Anda di halaman 1dari 7

Ganyang Malaysia: Konfrontasi Indonesia-Malaysia pada Masa Soekarno

Dzaky Gibran Noor Fadhilah, Widya Akbar Suharyanto, For’nfio Handryan Pradana

Pengantar
Malaysia dan Indonesia adalah dua negara tetangga yang memiliki ikatan kuat. Indonesia
dan Malaysia sering diasosiasikan dengan retorika kedekatan, budaya jual beli, dan serumpun
bangsa. Faktor kedekatan dan persamaan jumlah kedua bangsa, yang didukung oleh interaksi
kedua negara yang sangat erat kaitannya, mengakibatkan terjadinya kerjasama di segala bidang
kehidupan yang baik, ekonomi, sosial, dan pemerintahan. Akhirnya, Indonesia dan Malaysia
saling menandatangani perjanjian persahabatan. Perjanjian ini memberikan sebuah arti yang
berharga dalam sejarah diplomatik kedua negara tersebut. Malaysia memanfaatkan kesempatan
hubungan baik ini dengan membentuk federasi malaysia yang memiliki tujuan untuk
menggabungkan wilayah Sabah dan Sarawak agar menjadi bagian wilayah dari Malaysia.
Namun, alasan yg diungkapkan kepada Indonesia sangat berbeda, Malaysia mengungkapkan
bahwa federasi ini dibentuk untuk memperkuat kerjasama antar kedua negara dalam bidang
politik dan ekonomi.
Dari penjelasan diatas, essay ini bermaksud untuk membahas secara jelas tentang politik
luar negeri indonesia dalam kasus Konfrontasi Indonesia-Malaysia di tahun 1963-1966 serta
mengetahui bagaimana diplomasi Indonesia bekerja untuk menyelesaikan kasus ini. Kasus
Konfrontasi Indonesia-Malaysia ini sangat penting karena bersangkut paut dengan perjalanan
kehidupan sejarah bangsa Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan NKRI

Pembahasan
Politik luar negeri yang dikembangkan oleh Soekarno adalah menggunakan prinsip bebas
dan aktif, dalam hal ini beberapa interpretasi mengenai apa yang dimaksud sebagai politik bebas
dan aktif kian beragam diantara para cendikiawan. Bila melihat pada konteks politik yang terjadi
pada era orde lama, hubungan antar negara yang tidak stabil akibat pengaruh dua hegemoni besar
diantara dua blok yakni Barat dan Timur serta pertimbangan dari landasan idiil Indonesia yaitu
pancasila dan penerapan UUD 1945 maka, gerakan politik bebas dan aktif dapat dipahami
sebagai upaya menemukan tempat bagi indonesia di panggung Internasional dengan
menyesuaikan pada kepentingan Nasional dengan tidak memihak kepada salah-satu blok maka
menjadikan posisi indonesia menempatkan diri sebagai golongan netral dan membela negara-
negara sesama post-colonial yang berdiri melalui dekolonisasi Eropa dan negara-negara selatan
lainnya seperti keterbukaan indonesia dalam menjamu dan membuka relasi terhadap negara
seperti Yugoslavia dan Korea Utara selain tetap mempertahankan relasi dengan negara-negara
barat seperti Amerika sesuai daripada asas yang dianut oleh Indonesia.

