak diragukan lagi, manakala pelanggaran norma hukum
internasional terdeteksi NGO, mereka akan memusatkan perhatian, lewat laman web
dan email, dengan cara blacklist serta mengorganisasikan tekanan terhadap mereka
yang mengadakan hubungan dengan si pelanggar.

4. Internet mengubah perimbangan kepentingan yang menentukan hasil-hasil norma


Hukum Internasional
Perumusan hukum internasional dan penerapan sanksi terhadap para
pelanggarnya sangat ditentukan bukan hanya oleh politik internasional tetapi juga
oleh kemampuan lembaga-lembaga hukum internasional, tetapi internet juga
mengubah perimbangan kepentingan dalam politik internasional. Internet
mengintensifkan perhatian massa dalam cara : dalam cara sebagaimana ditekankan
Friedman yakni untuk menyalurkan tekanan masaa guna mengurangi rintangan dan
memungkinkan partisipasi dan sebagai sumber kekayaan sendiri, yang memunculkan
kelompok-kelompok kepentingan baru. Internet dan ledakan e commerce telah
memunculkan perusahaan dan pengusaha model baru yang memilik pengaruh politik
besar dimana pun mereka berkiprah. Mereka memberikan tekanan pada lembaga
internasional dan pemerintah untuk mengangkat rintangan yang menghambat
perwujudan potensi-potensi internet. Dulu mereka bukan faktor politik yang perlu
dipertimbangkan, dan diperhitungkannya suara mengubah hasil perdebatan mengenai
isi hukum internasional.
5. Internet mendorong terbentuknya lembaga-lembaga Hukum Internasional baru
Internet tidak hanya memperbaiki fungsi sistem hukum internasional publik
melainkan membantu memperluas sistem tersebut. Semakin diakui bahwa bentuk-
bentuk regulasi tradisional tidak cocok bagi banyak transaksi politik dan ekonomi
yang berlangsung lewat internet. Pembentukan kerangka hukum publik yang baru,
akan mendorong penyaluran aturan-aturan privat ini akan dapat mengatasi
permasalahan yang dihadapi, dan tekanan untuk mengembangkan kerangka ini
bertambah besar.

E. World Trade Organization (WTO) dan Hukum Internasional


Setiap negara berhak menentukan dirinya untuk terikat pada suatu perjanjian
internasional, karena dalam menjalankan hubungan internasional sebuah perjanjian
hanya diuntungkan oleh mereka yang setuju terhadap kebijakan yang dibuat bersama.
World Trade Organization (WTO) merupakan suatu bentuk hukum internasional yang
memiliki daya paksa sangat kuat yang antara lain ditunjukkan oleh jauh lebih efektifnya
mekanisme penyelesaian perselisihan di antara sesama negara anggotanya dibandingkan
yang pernah dimiliki GATT 1947.4 WTO berdiri pada tanggal 1 Januari 1995
Sebagai pengganti General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947 dalam
kurun waktu sepeuluh tahun WTO telah memperlihatkan efektivitas dan effisiensi lebih
besar dibandingkan dengan GATT 1947 selama hampir setengah abad keberadaannya.
GATT didirikan atas dasar kesepakatan professional selepas Perang Dunia kedua
bersamaan dengan pembentukan Lembaga – Lembaga multiteral lain yang ditujukan
guna menata kerja sama ekonomi internasional.
Adapun luas lingkup WTO Agreement yang disepakati di Marakes tahun 1994 itu
adalah sebagai berikut:
1. Agreement Estabilishing the WTO
2. General Agreement on Tariffs and Trade 1994
3. Agreement on Agriculture
4. Agreement on the Application of Sanitary and Phytosamitary Measures
5. Agreement on Textile and Clothing
6. Agreement on Technical Barriers to Trade
7. Agreement on Trade-Related Investment Measures
8. Agreement on the Implementation of Article VI of the GATT 1994

4
HATA, Perdagangan Internasional dalam Sistem, GATT dan WTO; Aspek – aspek Hukum dan Non
Hukum, Rafika Aditama, Bandung, 2006
9. Agreement on the Implementation of Article VII of the GATT 1994
10. Dll

Kecuali berbagai persetujuan yang termasuk ke dalam kelompok Multilateral


Trade Agreements (MTA) terdapat sekelompok persetujuan yang termasuk ke dalam
Plurilateral Agreements. Apabila perjanjian – perjanjian MTA mengikat semua anggota
WTO, maka PTA hanya mengikat negara yang menyatakan mengikatkan diri, artinya
tidak semua anggota WTO terikat PTA.

