Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam di Indonesia, sejak kedatangannya sudah memainkan peranan politik
dan ideologis yang sangat penting dan menentukan bagi jalannya sejarah
Indonesia. Pentingnya arti politik Islam di Indonesia, sebagian besar berakar pada
kenyataan bahwa di dalam Islam batas antara agama dan politik sangatlah tipis.
Islam adalah sebagai Way of Life dan agama; dan meskipun di Indonesia proses
pengislaman merupakan suatu proses setahap demi setahap, namun kandungan
politik yang ada di dalamnya sudah terasa sejak awal perkembangannya.
Berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara berlangsung selama
beberapa abad, hal ini merupakan suatu proses yang terus-menerus hingga
sekarang belum selesai. Rupanya sudah sejak awal abad ke-13 berdiri suatu
kerajaan Islam di pintu gerbang Indonesia utara pulau Sumatera. Lalu menyusul
dinasti-dinasti yang memerintah pulau tersebut memeluk agama Islam, di
antaranya Aceh yang memainkan peranan penting dalam sejarah Islam di
Indonesia. Sekitar permulaan abad ke-15, Islam telah memperkuat kedudukannya
di Malaka yang merupakan pusat rute perdagangan Asia Tenggara. Dari sini Islam
melebarkan sayapnya ke wilayah-wilayah Indonesia lainnya, sehingga sampai
permulaan abad ke-17, secara geografis Islam telah menguasai sebagian besar
kepulauan Indonesia.
Kemenangan Islam ini luar biasa, sebab pembawa agama Islam ke Indonesia
bukanlah para penakluk yang menyebarkan Islam dengan kekerasan seperti di
bagian dunia lainnya, melainkan para pedagang muslim dari India yang
bersemangat damai. Mereka datang ke Indonesia karena tertarik oleh perdagangan
rempah-rempah di Indonesia yang banyak memberikan keuntungan. Dimulai
dengan membentuk koloni-koloni dagang Islam di daerah hulu sungai dan kota-
kota pesisir kepulauan Indonesia, lalu berkembang menjadi vasal-vasal Islam
yang seringkali terkenal karena kekayaan dan semangat dakwahnya yang tinggi.
Hal inilah yang kemudian mendorong para aristokrat Indonesia tertarik kepada
Islam. Bagi golongan ini, memeluk agama Islam menjadi menarik secara

1
2

ekonomis dan menguntungkan secara politis. Ini berarti bahwa menganut Islam
merupakan senjata bagi mereka untuk menghadapi musuh baik dari luar maupun
dari dalam.
Dengan demikian, gelombang pertumbuhan dan perkembangan Islam di
Indonesia, bukan saja mampu memasuki pola sosial Indonesia, namun lebih dari
itu Islam mampu memainkan peranan politik yang penting dan menentukan di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana masuknya Belanda ke Indonesia?
2. Bagaimana Analisa Snouck Hurgronje terhadap agama islam di Indonesia?
3. Bagaimana kebijakan Pemerintah Hindia Belanda?
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Masuknya Belanda ke Indonesia
Bangsa Belanda datang ke Indonesia akibat meletusnya perang delapan
puluh tahun antara Belanda dan Spanyol (1268-1648). Pada mulanya, perang
antara Belanda dengan Spanyol ini bersifat keagamaan tetapi kemudian perang
tersebut menjadi perang ekonomi dan politik karena Raja Philip II dari Spanyol
memerintahkan agar kota Lisabon (ibu kota Portugis) tertutup bagi kapal Belanda.
Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab atau faktor masuknya Bangsa
Belanda ke Indonesia. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan Bangsa Belanda
masuk ke indonseia yaitu adanya petunjuk jalan ke Indonesia dari Jan Huygeb
Van Lischoten (seorang mantan pelaut Belanda yang bekerja pada Portugis dan
pernah ke Indonesia).1
Kedatangan Bangsa Belanda ke Indonesia tujuan awalnya adalah untuk
berdagang rempah-rempah. Sebelum datang di Indonesia, Pada masa Belanda
masih berada dibawah penjajahan spanyol, para pedagang Belanda membeli
rempah-rempah di Lisabon. Dan mulai tahun 1585, Belanda tidak lagi mengambil
rempah-rempah dari Lisabon karena Portugis dikuasai oleh Spanyol. Putusnya
hubungan perdagangan antara Belanda dan Spanyol ini mendorong bangsa
Belanda untuk mengadakan penjelajahan samudra. Setelah berhasil menemukan
daerah penghasil rempah-rempah dan keuntungan yang besar yakni Indonesia,
Belanda berusaha untuk mengadakan monopoli perdagangan rempah-rempah dan
menjajah. Dan untuk melancarkan usahanya, Belanda melakukan beberapa cara
seperti pembentukan pemerintahan Kolonial Belanda dan pembentukan VOC.
VOC (Verenigde Oust Indische Companige adalah Kongsi Dagang India
Timur). J.P. Coen, Gubernur Jendral pada tahun 1619-1623 dan 1627-1629 adalah
peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia yang membangun kota Batavia