Penentangan terhadap imperialisme juga dilakukan sebagaimana yang tertuang pada


UUD 1945, dalam hal ini dapat digarisbawahi bahwa indonesia melawan daripada Imperialisme
sebagai bentuk wujud supremasi negara-negara barat atas negara-negara Asia dan negara non-
barat. Peristiwa ganyang Malaysia terjadi pada tahun 1963 hingga 1966 pada masa-masa akhir
pemerintahan Soekarno, konfrontasi ini dipicu oleh hubungan yang memanas antara Indonesia
dan Malaysia akibat sengketa politik kumulatif dengan intervensi inggris pada eksistensi
Malaysia yang berdiri sebagai Konfederasi Malaya. Pada masa itu gejolak politik dan krisis
identitas politik mengikuti dekolonisasi Jepang dan Inggris terjadi di Asia Tenggara
menempatkan Indonesia dan Malaysia yang masih rapuh menjadi rapuh terhadap perpecahan
begitu juga dengan euforia dari nilai-nilai revolusioner yang berkembang sebagai agenda yang
diusahakan akan dapat mengantarkan daerah yang terjajah menjadi memiliki institusi politik
yang ideal dengan nilai yang sesuai pada kehendak rakyat jauh sebelum kemerdekaan Indonesia
dan Malaysia dapat diimplementasikan ketika tercapainya kondisi kemerdekaan. Sebagai negara
serumpun pengaruh kebudayaan melayu yang dapat menjadi identitas sosial intersubjektif yang
dapat menjadi cikal bakal rasa nasionalisme pun berkembang, beberapa usaha justifikasi dalam
menjadikan sejarah sebagai perangkat menumbuhkan nasionalisme pun dilakukan oleh beberapa
figur nasional seperti Muhammad Yamin seperti menggunakan relasi yang telah terjalin antara
Kepulauan Indonesia dan semenanjung Malaya dan disatukan di bawah kerajaan Sriwijaya.
Kedekatan atas relasi itu juga dengan kenyataan bahwa adanya negeri-negeri Melayu seperti
kesultanan Langkat, Serdang, Asahan dan Indragiri di Sumatera dan dalam proses menuntut
ilmu di negara lain, tidak jarang masyarakat dari Jawa, Sumatra dan lain-lain saling berbagi rasa
simpatik dan gagasan pro kemerdekaan yang sama satu-sama lainnya yang kemudian beberapa
diantara rakyat melayu di bawah kekuasaan inggris dan rakyat indonesia Belanda memiliki
gagasan reunifikasi diantara yang kelak akan menjadi Malaysia dan Indonesia. Tokoh yang
memiliki gagasan unifikasi ini diantaranya seperti Ibrahim Yaacob yang pernah bertemu dengan
Soekarno dan gagasan reunifikasi melalui perspektif historis tersebut ketika pada masa
penjajahan Jepang.

Proses unifikasi ini memiliki masalah dengan kenyataan bahwa gejolak politik di masing-
masing negara ini mengharuskan kedua negara untuk mengambil jalan yang berbeda, sesudah
Sutan Syahrir mendengar kabar menyerahnya Jepang tanpa Syarat pada sekutu kemudian
dianggap sebagai momentum untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepat
mungkin. Usul ini sebelumnya mendapatkan penolakan dari tokoh pejuang yang berasal dari
golongan tua seperti Soekarno akan tetapi penculikan yang dilakukan oleh pemuda Menteng dari
golongan pemuda terhadap Soekarno dan Hatta memaksakan proklamasi agar dipercepat, hasil
negosiasi antara golongan tua yang diwakili oleh Ahmad Soebardjo disamping Soekarno dan
Hatta. Tercapainya proklamasi yang dilakukan pada 17 Agustus 1945 menyebabkan Malaysia
tertinggal oleh Indonesia. Hal ini disusul oleh adanya gejolak politik secara eksternal dengan
adanya usaha masuknya kembali Belanda dalam agresi militer menyebabkan instabilitas politik,
di lain pihak secara internal Indonesia mengalami permasalahan koordinasi akibat banyaknya
gerakan sosial dalam menanggapi agresi militer Belanda. Sejumlah insiden pun terjadi akibat
lemahnya pemerintahan tanpa kuasa yang solid gagal dalam mencegah kekacauan internal
dengan terjadinya insiden seperti masa bersiap dan sejumlah revolusi sosial yang menelan
korban yakni pembunuhan terhadap beberapa anggota kesultanan melayu di Sumatra dengan
dalih menyingkirkan nilai-nilai feodalisme yang tersisa di tubuh republik Indonesia gerakan
diakibatkan sebagai pengaruh dari ideologi Marxisme kiri yang merupakan ideologi yang
populer di kalangan revolusioner anti barat dalam melawan hegemoni negara-negara barat.
Malaysia yang beranggapan bahwa kesultanan melayu itu adalah saudara maka melalui insiden
ini menyebabkan memburuknya persepsi pada Indonesia dengan kenyataan bahwa Malaysia
masih dipimpin melalui monarki walaupun berfungsi hanya sebagai bentuk kekuasaan secara
simbolik alih-alih memiliki otoritas yang kuat. Momentum kemerdekaan bagi Malaysia pun tiba
pada tanggal 31 Agustus 1957 melalui negosiasi yang dilakukan antara pihak inggris dan tokoh-
tokoh Malaysia yang berasal dari kalangan United Malay National Organization (UMNO)
menyepakati bahwa Malaysia akan merdeka sebagai bagian dari negara persemakmuran Inggris
dan terpilihnya Tunku Abdul Rahman sebagai perdana menteri pertama Malaysia. Hal ini
ditanggapi secara negatif oleh soekarno yang beranggapan bahwa ini adalah cara untuk
menjadikan Malaysia sebagai negara boneka hasil imperialisme Inggris.

