KELOMPOK IV
1
Hetherington, Marc J., and Bruce A. Larson. Parties, Politics, and Public Policy in America (11th edition,
2009). Hal 301.
2. Lingkungan Pengaruh dan Pembentukan Blok Ketidakmampuan sebuah negara
adidaya memelihara ”lingkungan pengaruh” diinterpretasikan sebagai akibat dari
program global negara adidaya yang lain. Misalnya ketika Uni Soviet memasuki
Eropa Timur, para pemimpin AS menilainya sebagai bagian dari usaha Uni Soviet
menaklukan dunia. Begitu pula ketika AS membentuk Pakta ANZUS pada tahun
1951, para pemimpin Uni Soviet menilainya sebagai bagian dari usaha AS untuk
mendominasi dunia. Perebutan lingkungan pengaruh diantara dua negara adidaya
ini melahirkan sebuah pola yang bipolar. AS dan sekutunya merupakan satu polar,
sedangkan di polar (kutub) yang lain muncul Uni Soviet dengan sekutunya.
Pada masa Perang Dingin, pemerintah mencoba mencari orang yang diduga sebagai
Komunis. Orang yang diduga komunis akan kehilangan pekerjaan, masuk penjara, atau
bakan terbunuh. Banyak aktor dan pengarang yang masuk ke daftar hitam. Peristiwa ini
disebut sebagai "Red Scare". Perlombaan senjata juga berlangsung antara Amerika Serikat
dengan Soviet. Amerika Serikat banyak menghabiskan dana untuk proyek-proyek
pertahanan. Selain perlombaan senjata, perlombaan luar angkasa juga berlangsung.
Perlombaan ini dimulai ketika Soviet meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Dalam
beberapa tahun, baik AS maupun Soviet telah meluncurkan satelit, dan juga mengirimkan
hewan dan manusia ke luar angkasa. Pada tahun 1969, Apollo 11 berhasil
mendaratkan Neil Armstrong dan Buzz Aldrin di Bulan.
2
Marfleet, B. Gregory. "The Operational Code of John F. Kennedy During the Cuban Missile Crisis: A
Comparison of Public and Private Rhetoric". Hal 545
negara kapitalis memiliki pandangan berbeda tentang norma-norma hukum internasional,
mereka dapat bersepakat tentang norma-norma tertentu yang membentuk sekumpulan
norma hukum internasional.
Perbedaan ideologis, perbedaan cara pandang tentang bagaimana menata
masyarakat, negara dan hubungan-hubungan internasional ini kemudian mencapai suatu
taraf yang kritis ketika dua negara adidaya Uni Soviet dan Amerika Serikat terlibat ke
dalam apa yang disebut dengan perang dingin. Perang dingin merupakan suatu peristiwa
besar yang tidak dicirikan dengan permusnahan umat manusia secara besar-besaran tetapi
berkaitan dengan kehidupan yang terpengaruh dari harta benda yang dikorbankan,
jangkauan geografis, dan dampak lingkungan dalam sejarah umat manusia.3
Perang dingin ditandai dengan suatu kekhawatiran yang tinggi akan timbulnya
kekerasan serta mobilisasi dan perencanaan yang rinci serta terus-menerus untuk
menyiapkan perang oleh kedua kubu, yang aliansi dan hubungan hegemoniknya
menjangkau ke berbagai penjuru dunia. Di mana setiap bagian dianggap memiliki nilai
strategis dapat dikatakan bahwa perang dingin telah melibatkan lebih banyak umat
manusia dibandingkan dengan konflik-konflik besar sebelumnya. Pada saat tengah
memuncaknya seakan terdapat dua dunia di planet ini dan antara keduanya hubungan
perdagangan serta hubungan yang lain secara drastis dikurangi. Dalam banyak hal
terdapat dua sistem hukum internasional dan dua sistem tatanan dunia. Akhirnya perang
dingin telah menjadi bagian dari lingkungan seakan tidak akan pernah berakhir.
