Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH ORIENTALISME TERHADAP NILAI –NILAI ISLAM DI

INDONESIA PADA MASA KOLONIAL

Essay ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Orieantalisme

Dosen Pengampu: Susiyanto, MA

Disusun oleh:
Amin Rahmawati Purwaningrum

NIM 32501500142

PRODI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2019
Pendahuluan

Pada masa kolonial Belanda di Indonesia masyarakat diperlakukan secara


diskriminatif. Belanda sengaja mengkelompok-kelompokkan masyarakat dengan
strata sosialnya, sehingga masyarakat dengan stara rendah diperlakukan seperti
binatang. Pembagian tersebut oleh pemerintah Kolonial Belanda dibagi ke dalam
tiga lapisan masyarakat. Lapisan pertama adalah Orang Eropa (orang Belanda dan
orang Eropa lainnya). Lapisan kedua adalah Orang Timur Asing (orang Cina,
Jepang, Arab, India). Lapisan ketiga atau yang terakhir adalah Orang Inlander.
Yang dimaksud Orang Inlander adalah penduduk (orang) Indonesia asli, sebutan
ini mempunyai konotasi merendahkan orang Indonesia (Sudarno, 2015). Dalam
perkembangannya para Inlander ini lebih kita kenal dengan istilah Pribumi.
Diskriminasi pada kalangan Pribumi bukanlah hal yang sesuai dengan ajaran
Islam, Islam yang lebih dulu mengenal Hak Asasi Manusia (HAM) dibandingkan
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang baru mendeklarasikannya pada tahun 1948.
Dalam Islam kedudukan manusia adalah sama di mata Allah baik itu kaya miskin,
tua muda, dan tidak memandang asal dari suatu ras, hanya saja yang membedakan
adalah ketaqwaan dan keimanan manusia itu sendiri. Hal ini membuat pribumi
Islam melakukan perlawanan karena mulai resah dan merasakan penindasaan
yang mulai jauh dari nilai Islam.

Pengaruh kolonial Belanda ini tentu jauh dari nilai-nilai Islam yang
mengutamakan mencari ilmu dan memuliakan perempuan. Pembagian sekte
dalam memperoleh pendidikan pun harus dilihat dari strata sosial dan perempuan
pribumi tidak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Dalam
surat-suart Kartini menunjukkan betapa diskriminasinya belanda terhadap
perempuan pribumi. Dibuktikan pula dengan budaya yang berkembang pada masa
itu, apabila seorang Belanda menikahi perempuan pribumi maka perempuan
pribumi tersebut hanya dijadikan Gundik atau budak bagi mereka.

2
Konsep Islam yang diyakini para Pribumi ini membuat Belanda takut.
Pasalnya konsep ini dianggap memiliki sistem yang terintegrasi dan struktural
dibandingkan dogma agama Hindu-Budha. Di satu pihak pemerintah Kolonial
Belanda sangat takut terhadap muslim fanatik yang mempunyai hubungan dengan
dunia internasional, termasuk bahaya permintaan bantuan kepada negara Islam di
luar negeri. Hal yang paling ditakutkan Belanda adalah permintaan bala bantuan
dari negara Islam lainnya untuk melawan Pemerintah Belanda dan faham Pan
Islamisme yang berkembang pasa masa itu (Effendi, 2012). Banyak kemudian
para kolonial Belanda melakukan penyebaran orientalisme dengan memisahkan
agama dengan kehidupan masyarakt Pribumi. Hal itu tampak dari pergeserah
hukum Islam yang lambat laun tidak diakui lagi.

Meskipun kemerdekaan hari ini telah kita raih. Namun, hari ini sisa mental
masyarakat kita masih dipengaruhi oleh didikan para Orieantalis Belanda yang
ingin memisahkan Islam dan kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Indonesia
hari ini pun masih mengandalkan barat sebagai kiblat. Hal-hal yang berbau islam
pun dianggap sebagai penyebar terorisme dan radikalisme. Bahhkan meskipun
lapisan strata sosial Belanda sudah tidak ada, masyarakat Indonesia masih merasa
inferior saat bersaing dengan orang-orang barat.

