Disusun oleh:
Amin Rahmawati Purwaningrum
NIM 32501500142
2019
Pendahuluan
Pengaruh kolonial Belanda ini tentu jauh dari nilai-nilai Islam yang
mengutamakan mencari ilmu dan memuliakan perempuan. Pembagian sekte
dalam memperoleh pendidikan pun harus dilihat dari strata sosial dan perempuan
pribumi tidak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Dalam
surat-suart Kartini menunjukkan betapa diskriminasinya belanda terhadap
perempuan pribumi. Dibuktikan pula dengan budaya yang berkembang pada masa
itu, apabila seorang Belanda menikahi perempuan pribumi maka perempuan
pribumi tersebut hanya dijadikan Gundik atau budak bagi mereka.
2
Konsep Islam yang diyakini para Pribumi ini membuat Belanda takut.
Pasalnya konsep ini dianggap memiliki sistem yang terintegrasi dan struktural
dibandingkan dogma agama Hindu-Budha. Di satu pihak pemerintah Kolonial
Belanda sangat takut terhadap muslim fanatik yang mempunyai hubungan dengan
dunia internasional, termasuk bahaya permintaan bantuan kepada negara Islam di
luar negeri. Hal yang paling ditakutkan Belanda adalah permintaan bala bantuan
dari negara Islam lainnya untuk melawan Pemerintah Belanda dan faham Pan
Islamisme yang berkembang pasa masa itu (Effendi, 2012). Banyak kemudian
para kolonial Belanda melakukan penyebaran orientalisme dengan memisahkan
agama dengan kehidupan masyarakt Pribumi. Hal itu tampak dari pergeserah
hukum Islam yang lambat laun tidak diakui lagi.
Meskipun kemerdekaan hari ini telah kita raih. Namun, hari ini sisa mental
masyarakat kita masih dipengaruhi oleh didikan para Orieantalis Belanda yang
ingin memisahkan Islam dan kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Indonesia
hari ini pun masih mengandalkan barat sebagai kiblat. Hal-hal yang berbau islam
pun dianggap sebagai penyebar terorisme dan radikalisme. Bahhkan meskipun
lapisan strata sosial Belanda sudah tidak ada, masyarakat Indonesia masih merasa
inferior saat bersaing dengan orang-orang barat.
Pembahasan
3
missionaris-missionaris Kristen mendapat dukungan-dukungan dana dan
kemudahan-kemudahan dari pemerintah, agama Kristen hanya mampu meluaskan
dirinya secara lambat, itu pun hanyalah di kalangan orang-orang Indonesia yang
tinggal di daerah-daerah yang belum tersentuh agama Islam.
4
menggeser sistem pengadilan lokal. Berdasarkan kebijakan yang dituangkan
dalam Staatsblad No. 7 1903 dan Staatsblad No. 8 1903, maka pengadilan
tradisional seperti Pengadilan Balemangu, Pradata, dan Surambi yang berlaku di
wilayah Keresidenan Surakarta diganti dengan pengadilan gubernemen atau
Landraad. Dengan penerapan sistem pengadilan baru itu maka penurunan
kewibawaan raja pun semakin terasa. Sebagai contoh, menurut peraturan lama
Pengadilan Balemangu, siapa pun yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah
Surakarta termasuk dari kalangan kompeni harus diadili berdasar hukum lokal.
Akan tetapi, sejak diberlakukan peraturan Staatsblad No. 8 1903, seluruh
penduduk Surakarta yang melanggar hukum, baik orang Belanda maupun
pribumi, harus diadili di pengadilan Belanda atau Landraad (Susanto, 2016).
Pergergeseran akan hukum ini terjadi bertahap, dimula dari hukum perdana,
perdata, dan kemudian juga hukum agama yang kemudian melebur manjadi satu
menganut hukum yang ditetapkan Belanda. Monopoli hukum ini sebenarnya
diciptakan untuk memperkuat kekuasan orang-orang Belanda. Beberapa bukti
bahwa peninggalan para orientalis atas kebijakan hukum di Indonesia ialah dasar
hukum aturan peralihan UUD 1945, yang menyatakan semua peraturan yang ada
hingga saat Indonesia merdeka masih tetap berlaku selama belum diadakan yang
baru, (dan ketentuan ini kemudian dimuat kembali dalam PP 2/1945). Contoh
penting peraturan kolonial yang masih digunakan sampai saat ini adalah KUHPdt
(BW) di bidang perdata dan KUHP (WvS) di bidang pidana. Selain dari dua
peraturan, yang masuk dalam kelompok basic law, masih banyak peraturan
kolonial lain yang sedikit banyak masih berperan dalam hukum Indonesia
(Hartono, 2015).