Selama berlangsungnya perang dingin, Uni Soviet sering dituduh “mengekspor”
revolusi dengan cara melanggar hukum internasional, termasuk prinsip-prinsip non
intervensi dalam urusan dalam negeri negara-negara lain. Namun para ahli hukum Uni
Soviet biasanya mencari justifikasi dalam doktrin-doktrin yang dikemukakan para
pemimpin politiknya. Sementara itu dunia ketiga telah dijadikan ajang konfrontasi
Timur-Barat sehingga sangat merugikan proses pembangunan politik dan ekonomi di
negara-negara tersebut dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Iklim politik
selama perang dingin membangkitkan kesan bahwa hukum internasional masih jauh dari
tahapan optimal atau bahkan minimal. Posisi kedua pihak yang berkonfrontasi tidak saja
berbeda akan tetapi tidak mungkin dirujukan. Akibatnya banyak norma hukum
3
HATA, Hukum Internasional : Sejarah dan Perkembangan Hingga Pasca Perang Dingin, Malang :
Setara Press, hlm 32
internasional mendapatkan interprestasi yang berlebihan dan dapat dieksploitasi sesuai
kehendak masing-masing pihak.
Kedua belah pihak juga cenderung untuk menggunakan kata yang sama untuk
pengertian yang berbeda misalnya jika kata demokrasi dan hak menentukan nasib sendiri
muncul dalam dokumen internasional penggunaannya sangat membingungkan dari segi
hukum.
C. Hukum Internasional Pasca Perang Dunia II
Berakhirnya perang dingin ditandai dengan runtuhnya negara adidaya Uni Soviet
pada akhir tahun 1991. Sepanjang menyangkut hukum internasional, perubahan sikap
Soviet mulai tampak dengan naiknya Mikhail Gorbachev ke panggung kekuasaan negeri
itu. Program restrukturisasi (perestroika) yang dicanangkan antara lain mencakup
hubungan internasional dan hukum internasional. Ia mengembangkan lebih jauh konsep
peaceful coexistence dengan menyatakan bahwa hidup berdampingan secara damai
merupakan syarat bagi kelangsungan hidup umat manusia. Ia menekankan bahwa saling
ketergantungan diantara negara-negara semakin besar dan intensif di berbagai bidang.
Kerjasama ini juga diharuskan akibat permasalahan bersama seperti kelangkaan bahan
baku, bahaya ekologis, permasalahan sosial di negara-negara berkembang, dan yang lebih
penting lagi ancaman senjata nuklir yang telah menempatkan kelangsungan hidup
manusia dalam keraguan. Pada Kongres Partai Komunis Uni Soviet tahun 1966 telah
dibuang ciri-ciri peaceful coexistence sebagai suatu bentuk khusus perjuangan kelas.
Sikap Soviet terhadap bentuk ketertiban dunia sebagaimana diharapkan Gorbachev
diikuti langkah-langkah positif di arena internasional. Dalam suatu memorandum tentang
perkembangan hukum internasional yang diajukan kepada sekretaris jenderal PBB
dinyatakan bahwa hukum internasional harus diangkat ke tingkat yang lebih tinggi. Ia
harus menjadi hukum untuk keamanan menyeluruh serta tanggung jawab negara terhadap
umat manusia. Berlawanan dengan para penguasa komunis yang pendahulunya tidak
menyukai proses peradilan internasional, Gorbachev bahkan mendorong agar forum
Mahkamah Internasional lebih sering dimanfaatkan. Ia menyatakan agar negara-negara
mengakui yurisdiksi yang mengikat lembaga peradilan tersebut. Majelis umum dan
dewan keamanan PBB harus mempeloporinya dengan lebih sering meminta pendapat
hukum (advisory opinion) Mahkamah Internasional. Disarankan agar dibentuk suatu
Mahkamah untuk menyelidiki terorisme (John Quigley).
Sebagaimana telah diakui bersama kebijakan-kebijakan yang ditempuh
Gorbachev akhirnya membawa keruntuhan negara adidaya Uni Soviet dan paham
komunis di negara tersebut. Glasnot dan Perestroika yang dicanangkannya telah
menggelinding terlalu cepat sehingga menimbulkan disintegrasi di negara adidaya
tersebut, dan lebih tragis lagi sang arsitek sendiri harus tersingkir dari panggung
kekuasaan. Namun merupakan kenyataan bahwa runtuhnya Uni Soviet merupakan
keruntuhan salah satu sistem totaliter terbesar yang pernah dipraktekkan suatu pemerintah
negara pada abad ini.