Pembahasan

Sebelum kedatangan Snouck di Indonesia, kebijakan Kolonial Belanda


terhadap Islam di Indonesia tidaklah memiliki arah yang jelas. Hal ini disebabkan
miskinnya pengetahuan Kolonial Belanda tentang Islam dan Indonesia atau
bahkan tidaak tahu. Pada masa itu kebijaksanaan Kolonial Belanda terhadap Islam
di Indonesia, secara tradisional dibentuk oleh kombinasi yang kontktif antara
ketakutan dan pengharapan yang berlebih-lebihan (Effendi, 2012). Tindakan
pembatasan Belanda terhadap ruang gerak umat Islam, menurut H.J. Benda: Tidak
membawa hasil yang produktif. Meskipun pemberontakan-pemberontakan besar
di bawah panji Islam dapat dihentikan, akan tetapi frekuensi pemberontakan
petani di bawah komando pemimpin Islam setempat meningkat. Walaupun

3
missionaris-missionaris Kristen mendapat dukungan-dukungan dana dan
kemudahan-kemudahan dari pemerintah, agama Kristen hanya mampu meluaskan
dirinya secara lambat, itu pun hanyalah di kalangan orang-orang Indonesia yang
tinggal di daerah-daerah yang belum tersentuh agama Islam.

Saya akan memperkanalkan salah satu tokoh Orientalis pada masa


kolonial, yaitu Chrsitian Snouck Hurgronje. C.S. Hurgronje adalah anak seorang
Pastur Gereja Gereformeerd (Calvinist), ia lahir pada tanggal 8 Februari 1857.
Pada usia 18 tahun ia masuk Fakultas Theologi Leiden. Setelah lulus kandidat
examen, kemudian ia pindah ke Fakultas Sastra jurusan Arab. Setelah berhasil
meraih gelar Doktor dalam bidang Sastra Semit (1880) ia menjadi dosen di
Leiden, dalam Institut yang mempersiapkan pegawaipegawai Belanda untuk
Indonesia (Indologie). Jabatan tersebut dipegangnya sampai tahun 1887. Selama
itu pula ia menyelidiki Fiqih (Hukum Islam), biografi Nabi Muhammad SAW dan
Sejarah Islam (Effendi, 2012). Berdasarkan track recordnya maka kita tidak bisa
meremehkan Snouck, pemahamannya terhadap Islam begitu luas meskipun
keislamannya tidaklah murni. Pengetahuannya yang mendalam tentang Islam di
Indonesia, telah mendorong pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1889
mengangkatnya menjadi penasehat pada sebuah kantor pemerintah yang
menangani masalah-masalah Arab dan pribumi. Ia menyadari bahwa yang
ditakutkan Belanda sebenarnya bukan Islam sebagai dogma agama melainkan
Islam sebagai kendaraan politik masyarakat pribumi. Hal ini yang membuat
Snouck sangat diperhitungkan saat membuat kebijakan, perpolitikan dan hukum.

Hukum Belanda sangat membatasi Pribumi, Ada aturan-aturan yang


membatasi penduduk pribumi untuk menjadi pegawai negeri. Tidak sembarang
orang atau setiap penduduk pribumi dapat dengan mudah menjadi pegawai
pemerintah, khususnya untuk menjadi pejabat kepala daerah (Inlands Hoofden),
seperti misalnya asisten Wedana, Wedana, dan Bupati (Sudarno, 2015). Qanun
dalam bahasa arab yang berarti hukum Islam kemudian diserap menjadi kanon.
Kanonisasi di bidang hukum terwujud pada pengaruh yang dirasakan dalam
sistem pemerintahan tradisional yang terjadi pada 1903 ketika pengadilan Belanda

4
menggeser sistem pengadilan lokal. Berdasarkan kebijakan yang dituangkan
dalam Staatsblad No. 7 1903 dan Staatsblad No. 8 1903, maka pengadilan
tradisional seperti Pengadilan Balemangu, Pradata, dan Surambi yang berlaku di
wilayah Keresidenan Surakarta diganti dengan pengadilan gubernemen atau
Landraad. Dengan penerapan sistem pengadilan baru itu maka penurunan
kewibawaan raja pun semakin terasa. Sebagai contoh, menurut peraturan lama
Pengadilan Balemangu, siapa pun yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah
Surakarta termasuk dari kalangan kompeni harus diadili berdasar hukum lokal.
Akan tetapi, sejak diberlakukan peraturan Staatsblad No. 8 1903, seluruh
penduduk Surakarta yang melanggar hukum, baik orang Belanda maupun
pribumi, harus diadili di pengadilan Belanda atau Landraad (Susanto, 2016).
Pergergeseran akan hukum ini terjadi bertahap, dimula dari hukum perdana,
perdata, dan kemudian juga hukum agama yang kemudian melebur manjadi satu
menganut hukum yang ditetapkan Belanda. Monopoli hukum ini sebenarnya
diciptakan untuk memperkuat kekuasan orang-orang Belanda. Beberapa bukti
bahwa peninggalan para orientalis atas kebijakan hukum di Indonesia ialah dasar
hukum aturan peralihan UUD 1945, yang menyatakan semua peraturan yang ada
hingga saat Indonesia merdeka masih tetap berlaku selama belum diadakan yang
baru, (dan ketentuan ini kemudian dimuat kembali dalam PP 2/1945). Contoh
penting peraturan kolonial yang masih digunakan sampai saat ini adalah KUHPdt
(BW) di bidang perdata dan KUHP (WvS) di bidang pidana. Selain dari dua
peraturan, yang masuk dalam kelompok basic law, masih banyak peraturan
kolonial lain yang sedikit banyak masih berperan dalam hukum Indonesia
(Hartono, 2015).