Visi dari Tunku Abdul Rahman adalah menyatukan daerah Serawak, Sabah dan
Singapura. Indonesia yang merasa bahwa kedaulatannya dapat terancam dengan eksistensi
Malaysia bentukan Inggris lalu menyingkapi usaha unifikasi Serawak, Sabah dan Singapura lalu
mengadakan perundingan yang dihadiri oleh Filipina, Malaysia dan Indonesia menyepakati
adanya penundaan terhadap unifikasi antara Serawak dan Sabah atas Malaysia atas perihal
bahwa Filipina memiliki hak atas Sabah melalui relasi historis dari Kesultanan Sulu,
perundingan ini kemudian dikenal sebagai Manila Accord pada 31 Juli 1963. Ketiga negara
antara Malaysia, Indonesia dan Filipina menyetujui bahwasannya agenda unifikasi ini tidak akan
melipatkan negara-negara barat agar membatasi adanya intervensi pihak asing pada agenda
unifikasi. Akan tetapi, pada akhir agustus tahun 1963 menteri luar negeri inggris Duncan Sandys
bersama dengan Tunku Abdul Rahman menyepakati bahwa unifikasi akan dilaksanakan dengan
lebih cepat pada 16 September 1963. Hal ini mendapat respon kecaman dari pihak Indonesia
yang melihat hal ini sebagai pengkhianatan akibat pengumuman unifikasi yang tiba-tiba dan
dilakukan tanpa persetujuan indonesia menjadikannya sebagai indikasi bahwa malaysia benar
adalah negara boneka yang diprakarsai eksistensi nya oleh inggris dan merupakan model dari
neo-kolonialisme (Nekolim) sebagai produk dari imperialisme. Kampanye ganyang malaysia lalu
disuarakan oleh presiden Soekarno.

Gencarnya kampanye ganyang Malaysia menyebabkan adanya kerusuhan di beberapa


gedung diplomatik di Indonesia, hal ini dibalas dengan adanya demonstrasi di Kuala Lumpur
dengan diserangnya gedung KBRI oleh demonstran dari Malaysia diikuti dengan vandalisme
atas properti yang menyimbolkan nilai-nilai nasional Indonesia dengan pengrusakan dan
pembakaran atas foto-foto Soekarno. Sejak pada awal tahun 1963, Indonesia dan Malaysia telah
mengalami pertempuran atas milisi-milisi gerilya di Kalimantan. Indonesia memiliki keuntungan
dalam jumlah milisi yang dapat dikirimkan selain itu Indonesia sangat aktif dalam kampanye
bersenjata dari digelarnya Operasi Trikora di Irian Barat, Pemberantasan PKI di Madiun,
Pemberantasan DI/TII, pemberontakan RMS, Pemberontakan PRRI Permesta yang mana
pemberontakan ini banyak didukung oleh rakyat Malaysia dan Pemberontakan Andi Azis serta
pertempuran berkepanjangan melawan agresi militer Belanda menghasilkan pengalaman dalam
praktik tempur milisi Indonesia. Di lain pihak, koordinasi militer yang buruk dengan kondisi
geografis dari medan yang asing menyebabkan infiltrasi yang dilakukan oleh pihak milisi
indonesia seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan konfrontasi bersenjata.
Kegagalan yang berkepanjangan menyebabkan indonesia menggunakan taktik lain yang dinilai
dapat memberikan hasil yang lebih baik melalui sabotase dan pengeboman di beberapa titik
sembari menjaga intensitas serangan gerilya tetap pada jumlah yang minimum. Kampanye ini
bahkan secara terang-terangan mengundang ketidaksukaan oleh beberapa petinggi militer TNI
seperti Ahmad Yani dan menteri pertahanan Abdul Harris Nasution hingga Soeharto dan
memberikan ruang guna melakukan pertimbangan ulang terkait Konfrontasi Malaysia. Usaha
pemboman yang dilakukan oleh Indonesia menjadi momen paling menggemparkan dari
konfrontasi Indonesia-Malaysia, pengeboman ini dilaksanakan oleh prajurit Usman dan Harun
pada 10 Maret 1965 kemudian keduanya diberi hukuman gantung oleh pemerintah Malaysia,
peristiwa ini kemudian menuai kecaman federasi Malaysia dan memicu kepanikan secara
nasional diantara warga sipil.