Dalam suatu perdebatan politik dan hukum di saat terakhir berdirinya Uni Soviet
dan kemudian di negara Rusia serta negara-negara bekas Uni Soviet, perhatian ditujukan
pada pembentukan struktur konstitusional dan mekanisme pengamanan untuk
memastikan bahwa baik warga negara maupun lembaga-lembaga legislative tidak akan
lagi dibutakan terhadap fakta-fakta yang diperlukan untuk merumuskan suatu politik luar
negeri yang sehat dan taat hukum. Peranan lembaga perwakilan rakyat dalam
memberikan persetujuan terhadap perjanjian internasional dan dalam membuat serta
meninjau keputusan-keputusan yang berpengaruh atas perdamaian dan keamanan
internasional misalnya, dapat diperkuat. Penting bagi para ahli hukum internasional untuk
terus berkiprah memnegakkan dan mempertahankan struktur yang dapat bertahan lama
untuk mendukung pandangan demokratos berdasarkan hukum dalam merumuskan dan
mengimplementasikan politik luar negeri. (Lori Fisler Damrosch et.al, 1995:15).
Bahkan dalam suatu masyarakat yang relative terbuka seperti Amerika Serikat,
dengan tradisi yang panjang dalam hal kesadaran masyarakat akan kebijakan pemerintah
serta perdebatan yang hangat seputar masalah tersebut, menurut sementara pengamat
(Lori Fisler Damrosch et.al, 1995:15) masih banyak yang harus dilakukan untuk
memperkuat kontrol demokrasi atas kebijakan luar negerinya, terutama pada bidang-
bidang dimana kerahasiaan masih dijaga ketat. Kebijakan di bidang intelejen seringkali
dilakukan tanpa mengindahkankan hukum internasional. Sejak pertengahan tahun 1970-
an kongres AS mulai mengeluarkan sejumlah peraturan dan prosedur untuk memastikan
bahwa kongres AS menerima informasi tentang kegiatan dinas-dinas intelejen, agar bisa
mengawasi mereka dan jika perlu menguranginya. Sekalipun belum banyak yang
dilakukan, namun para pemimpin negara adidaya tersebut akhir-akhir ini mulai
memperhatikan dampak negative dari kegiatan tersebut terhadap politik luar negeri.
Dalam segi penegakkannya, hukum internasional masih sangat lemah jika
dibandingkan dengan hukum nasional karena kurang atau tidak adanya mekanisme
domestik untuk memberlakukan hukum internasional sebagaimana yang dimiliki hukum
nasional, bahkan di negara seperti AS. Di negara ini hukum internasional telah
dinyatakan secara konstitusional sebagai supreme law of land (US Contitution), article
VI, Clause 2, dan pengadilan-pengadilan federal diberikan yurisdiksi atas perkara-perkara
yang timbul dari perjanjian internasional (US Constitution, article III, Section 2). Di
samping itu sejak lama pengadilan-pengadilan AS telah memberlakukan hukum
kebiasaan internasional sebagaimana dibuktikan dalam pendapat Mahkamah Agung AS
dalam perkara Paquete Habana (1900) sebagai berikut:
“International law is a part of our law, and must be ascertained and
administered by the court of justice of appropriate jurisdiction, as often as questions of
right depending upon it are duly presented for their determination. For this purpose,
where there is no treaty, and no controlling executive or legislative act or judicial
decision, resort must be had to the customs and usages of civilized nations”.
Petunjuk-petunjuk umum ini tidak dapat diartikan bahwa hukum internasional
selalu diberlakukan pengadilan-pengadilan AS. Pengadilan telah mengembangkan
perbedaan antara apa yang disebut self-executing treaties dan non self executing treaties.
Yang disebut pertama adalah perjanjian internasional yang diterapkan langsung oleh
pengadilan, tetapi yang lainnya harus menunggu peraturan implementasi dari badan
legislative atau eksekutif, juga pengadilan-pengadilan AS tidak akan menerapkan kaidah
hukum internasional, baik yang bersumber pada perjanjian maupun kebiasaan, yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih baru. Satu hal positif
yang dilakukan para ahli hukum internasional AS adalah tanggung jawab sosial dan
moral yang diwujudkan dalam pemberian masukan-masukan kepada para pemimpin
bangsanya dalam rangka penegakkan hukum internasional. Misalnya yang dilakukan
ketua Perhimpunan Hukum Internasional Amerika (American Society of International
Law), Louis Henkin (1993) dengan mengirim surat terbuka kepada presiden terpilih
Clinton pada tanggal 17 Desember 1992 sebagai berikut:
“I believe that the changed world order provides a fresh opportunity for the
United States to help realize its goal of half a century ago. To that end I call upon you :
1) to seize the earliest opportunity to declare that international peace and security and
the rule of law will be the pillars of US foreign policy”.
