I. PENDAHULUAN
Usaha penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Barat dimulai dengan jalur
perdagangan, kemudian jalur militer. Peristiwa kedatangan orang Barat, pada tahun
1556 oarang Belanda merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten yang dipimpin
oleh Cornelis De Houtmen dan De Keyzer. Kemudian setelah Belanda menguasai
Indonesia maka timbullah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dan latar belakang
kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan karena politik Pemerintahan Belanda terhadap
rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam didasari rasa panggilan agamanya
dan rasa kolonialisme.
Dalam makalah ini kami akan mencoba menjelaskan beberapa kebijakan-kebijakan
Pemerintah Kolonial pada pendidikan di Indonesia.
III. PEMBAHASAN
b. Ordonansi Guru
Suatu kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat
menekan adalah ordonansi guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun
1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin
terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama, sedangkan
ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru
agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagi media
pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar
dan penganjur agama Islam di negeri ini.
Pada tahun yang sama pula yakni tahun 1925 Pemerintah kolonial mengeluarkan
peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak
semua orang (kiyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin
disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak
tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.
liar. Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi
syarat yang ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui
dikantor-kantor resmi. Sekolah liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia
dan dimasuki oleh anak-anak Indonesia.
IV. SIMPULAN
Pemerintah kolonial Belanda menjajah negeri kita Indonesia selama kurang lebih
tiga ratus lima puluh tahun dan selama penjajahan Belanda menerapkan banyak
kebijakan terutama dalam pendidikan yang sangat penting bagi kemajuan bangsa
Indonesia diantara kebijakan-kebijakan itu antara lain dalam pendidikan Islam,
ordonansi guru, dan ordonansi sekolah liar. Dari kebijakan tersebut pendidikan
Indonesia menjadi lumpuh dan tidak diakui oleh pemerintah kolonial, dan para
pendidik tidak berani dalam melaksanakan proses pembelajaran yang selayaknya,
dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh orang Indonesia menjadi sekolah liar yang
statusnya tidak diakui oleh pemerintah kolonial dan setiap saat dapat digusur oleh
pemerintah kolonial karena tidak meminta izin pada pemerintah kolonial.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, kami sadar bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan dan oleh karena itu kami minta kritik dan saran yang
mebangun dari pembaca sebagai bahan acuan untuk makalah-makalah yang
berikutnya. Mungkin hanya itu yang dapat kami sampaikan dan kurang lebihnya
kami mohon maaf, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Pada masa penjajahan bangsa asing, tanpa disadari oleh pihak penjajah bahwa
sistem pendidikan yang diberikan dapat menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
Pemuda-pemuda pribumi yang mendapatkan pendidikan dari penjajah justru
berbalik menyusun kekuatan untuk memerdekakan bangsanya. Dan setelah
merdeka, sistem pendidikan penjajah ada yang ditinggalkan dan ada yang masih
dipertahankan.
Dalam pembahasan artikel ini akan lebih dibahas tentang pendidikan Indonesia
pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, masa Pemerintahan Pendudukan
Jepang, dan masa awal kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya,
pendidikan pada masing-masing zaman atau pemerintahan tersebut memiliki ciri
khas tersendiri dalam kebijakan pendidikan.
Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Penjajah Belanda dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan bagaimana ia
menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi
pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada. Pada 1882, Belanda
membentuk pristerraden yang mendapat tugas mengawasi pengajaran agama di
pesantren-pesantren. Pada 1925, Belanda mengeluarkan peraturan bahwa orang
yang akan memberi pengajaran harus minta izin dulu. Pada 1925, terbit goeroeordonnantie[2] yang menetapkan bahwa para kiai yang akan memberi pelajaran,
cukup memberitahukan kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan itu semua
merupakan rintangan perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh para
pengikut agama Islam (Rifai, 2011: 56).
Komisaris Jenderal pada masa tersebut cukup menaruh perhatian di bidang
pendidikan. Terbukti setelah beberap waktu berselang dari proses serah terima
daerah jajahan dari pihak Inggris ke pihak Belanda, ia menunjuk CGC Reinwardt
sebagai Direktur Pengajaran (Najamuddin, 2005). Pada tahun terakhir di masa
pemerintahannya, dikeluarkan peraturan persekolahan yang berisi ketentuanketentuan mengenai pengawasan dan penyelenggaraan pengajaran. Sayangnya,
ide-ide Daendels pada masa sebelumnya yang ingin memperluas kesempatan
memperoleh pendidikan bagi penduduk jajahan tidak dilanjutkan pada masa ini. Hal
tersebut sangat jelas karena dalam ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan pada
masa ini sangatlah sedikit yang membahas masalah pengajaran untuk penduduk
jajahan. Salah satunya adalah peraturan umum tentang pendidikan sekolah yang
berisi bahwa pendidikan hanya untuk orang Belanda saja (Said dan Affan, 1987).
Dan bahkan peraturan ini berlaku hingga tahun terakhir pemerintahan Gubernur
Jenderal Van der Capellen. Meski pada tahun 1818 telah dikeluarkan
Regeringsreglement untuk Hindia Belanda yang isinya antara lain membahas bahwa
semua sekolah di Hindia Belanda dapat dimasuki baik orang Eropa maupun
penduduk jajahan (Watson dalam Supriadi, 2003). Namun pada kenyataannya yang
memasuki sekolah sekolah tersebut hanya sedikit sekali yang berasal dari kalangan
pribumi.
Pada tahun 1817, didirikan sekolah dasar khusus untuk anak-anak dari golongan
bangsa Belanda (Europeese Lagere School). Bahasa pengantar di sekolah-sekolah
tersebut adalah bahasa Belanda dan sistem maupun kurikulumnya disesuaikan
dengan yang berlaku di Belanda agar tetap sinergis dengan sekolah lanjutan di
Belanda (Boone dalam Supriadi, 2003). Sekolah ini semakin banyak didirikan di
berbagai daerah sejalan dengan semakin banyak pula orang Belanda yang datang
ke bumi nusantara sambil membawa keluarganya ikut serta. Pendirian ELS ini tidak
hanya dilakukan oleh pihak pemerintah, melainkan juga pihak swasta seperti NZG
atau yang dikenal dengan zending[3] (Supriadi, 2003).
Menurut Kartodirdjo (1987) sistem pendidikan yang dualitas pada masa ini[4] juga
membuat garis pemisah yang tajam antara dus subsistem: sistem sekolah Eropa
dan sistem sekolah pribumi. Tetapi pada tahun 1892[5] akhirnya dilakukan
restrukturisasi terhadap persekolahan karena kebutuhan yang sangat besar
terhadap pegawai rendahan yang bisa berbahasa Belanda, sebagaimana berikut:
1.
Sekolah kelas satu (ongko sidji) atau eerste klasse untuk anak-anak golongan
priyayi dengan pelajaran bahasa Belanda;
2.
Sekolah kelas dua (ongko loro) atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan
tanpa pelajaran bahasa Belanda.
Menurut Soemanto dan Sooyarno dalam Rifai (2011: 59) konteks pendidikan dan
pengajaran ini pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kebutuhan pegawai
rendahan di kantor-kantor pamong praja atau kantor-kantor yang lain.
Di zaman pemerintahan Hindia-Belanda ini, terdapat tiga jenis tingkatan pendidikan,
yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Rifai, 2011:
59). Pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan
kebijakan tersebut, diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat
mudah ditundukkan karena pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi
yang merupakan kaum elit (Ricklefs, 2001).
Menurut Ary Gunawan dalam Rifai (2011: 67), prinsip kebijakan pendidikan kolonial
yaitu:
1.
2.
Pendidikan diarahkan agar para lulusannya menjadi pencari kerja, terutama
demi kepentingan kaum penjajah.
3.
Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam
masyarakat.
4.
Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat
penjajah) Belanda.
5.
Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada
pengetahuan dan kebudayaan barat.
Kesempatan mendapatkan pendidikan diutamakan kepada anak-anak bengsawan
bumiputera serta tokoh-tokoh terkemuka dan pegawai kolonial yang diharapkan
kelak akan menjadi kader pemimpin yang berjiwa kebarat-baratan atau condong ke
Belanda dan merupakan kelompok elite yang terpisah dengan masyarakatnya
sendiri. Mereka akan menjadi penyambung tangan-tangan penjajah sebagai upaya
Belanda untuk memerintah secara tidak langsung kepada masyarakat dan bangsa
Indonesia (Rifai, 2011: 67-68).
Dengan adanya Politik Etis, terjadi perubahan penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia. Bahasa Belanda mulai diberikan pula di sekolah Kelas I dan sekolahsekolah guru. Mr. JH. Abendanon menginginkan kursus/sekolah kejuruan (vak),
termasuk juga sekolah bagi kaum wanita (bersama dengan Van Deventer,
Abendanon, menaruh perhatian pada usaha R.A. Kartini). Sekolah teknik pertama
kali dibuka pada 1909. Untuk membuka kesempatan yang lebih luas bagi anak-anak
bumiputera ke sekolah-sekolah atau melanjutkan sekolah, di antaranya dibuka
sekolah voorklas di MULO (kelas persiapan ke MULO). Sekolah-sekolah desa
diperbanyak. Namun demikian, masih ada perbedaan pelayanan bagi anak-anak
bumiputera dengan anak-anak Belanda, yaitu diturunkannya uang sekolah (hanya)
untuk sekolah Belanda. Anak-anak Indonesia diterima di sekolah Belanda masih
dengan ragu-ragu sehingga dengan dalih yang dibuat-buat akhirnya anak-anak
Indonesia banyak yang tidak diterima di sekolah-sekolah Belanda (Rifai, 2011: 7374).
Secara tegas, tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang tidak
pernah dinyatakan, tetapi dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh
kasar kaum modal Belanda, di samping ada sebagian yang dilatih dan dididik untuk
menjadi tenaga-tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain
yang dianggap sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau kelas tiga (Rifai, 2011: 7677).
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam salah satu pidatonya mengatakan bahwa Politik
Etis penjajah sepertinya akan lunak dengan kemajuan pendidikan pribumi, tetapi
tetap saja pola kebijakan pendidikan kolonial tersebut menunjukkan sifat
intelektualis, alitis, individualis dan materialis (Rifai, 2011: 83).
Setelah 1870, tak ada lagi pusat-pusat karena pendidikan dan pengajaran semakin
diperluas. Pada 1871, keluarlah UU Pendidikan yang pertama, yaitu pendidikan dan
pengajaran makin diarahkan kepada kepentingan penduduk bumiputra. Secara
tidak langsung, pengaruh Politik Etis terutama bidang pendidikan memberikan
dampak positif bagi munculnya kaum pendidik dan pergerakan Indonesia.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan kemajuan bagi rakyat Indonesia dapat
Daftar pustaka
Sjamsudin. 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Depdikbud, Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Subkhan, Edi. 2010. Ki Hajar Dewantara Peletak Dasar Pendidikan Indonesia.
K.H. Dewantara. 2004. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan.
Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Najamuddin. 2005. Perjalanan Pendidikan Di Tanah Air (Tahun 1800-1945). Bandung:
Rineka Cipta.
Supriadi, Dedi (Ed.). 2003. Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangan
Sejak Zaman Kolonial hingga Era Reformasi. Jakarta: Depdikbud.
Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Muhammad Said dan Junimar Affan. 1987. Mendidik dari Zaman Ke Zaman.
Bandung: Jemmars.
Assegaf, Abd. Rachman. 2005. Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan
Pendidikan Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi. Yogyakarta: Kurnia Kalam.
Rifai, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga
Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia yang memeluk agama Nasrani. Alsannya adalah karena adanya kesulitan
financial yang berat yang dihadapi orang Belanda sebagai akibat perang
Diponegoro (1825-1830) yang mahal dan menelan banyak korban seerta
peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839).
Kesulitan keuangan ini menyebabkan raja belanda untuk meninggalkan prinsipprinsip liberal dan menerima rencana yang dianjurkan Van den Bosch, bekas
Gubernur di Guyana, jajahan Belanda di Amerika selatan, untuk memanfaatkan
pekerjaan budak menjadi dasar eksploitasi colonial. Ia membawa ide penggunaan
kerja paksa(rodi) sebagai cara yang ampuh untuk memperoleh cara usaha
maksimal, yang kemudian terkenal dengan cultuur stelsel atau tanam paksa yang
memaksa penduduk untuk menghasilkan tanaman yang diperlukan dipasaran
Eropa.