Beberapa bulan setelahnya, federasi Malaysia mengeluarkan Singapura dari konfederasi


dengan memanfaatkan serangan dari indonesia agar mengurangi populasi dari masyarakat etnis
tionghoa di Malaysia yang tidak begitu disukai oleh Tunku Abdul Rahman karena dapat
dianggap sebagai kemungkinannya dalam memicu sengketa antar etnis dengan jumlah populasi
singapura yang mayoritas adalah masyarakat dari latar belakang tionghoa peranakan dari
berbagai suku seperti Hokkian, Teochiu, Hakka dan Kanton dan berikutnya akan berdiri sebagai
negara berdaulat dibawah pimpinan Lee Kuan Yew. Usaha diplomasi dari indonesia yang mulai
menghadapi krisis lain lalu mengesampingkan konfrontasi Indonesia dan Malaysia lalu memilih
berusaha meninggalkan konflik melalui usaha diplomatik non-formal, pada tanggal 30
September 1965 terjadi peristiwa G30SPKI menutup pemerintahan Soekarno dengan adanya
surat perintah sebelas maret memberikan Jenderal Soeharto untuk memperoleh kekuasaan
dengan memberikan dalih pemberantasan PKI dalam skala yang masif di penjuru pulau Jawa
hingga daerah lainnya. Konfrontasi ini berakhir dengan usaha diplomasi yang dilakukan pada
zaman orde baru dibawah pimpinan presiden Soeharto dengan memanfaatkan hubungan
diplomatik yang di mediasi oleh jepang yang memberikan bantuan sebagai mediator dengan
dibentuknya komisi empat negara dan memberikan bantuan materil berupa kredit dan investasi
lalu melonggarkan jangka waktu pembayaran utang indonesia terhadap jepang dengan
pertimbangan indonesia pasca konfrontasi militer, pada Agustus 11 1966 ditandatanganinya
perjanjian damai yang diresmikan pada 13 Agustus 1966 menyatakan secara resmi bahwa
konfrontasi Indonesia dan Malaysia diumumkan telah berakhir melalui konferensi Bangkok yang
diadakan 28 Mei 1966 dan normalisasi relasi diplomatik oleh kedua negara.

Kesimpulan
Konflik perebutan wilayah Sabah dan Sarawak melibatkan negara Indonesia dan
Malaysia. Menurut pemaran di atas, memiliki fokus pembahasan mengenai politik luar negeri
Indonesia tahun 1963-1966 yang di dalamnya terdapat ketegangan antara Indonesia-Malaysia
dan pada akhirnya Presiden Soekarno menghakimi Malaysia dengan kata “Ganyang Malaysia”.
Upaya kolonial Inggris untuk mengubah koloni mereka menjadi sebuah negara menyebabkan
persaingan antara Indonesia dan Malaysia dengan membentuk federasi Malaysia, termasuk
Sabah dan Sarawak karena wilayah pulau Kalimantan ini dikuasai oleh Indonesia. Ketika
ketegangan antara Indonesia dan Malaysia meningkat, Indonesia menerapkan kebijakan luar
negerinya dengan memulai negosiasi dengan Malaysia. Tujuh negosiasi panjang menghasilkan
tindakan yang diambil Indonesia dan Malaysia dalam hal kebijakan luar negeri dan pada
akhirnya, secara resmi bahwa konfrontasi Indonesia dan Malaysia diumumkan telah berakhir
melalui konferensi Bangkok yang diadakan 28 Mei 1966.
Daftar Pustaka

Budiawan. (2017). How do Indonesians remember Konfrontasi? Indonesia–Malaysia


relations and the popular memory of “Confrontation” after the fall of Suharto. Inter-
Asia Cultural Studies, 18(3), 364–375.
https://doi.org/10.1080/14649373.2017.1345349

Ongge, O. (2015). The Dynamics of Indonesia-Malaysia Bilateral Relations Since


Independence: Its Impact on Bilateral and Regional Stability. Asian Conference on
Asian Studies.

Sunarti, L. (2014). Politik Luar Negeri Malaysia terhadap Indonesia , 1957-1976 : Dari
Konfrontasi Menuju Kerjasama. Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 2(1),
65–80.

Suwirta, A. (2010). Dua Negara Bangsa Melihat Masa Lalunya: Konfrontasi Indonesia-
Malaysia Sebagaimana Dikisahkan dalam Buku-Buku Teks Sejarahnya di Sekolah.
Sosiohumanika: Jurnal Pendidikan Sains Sosial Dan Kemanusiaan, 3(2), 243–258.

Anda mungkin juga menyukai