Dalam pertemuan 150 pakar pada hari yang sama yang membahas dan
mempertimbangkan International Law Issues Facing the Clinton Administration telah
dikirimkan laporan kepada presiden terpilih serta para pejabat tim transisinya yang
berbunyi antara lain:
“The new administration should make successful conclusion of the current round
of GATT negotiation and the perfecting of NAFTA matters of highest priority. The new
administration should persue prompt action and several major multilateral treaties. This
includes four human rights treties ripe for US ratification, some of which have been
pending before the senate since their submission by Presiden Carter : the UN
Convention on Racial Discrimination, Discriminatio Againts Women, Rights of the child,
and American Human Rights Conventation. The United States should actively
particiupate in efforts whitin the UN to render the UN convention on the law of the sea
acceptable to no-signatory states with a view to US ratification. The new administration
should develop a comprehensive US policy on war crimes, including any international
institutional implications that such a policy may entail”. (Louis Henkin, 1993).
Dalam dua tahun pertama pemerintahan Clinton banyak diantara usulan tersebut
telah direalisasikan dengan partisipasi ASIL, atau para anggotanya.
Uni Soviet memiliki praktek yang berbeda di bidang penerapan hukum
internasional. Pengadilan-pengadilan Soviet tidak pernah menerapkan hukum kebiasaan
sebagai sumber hukum, dan hanya dalam perkara-perkara yang langka seperti di bidang
transportasi international. Perjanjian international dijadikan bahan pertimbangan. Baik
dalam konstitusi maupun perundang-undangan lain tidak terdapat landasan bagi
pengadilan untuk menerapkan hukum internasional. Juga tidak terdapat pengaturan
umum untuk memecahkan konflik antara hukum internasional dan hukum nasional. Yang
ada hanya penyelesaian terpisah-pisah dalam berbagai peraturan yang menunjuk pada
perjanjian internasional. Selama pergolakan konstitusional tak lama sebelum keruntuhan
Uni Soviet sejumlah sarjana Soviet menuntut adanya pengaturan konstitusi atas aturan-
aturan nasional yang bertentangan sebagai upaya untuk memberikan primasi pada hukum
internasional atas politik. (Lori Fisler Damrosch, et.al, 1995:17).
D. Internet dan Hukum Internasional
Teknologi informasi dalam bentuk internet telah mempercepat proses hukum
internasional setidak-tidaknya dalam tiga hal: Pertama, internet memfasilitasi negosiasi
rejim hukum perjanjian internasional yang memungkinkan mekanisme hukum
internasional yang baru untuk berfungsi secara efektif dan lebih cepat. Kedua, internet
mengubah keseimbangan kepentingan yang membentuk dinamika politik yang
menentukan kandungan hukum internasional. Ketiga, sifat global internet bertentangan
dengan ide hukum perdata internasional publik untuk mengatur kegiatan e commerce dan
kegiatan politik, baik secara langsung maupun tidak, dengan menyiapkan kerangka bagi
kegiatan internasional yang bersifat privat.
1. Internet memperbaiki efektivitas sistem Hukum Internasional
Pengaruh internet sudah sangat jelas dalam memberikan kemudahan pada saat
perjanjian-perjanjian internasional dinegosiasikan, dalam hal perjanjian internasional
ini memberikan pengaruhnya pada perilaku negara, dan dalam memaksakan norma-
norma internasional secara langsung terhadap negara dan individu. Selanjutnya,
internet juga memfasilitasi hukum internasional publik dalam dua hal: Pertama, ia
mengurangi biaya transaksi dan mempercepat proses negosiasi perjanjian-perjanjian
internasional. Kedua, internet memberdayakan kelompok-kelompok yang
mengadvokasi perjanjian internasional, terutama NGO, dengan memberikan
kemudahan kepada mereka untuk menjalin ikatan-ikatan melintasi batas-batas negara
dan untuk berpartisipasi dalam karya persiapan perjanjian internasional sekali pun
mereka tidak memiliki sumber-sumber substansial.