Perjanjian pembentukan WTO merupakan perjanjian terpenting yang dihasilkan


Putaran Urugay. Dengan terbentuknya WTO, maka mulai 1 Januari 1955 persoalan
tentang GATT sebuah organisasi internasional atau bukan sudah terjawab. GATT 1947
kini diintegrasikan ke dalam salah satu perjanjian yang merupakan annex dari WTO
Agreement. Untuk mencapai tujuan – tujuan ini didirkan suatu pengaturan yang saling
menguntungkan dan diarahkan pada pengurangan tariff secara substansial dan juga
hambatan – hambatan non tarif terhadap perdagangan, dan untuk menghilangkan
diskriminatif dalam perdagangan internasional.5

Diantara fungsi WTO terpenting adalah melancarkan pelaksanaan,


pegadiminstrasian serta meningkatkan tujuan dari perjanjian pembentukan WTO sendiri
serta serta perjanjian – perjanjian lain yang terikat dengannya. Di samping itu WTO
merupakan forum negosisasi bagi para anggotanya di bidang – bidang yang mengangkut
perdagangan multiteral, forum penyelesaian sengketa dan melaksanakan peninjauan
kembali atas kebijakan perdagangan.

F. Hukum Pidana Internasional


Menurut Mitchell et al (2009:338) Hukum Pidana Internasional adalah suatu
usaha internasional guna melindungi public order internasional tertentu atau nilai-nilai
Utama internasional melalui penerapan sanksi pidana baik Di Pengadilan Internasional
Mau Pun Pengadilan nasional. Sementara itu penulis lain, Leen Grover, menyebutkan
bahwa hukum pidana internasional merupaka Hybrid branch of law karena merupakan
perpaduan dari tiga cabang ilmu hukum yakni Hukum HAM internasional, hukum
humaniter internasional dan hukum pidana nasional.
5
HATA, Hukum Internasional : Sejarah dan Perkembangan Hingga …… hlm 165
a. Subyek Hukum

Sudah sejak lama Komisi Hukum Internasional mempelajari kemungkinan


Negara dapat memikul tanggungjawab pidana untuk pelanggaran tertentu dan hukum
internasional. Konsekuensinya tentu akan berbeda dengan memidanakan individu
(tidak mungkin memenjara kan Negara), dapat melibatkan pengaturan ganti rugi dan
penerapan prinsip erga omnes yang lebih luas (jus standi dan semua Negara untuk
melakukan penuntutan atas kejahatan yang dilakukan, mungkin pula tindakan balasan
dari Negara- negara tersebut). 6

Ide dasarnya adalah bahwa ada kejahatan-kejahatan yang lebih berat dan
serius sehingga diperlukan stigmatisasi lebih berat oleh masyarakat internasional.
Namun dengan berlalunya waktu gagasan ini kian tidak popular, teristimewa tatkala
pertangung jawaban individu kembali mengemukakan sekali demikian ungnya masih
tetap terdengar, misalnya sebagimana dikemukakan sejumlah hakim Inter American
Court of human Rights tatkala menghadapi kasus HAM berat yang dilakukan di
sejumlah negara di kawasan tersebut. Demikian pula tatkala ICJ mengadili sengketa
antara Bosnia dan Herzegovina melawan Serbia dan Montenegro (Genocide Case).

b. Sumber Hukum

Karena hukum pidana internasional merupakan bagian dari hukum


internasional umum, maka secara teoritis sumber hukumnya sama yakni Pasal 38 ayat
1 Statuta Mahkamah Internasional, namun pada kenyataannya menjadi agak berbeda
karena sumber hukum internasional didasari pemikiran tentang negara sementara
Yang menjadi kepentingan hukum pidana internasional adalah persoalan
pertanggung jaawaban individu. Hal ini tampak dari putusan-putusan pengadilan
internasional dan dari Statuta Roma yang menyediakan sumber-sumber hukum
tersendiri bagi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).