1
http://sejarahmasuknyabelandakeindonesia.blogspot.com/2018/02/sejarah-masuknya-belanda-ke-
indonesia-1.html?m=1, diakses pada tanggal 10 Oktober2018.
4

(semula bernama dengan Jayakarta dan merupakan bagian dari kerajaan Banten)
pada tahun 1619 dan menjadi pusat kegiatan VOC di Asia.2
VOC merupakan kongsi dagang yang didirikan pada tahun 1602 dengan
mendapat hak-hak kedaulatan (hak-hak kenegaraan), diantaranya :
1. Hak mengadakan perjanjian dengan negara-negara lain
2. Hak memerintah daerah-daerah di luar Nederland dan mendirikan badan-
badan pengadilan
3. Hak membentuk tentara dab mendirikan banteng
4. Hak mengeluarakan dan mengedarkan mata uang.
Masuknya Belanda ke Indonesia, menghadapi kenyataan bahwa Islam
telah menjadi kekuatan politik yang harus diperhitungkan. Meskipun masuknya
Islam tidak dengan sendirinya mempersatukan perlawanan orang Indonesia
terhadap penjajah, kebanyakan perlawanan yang dijumpai menggumpal sekitar
umat Islam.3 Seperti perang Paderi, perang Diponegoro, perang Aceh dan lain-
lainnya, walaupun tidak terlepas dari kaitan ajaran agama ini. Namun karena
kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai Islam, mula-mula Belanda tidak
berani mencampuri langsung agama ini.4 Belanda sangat khawatir akan adanya
pemberontakan Islam fanatic, namun juga sangat optimis bahwa keberhasilan
kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan.
Belanda enggan mencampuri masalah Islam, hingga pada tahun 1865
pemerintah Belanda tidak memberikan bantuan untuk pembangunan masjid,
kecuali kalau ada alasan istimewa. Namun Belanda tidak konsisten terhadap
kebijaksanaan ini sehingga mereka mencampuri masalah haji, mereka curiga
terhadap para haji, dianggap fanatik dan tukang memberontak.
B. Analisa Snouck Hurgronje Terhadap Agama Islam Di Indonesia
Dalam rangka membendung pengaruh Islam, pemerintah Belanda
mendirikan lembaga pendidikan bagi bangsa Indonesia, terutama untuk kalangan
bangsawan. Dalam pandangan Snouck Hurgronje, Indonesia harus melangkah ke
2
G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20 : Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggajati
(Yogyakarta :Kanisius, 1988) Hal. 16
3
Effendi, “Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam Di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah (Studi
pemikiran Snouck Hurgronye)”, TAPIs, Vol.8 No.1, Januari-Juni 2012, hlm. 93.
4
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 9.
5

arah dunia modern sehingga secara perlahan Indonesia menjadi bagian dari dunia
modern itu.5
Setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada tahun 1889, barulah
pemerintah Hindia Belanda mempunyai kebijaksanaan yang yang jelas mengenai
masalah Islam, di mana ia melawan ketakutan Belanda selama ini terhadap Islam.
Ditegaskannya bahwa dalam Islam tidak dikenal lapisan kependetaan semacam
Kristen. Kyai tidak apriori fanatik. Penghulu merupakan bawahan pemerintah
pribumi, dan bukan atasannya. Ulama independen bukanlah komplotan jahat,
sebab mereka hanya menginginkan ibadah. Pergi haji ke Makkah pun bukan
berarti fanatik berjiwa pemberontak.
Sebagai kolonialis, pemerintah Belanda memerlukan inlandsch politick,
yakni kebijakan mengenai pribumi, untuk memahami dan menguasai pribumi. 6
Agaknya dengan menampilkan politik Islamnya, Snouck Hurgronje berhasil
menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar
muslim itu. Dialah “arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris”,
yang telah melengkapi pengetahuan Belanda tentang Islam, terutama bidang sosial
dan politik, di samping berhasil meneliti mentalitas ketimuran dan Islam.
Sekalipun Snouck Hurgronje menegaskan bahwa pada hakekatnya orang
Islam di Indonesia itu penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap
kemampuan politik fanatime Islam. Bagi Snouck Hurgronje, musuh kolonialisme
bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik.
Walaupun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme
dan Hindu, namun ia pun tahu bahwa orang Islam di negeri ini pada waktu itu
memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dari
orang lain. Dalam kenyataannya memang Islam di Indonesia berfungsi sebagai
titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap Kristen dan asing.
Menghadapi medan seperti ini, Snouck Hurgronje membedakan Islam
dalam arti “Ibadah” dengan Islam sebagai “kekuatan sosial Politik”. Dalam hal ini
dia membagi masalah Islam atas tiga kategori, yakni: 1. Bidang agama murni atau
5
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 252-
254
6
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Op. Cit., hlm. 11.
6