Pada abad-19 mulailah kolonial belanda membentuk politik etis atau yang
sering kita dengar dengan politik balas budi. Pemerintah Kolonial Belanda (PKB)
datang ke Hindia Belanda memperkenalkan sistem pendidikan formal (terdapat
jenjang pendidikan). Belanda sangat aktif dalam pendirian sekolah-sekolah baru
bagi bangsa Indonesia. Pendidikan Belanda atas Bangsa Indonesia bermula ketika
kalangan aristokrat Indonesia belajar di rumah-rumah pemukim Belanda. Sekolah
5
Belanda pertama untuk melatih warga Indonesia untuk beberapa pekerjaan
pamong praja didirikan tahun 1848 (Prayudi dan Salindri 2015). Pendirian
sekolah ini sebenarnya juga hanya untuk kepentingan Belanda dalam mengatur
pemerintahan. Namun, syarat-syarat untuk bergabung pemerintah Belanda pun
cukup ketat, antara lain adalah keturunan bangsawan atau aristokrat, pejabat atau
kepala pribumi (inlands hoofden), kaya, loyal, berpendidikan (Sudarno, 2015).
Syarat berpendidikan inilah yang membuat banyak sekolahan mulai berdiri.
Beberapa contoh pendirian Sekolah kaum elit di Surabaya ELS (Europeesche
Lagere School), HCS (Hollandsch Chineesche School), HIS (Hollandsch
Inlandsche School), sekolah peralihan (Schakelschool) dimana sekolah ini
berbahasa Belanda (Prayudi dan Salindri 2015).
6
dengan menjadikan perempuan pribumi sebagai simpanannya (Ricklefs, 2001
dalam Septiani, 2015). Hasil dari persilangan ini yang disebut dengan Indis atau
Indo. Sayangnya meskipun melahirkan sorang anak, perempuan pribumi hanya
dijadikan pemuas nafsu dan dijadikan gundik atau kasarnya adalah budak dan
pernikahannya sering kali tidak dianggap sah oleh hukum Belanda. Nyai atau
gundik ini juga mendapat cap buruk dikalangan masyarakat pribumi sendiri dan
sering kali dianggap perempuan penggoda (Wahyudi, 2018). Dogmatis para
orientalis di barat yang sangat patriarki kemudian diadopsi oleh masyarakat
Indonesia pada masa itu. Dalam bukunya, Kartini menyebutkan perempuan itu
cuma wajib mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Anak gadis itu
dididik supaya menjadi budak laki-laki. Dalam suratnya pada Nona Zeelandelaar
mengatakan “Selama ini hanya satu jalan terbuka untuk perempuan bumiputra
yang akan menempuh hidup ialah kawin” (R.A Kartini 2009). Bukankah masa itu
menunjukkan betapa perempuan tidak memiliki pilihan lain selain menjadi abdi
suami, seakan perempuan tak punya andil dalam pembangunan ekonomi, sosial,
politik dan lainnya. Kurang lebih begitulah para orientalis mencuci dogma
masyarakat Indonesia pada masa itu.
7
belajar dan bermasyarakat. Hal inilah yang membedakan Orientalisme dengan
Islam. Baik pada masa kolonial maupun hari ini Orientalisme telah membentuk
mental pribumi dan masyarakat Indonesia ini jadi meniru kebarat-baratan.
Hal yang ditiru pribumi kolonial ada dalam tujuh unsur kebudayaan Indis
sejalan dengan pendapat (Soekiman dan Koentjaraningrat, 1983) bahwa pengaruh
kebudayaan Barat yang sekarang dimiliki oleh suku Jawa adalah akibat kontak
budaya yang disebut dengan seven cultural universal, yaitu (1) bahasa, (2)
peralatan dan perlengkapan hidup manusia, (3) mata pencaharian hidup dan sistem
ekonomi, (4) sistem kemasyarakatan, (5) kesenian, (6) ilmu pengetahuan, dan (7)
religi. Dan hal tersebut berpengaruh hingga hari ini, banyak masyarakat Indonesia
hari ini yang merasa keren saat sudah mampu berbahasa Inggris. Banyak yang
merasa bahwa hidup di apartemen mewah di pusat kota dengan peralatan serba
ada adalah hal paling beradab. Mata pencaharian seperti kerja di pemerintahan
masih menggunakan pembayaran upeti seperti praktek Korupsi Kolusi dan
Nepotisme (KKN) yang sama halnya terjadi pada masa kolonial saat pribumi
ingin bekerja menjadi bupati atau kerja di institusi Belanda. Masyarakat Indonesia
kini juga meniru budaya kebarat-baratan seperti pergaulan bebas, individualis, dan
beragama hanya sebagai simbolik. Pudarnya kecintaan masyarakat akan kesenian
lagu daerah, wayang, atau kesenian daerah lainnya pun sudah kalah dengan
hiphop, pop, rock yang berasal dari barat hari ini. Fenomena bisnis Toefl pun
menjadi trending karena banyaknya masyarakat yang kini ingin berkuliah di
Eropa, sedangkan lulusan timur tengah seperti Al-Azhar, King Abdul Aziz hanya
dianggap lulusan yang lebih condong kearah agama saja. Sedangkan keberadaan
agama sendiri sekarang mulai bergeser hanya menjadi simbol dan bukan lagi
pedoman dalam hidup.
8
Kesimpulan
9
Daftar Pustaka
10