2. Internet mendorong penerimaan Hukum Internasional Publik oleh Negara
Internet mendorong penerimaaan hukum internasional publik oleh negara
melalui pemberdayaan kelompok-kelompok kepentingan nasional yang
mengadvokasi ratifikasi perjanjian internasional yang baru. Inila salah satu aspek dari
interpenetration. Aspek yang lainnya adalah penerimaan norma-norma internasional
dalam legislasi nasional dan diputuskannya kasus-kasus nasional dan internasional
oleh pengadilan nasional.
3. Internet membantu mendeteksi pelanggaran dan memobilisasi sanksi
Internet mendorong kebutuhan pada hukum internasional publik dengan
memudahkan pendeteksian pelanggaran dan memobilisasi kepatuhannya. Semakin
banyak lembaga yang berkepentingan dengan implementasi perjanjian internasional
yang menggunakan internet. Disamping itu dukungan NGO lewat internet juga
memegang peran penting. Peranan NGO dalam mempromosikan dan mengadopsi
perjanjian internasional tidak diragukan lagi, manakala pelanggaran norma hukum
internasional terdeteksi NGO, mereka akan memusatkan perhatian, lewat laman web
dan email, dengan cara blacklist serta mengorganisasikan tekanan terhadap mereka
yang mengadakan hubungan dengan si pelanggar.
4
HATA, Perdagangan Internasional dalam Sistem, GATT dan WTO; Aspek – aspek Hukum dan Non
Hukum, Rafika Aditama, Bandung, 2006
9. Agreement on the Implementation of Article VII of the GATT 1994
10. Dll
Ide dasarnya adalah bahwa ada kejahatan-kejahatan yang lebih berat dan
serius sehingga diperlukan stigmatisasi lebih berat oleh masyarakat internasional.
Namun dengan berlalunya waktu gagasan ini kian tidak popular, teristimewa tatkala
pertangung jawaban individu kembali mengemukakan sekali demikian ungnya masih
tetap terdengar, misalnya sebagimana dikemukakan sejumlah hakim Inter American
Court of human Rights tatkala menghadapi kasus HAM berat yang dilakukan di
sejumlah negara di kawasan tersebut. Demikian pula tatkala ICJ mengadili sengketa
antara Bosnia dan Herzegovina melawan Serbia dan Montenegro (Genocide Case).
b. Sumber Hukum
6
Ibid, hlm. 205
dalam perjanjian internasional. Perjanjian-perjanjian internasional seringkali
mendefinisikan perbuatan pidana dan sekaligus menentukan mekanisme
penuntutannya (misalnya kewajiban untuk menuntut atau mengekstradisi tersangka).
Pada era Perang Dingin Majelis Umum PBB, dengan mayoritas dua pertiga
Negara di dunia, seringkali dijadikan kekuatan pendukung oleh Uni Soviet untuk
berbagai persoalan. Apa yang tidak dapat diraih Soviet di Dewan Keamanan karena
veto AS, Negara ini berharap dapat tersalurkan dalam resolusi Majelis umum. Setelah
berakhirnya Perang Dingin keadaan ini berubah. Uni Soviet tidak lagi memanfaatkan
lembaga ini untuk mencapai maksud maksud tertentu. Majelis Umum telah menjadi
organ yang pasif, tidak lagi memiliki keinginan atau kecenderungan untuk menentang
visi AS mengenai tata dunia baru. AS kini dapat menggunakan PBB sebagai
instrument penting yang dapat digunakan untuk memberikan dampak terhadap
kebijakan-kebjakannya, seringkali sejalan dengan tujuan dan prinsip-prinsip PBB,
dan memberinya legitimasi international, terkadang tidak, bahkan bertentangan
dengannya. Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti Cina dan Rusia
tidak lagi memiliki keinginan atau keberanian dalam menghadapi AS dengan Hak
vetonya. Kasus terbaru yang tampak jelas adalah invasi Pasukan koalisi dukungan AS
ke Libia pada tahun 2011 Atas nama resolusi DK PBB. Sekali pun Rusia dan Cina
Tidak menyetujuinya kedua Negara ini hanya bersuara diLuar forum DK BB, tidak
dengan menggunakan hak veto di forum tersebut.