ibadah; 2. Bidang sosial kemasyarakatan; dan 3. Bidang politik; di mana masing-


masing bidang menuntut alternatif pemecahan yang berbeda. Resep inilah yang
kemudian dikenal sebagai Islam Politik, atau kebijaksanaan pemerintah kolonial
dalam menangani masalah Islam di Indonesia.
Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial pada
dasarnya memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan
ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang
berlaku dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda; bahkan
membantu rakyat yang akan menempuh jalan tersebut. Tetapi dalam bidang
ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang membawa rakyat
kepada fanatisme dan Pan-Islam. Politik pemisahan semacam inilah yang oleh
Kernkamp disebut Splitsingstheorie, sebab pada hakekatnya agama Islam tidak
begitu jauh memisahkan ketiga bidang ini.
C. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
Pembahasan tentang politik Islam berikut ini akan dititik beratkan pada
masalah kebijaksanaan pemerintah kolonial yang bersikap netral terhadap agama,
kebijaksanaan tentang asosiasi kebudayaan, dan sikap keras terhadap tarekat serta
Pan Islam.
1. Netral Terhadap Agama
Hubungan Kolonial dengan agama tidak bisa dilepaskan dari hubungan
antar umat beragama, yakni antara umat Islam dan Kristen (Protestan dan
Katolik). Pribumi yang umunya beragama Islam akan mendapat perlakuan
yang berbeda dari penguasa Belanda yang umumnya beragama Kristen dengan
pribumi yang seagama dengannya. Latar belakang ini dapat menjelaskan
seringnya terjadi diskriminasi dalam kebijaksanaan yang berhubungan dengan
agama. Walaupun dinyatakan bahwa pemerintah kolonial netral terhadap
agama.

a. Islam dan Kristen


7

Cara penyebaran kedua agama tersebut sangatlah berbeda, Islam


yang dirintis oleh para pedagang Arab dan India disebarkan dengan jalan
penuh damai. Sedangkan Kristen yang diperkenalkan oleh Portugis
disebarkan dengan kekerasan yang berlandaskan jiwa pemberontakan dan
permusuhan tradisional terhadap Islam. Ketika VOC (Verenigde Oost
Indische Companie) diwajibkan untuk menyebarkan agama Kristen,
mereka meniru Portugis dan Spanyol yaitu cara paksa. Tahun 1661
pemeluk agama Islam dilarang oleh VOC untuk naik haji.
Partai-parta Belanda dikelompokkan pada partai agama dan
nonagama, dalam menghadapi persoalan politik, partai agama
menggunakan politik dan pertimbangan dasar agama dan tanggung jawab
moral sebagai pemecah masalah. Berbeda dengan kelompok nonagama
yang menentang pendirian tersebut, bagi mereka menghubungkan agama
dan dengan politik ditingkat nasional berarti menentang pendirian tersebut.
Persaingan antara pemerintah Belanda, Kristen dan Islam lebih
bersifat persaingan dua lawan satu daripada segitiga. Karena sebagian
besar pribumi beragam Islam, maka persaingan melawan Islam akan
menyangkut sebagian besar penduduk Indonesia. Faktor kunci pemecahan
kelestarian penjajahan Belanda di Indonesia adalah dengan menguasai
Islam dengan terus-menerus melakukan kristenisasi.
b. Netral Teori dan Praktek
UUD Belanda ayat 119 tahun 1855 menyatakan bahwa pemerintah
bersikap netral terhadap agama. Pengertian netral dalam hal ini harusnya
tidak memihak dan tidak campur tangan sama sekali, atau bisa juga
membantu kesemuanya secara seimbang tanpa mencampurinya.
Pernyataan netral terhadap agama sangat berbeda antara teori dan
praktek. Sampai tahun-tahun terakhir berkuasanya, kebijaksanaan
pemerintah Belanda lebih tepat dikatakan campur tangan daripada netral.
Hal ini dapat dilihat dalam Regeerings Almanak, dalam mencampuri
masalah agama atau tidak, kebijaksanaan pemerintah kolonial bergerak
antara dua titik, yaitu “netral” dan “ketertiban keamanan”. Namun
8