Umumnya pengadilan-pengadilan internasional pada statutanya sebagai


sumber hukum substantif. Diluar itu perjanjian-perjanjian internasional adalah sangat
penting karena mayoritas kejahatan-kejahatan inter nasional biasanya didefinisikan

6
Ibid, hlm. 205
dalam perjanjian internasional. Perjanjian-perjanjian internasional seringkali
mendefinisikan perbuatan pidana dan sekaligus menentukan mekanisme
penuntutannya (misalnya kewajiban untuk menuntut atau mengekstradisi tersangka).

Mungkin perjanjian internasional substantive paling komprehensif dewasa ini


adalah Statuta Roma yang mengkodifikasikan seluruh core crimes. Dua keuntungan
perjanjian internasional bagi Negara adalah memaksimal kan prediktabilitas dan
meminimalkan risiko pelanggaran prinsip nullum crimen bagi individu. Fakta bahwa
perjanjian internasional memerlukan ratifikasi juga mengandung bahwa perjanjian
internasional memiliki tingkat legitimasi yang tinggi dan dapat menjadi jalan bagi
hukum pidana internasional untuk diinkorporasikan ke dalam hukum nasional.

G. Mahkamah Pidana Internasional


Pengadilan pidana inernasional atau dalam bahasa Inggris di sebut internasional
criminal court (ICC) merupakan lembaga hukum independen dan permanen yang
dibentuk oleh masyarakat negara-negara internasional untuk menjatuhkan hukuman
kepada setiap bentuk kejahatan menurut hukum internasional diantaranya genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang dan kejahatan agresi.
1. Sejarah Pembentukan ICC
Pada tahun 1948, perserikatan bangsa-bangsa (PBB) telah menyadari perlunya
untuk mendirikan suatu pengadilan internasional. Untuk menuntut kejahatan-
kejahatan seperti permusnahan secara teratur terhadap suatu kelompok (genocide atau
genosida). Dalam resolusi 260 pada tanggal 9 december 1948, majlis umum PBB
menyatakan sebagai berikut : “recognizing that at all periods of history genocide has
inflictad great losses on humanity, and being convinced that, in order to librate
mankind from such an odius scourge, internasional cooperasion is requid”.
Setelah itu, suatu komite persiapan telah memulai kerjanya. Yang di mulai
pada awal 1999. Untuk mempersiapkan usulan-usulan yang berkaitan dengan
persiapan-persiapan praktis yang berkaitan dengan akan di mulai berlakunya statuta
ketika telah 60 negara meratifikasinya dan untuk pendirian mahkamah tersebut. Suatu
komisi mulai membahas materi-materi yang berkaitan dengan unsur-unsur kejahatan,
aturan-aturan kejahatan, aturan prosedur dan pembuktian.
Sekitar 50 tahun setelah keluarnya resolusi tersebut Pada bulan Juli 1998 di
Roma Italia konferensi diplomatis mengesahkan Statuta Roma tentang ICC (Statuta
Roma) dengan suara sebanyak 120 setuju dan hanya 7 yang tidak setuju (21abstein).
Statuta Roma menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejahatan, cara kerja
pengadilan dan negara-negara mana saja yang dapat bekerja sama dengan ICC.
Ratifikasi ke-60 yang diperlukan untuk membentuk ICC telah dilakukan pada tanggal
11 April 2002 dan Statuta mulai dilaksanakan yuidiksinya pada tanggal 1Juli 2002.
Pada bulan Pebruari 2003, 18 hakim ICC pertama kali diangkat dan Jaksa Penuntut
pertama dipilih pada bulan April 2003.
2. Pengadilan Pidana Internasional

Mahkamah pidana internasional dalam Statuta Roma Mahkamah pidana


internasional merupakan lembaga parlemen yang memiliki kekuatan untuk
memberlakukan yuridikasinya terhadap pelaku tindak pidana internasional yang
paling serius sebagaimana diatur dalam statuta roma.

Tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, adalah termasuk:

- Meningkatkan keadilan distributif;


- Memfasilitasi aksi dari korban;
- Pencatatan sejarah;
- Pemaksaan pentaatan nilai-nilai internasional;
- memperkuat resistensi individual;
- pendidikan untuk generasi sekarang dan di masa yang akan datang;
- mencegah penindasan berkelanjutan atas HAM.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Mahkamah Pidana Internasional harus


melaksanakan tugasnya dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip predictability,
consistency, dan keterbukaan serta kejujuran.

H. Hukum Internasional dalam Sistem Internasional Unipolar


Tatkala perang dingin berakhir, tidak ada lagi hukum internasional versi negara-
negara barat dan hukum internasionalnya versi negara-negara komunis-sosialis. Perang
dingin yang dianggap sebagai batu sandungan bagi hukum internasional
1. Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa Bangsa

AS merupakan Negara yang bertanggungjawab atas berdirinya PBB,


memberinya kekuatan pada masa-masa awal Perang Dingin dan membangkitkannya
kembali selepas Perang Dingin. Namun dalam perkembangannya sikap AS terhadap
PBB menjadi ambivalen terutama setelah WTC pada 11 September 2001.

Pada era Perang Dingin Majelis Umum PBB, dengan mayoritas dua pertiga
Negara di dunia, seringkali dijadikan kekuatan pendukung oleh Uni Soviet untuk
berbagai persoalan. Apa yang tidak dapat diraih Soviet di Dewan Keamanan karena
veto AS, Negara ini berharap dapat tersalurkan dalam resolusi Majelis umum. Setelah
berakhirnya Perang Dingin keadaan ini berubah. Uni Soviet tidak lagi memanfaatkan
lembaga ini untuk mencapai maksud maksud tertentu. Majelis Umum telah menjadi
organ yang pasif, tidak lagi memiliki keinginan atau kecenderungan untuk menentang
visi AS mengenai tata dunia baru. AS kini dapat menggunakan PBB sebagai
instrument penting yang dapat digunakan untuk memberikan dampak terhadap
kebijakan-kebjakannya, seringkali sejalan dengan tujuan dan prinsip-prinsip PBB,
dan memberinya legitimasi international, terkadang tidak, bahkan bertentangan
dengannya. Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti Cina dan Rusia
tidak lagi memiliki keinginan atau keberanian dalam menghadapi AS dengan Hak
vetonya. Kasus terbaru yang tampak jelas adalah invasi Pasukan koalisi dukungan AS
ke Libia pada tahun 2011 Atas nama resolusi DK PBB. Sekali pun Rusia dan Cina
Tidak menyetujuinya kedua Negara ini hanya bersuara diLuar forum DK BB, tidak
dengan menggunakan hak veto di forum tersebut.