Pada abad-19 mulailah kolonial belanda membentuk politik etis atau yang
sering kita dengar dengan politik balas budi. Pemerintah Kolonial Belanda (PKB)
datang ke Hindia Belanda memperkenalkan sistem pendidikan formal (terdapat
jenjang pendidikan). Belanda sangat aktif dalam pendirian sekolah-sekolah baru
bagi bangsa Indonesia. Pendidikan Belanda atas Bangsa Indonesia bermula ketika
kalangan aristokrat Indonesia belajar di rumah-rumah pemukim Belanda. Sekolah

5
Belanda pertama untuk melatih warga Indonesia untuk beberapa pekerjaan
pamong praja didirikan tahun 1848 (Prayudi dan Salindri 2015). Pendirian
sekolah ini sebenarnya juga hanya untuk kepentingan Belanda dalam mengatur
pemerintahan. Namun, syarat-syarat untuk bergabung pemerintah Belanda pun
cukup ketat, antara lain adalah keturunan bangsawan atau aristokrat, pejabat atau
kepala pribumi (inlands hoofden), kaya, loyal, berpendidikan (Sudarno, 2015).
Syarat berpendidikan inilah yang membuat banyak sekolahan mulai berdiri.
Beberapa contoh pendirian Sekolah kaum elit di Surabaya ELS (Europeesche
Lagere School), HCS (Hollandsch Chineesche School), HIS (Hollandsch
Inlandsche School), sekolah peralihan (Schakelschool) dimana sekolah ini
berbahasa Belanda (Prayudi dan Salindri 2015).

Pendiskriminasian pendidikan juga terjadi pada masa kolonial Belanda


sehingga untuk masyarakat Pribumi ditawarkan sekolah rendahan dengan bahasa
melayu. Contoh sekolahnya yaitu, Sekolah Ongko Loro (De scholen der tweede
Klasse), Sekolah Desa (Volksschool), Sekolah Lanjutan (Vervolgschool) (Prayudi
dan Salindri 2015). Dari nama sekolahnya saja sudah terlihat sekolah ‘ongko loro’
yang artinya nomor dua tentunya sekolahan dengan bahasa Belandalah yang
dianggap nomer wahid. Pembagian sekolah kelas I diperuntukan golongan
bangsawan dan tuan tanah dan sekolah kelas 2 untuk pribumi kelas menengah dan
biasa dengan mata pelajaran membaca, `menulis, ilmu bumi, berhitung, sejarah
dan menggambar (Wahyudi, 2018). Selain itu tak ada satu pun perempuan
pribumi yang mendapatkan pendidikan.

Gundik atau yang sering di sebut dengan Nyai merupakan diskriminasi


perempuan yang dilakukan oleh Belanda. Awal mula dari terjadinya budaya Indis
(persilangan Belanda dan Pribumi) karena adanya larangan untuk membawa istri
(kecuali pejabat tinggi) dan perempuan Belanda ke Hindia Belanda dengan alasan
1 VOC adalah singkatan dari Vereenigde Oost Indische Compagnie yang berarti
Perserikatan Maskapai Hindia Timur. Faktor keamanan dan perjalanan yang
sangat jauh untuk ditempuh oleh para perempuan Eropa. Pada akhirnya alternatif
yang dipilih oleh banyak pria Belanda untuk mengusir kesepian mereka adalah

