Anda di halaman 1dari 3

Valerian Pratama Ang 13112210439 Business 2D

Civilization of Pluralism - Rangkuman Materi Chapter 1-3

Chapter 1
Sebelum abad ke-20, wilayah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia tidak diakui sebagai
sebuah negara dan orang Indonesia sebagai identitas nasional belum ada. Kepulauan ini dihuni
oleh berbagai negara besar dan kecil yang tergabung di bawah kekuasaan Belanda yang
semakin kuat. Identitas politik dan budaya di sini masih sangat dipengaruhi oleh sikap
kedaerahan. Ada banyak nama yang digunakan untuk merujuk pada wilayah ini, seperti "The
Eastern Seas", "The Eastern Islands", "Archipelago", "Hindia", "Hindia Timur", dan "daerah
jajahan Hindia". Pada tahun 1850, George Samuel Windsor Earl mengusulkan istilah
"Indonesia" sebagai deskripsi etnografis untuk menggambarkan "cabang ras Polinesia yang
menghuni Kepulauan Hindia". Namun, istilah ini dianggap terlalu umum dan kemudian
digantikan oleh istilah "Melayunesians". James Logan kemudian memutuskan bahwa
"Indonesia" sebenarnya lebih tepat digunakan sebagai istilah geografis daripada etnografis, dan
ia menjadi orang pertama yang menggunakannya untuk merujuk secara kasar pada wilayah
geografis Indonesia. Penggunaan Logan terhadap kata "Indonesia" tidak langsung diikuti oleh
orang lain, tetapi baru pada tahun 1877 seorang ahli antropologi Perancis bernama E.T. Hamy
mulai menggunakan kata "Indonesia" untuk merujuk pada kelompok ras prasejarah dan
"pra-Melayu" tertentu di kepulauan Indonesia. Pada tahun 1880, ahli antropologi Britania A.H.
Keane mengikuti penggunaan kata "Indonesia" oleh Hamy, dan pada waktu yang sama, istilah
"Indonesia" yang mengacu pada wilayah geografis yang lebih tepat seperti yang diprakarsai
oleh Logan mulai digunakan oleh ahli linguistik Britania N.B. Dennys. Dua tahun kemudian, Sir
William Edward Maxwell, seorang administrator kolonial dan ahli bahasa Melayu dari Britania,
juga mengikuti praktik Dennys dalam menggunakan istilah "Indonesia".

Pada masa awal penggunaan istilah "Indonesia", terjadi pembentukan negara Hindia Timur
Belanda. Proses tersebut terdiri dari dua bentuk, yaitu penyebaran kekuasaan Belanda ke
seluruh kepulauan Indonesia secara horizontal dan pembentukan Hindia Timur Belanda yang
terpadu secara ekonomi oleh pemerintahan kolonial Belanda. Proses tersebut berlangsung
dengan cepat, terutama setelah 1898 ketika "Korte Verklaring" atau "Pernyataan Singkat"
digunakan sebagai alat pengakuan "pribumi" atas kedaulatan Belanda dan ketaatan mereka
pada pemerintahan kolonial, menggantikan kontrak panjang yang melelahkan. Pada awal abad
ke-20, Hindia Timur Belanda sudah merupakan negara yang berdiri sendiri dan lebih merdeka,
bukan koloni yang tergantung pada pemerintahan Belanda. Identitas politik dan kemerdekaan
keuangan Hindia semakin kuat, termasuk dengan didirikannya konsulat Hindia Belanda di
Jeddah pada tahun 1912. Pembahasan mengenai pentingnya mendirikan dewan khusus di
Hindia pun muncul untuk membahas anggaran dan memberikan saran umum kepada
pemerintahan Hindia. Akhirnya, dibentuklah "Dewan Rakyat" atau Volksraad yang anggotanya
sebagian dipilih dan sebagian lagi ditunjuk, dengan orang Indonesia sebagai minoritas di
dalamnya.
Pendidikan yang berkualitas dan diperkenalkan oleh kaum elit Belanda pada akhir abad
kesembilan belas berperan penting dalam perubahan yang terjadi di Indonesia. Raden Ajeng
Kartini, seorang perempuan ningrat terdidik, mengungkapkan bahwa belajar bahasa Belanda
adalah kunci untuk membuka wawasan peradaban dan pengetahuan Barat. Walaupun awalnya
dikritik oleh kaum elite Indonesia, pendidikan Barat membantu membentuk kesadaran pribumi
yang baru dan mempersiapkan mereka dalam menghadapi dan menguasai modernitas.
Peningkatan identitas pribumi di Hindia dipengaruhi oleh media cetak baru seperti Bintang
Hindia, Retno Dhoemilah, dan Pewarta Prijaji yang menjadi populer dan membuka wawasan
bagi kalangan elit Indonesia. Sejumlah kecil mahasiswa Indonesia pergi ke Belanda untuk
mengejar pendidikan tinggi, sebagian besar dari kelas ningrat Jawa modernis yang ingin
melakukan perubahan sosial. Kelompok kecil sosial yang disebut Perhimpunan Hindia (IV)
didirikan pada tahun 1908 oleh sejumlah mahasiswa Indonesia di Belanda untuk
memperjuangkan kepentingan orang Hindia di Belanda dan menjaga hubungan dengan Hindia
Timur Belanda.