Bukti lain bahwa AS telah memanfaatkan PBB dan instrumen-instrumen


hukumnya untuk mengejar untuk kepentingan nasionalnya adalah dengan
menafsirkan self defense dalam Piagam PBB sebagai preemptive self defense.
Sebagaimana diketahui menurut Piagam PBB pengecualian atas atas larangan
penggunaan kekuatan senjata adalah untuk bela diri (self defense). Pre emptive self
defense bukanlah penggunaan kekuatan senjata untuk menangkal serangan musuh
melainkan suatu tindakan militer terhadap pihak yang berpotensi mejadi lawan
mendahului serangan yang diperkirakan akan terjadi itu sendiri.
2. Amerika Serikat dan International Criminal Court 57
Sejak proses pengadilan pidana internasional diaktifkan pada tahun 1945,
tidak ada pendukung yang lebih giat dibandingkan dengan AS, Selain memainkan
peranan sentral dalam pengadilan- pengadilan utama pasca perang II di Nuremberg
dan Tokyo, pengadilan pengailan militer AS juga membuat yurisprudensi-
yurisprudensi yang banyak fiikuti hingga sekarang. Belum lama berselang, adalah As
pula yang telah mengambil inisiatif untuk membentuk pengadilan-pengadilan ad hoc.
Di bekas wilayah Yugoslavia, Rwanda dan Sierra Leona, Dan dengan dukungan
finansial negeri ini pula proyek tersebut dapat direalisasikan. As pun memainkan
peranan aktif dalam proses perundingan yang melahirkan Mahkamah Pidana
Internasional. Dan memberikan kontribusi yang sangat produktif untuk produk
akhirnya.
Jelas bahwa gagasan harus adanya akuntabilitas atau pelanggaran serius
terhadap hukum humaniter internasional merupakan bagian dari kebijakan luar negeri
AS. Negeri ini satu-satunya yang memiliki perwakilan yang memiliki dedikasi dalam
memerangi kejahatan perang dan sangat aktif dalam mengemukakan inisiatif
Transnational justice dan akuntabilitas bagi pelanggaran hukum pidana internasional.
Utusan AS sangat aktif pada saat perancangan Statuta Roma,ketika terdapat
usulan dari sejumlah negara agar supaya Statuta mencantumkan hukuman mati,
adalah utusan AS menerobos kebuntuan dengan memfokuskan pada asas
complementarity.
3. Amerika Serikat dan HAM
Bidang HAM menimbulkan persoalan besar bagi hukum Pasca serangan 11
September 2001 kebijakan AS di HAM internasional. Kebijakan AS akhir-akhir ini
menunjukkan pergeseran pemikiran dari konsep HAM yang universal kearah konsep
hak asasi warganegara (citizens rights). Dengan menerapkan standar berbeda kepada
warga negara dan non warganegara, tampaknya AS membenarkan pemikiran bahwa
terdapat hak-hak fundamental tertentu yang terkait dengan status seseorang sebagai
warga Negara, bukan statusnya sebagai manusia.
4. Amerika Serikat dan Perjanjian Multilateral
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selepas Perang Dunia II AS
merupakan driving force dibalik perkembangan hukum internasional dan institusi-
institusi internasional, yang mungkin disebabkan oleh keinginan untuk menstabilkan
tatanan dunia yang tengah mengalami kemerosotan , juga oleh mulai munculnya
sistem dua kutub dalam pencaturan internasional. Sebagai satu Satunya negara
adidaya dewasa ini, sikap AS menjadi tidak teguh. Selama tahun 1990-an AS sangat
mendorong Keberhasiln proyek-proyek besar hukum internasional Seperti
pembentukan World Trade Organisation, International Criminal Court, perluasan
perjanjian Non Proliferation Treaty.
Namun sikapnya terhadap lembaga-lembaga internasional Pada umumnya
skeptis, kalah dibandingkan dengan Banyak negara dalam meratifikasi perjanjian
multilateral. Salah satu pengecualian adalah di bidang perdagangan dan investasi. AS
memegang peranan kuci dalam mereformasi GATT menjadi WTO, demikian juga
pembentukan NAFTA dan sejumlah perjanjian perdagangan bebas bilateral. AS juga
sangat aktif dalam merundingkan perjanjian investasi bilateral, dan telah berusaha
sekali pun tidak berhadil untuk mewujudkan Multilateral Agreement on Investment
dalam kerangka OECD.
Dari uraian tersebut di atas dapat tarik kesimpulan tentang perkembangan
hukum internasional dalam sistem internasional unipolar yang didominasi AS sebagai
berikut:
1. Hukum internasional telah berkembang mengikuti perkembangan serta kebutuhan
masyarakat internasional kontemporer dengan AS tetap menjadi driving force di
balik proyek-proyek besar hukum internasional.
2. AS mendorong perkembangan dan penerapan hukum internasional dan berusaha.
Memfungsikan secara efektif lembaga-lembaga hukum internasional dimana
negara ini memiliki kontrol terhadapnya seperti di Dewan Keamanan PBB dengan
hak veto-nya.
3. AS menghendaki suatu sistem hukum internasional yang kuat dan mengikat
negara-negara lain sementara AS tetap berada di luar sistem manakala
bertentangan dengan kepentingan nasionalnya.
4. AS menempatkan hukum internasional di bawah hukum nasionalnya apabila
terjadi pertentangan antara keduanya
5. Dalam perkembangannya AS sebagai negara berangsur-angsur tidak lagi menjadi
subjek hukum internasional melainkan berada di atasnya. Suatu bukti bahwa AS
ingin membuktikan dan meneguhkan posisinya sebagai satu-satunya negara
adidaya di dunia.

Anda mungkin juga menyukai