6
dengan menjadikan perempuan pribumi sebagai simpanannya (Ricklefs, 2001
dalam Septiani, 2015). Hasil dari persilangan ini yang disebut dengan Indis atau
Indo. Sayangnya meskipun melahirkan sorang anak, perempuan pribumi hanya
dijadikan pemuas nafsu dan dijadikan gundik atau kasarnya adalah budak dan
pernikahannya sering kali tidak dianggap sah oleh hukum Belanda. Nyai atau
gundik ini juga mendapat cap buruk dikalangan masyarakat pribumi sendiri dan
sering kali dianggap perempuan penggoda (Wahyudi, 2018). Dogmatis para
orientalis di barat yang sangat patriarki kemudian diadopsi oleh masyarakat
Indonesia pada masa itu. Dalam bukunya, Kartini menyebutkan perempuan itu
cuma wajib mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Anak gadis itu
dididik supaya menjadi budak laki-laki. Dalam suratnya pada Nona Zeelandelaar
mengatakan “Selama ini hanya satu jalan terbuka untuk perempuan bumiputra
yang akan menempuh hidup ialah kawin” (R.A Kartini 2009). Bukankah masa itu
menunjukkan betapa perempuan tidak memiliki pilihan lain selain menjadi abdi
suami, seakan perempuan tak punya andil dalam pembangunan ekonomi, sosial,
politik dan lainnya. Kurang lebih begitulah para orientalis mencuci dogma
masyarakat Indonesia pada masa itu.

Kekuasaan beralih dari kerajaan-kerajaan Islam kepada serikat/kongsi


Dagang yang bernama V.O.C. Peran V.O.C (Vereenigde Oostindische
Compagnie) yang merupakan lembaga kolonial era pertengahan menunjukkan
keadaan Islam semakin berada pada kedudukan yang tidak terlalu dominan dalam
Islam tentu memiliki pandangan yang bersebrangan dengan para orientalis ini
menentukan perilaku atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat
Nusantara layaknya sebelum abad 18M (Fadhdly, 2017). Konsep islam yang
Rahmatan lil alamin tak dapat melebur dalam aturan Belanda yang semakin
dholim. Islam di Indonesia mungkin memang belum mengkomersilkan
pendidikan dan cenderung mengedepankan ilmu agama pada masa itu. Namun,
ajaran untuk menuntut ilmu dalam Islam tidak membatasi siapa pun untuk belajar
apalagi dibatasi oleh strata sosial dan gender. Perempuan dalam Islam juga
memiliki kedudukan yang dimuliakan, memberikan peluang yang sama untuk

7
belajar dan bermasyarakat. Hal inilah yang membedakan Orientalisme dengan
Islam. Baik pada masa kolonial maupun hari ini Orientalisme telah membentuk
mental pribumi dan masyarakat Indonesia ini jadi meniru kebarat-baratan.

Hal yang ditiru pribumi kolonial ada dalam tujuh unsur kebudayaan Indis
sejalan dengan pendapat (Soekiman dan Koentjaraningrat, 1983) bahwa pengaruh
kebudayaan Barat yang sekarang dimiliki oleh suku Jawa adalah akibat kontak
budaya yang disebut dengan seven cultural universal, yaitu (1) bahasa, (2)
peralatan dan perlengkapan hidup manusia, (3) mata pencaharian hidup dan sistem
ekonomi, (4) sistem kemasyarakatan, (5) kesenian, (6) ilmu pengetahuan, dan (7)
religi. Dan hal tersebut berpengaruh hingga hari ini, banyak masyarakat Indonesia
hari ini yang merasa keren saat sudah mampu berbahasa Inggris. Banyak yang
merasa bahwa hidup di apartemen mewah di pusat kota dengan peralatan serba
ada adalah hal paling beradab. Mata pencaharian seperti kerja di pemerintahan
masih menggunakan pembayaran upeti seperti praktek Korupsi Kolusi dan
Nepotisme (KKN) yang sama halnya terjadi pada masa kolonial saat pribumi
ingin bekerja menjadi bupati atau kerja di institusi Belanda. Masyarakat Indonesia
kini juga meniru budaya kebarat-baratan seperti pergaulan bebas, individualis, dan
beragama hanya sebagai simbolik. Pudarnya kecintaan masyarakat akan kesenian
lagu daerah, wayang, atau kesenian daerah lainnya pun sudah kalah dengan
hiphop, pop, rock yang berasal dari barat hari ini. Fenomena bisnis Toefl pun
menjadi trending karena banyaknya masyarakat yang kini ingin berkuliah di
Eropa, sedangkan lulusan timur tengah seperti Al-Azhar, King Abdul Aziz hanya
dianggap lulusan yang lebih condong kearah agama saja. Sedangkan keberadaan
agama sendiri sekarang mulai bergeser hanya menjadi simbol dan bukan lagi
pedoman dalam hidup.

8
Kesimpulan

Dari pembahasan diatas menunjukkan peranan Islam yang begitu besar


dalam melawan penjajahan. Bukan hal baru, Orientalis ternyata sudah ada sejak
masa kolonial yang diwakili oleh Belanda. Diskriminasi pada masa kolonial
Belanda membawa bekas yang membangun mental masyarakat Indonesia hari ini.
Tanpa islam mungkin saja diskriminasi ini masih berlanjut hingga hari ini. Berkat
Islam kita hari ini dapat menikmati pendidikan, kesetaraan, manusia yang
memanusiakan manusia dan hal yang beradab lainnya.

Meskipun kita sebagian masih mamakai peninggalan hukum Belanda,


namun hal itu masih relevan dengan hukum yang ada di dunia. Pengaruh
penulisan sejarah hari ini pada buku-buku mata pelajaran sejarah yang didominasi
dengan literatur yang javanosentris, dimana jawa pada masa kolonial merupakan
sarang atau pusat dari peradaban di Indonesia juga tidak mengalami banyak
perubahan. Mental masyarakat Indonesia yang masih berkiblat pada barat dan
masih merasa inferior dibandingkan dengan negara barat menjadi dilema kita hari
ini. Pada dasarnya, kebenaran yang sifatnya masih universal dari apa yang
ditinggalkan para kolonial Belanda tentu relevan saja bila masih kia gunakan hari
ini. Namun, dari pembahasan diatas kita menjadi tau bahwa barat tidak selalu baik
dan kabaikan datangnya tidak selaalu dari barat. Konsep Islam menjadi satu-
satunya solusi untuk memerangi ketidakberadaban para orientalis hari ini.

9
Daftar Pustaka

Effendy. 2015. Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam Di Indonesia Dalam


Perspektif Sejarah . Jurnal TAPIs Vol.8 No.1 Januari-Juni 2012
Fadhly F. 2017. Islam Dan Indonesia Abad XIII-XX M Dalam Perspektif Sejarah
Hukum. UIN Sunan Gunung Jati. Bandung
Hartono, Sunaryati. 2015. Analisa Evaluasi dan Peraturan Perundang-undangan
peninggalan Belanda. Badan Hukum Kementrian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Jakarta
Prayudi GM dan Salindri D. 2015. Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial
Belanda Di Surabaya TAHUN 1901-1942. Universitas Jember. Volume 1 (3)
Maret 2015 PUBLIKA BUDAYA Halaman 20-34
R.A Kartini. 2009. Habis Gelap Terbitlah Terang (cetakan ke 27). Balai Pustaka.
Jakarta
Septiani. 2015. Perubahan Gaya Pakaian Perempuan Bangsawan Pribumi Di Jawa
Tahun 1900 – 1942. Universitas Padjajaran. Jawa Barat. Jurnal
“Candrasangkala”, Volume 1 Nomor 1 November 2015
Sudarno. 2015. Kerja Magang Jurutulis sampai Bupati Hindia Belanda Menjelang
Abad XX. https://www.owplus.com/view?
a=WW51TFN0S1F2ZXhkZlIwZGg4WTFPMWJLYmVyOWczRS9venJ1OU
ROOFY3QT0=&b=NWFlcExJeHhNd3l3M0xqeDBobjArRmdmdnJRalRKU
1JVMlpZTW03dFdQN0M4TVcxM2lRcTlEV2N5WkZpY295M2hpVGRvbT
BoSUNVYXNhM25PU3hsVmxNMnVGRmZ0SE5WMzFvRFBFQWFkV0t
Vam1rV1pCa2Q0ak9BSzdLWWoxbDdoZkE1TzZxSSs2U0xTS3h0NTdBN
HB2RnBxR3ErOGxVc0R0NWo0elRmR0FlN2lqU2pWa2pFWjhLODBjWV
h3U0lxSnpkVzBZWEFROUxjN1huRERvVGdEdz09
Susanto. 2016. NUANSA KOTA KOLONIAL SURAKARTA AWAL ABAD
XX: FASE HILANGNYA IDENTITAS LOKA. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta
Wahyudi S. 2018. Dinamika Kehidupan Priyayi Jawa Abad 19-20 Dalam Novel
Tetrologi Pulau Buru Karya Pramoedya Ananta Toer : Sebuah Studi
Komparasi Realitas Historis. Universitas Negri Surabaya e-Journal
Pendidikan Sejarah Volume 6, No. 4 Tahun 2018

10

Anda mungkin juga menyukai