betapapun titik berat tetap terletak pada “ketertiban keamanan”. 7 Reaksi


pihak Islam terhadap campur tangan Belanda ini banyak dimuat di
berbagai buku dan surat kabar. Kebijakan pemerintah yang berat sebelah
dalam memberikan bantuan selalu menjadi crucial point pada masa lalu,
yang sering dipersoalkan dalam Volksraad maupun pada rapat-rapat biasa.
Pemerintah Hindia Belanda kenyataannya memang tidak bersikap
netral dalam masalah agama dan bidang apapun demi terpeliharanya
ketertiban keamanan dan demi kelestarian kekuasaannya di Indonesia.8
2. Asosiasi Kebudayaan
a. Asosiasi dan Pemanfaatan Adat
Politik asosiasi ini bertujuan untuk mempererat ikatan kolonial
dengan negeri jajahannya melalui kebudayaan, dimana lapangan
pendidikan menjadi garapan utama. Indonesia dapat menggunakan
kebudayaan Belanda tanpa mengabaikan kebudayaannya sendiri.
Snouck Hurgronje menyatakan bahwa fondasi kerajaan Belanda
diperkukuh oleh asosiasi orang Indonesia dengan kebudayaan Belanda,
dengan mengabulkan keinginan orang Indonesia memperoleh pendidikan.
Dia menyatakan bahwa Belanda berfungsi sebagai wali dan fungsi wali
nikah inilah yang mewajibkan Belanda untuk mendidik Indonesia. Tahun
1890 ia memperoleh murid pertama, Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat
anak Bupati Serang yang dengan susah payah ditempatkan di sekolah
Belanda.
Pandangan pihak kolonial terhadap hukum dan masyarakat
Indonesia, tidak menunjukkan penghargaan terhadap Islam. Hurgronje
bertujuan agar Indonesia bertrasnsisi menuju dunia modern yang tidak
bercorak Islam dan tidak dikuasai oleh adat. Ia mengupayakan kemajuan
Indonesia ala Barat yang tingkat penyesuaiannya ditentukan oleh
pemerintah Belanda.
b. Asosiasi Pendidikan

7
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 26-29.
8
Ibid, hlm. 38.
9

Ada tiga fase dalam perkembangan pendidikan di Hindia Belanda


pada abad ke-20, yaitu percaya akan arti nilai pendidikan Barat bagi
pribumi, timbul reaksi yang menghendaki agar pendidikan bagi pribumi
tidak melepaskan mereka dari kebudayaan aslinya, dan timbul fase
pengurangan pendidikan Barat yang menggunakan bahasa Belanda sebagai
pengantar.Pendidikan ini berlatar belakang faktor ekonomis (pendidikan
Barat memberi kemungkinan bagi pribumi menyaingi Eropa) dan politis
(umumnya masyarakat Eropa mendukung pendidikan Barat bagi pribumi,
bila pendidikan itu menolong kepentingan mereka).
Alasan penyelenggaraan pendidikan pengajaran, lebih ditekankan
pada kepentingan Belanda sendiri daripada kepentingan rakyat jajahannya.
Ini dapat terlihat dalam kebijaksanaannya yang menyangkut agama
mayoritas pribumi (kebijaksanaan Pendidikan dan Islam), dalam ordonasi
guru maupun dalam ordonasi sekolah liar.
3. Tarekat dan Pan Islam
Keduanya dipandang sebagai gerakan potensial yang berbahaya dan harus
dihadapi dengan penuh kewaspadaan. Karena itu kebijakan dalam hal ini
kadang-kadang sedikit dilebih-lebihkan oleh pihak Belanda.
a. Gerakan Tarekat
Sejak lama dikalangan masyarakat Belanda di Indonesia telah
terdapat rasa ketakutan terhadap tarekat, karena mereka yakin bahwa
gerakan tarekat bisa dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik
sebagai basis kekuatan untuk memberontak. Kekhawatiran semacam ini
Nampak jelas pada peristiwa Cianjur Sukabumi tahun 1885, peristiwa
Cilegon Banten 1888, dan peristiwa Garut 1919.9
b. Gerakan Pan Islam
Pemerintah kolonial Belanda selalu waspada terhadap segala
kemungkinan yang dapat membahayakan kekuasaannya. Kalau gerakan
tarekat merupakan bahaya dari dalam, maka gerakan Pan Islam merupakan
bahaya dari luar. Dalam hal ini para haji menduduki posisi sangat penting