Chapter 2
Indonesia yang memiliki keanekaragaman dan kompleksitas yang menarik perhatian para
ilmuwan untuk mempelajari dinamika negaranya dari berbagai aspek seperti politik, sosial, dan
ekonomi. Meski keberagaman keagamaan berpotensi meningkatkan solidaritas sosial antar
kelompok, namun keberagaman ini juga berpotensi menimbulkan gesekan antar kelompok.
Sejarah perkembangan politik dan struktur pemerintahan Indonesia sejak masa Hindia-Belanda
hingga saat ini turut mempengaruhi struktur pemerintahan dan stratifikasi masyarakat dalam
konteks negara-bangsa. Ada enam periode penting dalam perkembangan politik Indonesia,
dimulai dari masa kolonial hingga reformasi. Pada masa reformasi, terjadi perubahan dalam
sistem politik dan administrasi pemerintahan yang memengaruhi hubungan antara pusat,
daerah, suku, dan agama. Kesadaran akan pentingnya Indonesia sebagai bangsa multikultural
penting ditekankan melalui sosialisasi di lingkungan sekolah dan masyarakat.

Berikut periode-periode penting bagi perkembangan politik di Indonesia:


-Periode Aturan Kolonial (sebelum 1942)
-Periode Pendudukan Jepang (1942-1945)
-Periode Revolusi (1945-1949)
-Periode Orde Lama (1950-1966)
-Periode Orde Baru (1966-1998)
-Periode Reformasi (setelah 1998)

Chapter 3
Potensi keberagaman budaya Indonesia untuk membentuk identitas negara sangat penting.
Konsep etnisitas yang kompleks memfokuskan perhatian pada perbedaan antara bangsa dan
kelompok non-bangsa. Interaksi antara kelompok etnis dan bangsa dapat menghasilkan
emansipasi atau dominasi. Diperlukan individu atau kelompok yang dapat mengartikulasikan
kepentingan etnis untuk menciptakan kelompok etnis dengan tindakan sosial yang nyata.
Bahasa, agama, dan tradisi yang sama dapat membantu mengklasifikasi perilaku anggota
kelompok etnis. Integrasi antara kelompok etnis di Indonesia dipengaruhi oleh integrasi yang
terjadi dalam masyarakat. Integrasi koersif digunakan dalam sejarah untuk menekan perbedaan
budaya, tetapi integrasi fungsional dan normatif masih rendah karena kurangnya peraturan dan
kebijakan publik. Konstelasi politik dapat mempengaruhi hubungan antar kelompok etnis, dan
integrasi koersif pada masa Orde Lama dan Baru berhasil menekan keresahan etnik. Pada
masa reformasi, keresahan muncul karena pembangunan yang tidak merata dan kebijakan
publik yang tidak mempertimbangkan keragaman budaya. Integrasi normatif identitas Indonesia
belum terinternalisasi sepenuhnya. Diperlukan kebijakan publik, kesederajatan kelompok, dan
nilai toleransi untuk mempertahankan integrasi sosial dan nasional dengan keberagaman etnis.

Anda mungkin juga menyukai