Van den Bosch mengerti, bahwa untuk memperbaiki stesel pembangunan ekonomi
bagi belanda dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang banyak. Setelah tahun 1848
dikeluarkan peraturan-peraturan yang menunjukan perintah lambat laun menerima
tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai
hasil perdebatan diparlemen Belanda dan mencerminkan sikap Liberal yang lebih
menguntungkan tehadap rakyat Indonesia. Terbongkarnya penyalahgunaan system
tanam paksa merupakan factor dalam perbahan pandangan. Peraturan pemerintah
tahun 1854 mengimtruksikan Gubernur Jendral untuk mendirikan sekolah dalam
tiap kabupaten bagi pendidikan anak pribumi. Peraturan tahun 1863 mewajibkan
Gubernur Jendral untuk mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan
penduduk bumi putera pada umumnya menikmati pendidikan.
Sistem tanam paksa dihapuskan tehun 1870 dan digantikan dengan undang-undang
Agraria 1870. Pada tahun itu di Indonesia timbul masa baru dengan adanya undangundang Agraria dari De Waal, yang member kebebasan pada pengusaha-pengusaha
pertania partikelir. Usaha-usaha perekonomian makin maju, masyarakat lebih
banyak lagi membutuhkan pegawai. Sekolah-sekolah yang ada dianggap belum
cukup memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya maka usaha mencetak calon-calon
pegawai makin dipergiat lagi. Kini tugas departemen adalah memelihara sekolahsekolah yang ada dengan lebih baik dan mempergiat usaha-usaha perluasan
sekolah-sekolah baru.
Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putera. Hal ini
disebabkan:[2]
Hasil sekolah-sekolah bumi putra kurang memuaskan pemerintah colonial. Hal ini
terutama sekali desebabkan karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat.
Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka insyaf
bahwa yang harus mendapat pengjaran itu bukan hanya lapisan atas saja.
b)
menjadi pasar bagi industry Belanda. Sedangkan para eksportir mendapat laba
besar dengan membawa barang mentah dari Indonesia. Untuk memenuhi kaum
importir tidak ada jalan lain yang harus segera ditempuh selain memperbaiki dan
membuat ekonomi rakyat Indonesia yang sudah rusak.
Selain itu pada tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van Devender berjudul
Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids. Disitu ia mengemukakan bahwa
keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali
dari perbendaharaan Negara. Peristiwa itu dapat dipandang sebagai ekspresi ide
yang baru kemudian dikenal dengan politik etika. Van Devender menganjurkan
program ini untuk memajukan kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki irigasi
agar memprodusi pertanian, menganjurkan trasmigrasi dan perbaikan dalam
lapangan pendidikan. Ia juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda secara
cultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi bangsanya.
Factor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik etika ini ialah kebangkitan
Nasional dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, serikat islam partai politik
pertama di Indonesia yang didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun 1919,
adanya volksraad tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk
menyatakan pendapatnya. Sejak dilaksanakannya politik etika tampak sekali
kemajuan dalam pendidikan dengan diperbanyaknya sekolah rendah, sekolah yang
berorientasi Barat untuk orang Cina dan Indonesia didirikan .Demikian juga
pendidikan dikembangkan secara vertical dengam didirikannya MULO dan AMS yang
terbuka bagi anak Indonesia untuk melanjutkan ke tingkat universitas.
Dalam rangka memperbaiki pengajaran rendah bagi kaum bumi putra, maka pada
tahun 1907 diambil dua tindakan penting yaitu:
1. Memberi corak dan sifat kebelandaan-belandaan pada sekolah kelas I, misalnya:
a) Bahasa Belanda dijadikan mata pelajaran sejak kelas 3
b) Di kelas 6 bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar
c) Lama belajar menjadi 7 tahun
d) Tahun 1914 dijadikan KIS dan menjadi bagian pengajaran rendah barat
e) Murid-muridnya anak-anak bangsawan dan terkemuka
2. Mendirikan Sekolah Desa
Maksud pemerintah untuk memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia tidak
tercapai, karena sekolah-sekolah bumi putra kelas II merupakan lembaga yang
mahal dan memerlukan anggaran yang besar. Maka atas perintah Gubernur Jendral
Van Heutsz tahun 1907 didirikan sekolah-sekolah desa. Bangunannya didirikan oleh
desa dan guru-gurunya juga diangkat oleh desa pula, jadi bukan pegawai negeri.
Jadi susunan pengajaran bagi anak-anak Indonesia untuk sekolah rendah ada tiga,
yaitu:
a) Sekolah Desa, bagi anak-anak biasa
b) Sekolah kelas II, yang kemudian diubah menjadi sekolah Vervolg
c) Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS bagi anak-anak bangsawan
dan aristocrat
C. Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda
Secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan
kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada
dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.
Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan
system pokok yaitu:
Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
a) Sekolah rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school), yaitu sekolah rendah
untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing atau Bumi
putra dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818.
b) Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah
rendah untuk anak-anak keturunan tmur asing, khususnya keturunan Cina. Pertama
didirikan pada tahun 1908 lama sekolah tujuh tahun.
c) Sekolah Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah
rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli. Pada umumnya disediakan untuk
anak-anak golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri.
Lamanya sekolah tujuh tahun dan pertama didirikan pada tahun 1914.
Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah
Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk golonagan
bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892.
Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra.
Lamanya sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907.
Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakn kelanjutan dari
sekolah desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali
didirikan pada tahun 1914.
Sekolah Peralihan (Schakelschool)
Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga tahun) kesekolah dasar
dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya lima tahun dan
diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Disamping sekolah dasar
tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk orang Ambon seperti
Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari
golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja
(Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan
1872, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS.
Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah
MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari
sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga
sampai empat tahun. Yang pertama didirikan pada tahun 1914 dan diperuntukan
bagi golongan bumi putra dan timur asing. Sejak zaman jepang hingga sampai
sekarang bernama SMP. Sebenarnya sejak tahun 1903 telah didirikan kursus MULO
untuk anak-anak Belanda, lamanya dua tahun.
AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan
dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra dan Timur
asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915. AMS ini
terdiri dari dua jurusan (afdeling= bagian), Bagian A (pengetahuan kebudayaan)
dan Bagian B (pengetahuan alam ) pada zaman jepang disebut sekolah menengah
tinggi, dan sejak kemerdekaan disebut SMA.
HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah
menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan
golongan bumi putra atau tokoh-tokoh terkemuka. Bahasa pengantarnya adalah
bahasa belanda dan berorentasi ke Eropa Barat, khususnyairikan pada belanda.
Lama sekolahnya tiga tahun dan lima tahun. Didirikan pada tahun 1860
Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )
Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan
perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah
sebagai berikut:
Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah dan
menerima sekolah lulusan bumi putra kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan
(vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang.
didirikan pada tahun 1881
Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa
pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan HIS, HCS
atau schakel. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara
lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piata batu
Pendidikan pada masa itu sangat selektif karena bukan diperuntukan untuk
masyarakat pribumi putra untuk mendapatkan pendidikan dengan seluas-luasnya
atau pendidikan yang lebih tinggi. Didalam kurikulum pendidikan colonial pada
waktu itu, misalnya sangat dipentingkan penguasaan bahasa belanda dan hal-hal
mengenai negeri belanda. Misalnya dalam pengajaran ilmu bumi, anak-anak bumi
putra harus menghapal kota-kota kecil yang ada di negeri Belanda.
Perguruan swasta yang militer
Salah satu perguruan swasta yang gigih menentang kekuasaan colonial adalah
seolah-olah taman siswa yang didirikan oleh kihajar dewantara tanggal 3 juli 1922.
Tidak adanya perencanaan pendidikanyan sistematis
Perkembangan pendidikan merupakan rangkaian kompromi antara usaha
pemerintah untuk memberikan pendidikan minimal bagi pribumi dan tuntutan yang
terus menerus dari pihak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang sama
dengan orang Belanda.
Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam cirri umum politik pendidikan
Belanda, yaitu:[4]
Dualisme
Dualisme dalam pendidikan dengan adanya sekolah untuk anak Belanda dan untuk
yang tak berada, sekolah yang memberi kesempatan melanjutkan dan tidak
memeberi kesempatan.
Gradualisme
Gradualisme dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana mungkin
bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah untuk anak Indonesia.
Prinsip Konkordansi
Prinsip yang memaksa semua sekolah berorientasi barat mengikuti model sekolah
Nederland dan menghalangi penyesuaiannya dengan keadaan Indonesia.
Control sentral yang kuat
Yang menciptakan birokrasi yang ketat yang hanya memungkinkan perubahan
kurikulum dengan persetujuan para pembesar di Indonesia maupun di negeri
Belanda.
Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis
Menyebabkan pemerintah mengadakan percobaan dengan berbagai macam
sekolah menurut keadaan zaman.
penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut
golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu, diantaranya:
Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah
Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )
Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)
Ciri umum politik pendidikan Belanda
Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri yang dapat
ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu:
System Dualisme
System Korkondasi
Sentralisasi
Menghmbat gerakan Nasional
Perguruan swasta yang militer
Tidak adanya perencanaan pendidikanyan sistematis
Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam cirri umum politik pendidikan
Belanda, yaitu:
Dualisme
Gradualisme
Prinsip Konkordansi
Control sentral yang kuat
Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis
Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.
[1] Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 29
[2] Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 36
[3] Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 37
[4] Prof. Dr. S. Nasution, Sejarah Pendidikan Nasional, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),
hlm. 20
[5] http://khairuddinhsb.blog.plasa.com/2008/07/21/pendidikan-di-zaman-belanda/
BAB II
SEJARAH PENDIDIKAN PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA (1619-1942)
1.
Penulusuran kebijakan dan tujuan pendidikan di zaman Belanda ini dibagi ke dalam
empat periode besar, berdasarkan yang berkuasa pada masa tersebut, yaitu :
Periode awal, Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia dan lalu mendirikan VOC.
Periode kedua, masa pemerintahan Hindia Belanda yang menggantikan VOC yang
tumbang karena kebangkrutan.
Periode ketiga, masa pemerintahan Inggris yang berlangsung sangat singkat tetapi
berandil besar dalam kemundurun pendidikan di Indonesia.
Periode keempat, kembalinya pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia hingga
berpindah tangan ke Jepang[1]. Periode itu dibagi-bagi lagi menjadi sub-sub kecil
berdasarkan masa pemerintahan Gubernur Jenderal yang berkuasa pada masa
tersebut. Hal ini dilakukan untuk lebih memperjelas kebijakan pendidikan yang
diambil oleh masing-masing Gubernur Jenderal yang tentunya memiliki ambisi yang
berlainan dalam menetapkan kebijakan bagi penduduk jajahan. Mereka
memperkenalkan sistem dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan
tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah
dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang
mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah westernisasi dan Kristenisasi,
yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai
kebijaksanaan penjajahan barat di Indonesia selama 3,5 abad[2].
Bangunan sekolah
Di luar Pulau Jawa kekadaannya tidak memuasakan. Sejak dahulu urusan sekolah
dibebankan kepada rakyat, tidak mendapat bantuan dari Pemerintah Pusat.
Beberapa tempat memiliki bangunana sekolah yang mirip sekali sebuah gubug.
1.
Penyusunan kelas
Mula-mula murid duduk di tanah. Jadi bangku-bangku tidak ada sama sekali. Hal ini
disesuaikan dengan adat ketika itu yang menentukan bahwa orang rendahan harus
duduk di tanah bila berhubungan dengan atasan (feodal).
2.
Kurikulum
3.
Peserta didik
Sesuai dengan tujuan sekolah, untuk mendidik calon pegawai, maka muridmuridnya tidak diambil dari golongan rakyat biasa, melainkan dari golongan priyayi,
abak-anak pegawai, seperti: anak-anak bupati, wedana, juru tulois, mantri atau
kepala desa. Dengan mendidik anak dari golongan priyayi dimaksudkan agar rakyat
yang taat kepada kaum priyayi lebih mudah untuk dipengaruhi. Ini terjadi di pulau
Jawa. Di luar pulau Jawa keadaannya berbeda. Di daerah Minangkabau misalnya,
sekolah-sekolah bumiputera dapat dikunjungi oleh anak-anak pedagang dan petani.
4.
Pada tahun 1863 dan tahun 1864 pemerintah mulai menjalankan plitik pengajaran
liberal (liberal disini berarti: berpikir luas mengenai suatu hal, dalam hal ini
pengajaran). Maka tujuan sekolah bukan lagi mendidik calon-calon pegawai, tetapi
mendidik rakyat dalam arti yang umum. Hendaknya pengajaran membawa rakyat
ke arah kebahagiaan.
Politik pengajaran liberal membawa hasil-hasil sebagai berikut:
A. perluasan pengajaran bumiputera tidak terikat lagi oleh anggaran belanja
seperti yang ditetapkan oleh putusan pemerintah tahun 1848
B. Naiknya harta makanan tiku kini terbuka bagi anak-anak Indonesia dan Cina
untuk memasuki sekolah sekolah Belanda.
C. semua jabatan-jabatan negeri terbuka bagi setiap orang dengan tidak
memperhatikan keturunan dan bangsa.
Antara politik pengajaran dan perkembangan masyarakat selalu ada hubungan erat.
Maka timbulnya perubahan di lapangan ekonomi sesudah tahun 1870, turut juga
mempercepat pekembangan pengajaran di Indonesia. Pada tahun itu di Indonesia
timbul masa baru dengan adanya undang-undang agraris dari De Waal, yang
memberi kebebasan pada pengusaha-pengusaha pertanian partikelir. Usaha-usaha
perekonomian makin maju. Masyarakat lebih banyak lagi mebutuhkan pegawaipegawai. Sekolah-sekolah yang ada belum cukup memenuhi kebutuhan. Itulah
sebabnya maka usaha mencetak pegawai-pegawai makin dipergiat lagi.
Untuk kelancaran pekerjaan segera ditetapkan beberapa peraturan untuk sekolahsekolah bumiputera dan sekolah-sekolah Belanda.
1.
Sekolah-sekolah Bumiputera
a.
Menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan guru sebagai persiapan
untuk mendirikan sekolah-sekolah bumiputera yang baru.
b.
c.
Bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumiputera dalah bahasa daerah atau
bahasa Melayu.
d.
Kurikulum wajib adalah: membaca, menulis, dan berhitung dan bahasa
Belanda.
e.
f.
Sekolah-sekolah Belanda
b.
c.
d.
Tahun 1914 dijadikan KIS dan menjadi bagian pengajaran rendah barat
e.
1.
2.
Sekolah kelas II (rakyat biasa), yang kemudian diubah menjadi sekolah Vervolg
3.
Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS bagi anak-anak
bangsawan dan aristocrat
2.
Sekolah rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school), yaitu sekolah
rendah untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing atau
Bumi putra dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818.
3.
Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah
rendah untuk anak-anak keturunan tmur asing, khususnya keturunan Cina. Pertama
didirikan pada tahun 1908 lama sekolah tujuh tahun.
4.
Sekolah Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah
rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli (anak-anak priyayi). Pada
umumnya disediakan untuk anak-anak golongan bangsawan, tokoh-tokoh
terkemuka atau pegawai negeri. Lamanya sekolah tujuh tahun dan pertama
didirikan pada tahun 1914.
2.
Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk
golonagan bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892
3.
Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra.
Lamanya sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907.
4.
Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakan kelanjutan
dari sekolah desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama
kali didirikan pada tahun 1914.
5.
Sekolah Peralihan (Schakelschool).Merupakan sekolah peralihan dari sekolah
desa (tiga tahun) kesekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra.
Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk
orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922 dijadikan HIS.
Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang
disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano
pada tahun 1865 dan 1872, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS.
1.
Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah
dan menerima sekolah lulusan bumi putra golongan priyayi kelas III (lima tahun)
atau sekolah lanjutan (vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan untuk
mendidik tukang-tukang. didirikan pada tahun 1881
2.
Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan
berbahasa pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan
HIS, HCS atau schakel. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya
antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piata batu
3.
Sekolah teknik (Technish Onderwijs) adalah kelanjutan dari Ambachtsschool,
berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah tersebut bertujuan untuk
mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga
teknik menengah dibawah insinyur.
4.
Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs). Tujuannya untuk memenuhi
kebutuhan perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat.
5.
Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs) pada tahun 1903 didirikan sekolah
pertaian Yang menerima lulusan sekolah dasra yang berbahasa penganatar
belanda. Pada tahun 1911 mulai didirikan sekolah pertanian (cultuurschool) yang
terdiri dari dua jurusan, pertanian dan kehutanan. Lama belajaranya sekitar 3-4
tahun, dan bertujuan untuk menghasilkan pengawas-pengawas pertanian dan
kehutanan. Pada rtahun 1911 didirikan pula sekolah pertanian menengah atas
(Middelbare Landbouwschool) yang menerima lulusan MULO atau HBS yang
lamanya belajar 3 tahun.
6.
Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs). Pendidikan ini
merupakan kejuruan yang termuda. Kemudian sekolah yang sejenis yang didirikn
oleh swasta dinamakan Sekolah Rumah Tangga (Huishoudschool). Lama belajarnya
tiga tahun.
7.
Pendidikan keguruan (Kweekschool). Lembaga keguruan ini adalah lembaga
yang tertua dan sudah ada sejak permulaan abad ke-19. Sekolah guru negeri yang
pertama didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Sebelum itu pemerintah telah
menyelenggarakan kursus-kursus guru yang diberi nama Normal Cursus yang
dipersiapkan untuk menghasilkan guru-guru sekolah desa. Pada abad ke-20
terdapat tiga macam pendidikan guru, yaitu:
8.
Normalschool,sekolah guru dengan masa pendidikan empat tahun dan
menerima lulusan sekolah dasar lima tahun, berbahasa pengantar bahasa dearah.
9.
Kweekschool, sekolah guru empat tahun yang menerima lulusan berbahasa
belanda.
10. Hollandschool Indlandschool kweekschool, sekolah guru 6 tahun berbahasa
pengantar Belada dan bertujuan menghasilkan guru HIS-HCS.
pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa
setiap guru agama harus minta izin dahulu. Peraturan itu besar sekali pengaruhnya
dalam menghambat perkembangan pendidikan Islam.
Umat Islam pada masa itu mengenal dua bentuk lembaga pendidikan yang dikelola
umat Islam dan yang dikelola kolonial. Sistem pendidikan yang dikelola Belanda
adalah pendidikan modern liberal dan netral agama. Namun kenetralan Belanda
ternyata tidak konsisten karena Belanda lebih melindungi Kristen dari pada Islam.
Mereka menganggap Islam memiliki kekuatan politik yang membahayakan mereka.
Maka Islam senantiasa mengalami tekanan dan selalu diawasi gerak geriknya.
Pada tahun 1832 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang
bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut
Presterraden. Atas nasihat dari badan inilah maka pada tahun 1905 M pemerintah
mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran
(pengajian) harus meminta izin lebih dahulu. Pada tahun 1925M pemerintah
mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam
yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Pada
tahun 1932M keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup
madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang
tidak disukai oleh pemerintah yang disebut ordanansi sekolah liar[12]
Selanjutnya pada bagian ini akan dijelaskan periode pendidikan Islam yang dibagi
ke dalam tiga bagian. Pertama, pendidikan Islam sebelum tahun 1900. Kedua,
pendidikan pada masa peralihan. Ketiga, Pendidikan Islam sesudah 1909.
4.
5.
Metode: halaqoh
6.
Waktu belajar: biasanya berlangsung kurang lebih setahun, tetapi kadangkadang hanya diikuti beberapa bulan saja. Biasanya pelajaran diberikan pada pagi
hari dan malam hari, berlangsung kira-kira dua jam lamanya.
Sebagai lembaga sosial langgar itu penting artinya. Anak-anak rakyatlambat laun
menyadari menjadi anggota persekutuan besar, yaitu persekutuan umat Islam[14].
2.1.2. Pesantren
Pengajaran yang lebih lanjut dan lebih mendalam diberikan di pesantren. Berikut
komponen lembaga pesantren pada masa ini:
1.
Tujuan : sama dengan pendidikan langgar yaitu memberikan pengetahuan
tentang agama (membaca al-Quran sampai tamat), bukan memberikan
pengetahuan umum.
2.
Kurikulum : Ushuluddin (pokok-pokok ajaran kepercayaan), Usul Fiqh (alat
penggali hukum dari Quran dan Hadist, Fiqih, dan ilmu Arobiyah (untuk mendalami
bahasa agama)
3.
Metode : sorogan (bimbingan individual) dan bandongan atau halaqah
(semaca, ceramah umum)[15]
4.
5.
Peserta didik : dinamakan santri pada umumnya terdiri dari anak-anak yang
lebih tua dan telah memiliki pengetahuan dasar yang telah mereka peroleh di
langgar.
6.
Lama belajar : ada yang setahun, ada juga yang sampai sepuluh tahun atau
lebih. Banyak santri yang belajar pada beberapa pesantren. Pelajaran pertama
diberikan pada pagi hari, sesudai selesai sembahyang subuh. Sesudah itu para
santri melakukan kerja bakti bagi bagi gurunya, umpamanya: membersihkan
halaman, berkebun, bekerja di sawah, dan sebagainya. Sesudah makan siang
semua istirahat, untuk kemudian dimukai lagi dengan pelajaran dan diselingi
dengan menghapal. Bada maghrib ataau bada isya dimulai lagi dengan pelajaran.
2.
3.
Buku pelajaran pada mulanya dikarang oleh ulama Indonesia dan
diterjemahkan ke dalam bahasa daerah setempat
4.
5.
Pelajaran suatu ilmu, hanya diajarkjan dalam satu macam buku saja
6.
Toko buku belum ada, yang ada hanya diajarkan dalam satu macam buku saja
7.
8.
Pada periode ini memang sulit untuk menentukan secara pasti kapan dan dimana
surau atau langgar dan pesantren pertama kali berdiri. Kendati demikian dapat
diketahui bahwa pada abad ke-17 M di Jawa telah terdapat pesantren Sunan Bonang
di Tuban, Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti dan sebgainya. Namun
sebenarnya jauh sebelum itu telah ada sebuah pesantren di hutan Glagah Arum
(sebelah selatan Jepara) yang didirikan oleh Raden Fatah tahun 1745. Sementara di
Sumatra tempat pengajian diseb surau yang sangat sulit untuk dilacak secara pasti
tahun dan dimana berdirinya.
2.2 Pendidikan Islam pada masa peralihan (1900-1908)
Kalau sebelum tahun 1900 lembaga-lembaga pendidikan Islam masih relatif sedikit
dan berlangsung secara sederhana. Lain halnya setelah itu. Dalam periode yang
disebut peralihan ini telah banyak berdiri tempat pendidikan Islam terkenal di
Sumatera, seperti Surau Parabek Bukit Tinggi (1908) yang didirikan oleh Syekh H.
Ibarahim Parabek dan di Pulau jawa seperti pesantren Tebuireng pendirinya adalah
K.H. Hasyim Ashari. Namun sistem madrasah belum dikenal.[17]
Periode peralihan ini boleh dikatakan dipelopori oelh Syekh Kharib Minangkabau dan
kawan-kawannya yang banyak mengajar menddik dan mengajar pemuda di
Mekkah, terutama pemuda-pemuda yang berasal dari Indonesia dan Malaya. Muridmurid beliau seperti H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), K.H. Ahmad
Dahlan (pendiri Muhammadiyah) di Yogyakarta dan kemudian Nahdatul Ulama.
Dengan demikian sudah barang tentu murid-murid mereka yang kembali dari
Mekkah ikut andil dalam pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia sekembalinya
dari Mekkah.[18]
Berikut ini adalah materi pendidikan Islam yang berkembang di Minangkabau :
- Belajar huruf Hijaiyyah
- Pengajian kitab yang terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu:
1.
Mengaji Nahwu, Sarf, dan fiqih dengan kitab-kitab Ajrumiyah, Matan bina,
Fathul Qarib, dan sebagainya.
2.
Mengaji Tauhid dengan kitab-kitab sanusi, Syekh Khalid (Azhari dan
Asymawi), Fathul Muin, dan lainnya.
3.
Mengaji tafsir dengan kitab Kifayatul Awam (Ummul Barahin, Baidawi, Jalalin,
dan lain-lain.
- Penga;jian ilmu tasawuf, mantiq, dan Balagoh. Kitab yang digunakan adalah kitab
Sullam, Idahul Mubham, Jauhar Maknun/Talkhis, dan Ihya Ulumudin.[19]
Adapun ciri-ciri pelajaran agama Islam pada masa peralihan ini berupa :
1.
2.
3.
Buku peljaran semuanya karangan ulama Islam kuno dan dalam bahasa Arab
4.
5.
Suatu ilmu diajarkan dari beberapa macam buku, rendah, menengah, dan
tinggi.
6.
Lahirnya aliran baru dalam Islam seperti yang dibawa oleh Majalah al-Manar di
Mesir mulai lahir[20]
Dengan demikian terlihat jelas adanya perbedaan pelaksanaan pendidikan islam
pada masa peralihan dengan masa sebelum tahun 1900. Terlihat bahwa pendidikan
Islam setelah tahun 1900 sudah mengalami kemajuan sedemikian rupa. Padahal
waktu itu kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap poendidikan Islam di
Indonesia sedang ketat-ketatnya.
pesantren tradisional sudah tidak begitu sesuai dengan iklim Indonesia dan jumlah
murid yang ingin belajar dari hari ke hari semakian bertambah. Maka dirasakan
penting memberikan pendidikan secara teratur d madarasah atau sekolah.
Dengan demikian selain dua corak pendidikan sebelumnya, yaitu corak pendidikan
Belanda yang khusus berpusat pada pengetahuan dan keterampilan duniawi serta
dikelola secara modern dan hanya kalangan tertentu yang bisa memasuki sekolah
ini, serta pendidikan Islam yang berpusat pada pengetahuan dan keterampilan yang
berguna bagi penghayatan agama yang dikelola secara tradisional, maka muncullah
corak pendidikan ketiga yang merupakan perpaduan antara corak pertama dan
kedua. Corak pendidikan ini muncul bersamaan dengan lahirnya madrasahmadrasah yang berkelas yang muncul sejak tahun 1909 yang dipelopori oleh para
pembaharu di Indonesia.
Tampaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya
mempunyai latar belakang, diantaranya:
1.
2.
Unruk penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem
pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang
sama dengan sekolah umum, misalnya kesamaan kesempatan kerja dan
memperoleh ijazah
3.
Adanya sikap mental pada sebagian umat Islam, khususnya santri yang
terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka
4.
Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional oleh
pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi[21]
Berdiri pada tahun 1907 di Padang Panjang. Pendirinya adalah H.Abdullah. sekolah
ini merupakan HIS pertama di Minangkabau.
Sebagai sekolah yang merupakan bentuk adaptasi dati sistem pendidikan suarau ke
sistem Barat maka perhatian terhadap pendidikan agama sangat kecil. Pendidikan
umum lebih ditekankan daripada pendidikan agama. Hal inilah yang membedakan
antara HIS Belanda dan HIS H. Abdullah yaitu diajarkannya pendidikan agama dan
Al-Quran sebagai mata pelajaran wajib[22]
2.
3.
Sumatera Thawalib
Lahirnya madrasah pada tahun 1918 di padang karena jasa Syekh H. Abdul Karim
Amrullah. Sistem pendidikan halaqah diganti dengan sitem pendidikan berkelaskelas. Berbeda dengan diniyah school, thawalib belum menambahkan materi
pelajaran umum namun sudah menggunakan literatur klasik dan modern[24]
4.
Madrasah Muhammadiyah
Organisasi sosial yang berperan dalam melakukan perubahan sistem atau lembaga
pendidikan Islam terutama di Jakarta. Lengkapnya Al-Jamiatul Khairiyah. Merupakan
organisasi pendidikan Islam tertua di Jakarta, didirikan tahun 1901 dengan peran
besar para ulama asal Arab Hadramaut dan juga pemuda Alawiyyin, seperti Habib
Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, Sayid Muhammad Al-Fakir Ibn.
Abn. Al Rahman Al Mansyur, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab,
Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin
2.
ekonomi dan kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas para tokoh
masyarakat , santri, pedagang, dan petani.
Langkah-langkah perbaikannya meliputi delapan bidang perbaikan yng disebut
dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah
al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan bidang
pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang keluarga), islah al-adah (perbaikan
bidang kebiasaan), islah al-mujtama (perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad
(perbaikan bidang perekonomian), dan islah al-ummah (perbaikan bidang hubungan
umat dan tolong-menolong).
Pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul Halim mendirikan Jamiyah Ianah al-Mutaalimin
sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang pendidikan. Untuk ini ia
menjalin hubungan dengan Jamiyat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Melihat
sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong
pemerintahan, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan. Dengan
dorongan dari sahabatnya, HOS. Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu
itu), pada tahun itu juga ia mendirikan Persyarikatan Ulama. Organisasi ini diakui
oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917. Pada tahun
1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada
tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia.
Abdul Halim juga memandang perlu memberikan bekal keterampilan kepada anak
didik agar kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau menjadi
pegawai pemerintah. Ide ini direalisasinya dengan mendirikan sekolah /pesantren
kerja bersama bernama Santi Asromo pada bulan April 1942, yang bertempat di
Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Di samping mengembangkan
bidang pendidikan, Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu
menjalin hubungan dengan beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti
dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII)
di Sukabumi. Inti dakwahnya adalah mengukuhkan ukhuwah Islamiah (kerukunan
Islam) dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna
mengusir penjajahan. Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim
menganut paham ahlussunnah waljamaah, yang dalam fikihnya mengikuti paham
Syafiiyah. Pada tahun 1942 ia mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan
Umat Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan fusi dengan Persatuan
Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi Persatuan Umat Islam (PUI), yang
berkedudukan di Bandung[27]
3.
juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad
SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang
terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam
bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan
masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar
agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai
sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga
menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintahperintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orangorang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah,
mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam
secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan
tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan
ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat
gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit,
panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.[28]
4.
Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-Alamah Syeikh Ahmad Surkati AlAnshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya
Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jamiat Khair
-yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan
Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905.
Perhimpunan Al-Irsyad mempunyai sifat khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah
Islamiyyah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di bidang
pendidikan, pengajaran, serta social dan dakwah bertingkat nasional. (AD, ps. 1
ayat 2).
5.
6.
B.
bahan mentah dan tenaga manusia yang sangat besar artinya bagi kelangsungan
perang Pasifik. Hal ini sesuai dengan cita-cita politik ekspansinya[31]
Mengenai pendidikan zaman jepang disebut Hakko Ichiu, yakni mengajak bangsa
Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya.
Oleh karena itu pelajar setiap hari terutama pada pagi hari harus mengucapkan
sumpah setia kepada kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran. Sistem persekolahan di
zaman pendudukan Jepang banyak perbedaannya dibandingkan dengan penjajahan
Belanda.[32]
Jepang mengadakan perubahan di bidang pendidikan, di antaranya menghapuskan
dualisme pengajaran. Dengan begitu habislah riwayat penyusunan pengajaran
Belanda yang dualistis membedakan antara pengajaran barat dan pengajaran
pribumi. Adapun susunan pengajaran menjadi, pertama, Sekolah Rakyat enam
tahun (termasuk sekolah pertama). Kedua, sekolah menengah tiga tahun. Ketiga,
sekolah menengah tinggi tiga tahun (SMA pada zaman Jepang).
Kebijakan politik Jepang tampaknya tidak jauh dari skenario yang dibuat Snouck
Hurgronje, yaitu memisahkan Islam dari politik praktisnya. Jepang mulai
menerapkan pengawasan secara ketat terhadap organisasi-organisasi Islam,
terutama terhadap pendidikan Islam. Namun, paradok dengan yang pertama, rezim
pendudukan Jepang juga membuka peluang bagi pemimpin-pemimpin Islam terlibat
dalam organisasi-organisasi politis yang diciptakannya. Dalam memobilisasi Islam
Indonesia, pemerintah Jepang menciptakan hubungan yang sangat dekat dengan
elit muslim.[33]
Dengan semboyan Asia untuk bangsa Asia, Jepang menguasai daerah yang
berpenduduk lebih dari 400 juta jiwa, yang antara lain menghasilkan 50% produksi
karet dan 70% produksi timah dunia, Indonesia yang kaya akan sumber bahan
mentah merupakan sasaran yang perlu dibina dan dimanfaatkan sebaik-baiknya
untuk kepentingan perang Jepang. Itulah sebabnya, Jepang menyerbu Indonesia,
karena tanah air Indonesia merupakan sumber bahan-bahan mentah dan tenaga
manusia yang kaya raya sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik. Hal
ini sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya.
Tujuan pendidikan pada zaman Jepang tidaklah hanya memenangkan peperangan.
Secara konkret tujuan yang ingin dicapai Jepang adalah menyediakan tenaga cumacuma (rumosha) dan prajurit-prajurit yang membantu peperangan bagi kepentingan
Jepang. Oleh karena itu, para pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, kemiliteran
dan indoktrinasi ketat. Pada akhir zaman Jepang tampak tanda-tanda tujuan
menjepangkan anak-anak Indonesia. Maka dikerahkan barisan propaganda Jepang
yang terkenal dengan nama sedenbu, untuk menanamkan ideologi baru, untuk
menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Untuk menyebarluaskan ideologi dan semangat Jepang, para guru digembleng
secara khusus oleh pemimpin-pemimpin Jepang, selama tiga bulan di Jakarta.
Mereka diwajibkan meneruskan materi yang telah diterima itu kepada temantemannya. Untuk menanamkan semangat Jepang, murid-murid diajarkan bahasa
Jepang, nyanyian-nyanyian semangat kemiliteran.[34]
Ada beberapa segi positif pada zaman penjajahan Jepang, yaitu :
1.
Jepang memerikan pendidikan militer kepada para pemuda Indonesia, dengan
maksud memperkuat pertahanan mereka. Namun, pendidikan ini secara tidak
langsung memberikan bekal kepada para pejuang bangsa dalam bidang
keprajuritan untuk mewujudkan cita-cita merdeka.
2.
Menghapus dualisme pendidikan penjajahan belanda dan nenggantinya
dengan dengan pendidikan yang sama bagi setiap orang. Sehingga bukan hanya
kelompok-kelompok tertentu yang dapat menikmati pendidikan, melainkan semua
lapisan masyarakat. Hal ini sudah tentu menguntungkan perjuangan kita.
3.
Pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh penjajah Jepang.
Bahasa Indonesia mulai dipakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor,
dan dalam pergaulan sehari-hari.[35]
Sekolah Negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran
agama.
Disamping itu pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah
untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam. Barisan ini
dipimpin oleh KH. Zainal Arifin.
Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang
dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakar, dan Bung Hatta.
Para ulama bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis diizinkan
membentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta).
Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis Islam
Ala Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.
Pada masa pendudukan Jepang, ada satu hal istimewa dalam pendidikan
sebagaimana telah dikemukakan, yaitu sekolah-sekolah telah diseragamkan dan
dinegerikan meskipun sekolah-sekolah swasta lain, seperti Muhammadiyah, Taman
Siswa dan lain-lain diizinkan terus berkembang dengan pengaturan dan
diselenggarakan oleh pendudukan Jepang.
Sementara itu khususnya pada awal-awalnya, madrasah dibangun dengan gencargencarnya selagi ada angin segar yang diberikan oleh Jepang. Walaupun lebih
bersifat politis belaka, kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja dan umat Islam
Indonesia memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Ini tampak di Sumatera
dengan berdirinya madrasah Awaliyahnya, yang diilhami oleh Majelis Islam Tinggi.
Hampir seluruh pelosok pedesaan terdapat madrasah Awaliyah yang dikunjungi
banyak anak-anak laki-laki dan perempuan. Madrasah Awaliyah ini diadakan pada
sore hari dengan waktu kurang satu setengah jam. Materi yang diajarkan ialah
membaca Alquran, ibadah, akhlak dan keimanan sebagai pelatihan pelajaran
agama yang dilakukan di sekolah rakyat pagi hari.
Oleh karena itu, meskipun dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena
murid-muridnya setiap harinya hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja
bakti (romusha), bernyanyi dan sebagainya, madrasah-madrasah yang berada di
dalam lingkungan pondok pesantren bebas dari pengawasan langsung pemerintah
pendudukan Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren dapat berjalan dengan
wajar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B.
Saran
Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk
menanamkan dengan kokoh kedalam setiap individu akan nilai-nilai ajaran agama
Islam agar individu tersebut dapat hidup sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional
seperti yang dicanangkan oleh pemerintah.
Pendidikan Agama Islam tidak hanya dapat diperoleh dari pendidikan formal saja,
melainkan juga dalam ditempuh melalui pendidikan nonformal maupun informal.
Oleh sebab itu sebagai calon seorang pendidik agama Islam hendaknya kita dapat
menempatkan diri sebagai seorang pendidik yang berkualitas tinggi baik di sekolah,
dimasyarakat maupun di dalam lingkungan keluarga. Baik mendapat perhatian dari
pemerintah maupun tidak, karena pada hakikatnya bukan kita yang mendidik
peserta didik/orang lain melainkan Allahlah yang menjadi sumber utamanya.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Muhammadiyah&printable=yes.
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Nahdlatul_Ulama&printable=yes
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Politik_Etis&printable=yes
http://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie
http://sundaislam.wordpress.com/2008/02/01/kiai-haji-abdul-halim/
http://uuntriwahyudi.blogspot.com/2011/05/pendidikan-islam-pada-masapenjajahan.html. Diakses Senin, 17 Oktober 2011
http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/1177. Diunggah pada tanggal 2112-2011.
http://www.slideshare.net/anannur/pendidikan-di-indonesia-pad .
http://www.taufikrahman.co.cc/2008/11/pendidikan-masa-politik-etis-di.html.
I Djumhur dan Danasaputra. Sejarah Pendidikan CV. Ilmu, Bandung, 1976.
Kartono , Kartini, 1997, Tujuan Pendidikan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan
Nasional, (Jakarta: PT Pradnya Paramita)
Moestoko, Somarsono. 1986. Sejarah Pendidikan dari jaman kejaman. Balai pustaka.
Jakarta.
Nizar, Samsul, Sejarah pendidikan Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta,
2007.
Nugroho, Rianti, 2008, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi,dan Strategi, (Jogjakarta:
Pustaka Pelajar)
Pidarta, Made, Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2007.
Riklefs,M.C.. 200. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. PT Serambi Ilmu Semesta.
Sjamsuddin, Helius. 1993. Sejarah Pendidikan Di Zindonesia zaman kemerdekaan
(1945-1950). Depdikbud. Jakarta.
Suwendi, (2004), Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Tafsir Ahmad, 2001, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam., PT. Remaja
Rosdakarya., Bandung
Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan Melacak Geneologi Pendidikan Islam
Indonesia,Media Press, Bandung, 2008.
Taufik Abdullah (Ed.), 1991, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia
Thohir Ajid, 2004, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak
Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politikm dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Tilaar, 2004, Manajemen Pendidikan Nasional, PT. Remaja Rosdakarya., Bandung,
Yamin, Moh., Menggugat Pendidikan Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz, 2009),
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, hidakarya Agung, Jakarta,
1985, hal. 62
Yusuf M. Kadar. 2012, Tafsir Tarbawi. Pekanbaru; Zanafa
Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
[33] Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 85
[34] H. A. Mustafa dan Abdullah Ally, Sejarah, hlm. 103-105
[35] Made pidarta, op cit, hal. 136
[36] Hasbullah, Sejarah, hlm. 64-65
[37] http://gracesmada.wordpress.com/mutu-pendidikan-indonesia/
[38] Moh. Yamin, 2009, Menggugat Pendidikan Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz), hlm.
87
[39] Ibid, 2009, h. 92.
[40] Ibid......
[41] M.C. Riklefs. 200. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. PT Serambi Ilmu
Semesta. H. 473-474
[42] Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Zindonesia Zaman
Kemerdekaan (1945-1950). Depdikbud. Jakarta. h. 59
[44] Munzir Hitami, 2004. Menggagas Kembali Pendidikan Islam. Yogyakarta: Infinite
Press, h.67
[45] Al-Chaidar, 1999, Reformasi Prematur Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total,
Jakarta : Darul Falah, h. 69
2.
1.
2.
3.
4.
Masuknya kebudayaan Hindu di beberapa daerah di pulau Jawa menjadi titik awal zaman
sejarah tulis menulis di Indonesia. Tulisan dengan huruf Pallawa yang berisi sastra, agama,
sejarah, etika menjadi sumber pendidikan golongan raja-raja dan bangsawan. Pendidikan
mengharuskan anak-anak, pemuda dan orang dewasa mempelajari huruf Pallawa. Zaman
pemerintahan Erlangga (990-1049) banyak buku-buku bahasa, sastra, hukum, filsafat
diterjemahkan ke bahasa Jawa kuno (Kawi) sehingga lahirlah guru-guru profesional pada
zamannya. Seorang guru profesional harus lahir dari kasta Brahmana sedang muridnya bisa
terdiri dari kasta Brahmana sendiri sandar 2 kasta di bawahnya, sebab kasta sudra tidak
diperkenankan menjadi murid.
56Puncak pendidikan Budha dicapai pada zaman Sriwijaya. Guru terkenal pada zaman
Sriwijaya ialah Darmapala dari Nalanda. Tahun 685, I Tsing (seorang Budhis Cina) yang pulang
dari India singgah di Sriwijaya menerjemahkan 100 buku agama Budha ke dalam bahasa Cina.
Bermula dari hal ini, agama Budha banyak dipelajari orang-orang sehingga akhirnya Budha
berkembang di pulau Jawa.
Sejarah Pendidikan pada Zaman Kerajaan Islam
Pada abad ke-13 Islam masuk ke Indonesia. Kerajaan Islam pertama di Jawa ialah
Demak, di Aceh Samudra Pasai, di Sulawesi kerajaan Goa dengan Raja Goa Alaudin dan di
daerah Maluku Kesultanan Ternate. Dari kerajaan-kerajaan itulah menjadi pusat penyebaran
agama Islam sehingga Islam tersebar ke seluruh nusantara. Bermula dari penyebaran Islam di
dalamnya inklusif pendidikan bercorak Islam tradisional dikembangkan. Sebagai pusat
perkembangan Islam, para kiai mendirikan pondok pesantren. Dalam pondok pesantren itu para
kiai hidup bersama santri memperdalam agama Islam.
Penyelenggaraan pendidikan agama Islam masih bersifat perorangan. Para kiai
membina umat Islam di daerahnya masing-masing dengan mendirikan pondok pesantren.
Terkenallah peran Walisanga di Jawa, para syeh Minangkabau dan pada akhirnya berdiri
kesultanan-kesultanan sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyebaran Islam.
Tujuan pendidikan Islam pada saat itu adalah mengabdi sepenuhnya kepada Allah
sesuai dengan tuntunan rasul Muhammad SAW ( Al Quran dan Sunah). Materi pendidikan yang
diberikan para kiai adalah keimanan, ketaqwaan, dan akhlaq. Untuk memperdalam ilmu tauhid
diberikan juga Arkanul Iman.
Untuk mencapai tujuan tersebut diberikan program belajar yang meliputi:
membaca Al Quran;
ibadat (berwudlu, shalat);
keimanan;
akhlaq.
Cara belajar saat itu adalah dengan model sorogan dan klasikal. Model sorogan atau
individual dilakukan dengan anak santri duduk bersila berhadapan dengan guru gaji untuk
membaca Al Quran, secara bergantian satu persatu sesuai dengan kemajuannya masing-masing.
Demikian pula dalam hal belajar berwudlu, salat seorang santri dibimbing langsung oleh guru.
Pendidikan akhlaq diberikan secara klasikal, guru bercerita tentang tarikh nabi, Sabat nabi, sifatsifat terpuji atau yang tercela dengan materi para tokoh pada zamannya. Lama belajar tidak
ditentukan, sangat bergantung pada kemampuan, kerajinan dan kemauan anak. Karena itu belajar
tidak dipungut biaya. Hal ini berlangsung sampai masuknya kebudayaan barat.
http://dikyilmahaq.blogspot.com/2013/12/sejarah-pendidikan-sebelumkemerdekaan.html tanggal 29 o9 2014 pukul23.14
BAB II
ISI
A. Pendidikan Zaman Hindu / Budha
1. Faktor-Faktor yang Memungkinkan Berkembangnya Peradaban Hindu atau
Budha
a.
Faktor Politis
Bangsa Indonesia mendapat pengaruh dari bangsa India bagian selatan, karena
pada saat itu terjadi peperangan antar India bagian selatan dan utara, kemudian
India bagian Selatan tersedak hingga ankhirnya mencari tempat hingga ke
Indonesia.
b.
Faktor Kultural
India memiliki tingkat peradaban bangsa lebih tinggi daripada Indonesia. Bangsa
India sudah mengenal system pemerintahan yang teratur dalam bentuk kerajaan,
mengenal tulisan dan karya sastra tinggi. Dibuktikan dengan ditemukannya prasasti
batu bertulis huruf Palawa dan bahasa Sangsekerta.
2.
Agama Hindu di India terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu Brahmanisme dan
Syiwanisme. Hindunisme yang datang di Indonesia adalah Syiwanisme, yang
pertama kali dibawa oleh seorang brahmana yang bernama Agastya. Salah satu
pandangan Syiwanisme berpandangan bahwa, tujuan hidup manusia ialah
mencapai moksa, suatu kejadian dimana manusia terlepas dari samsara
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan sendiri identik dengan tujuan hidup yaitu untuk mendapat moksa
bagi agama Hindu dan mencapai nirwana bagi agama Budha.
b.
Sifat Pendidikan
Seperti telah dikemukakan bahwa pendidikan masih bersifat informal, belum ada
pendidikan formal dalam bentuk sekolah seperti sekolah kita kenal saat ini. Namun
demikian ada beberapa tempat yang biasa dijadikan sebagai lembaga pendidikan.
c.
Jenis-Jenis Pendidikan
Beberapa jenis pendidikan pada zaman Hindu Budha dapat diklasifikasikan kepada
beberapa jenis, diantarnya:
1) Pendidikan Intelektual
Kegiatan Pendidikan ini dikhususkan untuk menguasai kitab-kitab suci, Veda
dipelajari oleh kaum Brahmana, dan kitab Tripitaka dipelajari oleh Budha. Pada
waktu itu hanya golongan Brahmanalah yang berhak memepelajari kitab suci Veda.
Pendidikan intelektual juga berkaitan dengan penguasaan doa dan mantera, yang
berkaitan dengan penguasaan alam semesta, pengabdian kepada Syiwa dan Budha
Gutama.
2) Pendidikan kesatriaan
Kegiatan pendidikan ini dilakukan untuk mendidik kaum bangsawan keluarga istana
kerajaan, untuk memiliki pengetahuan dan berkaitan dengan mengatur
3) Pendidikan keterampilan
Pendidikan keterampilan yang diajukan bagi mesyarakat/rakyat jelata berlangsung
secara informal yang berlangsung dalam keluarga, sesuai dengan keterampilan
yang dimiliki orang tuanya. Seorang pemahat akan diwariskan keterampilannya
kepada anak-anaknya. Begitu pula para petani, nelayan, dan sebagainya.
d. Lembaga Pendidikan
Seperti telah dikemukakan bahwa pendidikan masih bersifat informal, belum ada
pendidikan formal dalam bentuk sekolah seperti sekolah kita kenal saat ini. Namun
demikian ada beberapa tempat yang biasa dijadikan sebagai lembaga pendidikan.
1) Pecatrikan/Padepokan
Kata pecatrikan berasal dari kata catrik yaitu murid-murid yang belajar pada guru di
suatu tempat disebut juga padepokan. Dari kata catrik dan pecatrikan muncullah
kata santi dan pesantren. Jadi sebetulnya lembaga pesantren sudah dikenal sejak
zaman Hindu Budha. Sistem pendidikannya yaitu peran guru dipegang oleh
Brahman atau pendeta yang duduk dilingkari oleh murid-muridnya. Guru tidak
menerima gaji namun dijamin oleh murud-muridnya unti hidup. Dan yang menjadi
dasar pendidikannya adalah agama Budha dan Hindu.
2) Pura
Pura adalah tempat yang diperuntukan bagi putra putri raja belajar, dimana yang
mereka pelajari berkaitan dengan hidup sopan santun, mengatur Negara, dan ilmu
bela diri baik fisik maupun batin.
3) Pertapaan
Pertapaan merupakan tempat yang digunakan para masyarakat awam untuk
menanyakan berbagai hal kepada para petapa karena mereka dianggap memiliki
pengetahuan yang lebih atau mengetahui segalanya, sehingga pertapaan dikatakan
lembaga pendidikan.
4) Keluarga
Keluarga disebut lembaga pendidikan karena di dalamnya terjadi partisipasi dan
imitasi dalam menyelesaikan pekerjaan orang tua yang dilakukan anak-anak dan
anggota keluarga lainnya.
e.
Pada zaman jayanya Hindu dan Budha di Indonesia ini telah terjadi perkembangan
ilmu pengetahuan dan karya seni sangat tinggi. Seperti pada saat itu telah berdiri
lembaga pendidikan setaraf perguruan tinggi oleh kerajaan Sriwijaya. Perguruan
tinggi tersebut dapat menampung berates-ratus mehasiswa birawan Cina dapat
belajar di Sriwijaya sebelum melanjutkan belajar di India. Saat itu dikenal mahaguru
yang disebut Dharmapala yang mengajar agama Budha Mahayana.
Sampai jatuhnya Majapahit ilmu penetahuan terus berkembang hampir di berbagai
bidang. Hingga akhirnya melahirka empu-empu, para pujangga, karya arsitektur
baik dalam seni bangunan maupu n seni pahat yang bermutu tinggi.
B. Pendidikan Zaman Islam
1.
Islam masuk ke Indonesia tidak dapat ditentukan tahunnya dengan pasti. Masuknya
Islam ke daerah Aceh diketahui dari tulisan pengalaman Marco Polo dalam
perjalananya ke Tiongkok. Dalam perjalanan pulang dari Tiongkok ia singgah di
pantai utara Sumatera, dan sampai di Peureula, yang kemudian lebih dikenal
dengan nama Perlak (Aceh, tahun 1292). Marco Polo yang dari Venesia Italia itu
telah beragaa Islam. Mengethui bagaimana masuknya ke Indonesia terdapat
beberapa pendapat yang berbeda, yaitu:
a. Islam Masuk ke Indonesia Melalui Persia
Bukti dari pendapat ini ialah sebutan ejaan tulisan Arab seperti jabar, jeer, dan pees
(pjes) merupakan bahasa Iran, sedangkan dalam Bahasa Arab adalah bergigi. Bulan
Muharram merupakan wafatnya Husen di Karballa, di Iran diperingati dengan
mengadakan upacara mengarak peti mati pada Muharram ditemukan di
Minangkabau (bulan Tabut) dan Aceh (bulan Asan Usen) (Prof. Dr. P.A Hoesien
Djajadiningrat).
b.
Dibuktikan dengan adanya makam raja Islam yaitu Maliku Saleh. Batu nisan di atas
makam itu bertuliskan ayat-ayat Quran dengan huruf arab dan bentuknya sama
dengan batu nisan yang ada di Gujarat, yaitu ukiran-ukiran yang bercorak Hindu
gaya Gujarat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pwngaruh islam dibawa dari
Gujarat (Dr. R.M. Soetjipto Wirjoesoparto).
c.
Agama Islam masuk ke Indonesia langsung dari mekah melalui mesir. Pendapat ini
dikemukakan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Adapun alas an-alasan
yang dikemukakan HAMKA adalah terdapat Mazhab dari raja, ulama yang mengajar
ilmu tasawuf, batu nisan kuburan tua di Gresik dan Pasai, dan tasawuf dari india.
Sebutan islam bukanlah nama yang diberikan oleh pemeluk agama islam melainkan
nama Islam diberikan oleh Maha Pencipta Allah swt yang tercantim dalam kita suci
Al-quran (Al-Imran:19 dan 85; Al-Maidah : 3 ). Ajaran islam dibangun atas tiga
ajaran pokok, yaitu:
1) Iman adalah percaya dan meyakini dalam hati adanya Allah, malaikat, rosul,
kitab, hari kiamat, qada dan qadar
2) Islam adalah mengabdikan dan menyerahkan diri kepada Allah SWT
3) Ikhsan adalah melakukan perbuatan baik kepada Allah dan beramal sholeh
kepada sesama
3.
a.
Pendidikan
Perkembangan Pendidikan
Yang menjadi dasar pendidikan ialah ajaran islam yang mengandung kerangka
Iman, Islam, dan Ikhsan.
Tujuan pendidikan islam haruslah dalam rangka meningkatkan pengabdian manusia
kepada Allah. Pengabdian manusia kepada Allah dapat dilihat dari dua aspek.
Pertama manusia sebagai hamba Allah yang memegang teguh aturan-aturan-Nya
dalam hubungan manusia kepada Allah. Kedua menusia dalam keberadaanya selalu
berhubungan dengan manusia lainya, ia memiliki aturan-aturan hidup yang yang
telah diakuinya menjadi pola kehidupan bersama.
Tujuan pendidikan pada zaman islam adalah:
1)
Memiliki penetahuan praktis yang sangat berguna untuk hidup di dunia
yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
2)
Memiliki pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Al-Quran, sunnah,
Ijma, Qiyas, karena islam yang berkembang pada waktu itu adalah mazhabsyafiI
dan al-Ghazali.
3)
Menjadi manusia yang menjalankan agama islam, manusia yang
mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah.
c.
Lembaga-Lembaga Pendidikan
Perluasan agama islam tidak berlaku dengan kekerasan dan peperangan (di
Indonesia), melainkan secara damai dan secara edukatif melalui lembaga-lembaga
pendidikan yang berkembang pada waktu itu. Pendidikan merupakan suatu
tuntutan agar semua umat islam mendapatkan pengajaran. Pendidikan
diselenggarakan dilanggar-langgar, masjid, surau (Minangkabau) atau di rangkang
(aceh). Lembaga-lembaga pendidikan yang digunakan untuk mengembangkan
ajaran di Langgar dan Pondok Pesantren.
1) Langgar
Dilanggar inilah dilaksanakan berbagai kegiatan seperti salat, upacara-upacara
keagamaan dan tempat belajar yang diajarkan dilanggar adalah dasar tentang
agama islam seperti: huruf arab dalam belajar Quran ibadat (cara-cara shalat,
berwudhu dan sebagainya ), rukun islam, rukun iman, sifat dua puluh, merupakan
lembaga pendidikan dasar dalam mempelajari ajaran Islam.
2) Pondok Pesantren
Pondok Pesantren merupakan pendidikan lanjutan setelah pendidikan yang
dilaksanakan dilanggar. Sistem pesantren ini telah berlangsung sejak zaman
Hindu/Budha termasuk di India. Mungkin juga dari kata pesastrian, dengan kata
dasar sastri, atau sastra yang artinya huruf atau bahasa, dipesastri murid-murid
belajar huruf palawwa dan bahasa sangsakerta sebagai huruf dan bahasa kitab suci
Veda maupun tripitaka. Pesantren Hindu/Budha (India), setelah datang pengaruh
islam, system tersebut dilanjutkan. Perbedaan pesantren Hindu/Budha dengan
pesantren Islam hanya dalam materi yang diberikan. Pesantren Hindu/Budha yang
diberikan.
Di pesantren tidak ada kurikulum dan pengetahuan umum seperti di negara-negara
besar di Eropa. Hal tersebut menunjukan bahwa dalam system pesantren begitu
kuatnya pengaruh Hindu. Pengaruh ini juga terlihat pada penghormatan terhadap
guru yang sangat besar. Sehingga apa yang dikatakan guru dianggap sebagai suatu
kebenaran.
Terdapat perubahan-perubahan yang cukup penting dalam system pengajaran di
pesantren, antara lain dengan dimasukanya pengetahuan umum dan keterampilan
dalam system pembelajaran di pesantren.
d. Metoda Pendidikan
1) Metode Sorongan (individual)
Metode membaca Al Quran dimulai dengan pengenalan huruf serta tanda-tandanya
untuk langsung membaca surat kecil (surat-surat pendek). Apabila sudah lancar
dilanjutkan dengan membaca Quran sampai tamat. Metode individual ini dilakukan
juga tingakatan lanjutan pesantren dalam belajar kitab, baik kitab kecil maupun
kitab besar. Untuk membantu para kyai, Kyai sering mengangkat santrinya yang
senior ilmu dengan gelar guru muda, atau biasa disebut juga mentor. Mereka inilah
yang membantu mengajar santri-santri.
2) Metode Halaqah/palagan
Metode ini dilakukan secara klasikal diberikan oleh kyai kepada guru muda dan
santri yang pandai. Metode pendidikannya yaitu Kyai duduk di tengah-tengah para
santri yang duduk melingkar dan yang mereka pelajari adalah cara membaca Al
Quran, terjemahan Al Quran dan penjelasannya. Kemudian para santri
mendengarkan, menulis terjemahan, dan diadakan juga tanya jawab.
e.
Ciri-Ciri Pendidikan
langgar maupun di pesantren mereka sudah memeluk agama islam dan berduyunduyun berlomba membaca Al Quran, minimal mereka dapat membacanya.
http://nurfitriramdhani.blogspot.com/2013/06/landasan-historis-pendidikan_19.html
Pada masa kerajaan Hindu seperti kerajaan Kutai , Taruma Negara, Majapahit , lalu
kerajaan budha seperti kerajaan kalingga , sriwijaya sampai pada masa kerajaan
islam seperti Kerajaan Samudra Pasai, Demak , Mataram dan Banten. Pendidikan di
zaman kerajaan nusantara masihlah sangat sederhana konteksnya, yakni hanya
menyudut pada agama (kepercayaan) karena di zaman kerajaan rakyat pada
umumnya masih sangat dangkal dengan ilmu pengetahuan yang di sebabkan
rakyat masih kental dengan ajaran animisme , dinamisme, politheis dan monotheis.
Dalam prakteknya pun sangatlah lah sederhana seperti mengadakan perkumpulanperkumpulan lalu ceramah menyebarkan doktrin dogma-dogma pada rakyat.
Semua doktrin dogma-dogma itu yang di sebarkan tidak lain hanya berorientsi
untuk menyebarkan agama dan menggalang kekuatan kerajaan demi memperlebar
daerah kekuasaan dengan cara berperang yang dimana pasukannya adalah para
penganut dogma-dogma hasil doktrin kerajaan tersebut. Seperti itulah pendidikan
yang terjadi dalam masa kerajaan. Oke kita lanjut pada periode seterusnya .
http://prakosobeni.wordpress.com/2012/10/13/sejarah-pendidikan-bangsaindonesia/
kerangka penyebaran agama islam. Ketika zaman Hindu dan Budha, perkembangan
pendidikan disesuaikan dengan pusat pertumbuhan masyarakat Hindu dan Budha
yang berkembang bersama kerajaan besar yang ada di Jawa dan Sumatera.
Kemudian kedua agama yaitu hindu-budha tersebut berkembang ke berbagai
negara di Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk ke Indonesia yang akhirnya
mempengaruhi kebudayaan Indonesia begitu juga dengan pendidikan yang
diajarkan agama Hindu-Budha.
Menurut catatan I-Tsing, seorang peziarah dari China, ketika melewati Sumatera
pada abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di dalamnya
berdiam para cendekiawan yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut tidak
saja menjadi pusat transmisi etika dan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga seni dan
ilmu pengetahuan. Lebih dari seribu biksu Budha yang tinggal di Sriwijaya itu
dikatakan oleh I-Tsing menyebarkan ajaran seperti yang juga dikembangkan
sejawatnya di Madhyadesa (India). Bahkan diantara para guru di Sriwijaya tersebut
sangat terkenal dan mempunyai reputasi internasional, seperti Sakyakirti dan
Dharmapala. Sementara dari pulau Jawa muncul nama Djnanabhadra. Pada masa
itu, para peziarah Budha asal China yang hendak ke tanah suci India, dalam
perjalanannya kerap singgah dulu di nusantara ini untuk melakukan studi
pendahuluan dan persiapan lainnya.
Tunggal Ika, yakni dewa-dewa yang ada dapat dibedakan (bhinna), tetapi itu (ika)
sejatinya adalah satu (tunggal). Sekalipun demikian, patut diketahui sempat adanya
sejarah konflik politik antar kerajaan yang berbeda agama pada masa-masa
permulaannya.
relief hindu budha
Gambar : Peninggalan Hindu Budha
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam
kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan
dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual
religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan
bahwa:
1. Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan
tingkat tinggi
2. Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang
lain;
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/11/pendidikan-indonesia-masa-hindubudha.html
A.
PENDAHULUAN
indigenous keindonesiaan (dengan tradisi Hindu dan Budha) dengan nuansa Timur
Tengah, seperti berdirinya surau, langgar, musholla, masjid dan pesantren[2] yang
kemudian mengalami modernisasi seperti madrasah dan perguruan Tinggi.
Meskipun sebagaian ahli dan sejarawan Islam berasumsi bahwa masuknya Islam ke
Indonesia pada abad ke-7 Masehi[3] dan dapat tersebar serta berkembang pada
abad ke-15 yang kemudian secara resmi dianut oleh mayoritas rakyat dan
penguasa pada abad ke-16, bukan berarti lembaga pendidikan Islam sudah
tersistem pada masa-masa itu. Masih menguatnya sistem ajaran Hindu dan Budha
yang menjadi kendala tersendiri bagi perkembangan pendidikan agama Islam,
menjadikan lembaga-lembaga pendidikan Islam pada masa awal masih banyak
mengadopsi sistem Hindu. Surau dan Pondok Pesantren awalnya meupakan tempat
belajar dengan sistem Hindu, namun dalam perkembangan selanjutnya diislamisasi
sesuia dengan lembaga pendidikan Islam. Hingga akhirnya pada awal abad 19 oleh
para sejarawan barulah disiyalir sebagai awal perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia. Abad ini dianggap demikian sebab saat itu merupakan babak baru
kondisi pendidikan Islam di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangannya begitu
pesat, serta pengelolaan juga terorganisir secara rapi. Kondisi ini disebabkan
masuknya pemikiran pembaruan dari Timur Tengah serta sudah adanya kompetisi
dengan pendidikan modern oleh pemerintah Belanda.[4]
Kedatangan Islam di Nusantara memang hampir bersamaan dengan, atau segera
disusul oleh kedatangan kaum kolonialis Eropa.[5] Penjajahan Belanda yang
berlangsung kurang lebih tiga setengah abad tersebut, kemudian menghalangi
gerak dakwah para ulama dan kyai yang datang dari Timur Tengah. Sebagai contoh
dari bentuk penghalangan Belanda terhadap gerak dakwah para ulama dan kyai
Timur Tengah tersebut adalah adanya perlakuan diskriminatif yang diwujudkan
dalam bentuk Kebijakan dengan mewajibkan para kyai dan ulama yang akan
melakukan pengajaran atau pengajian agar izin dahulu terhadap Belanda, padahal
tidak semua ulama atau kiyai juga diberi izin untuk mengajar. Tindakan diskriminatif
lainnya juga bahwa kolonial Belanda mempersulit perjalanan ke luar negeri untuk
melakukan ibadah haji. Perizinan untuk melakukan perjalanan dari satu provinsi ke
provinsi lain untuk pelaksanaan penyebaran agama Islam juga sangat dibatasi. Atas
keadaan inilah, maka keadaan pendidikan Islam di Indonesia sangat terhambat
dengan kualitas sangat memprihatinkan. Transmisi keilmuan dan interaksi
intelektualitas dengan negeri-negeri Muslim juga terhenti, sampai ketika Belanda
berusaha membuat lembaga pendidikan yang bercorak Barat, umat Islam tidak mau
ketinggalan dengan memperkuat lagi peran pesantren yang lebih berupa
padepokan dengan penekanan aktifitas pada kegiatan tarekat. [6]
Dalam sistem stratifikasi sosial kolonial yang paling tidak diuntungkan dalam sistem
pendidikan colonial adalah mereka yang diidentifikasi oleh Clifford Geertz sebagai
golongan santri. Di bawah pimpinan para ulama, golongan santri yang juga
disebut sebagai kelompok sosial yang paling banyak melahirkan wirausahawan
pribumi itu merupakan golongan yang dalam hal pendidikan modern termasuk
Pada awal abad ke-19, sistem pendidikan di Indonesia masih bersifat tradisional dan
hanya dikenal satu jenis pendidikan yang disebut dengan lembaga pengajaran
asli atau sekolah agama Islam yang berbentuk masjid, langgar, surau dan
pesantren. Pendidikan dasar disebut nggon ngaji, sementara pendidikan
lanjutannya adalah pondok pesantren yang keduanya tidak terdapat keterkaitan
secara formal.[9] Sistem pendidikan ini menitikberatkan pada pembelajaran baca
al-Quran, pelaksanaan sholat dan pengetahuan-pengetahuan yang terkait degan
pokok-pokok ajaran agama. Nggon Ngaji ini tidak terlembaga secara baik. Dalam
perkembangan selanjutnya, setelah Indonesia merdeka dan disusul dengan
berdirinya Depaetemen Agama, lembaga-lembaga non formal tersebut mulai
disempurnakan kurikulumnya, sistem pendidikan sehingga memunculkan lembaga
pendidikan yang disebut madrasah diniyah.[10]
Selain nggon ngaji yang mayoritas terdapat di Jawa, di Sumatra juga dikenal
lembaga pendidikan Islam yang disebut Surau. Sebelum datangnya Islam, di
Minangkabau telah ada surau yang fungsinya bukan seperti sekarang yang telah
mengalami Islamisasi, melainkan sebagai tempat menyembah arwah nenek
moyang. Menurut para ahli sejarah, Surau yang ada di Sumatra Barat ini pertama
kali berdiri pada masa Raja Adityawarman pada tahun 1356 di kawasan bukit
Gombak.Kerajaan Adityawarman adalah kerajaan yang memiliki latar belakang
Hindu-Budha.[11] Hal ini menjadi jelas bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam
pada awalnya adalah sebuah lembaga dengan tradisi non Islam yang dalam
perkembangannya mengalami Islamisasi karena dirasa ada kemiripan dalam proses
pembelajaran.
Bukan hanya Surau, Istilah Pesantren yang dalam perkembangan merupakan
lembaga pendidikan Islam, adalah diambil dari kata santri, dengan imbuhan pe+an
yang berarti tempat tinggal santri. Oleh C.C Berg, kata santri ini dianggap kata
turunan dari istilah shastri bahasa India yang berarti orang yang tahu buku suci
agama Hindu. Bahkan menurut de Graff dan Pigeaud, pesantrem merupakan
kelanjutan dari lembaga sejenis zaman pra-Islam di Indonesia yang disebut dengan
mandala dan ashrama. Kedua lembaga ini adalah sebagai tempat pertapaanpertapaan yang meskipun secara kelembagaan telah mengalami transformasi ke
dalam bentuk pesantren, namun raktek-praktek pertapaan pra-Islam ini masih tetap
dipertahankan.[12]
Proses belajar mengajar yang diajarkan di surau adalah pengajan al-Quran, ibadah,
keimanan dan akhlaq. Pengajaran al-Quran diajarkan secara tradisional melaui
C.
Pada tahun 1945, gagasan mendiirikan STI kembali digulirkan sebagai kebijakan
politik masyumi. Disamping berdirinya barisan Mujahidin yag bernama Hizbullah.
Dalam rangka mendirikan lembaga ini dibentuklah kepanitian yang diketua oleh
Drs. Mohammad Hatta. Kepanitiaan ini berhasil mendirikan STI pada 8 Juli 1945
bertepatan dengan 27 Rajab 1364 dengan pimpinan Prof. Abdul Kahar Mudzakkir.
Tidak jauh dengan konsentrasi yang diterapkan pada awal berdirinya STI tahun
1940, pada pendirian selanjutnya ini STI juga mngknsentrasikan materi
pembelajaran pada ilmu agama dan kemasyarakatan.
Dalam perkembangannya, STI dilakukan perbaikan dan pengembangan dengan
membuka fakultas non agama yaitu Hukum, Ekonomi dan Pendidikan. Dengan
dibukanya fakultas baru pada STI ini, menjadikan STI juga berubah nama drai STI
menjadi UII yang menjadikan tujuan lembaga juga bergeser dari lembaga
pendidikan bagi calon ulama menjadi lebih umum dan bersifat sekuler.
D. Peranan Ormas dalam pembentukan Lembaga Pendidikan: Kasus
Muhammadiyah
Muhammadiyah oleh Ricklefs dikategorikan sebagai Organisasi Islam modernis
yang paling penting di Indonesia. Didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan (18681923),yakni salah satu kaum elit agama ksultanan Yogyakarta di Yogyakarta pada
tahun 1912. Semula Kyai Dahlan masuk organisasi Budi Utomo dengan harapan
dapat berbicara mengenai pembharuan dikalanagn para anggotanya, maun para
pendukungnya justru mendesak agar Kyai Dahlan mendirikan organisasi sendiri.
Maka pada tahun 1912 resmilah Muhammdiyah berdiri di Yogyakarta. Organisasi ini
mencurahkan kegiatannya pada usaha-usaha pendidikan serta kesejahteraan serta
program dakwah guna melawan Kristen dan tahayyul local. Konsentrasi pada dunia
pendidikan ini tercermin pada tahun 1925, dua tahun sesduah wafatnya Dahlan,
bahwa ketika itu Muhammadiyah hanya beraggotakan 4000 orang, naun telah
berhasil mendirikan 55 sekolah dengan 4000 murid, dua balai pengobatan yakni di
Yogyakarta dan Surabaya, sebuah panti asuhan serta sebuah rumah miskin. [18]
Dengan pandangan yang sama, para pemerhati gerakan Islam juga
mengkategorikan sebagai gerakan keagamaan bercorak modern yang mapan dan
lebih banyak bergerak pada wilayah aksi dari pada pemikiran. Mapannya organisasi
ini adalah disebabkan oleh pengorganisasian yang sistematis dan efektif. Adapun
aktifitas Muhammadiyah yang lebih banyak bergerak di bidang aksi tercermin dari
banyaknya amal usaha yang dimiliki yang secara garis besar dikelompokkan
dalam tiga bidang, yaitu agama, sosial serta pendidikan yang dikelola secara
modern, setidaknya dalam ukuran masanya. [19]
Demikian ungkapan yang ditulis oleh Lapidus mengenai gambaran Muhammadiyah:
Muhammadiya, primarly concerd with educational and missionary activities, was
willing to cooperate with government, and its members were forced by a party
decision in 1929 to choose between the two movements. In the 1930s, the Muslim
Another factor in Islamic strength was the continuing vitality of the reformist and
modernist movements. Muhammadiya rmained important in providing a personal
ideal of rational, efficient, and puritanical behavior, a concept of community and a
model of ongoing Islamic society. Muhammadiya claimed an active membership
numbering millions.[21]
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII Bandung: Mizan, 1998.
Huda, Nor Islam Nusantara: Sejarah Intelektual Islam di Indonesia Yogyakarta: ArRuzz Media, 2007.
Madjid, Nurcholish Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan Jakarta:paramadina, 2000.
[1] Selama ini terdapat anggapan bahwa hubungan antara Islam di Nusantara
dengan Timur Tengah lebih bersifat politis ketimbang keagamaan. Azyumardi
menampik anggapan ini dan membuktikan bahwa sejak abad ke-17 hubungan di
antara kedua wilayah Muslim ini umumnya bersifat keagamaan dan keilmuan, meski
tidak dapat dinafikan adanya hubungan politik antara beberapa kerajaan Muslim
Nusantara, misalnya dengan Dinasti Utsmani. Setidaknya dengan melihat
banyaknya pelajar dari Indonesia yang menuntut ilmu di Haromain yang kemudian
mentransmisika keilmuannya ke bumi Nusantara. Untuk lebih lengkap mengenai
hal ini, baca lebih lanjut, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1998).
[2] Nurcholish Madjid, Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren dalam
M. Dawam Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah
(Jakarta: P3M, 1985, h. 3. Lihat juga, Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Intelektual
Islam di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 378
[3]Terdapat pandangan yang berbeda di kalanganpara ahli mengenai
kedatanganIslam di Nusantara. Perbedaan pandangan itu setidaknya dipengaruhi
oleh sudut pandang terhadap tempat asal kedatangan yakni negara yang menjadi
perantara, Para pembawa atau pelaku penyebar dan waktu kedatangan. Perbedaan
ini pula yang kemudian menghasilkan tiga teori masuknya Islam ke Nusantara,
yakni Teori Gujarat, Teori Makkah dan Teori Persia. Lebih lanjut mengenai ketiga teor
ini, lihat, Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia: Rekonstruksi Sejarah
Untuk Aksi (Malang: UMM Press, 2006), h. 34-44. Bandingkan pula, Azra, Jaringan
Ulama, h. 23-55.
[4] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h.
152.
[5] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta:paramadina, 2000), h.
xii.
[6] Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam, h. 73.
I.
A.
II.
A.
1.
Tujuannya suatu saat murid dapat selesai membaca atau lebih tepatnya
melagukan menurut irama tertentu seluruh isi Al-Quran. Sistem pembayaran tidak
dipungut uang sekolah tapi orangtua boleh memberi benda-benda in natura.
Hubungan antara guru dan murid berlangsung terus meski murid meneruskan ke
jenjang yang lebih tinggi.
2.
Pendidikan Pesantren
Para santri yaitu murid-murid yang belajar diasramakan dalam suatu komplek
yang dinamakan pondok yang dibangun oleh guru atau kyai. Pelajaran utama
adalah dogma keagamaan (usuludin) dasar kepercayaan dan keyakinan Islam serta
fikih yaitu kewajiban yang harus dilakukan bagi pemeluk Islam. Ini dikenal dengan
rukun Islam.
3.
Pendidikan Madrasah
Didirikan pertama kali oleh Nizam el Mulk (Menteri di Arab pada abad ke-2)
dengan mengadakan pembaruan pendidikan yang semula murni teologi ditambah
dengan ilmu dunia, astrologi, dan obat-obatan.
4.
Pada permulaan tarikh masehi, di Benua Asia terdapat dua negeri besar yang
tingkat peradabannya dianggap sudah tinggi, yaitu India dan Cina. Kedua negeri ini
menjalin hubungan ekonomi dan perdagangan yang baik. Arus lalu lintas
perdagangan dan pelayaran berlangsung melalui jalan darat dan laut. Salah satu
jalur lalu lintas laut yang dilewati India-Cina adalah Selat Malaka. Indonesia yang
terletak di jalur posisi silang dua benua dan dua samudera, serta berada di dekat
Selat Malaka memiliki keuntungan, yaitu:
Sering dikunjungi bangsa-bangsa asing, seperti India, Cina, Arab, dan Persia,
Kesempatan melakukan hubungan perdagangan internasional terbuka lebar,
Pergaulan dengan bangsa-bangsa lain semakin luas, dan
Pengaruh asing masuk ke Indonesia, seperti Hindu-Budha.
Keterlibatan bangsa Indonesia dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran
internasional menyebabkan timbulnya percampuran budaya. India merupakan
negara pertama yang memberikan pengaruh kepada Indonesia, yaitu dalam bentuk
budaya Hindu. Ada beberapa hipotesis yang dikemukakan para ahli tentang proses
masuknya budaya Hindu-Buddha ke Indonesia.
1. Hipotesis Brahmana
2. Hipotesis Ksatria
Pada hipotesis ksatria, peranan penyebaran agama dan budaya Hindu dilakukan
oleh kaum ksatria. Menurut hipotesis ini, di masa lampau di India sering terjadi
peperangan antargolongan di dalam masyarakat. Para prajurit yang kalah atau
jenuh menghadapi perang, lantas meninggalkan India. Rupanya, diantara mereka
ada pula yang sampai ke wilayah Indonesia. Mereka inilah yang kemudian berusaha
mendirikan koloni-koloni baru sebagai tempat tinggalnya. Di tempat itu pula terjadi
proses penyebaran agama dan budaya Hindu. F.D.K. Bosch adalah salah seorang
pendukung hipotesis ksatria.
3. Hipotesis Waisya
Menurut para pendukung hipotesis waisya, kaum waisya yang berasal dari
kelompok pedagang telah berperan dalam menyebarkan budaya Hindu ke
Nusantara. Para pedagang banyak berhubungan dengan para penguasa beserta
rakyatnya. Jalinan hubungan itu telah membuka peluang bagi terjadinya proses
penyebaran budaya Hindu. N.J. Krom adalah salah satu pendukung dari hipotesis
waisya.
4. Hipotesis Sudra
Von van Faber mengungkapkan bahwa peperangan yang tejadi di India telah
menyebabkan golongan sudra menjadi orang buangan. Mereka kemudian
meninggalkan India dengan mengikuti kaum waisya. Dengan jumlah yang besar,
diduga golongan sudralah yang memberi andil dalam penyebaran budaya Hindu ke
Nusantara.
Selain pendapat di atas, para ahli menduga banyak pemuda di wilayah Indonesia
yang belajar agama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauan mereka mendirikan
organisasi yang disebut Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka
kembali untuk menyebarkannya. Pendapat semacam ini disebut Teori Arus Balik.
Pada umumnya para ahli cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa
masuknya budaya Hindu ke Indonesia itu dibawa dan disebarluaskan oleh orangorang Indonesia sendiri. Bukti tertua pengaruh budaya India di Indonesia adalah
penemuan arca perunggu Buddha di daerah Sempaga (Sulawesi Selatan). Dilihat
dari bentuknya, arca ini mempunyai langgam yang sama dengan arca yang dibuat
di Amarawati (India). Para ahli memperkirakan, arca Buddha tersebut merupakan
barang dagangan atau barang persembahan untuk bangunan suci agama Buddha.
Selain itu, banyak pula ditemukan prasasti tertua dalam bahasa Sanskerta dan
Malayu kuno. Berita yang disampaikan prasasti-prasasti itu memberi petunjuk
bahwa budaya Hindu menyebar di Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.
2. Pemerintahan
Sistem pemerintahan kerajaan dikenalkan oleh orang-orang India. Dalam sistem ini
kelompok-kelompok kecil masyarakat bersatu dengan kepemilikan wilayah yang
luas. Kepala suku yang terbaik dan terkuat berhak atas tampuk kekuasaan kerajaan.
Oleh karena itu, lahir kerajaan-kerajaan, seperti Kutai, Tarumanegara, dan Sriwijaya.
3. Arsitektur
4. Bahasa
5. Sastra
Agama Hindu
Agama Hindu berkembang di India pada tahun 1500 SM. Sumber ajaran Hindu
terdapat dalam kitab sucinya yaitu Weda. Kitab Weda terdiri atas 4 Samhita atau
himpunan yaitu:
Orang-orang Hindu memilih tempat yang dianggap suci misalnya, Benares sebagai
tempat bersemayamnya Dewa Siwa serta Sungai Gangga yang airnya dapat
mensucikan dosa umat Hindu, sehingga bisa mencapai puncak nirwana.
Agama Buddha
Agama Buddha diajarkan oleh Sidharta Gautama di India pada tahun 531 SM.
Ayahnya seorang raja bernama Sudhodana dan ibunya Dewi Maya. Buddha artinya
orang yang telah sadar dan ingin melepaskan diri dari samsara.
Kitab suci agama Buddha yaitu Tripittaka artinya Tiga Keranjang yang ditulis
dengan bahasa Poli. Adapun yang dimaksud dengan Tiga Keranjang adalah:
Buddha Hinayana, yaitu setiap orang dapat mencapai nirwana atas usahanya
sendiri.
Buddha Mahayana, yaitu orang dapat mencapai nirwana dengan usaha bersama
dan saling membantu.
Pemeluk Buddha juga memiliki tempat-tempat yang dianggap suci dan keramat
yaitu:
Seorang pendeta yang berasal dari Cina, menyebutkan bahwa sebelum diasampai
ke India, dia terlebih dahulu singgah di Sriwijaya. Di Sriwijaya I-Tsing melihat begitu
pesatnya pendidikan agama Buddha, sehingga dia memutuskan untuk menetap
selama beberapa bulan di Sriwijaya dan menerjemahkan salah satu kitab agama
Buddha bersama pendeta Buddha yang ternama di Sriwijaya, yaitu Satyakirti.
Bahkan I-Tsing menganjurkan kepada siapa saja yang akan pergi ke India untuk
mempelajari agama Buddha untuk singgah dan mempelajari terlebih dahulu agama
b. Prasasti Nalanda
Dibuat pada sekitar pertengahan abad ke- 9, dan ditemukan di India. Pada prasasti
ini disebutkan bahwa raja Balaputradewa dari Suwarnabhumi (Sriwijaya) meminta
pada raja Dewapaladewa agar memberikan sebidang tanah untuk pembangunan
asrama yang digunakan sebagai tempat bagi para pelajar agama Buddha yang
berasal dari Sriwijaya. Berdasarkan prasasti tersebut, kita bisa melihat begitu
besarnya perhatian raja Sriwijaya terhadap pendidikan dan pengajaran agama
Buddha di kerajaannya. Hal ini terlihat dengan dikirimkannya beberapa pelajar dari
Sriwijaya untuk
belajar agama Buddha langsung ke daerah kelahirannya yaitu India. Tidak mustahil
bahwa sekembalinya para pelajar ini ke Sriwijaya maka mereka akan
menyebarluaskan hasil pendidikannya tersebut kepada masyarakat Sriwijaya
dengan jalan membentuk asrama-asrama sebagai pusat pengajaran dan pendidikan
agama Buddha.
c. Catatan perjalanan I-Tsing
e. Istilah surau yang digunakan oleh orang Islam untuk menunjuk lembaga
pendidikan Islam tradisional di Minangkabau sebenarnya berasal dari pengaruh
Hindu-Buddha. Surau merupakan tempat yang dibangun sebagai tempat beribadah
orang Hindu-Buddha pada masa Raja Adityawarman. Pada masa itu, surau
digunakan sebagai tempat berkumpul para pemuda untuk belajar ilmu agama. Pada
masa Islam kebiasaan ini terus dilajutkan dengan mengganti fokus kajian dari
Hindu-Buddha pada ajaran Islam.
Dari segi bahasa, orang-orang Indonesia mengenal bahasa Sanskerta dan huruf
Pallawa. Pada masa kerajaan Hindu- Buddha di Indonesia, seni sastra sangat
berkembang terutama pada zaman kejayaan kerajaan Kediri. Karya sastra itu antara
lain,
a. Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa yang disusun pada masa pemerintahan
Airlangga.
b. Bharatayudha, karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh disusun pada zaman kerajaan
Kediri.
c. Gatotkacasraya, karya Mpu Panuluh disusun pada aman kerajaan Kediri.
d. Arjuna Wijaya dan Sutasoma, karya Mpu Tantular yang disusun pada zaman
kerajaan Majapahit.
e. Negarakertagama, karya Mpu Prapanca disusun pada aman kerajaan Majapahit.
f. Wretta Sancaya dan Lubdhaka, karya Mpu Tanakung yang disusun pada zaman
kerajaan Majapahit.
seperti gendang, kecer, gambang, saron, kenong, beberapa macam bentuk kecapi,
seruling dan gong.
KE DUNIA TIMUR
1. Renaissance
1. Tahun 1453 kota Konstantinopel jatuh ke tangan Turki yang mengakibatkan harga
rempah-rempah menjadi sangat mahal