9
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 64.
10

sebagai faktor pembawa pengaruh Pan Islam dari luar, sehingga mereka
pun sering dicurigai dan diawasi oleh pemerintah kolonial.

BAB III
11

PENUTUP
A. Kesimpulan
Meskipun di Indonesia khusunya di pulau pemberontakan besar-besaran di
bawah panji Islam telah berhenti setelah perang di Ponegoro, frekuensi
pemberontakan petani-petani di bawah pimpinan Islam setempat makin
meningkat, sehingga pemerintah Hindia Belanda dengan demikian mengharuskan
membuat arah politik baru tentang masalah-masalah Islam. Oleh karena itu,
agama Islam dipelajari secara ilmiah di negeri Belanda. Seiring dengan itu, di
sana juga diselenggarakan ideologi, ilmu untuk mengenal lebih jauh seluk-beluk
penduduk Indonesia. Semua itu dimaksudkan untuk mengukuhkan kekuasaan
Belanda di Indonesia. Berdasar latar belakang itulah, pada tahun 1889 seorang
negarawan kolonial Belanda "Snouck Hurgronje" (dalam makalah ini dituli SH)
yang mengetahui secara mendalam tentang Islam diangkat menjadi penasehat
untuk masalah-masalah arab pribumi. Pemahaman Snouck Hurgronje tentang
hakikat Islam di Indonesia sangat membantu terhadap keberhasilan Hindia
Belanda untuk mengarahkan kebijakan politiknya terhadap Islam.
Setelah kedatangan Snouch Hurgronje pada tahun 1889, barulah
pemerintah Hindia Belanda mempunyai kebijaksanaan yang yang jelas mengenai
masalah Islam, di mana ia melawan ketakutan Belanda selama ini terhadap Islam.
Ditegaskannya bahwa dalam Islam tidak dikenal lapisan kependetaan semacam
Kristen. Kyai tidak apriori fanatik. Penghulu merupakan bawahan pemerintah
pribumi, dan bukan atasannya. Ulama independen bukanlah komplotan jahat,
sebab mereka hanya menginginkan ibadah. Pergi haji ke Makkah pun bukan
berarti fanatik berjiwa pemberontak. Sebagai kolonialis, pemerintah Belanda
memerlukan pendalaman politik (politik dari dalam), yakni kebijakan mengenai
pribumi, untuk memahami dan menguasai pribumi.agaknya dengan menampilkan
politik Islamnya, Snouck Hurgronje berhasil menemukan seni memahami dan
menguasai penduduk yang sebagian besar muslim itu. Dialah “arsitek
keberhasilan politik Islam yang paling legendaris”, yang telah melengkapi
pengetahuan Belanda tentang Islam, terutama bidang sosial dan politik, di
samping berhasil meneliti mentalitas ketimuran dan Islam.
12

Setelah melalui analisa serta penilaian langsung dari kondisi masyarakat


Islam di Indonesia, pemerintah Belanda mulai melakukan langkah awalnya dalam
menguasai pemerintahan secara menyeluruh. Atas nasehat Snouck Hurgronje
pihak Belanda memiliki kebijakan politik yang jelas terhadap Islam yang dikenal
dengan "Islam Politik" yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani
Islam di Indonesia. Kebijakan tersebut meliputi berbagai aspek, antara lain:
Keagamaan, Kebudayaan, dan Pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
13

Effendi. 2012. “Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam Di Indonesia Dalam


Perspektif Sejarah (Studi pemikiran Snouck Hurgronye)”, TAPIs, Vol.8,
No.1.
Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad ke-20 : Dari Kebangkitan Nasional Sampai
Linggajati. Yogyakarta: Kanisius.
Suminto, H. Aqib. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.
Yatim, Badri. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
http://sejarahmasuknyabelndakeindonesia.blogspot.com/2018/02/sejarah-
masuknya-belanda-ke-indonesia-1html?m=1, diakses pada tanggal 10
Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai