Disusun Oleh:
1. Arief Nasrudin
2. Dody Heri Basuki
3. Lio Kurniawan
4. Rasvan Windhi
UNIVERSITAS INDONESIA
Jakarta, 6 April 2021
THE RESPONSIBILITY TO PROTECT (R2P) DOCTRINE
1. PENDAHULUAN
Kasus-kasus pelanggaran HAM banyak terjadi pada abad 21 menjadi bukti bahwa gagalnya
komunitas internasional untuk melindungi populasi korban dari kekejaman secara massal.
Kegagalan ini disebabkan oleh perbedaan pendapat antara pihak yang menolak konsep ini karena
tidak sesuai dengan konsep kedaulatan negara, sedangkan pihak yang satunya mendukung
pentingya peran komunitas internasional dalam melakukan intervensi kemanusiaan, jika disuatu
negara terjadi tindakan mass atrocity atau kekejaman massal seperti kejahatan genosida
(genocide), kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Kritikan terhadap kasus-kasus pelanggaran
HAM ini membentuk komunitas Internasional yang mempunyai tanggung jawab untuk
membantu negara-negara dalam memenuhi tugasnya tersebut.
Perkembangan hak asasi manusia setelah Perang Dunia ke-2 dan adopsi banyak dokumen
internasional, serta seringnya contoh pelanggaran mereka membawa gagasan untuk
mempraktikkan intervensi kemanusiaan. Intervensi semacam itu dapat didefinisikan sebagai
“ancaman atau penggunaan kekuatan lintas batas negara oleh suatu negara yang bertujuan untuk
mencegah atau mengakhiri pelanggaran luas dan berat terhadap hak asasi manusia yang
fundamental dari individu selain warga negaranya sendiri, tanpa izin dari negara. yang kekuatan
teritorinya diterapkan, dimana praktek prinsip R2P dilakukan dengan cara dimana jika terdapat
suatu negara yang tidak mampu atau tidak memiliki keinginan untuk melindungi rakyatnya dari
pelanggaran HAM berat maka komunitas internasional dibawah PBB memiliki tanggung jawab
dalam melakukan intervensi dengan tujuan menyelamatkan masyarakat dari kasus HAM berat
1
dan berbagai kejahatan manusia lainnya. Dalam penerapannya seperti tampak logis dan
manusiawi, namun dalam praktiknya sangat rumit dan kontroversial. Paradigma struktural
hukum internasional menyatakan segala jenis intervensi militer eksternal di wilayah negara lain
meski bertujuan melindungi, selalu bertentangan dengan kedaulatan negara.
Konsep kewajiban perlindungan Hak Asasi Manusia yang berkembang pada akhir Perang
Dunia ke-2, menimbulkan dialektika mendamaikan dua perlindungan tanpa kompromi.
Pendukung gagasan intervensi kemanusiaan menekankan bahwa ada situasi yang membenarkan
intervensi asing, terlepas dari klaim kedaulatan. Kasus-kasus ini merupakan pelanggaran berat
hak asasi manusia, seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, kasus
pembersihan etnis, dan lain-lain. Beberapa kasus yang mejadi pemicu kemunculan R2P adalah:
1) Kelambanan dan penolakan Dewan Keamanan untuk mengambil langkah-langkah dalam
menghindari genoside di Rwanda tahun 1994; 2) Kegagalan PBB pada Somalia tahun 1992-
1993; 3) Kegagalan di Srebrenica tahun 1995; 4) Intervensi kemanusiaan di Kosovo tahun 1999.
Sandra mengutip kalimat Buchanan di dalam jurnalnya “The Responsibility to Protect (R2P)
Doctrine” menyatakan bahwa terdapat tiga prinsip yang membenarkan intervensi kemanusiaan
sepihak: kebutuhan moral, perlindungan hak asasi manusia, dan perbaikan moral pada sistem
hukum.1
Mencari langkah-langkah efektif untuk mencegah pelanggaran sistematis hak asasi manusia
dan untuk membuat tanggung jawab yang lebih kuat bagi negara dan komunitas internasional,
Komisi Internasional untuk Intervensi dan Kedaulatan Negara (selanjutnya: ICISS) pada bulan
Desember 2001 merilis laporan "Tanggung jawab untuk melindungi", yang mencakup "gagasan
baru" tentang kedaulatan negara. Inti dari konsep ini terletak pada pemahaman dua dimensi
tentang tanggung jawab:
a. peran utama negara itu sendiri; tanggung jawabnya untuk melindungi warganya dari
kekejaman, dan
b. tanggung jawab komunitas internasional untuk mencegah dan bereaksi terhadap
pelanggaran HAM besar-besaran, ketika negara tidak mau atau tidak dapat menjalankan
misi ini.
1
Sandra Fabijanic Gagro (2014). “The Responsibility to Protect (R2P) Doctrine”. International Journal of Social
Science, Vol. III, Edisi 1, pp. 61-77.
2
Selama konsultasi yang membantu membentuk Laporan Tanggung Jawab Melindungi,
ICISS telah menemukan kesediaan yang luas untuk menerima gagasan bahwa tanggung jawab
untuk melindungi rakyatnya dari pembunuhan dan bahaya besar lainnya adalah yang paling
mendasar dan mendasar dari semua tanggung jawab yang dibebankan oleh kedaulatan - dan
bahwa jika suatu negara tidak dapat atau tidak akan melindungi rakyatnya dari bahaya tersebut,
maka intervensi koersif untuk tujuan perlindungan manusia, termasuk pada akhirnya intervensi
militer, oleh pihak lain dalam komunitas internasional dapat dibenarkan dalam kasus-kasus
ekstrim.
Majelis Umum PBB menerima prinsip R2P dalam resolusinya. Prinsip ini didasarkan pada
suatu pemahaman, bahwa kedaulatan bukanlah hak tapi merupakan kewajiban sehingga
kedaulatan melahirkan tanggung jawab. Laporan ICISS mengemukakan bahwa prinsip R2P
3
harus meliputi 3 (tiga) jenis tanggung jawab yang meliputi 'responsibility to protect, to react
and to rebuild', yaitu:
a. Tanggung jawab untuk mencegah pemusnahan massal dan kejahatan kemanusiaan
lainnya. Ini menjadi tanggung jawab setiap negara sekaligus komunitas internasional
untuk menangani sebabsebab konflik, seperti kemiskinan, penyebaran sumber daya, serta
tekanan ekonomi, politik dan ekonomi.
b. Tanggung jawab untuk bereaksi atau merespon situasi-situasi ketika pembunuhan
massal, pembersihan etnis atau kejahatan kemanusiaan telah berlangsung atau akan
segera terjadi.
c. Tanggung jawab untuk membangun setelah terjadinya pembunuhan massal dan
kejahatan kemanusiaan. Negara secara individual dan komunitas internasional
bertanggung jawab untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang telah
mengalami kejahatan massal untuk dapat pulih, membangun dan berdamai kembali
setelah konflik terjadi.
Secara umum R2P dipahami dengan penjelasan bahwa ia adalah suatu prinsip atau norma
yang berlandaskan pemahaman bahwa kedaulatan tidaklah suatu hak privilege melainkan suatu
bentuk tanggung jawab. Hal ini menyiratkan bahwa negara memiliki kewajiban baik secara
nasional maupun internasional untuk dapat melindungi setiap individu yang berada dibawah
kekuasaanya. Oleh karena itu berdasar konsep ICISS, suatu pemerintah nasional mengemban 3
tanggung jawab utama:
a. Bertanggung jawab melaksanakan fungsi perlindungan terhadap keselamatan dan
kehidupan warga negaranya, serta menjamin kesejahteraan mereka.
b. Bertanggung jawab terhadap warga negaranya dan masyarakat internasional melalui
keanggotaannya di PBB.
c. Pelaksana pemerintahan bertanggung jawab atas tindakan dan kebijakan yang
diambilnya.
Pada hakikatnya R2P merupakan komitmen politik dan moral yang disepakati oleh negara-
negara berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban setiap negara serta masyarakat
internasional untuk memberikan perlindungan kepada setiap individu dari tindak kekejaman
4
massal (mass atrocity) yang meliputi kejahatan genosida (genocide), kejahatan perang (war
crimes), pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity).
Selain berupa dukungan, ada juga kritik terhadap konsep ICISS sebagai berikut:
a. Perubahan istilah 'intervensi kemanusiaan' menjadi 'tanggungjawab untuk melindungi'
tidak lebih dari tipuan retorika, mengalihkan penekanan dari hak yang secara politik dan
hukum tidak diinginkan untuk campur tangan ke gagasan yang tidak terlalu konfrontatif
tentang tanggung jawab untuk melindungi.
b. Tanggung jawab untuk melindungi mengatasi dilema intervensi dari perspektif
kebutuhan mereka yang mencari atau membutuhkan dukungan, bukan dari kepentingan
dan perspektif mereka yang melakukan tindakan tersebut.
c. Kesenjangan antara intervensi dan kedaulatan dengan memperkenalkan konsep tanggung
jawab yang saling melengkapi. kehilangan status keutamaan ini dalam kasus di mana ia
tidak dapat atau tidak mau memastikan perlindungan ini, sehingga sebagai gantinya
menjadi tanggung jawab komunitas internasional untuk bertindak.
2
United Nations (2012), “Responsibility to Protect”. Retrieved from
http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/2013/399&referer=http://www.un.org/en/sc/
documents/sgreports/2013.shtml&Lang=E
3
Mehrdad Payandeh (2010). “With Great Power Comes Great Responsibility? The Concept of the Responsibility to
Protect Within the Process of International Lawmaking”. Yale Journal of International Law, Vol. 35, pp. 469-516.
5
d. Belum ada batasan yang jelas bagaimana komunitas internasional harus bertindak dan
diizinkan untuk bertindak.
Masih terdapat perbedaan pendapat, apakah 'Responsibility to Protect' (R2P) itu merupakan
ketentuan hukum atau bukan. Hakikatnya sampai saat ini 'R2P' bukanlah suatu rumusan hukum,
tapi merupakan suatu 'concept', 'principle', 'evolving trend', 'strong political commitment',
'emerging norm', atau suatu 'obligation with legal significance'. Apa pun sebutannya, faktanya
bahwa saat ini 'R to P' telah disepakati dan diterima oleh mayoritas negara-negara di dunia yang
menjadi anggota PBB melalui Resolusi Majelis Umum. Hal ini setidaknya menunjukkan adanya
komitmen politik negara-negara tersebut terhadap R2P.
Perkembangan konsep R2P tidak lepas dari situasi abad ke-20 yang dapat dikatakan sebagai
Pada akhir Perang Dunia Kedua, sesungguhnya masyarakat internasional telah menyatakan
komitmennya bahwa mereka “tidak akan pernah lagi” mengulang kekejaman itu. Ketika PBB
terbentuk pada tahun 1945, negara-negara yang tergabung dalam organisasi tersebut menyatakan
bahwa masyarakat internasional tidak akan pernah membiarkan pemusnahan massal dan
berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya terulang lagi. Namun dunia kembali dikejutkan dengan
ladang pembantaian (killing fields) yang terjadi di Kamboja, hampir dua juta manusia dibunuh di
bawah rejim Pemerintahan Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot. Demikian pula dengan
pembunuhan massal di Bosnia (1992- 1995), Somalia (1993), Rwanda (1994), Kongo (1998) 3
dan Kosovo (1999). Sekali lagi, lebih dari sejuta lakilaki, perempuan dan anak-anak tewas
dibunuh. Keadaan ini menjadi bukti bahwa masyarakat internasional telah gagal mencegah
terjadinya pemusnahan massal.
Kegagalan ini antara lain disebabkan karena tidak adanya kesamaan persepsi di antara para
negara anggota PBB yang saling mempertentangkan boleh tidaknya dilakukan intervensi. Di satu
sisi, terdapat kelompok negara yang tetap berpegang teguh pada gagasan tradisional mengenai
kedaulatan negara yang selalu memahamkan kedaulatan sebagai hal yang tidak dapat diganggu
gugat, merupakan supremasi negara termasuk kewenangan pengaturan hukum dalam yurisdiksi
6
wilayahnya, serta selalu mengaitkan kedaulatan negara ini dengan asas integritas wilayah.
Pemahaman yang demikian menghasilkan pengertian bahwa kedaulatan negara merupakan hak
dari negara atas independensi secara politik serta tidak mencampuri urusan dalam negeri negara
lain. Pada sisi yang lain, terdapat kelompok negara yang melihat adanya kebutuhan masyarakat
internasional untuk melakukan intervensi jika kekejaman massal dan kejahatan kemanusiaan
terus terjadi. Kelompok yang kedua ini melihat kedaulatan bukan sebagai sesuatu yang bersifat
mutlak.
2.2. Hubungan R2P dengan Prinsip Prinsip Lain dalam Hukum Internasional
Prinsip R2P muncul sebagai reaksi atas realitas internasional yang terjadi berkaitan dengan
pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights) yang semakin sering terjadi. Konsep
ini berkembang sebagai respon atas kegagalan humanitarian intervention dalam menyelesaikan
berbagai konflik dan ketidakmampuannya untuk menggalang dukungan internasional. Hal ini
antara lain disebabkan karena pelaksanaan 'humanitarian intervention' selalu diwarnai konflik
kepentingan dari negara-negara tertentu sehingga seringkali dilakukan tanpa mandat dan legalitas
yang jelas. Akibatnya, intervensi dipandang sebagai ilegal dan menjadi bukti arogansi kekuatan
negara-negara besar yang menginjak kedaulatan negara-negara lemah.
Namun demikian terdapat kesamaan antara R2P dengan 'humanitarian intervention', yaitu
dalam hal memandang kedaulatan bukan sebagai sesuatu yang absolut, karena kedua doktrin
tersebut membenarkan campur tangan asing bila suatu negara dianggap tidak mampu atau gagal
menghentikan pelanggaran berat HAM. Bedanya, 'humanitarian intervention' lebih dianggap
sebagai 'hak' negara-negara untuk bertindak secara 'koersif' terhadap negara lain untuk
menghentikan kekejaman massal, sedangkan R2P lebih merujuk pada tanggung jawab semua
negara untuk melindungi rakyatnya sendiri, serta tanggung jawab masyarakat internasional untuk
membantu negara-negara mewujudkan hal tersebut. Bila suatu negara gagal melindungi
rakyatnya, maka sejumlah cara, baik itu politik, ekonomi maupun diplomatik akan digunakan
untuk membantu negara tersebut. Hal ini dilakukan dengan menggunakan banyak cara termasuk
capacity building, mediasi dan penerapan sanksi. Intervensi militer hanya mungkin digunakan
sebagai upaya terakhir (last resort) untuk menghentikan kekejaman massal yang dilakukan
secara multilateral dengan persetujuan Dewan Keamanan.
7
Persoalan penting lainnya yang hampir selalu muncul berkaitan dengan R2P adalah
menghadapkannya dengan kedaulatan nasional yang dimiliki setiap negara yang merdeka.
Kedaulatan negara merupakan identitas legal sebuah negara di dalam hukum internasional dan
menempatkan setiap negara yang merdeka memiliki yurisdiksi dan kontrol penuh atas wilayah
kekuasaannya. Mereka berada pada posisi yang setara. Di bawah sistem kedaulatan negara,
semestinya negara lain tidak melakukan intervensi (prinsip non-intervensi) maupun campur
tangan atas urusan dalam negeri negara lain (prinsip non-interference). Berdasar atas pemahaman
yang demikian inilah PBB dibangun dengan menempatkan semua negara yang berdaulat pada
posisi yang setara. Dengan tujuan utamanya untuk memelihara perdamaian dan keamanan
internasional, PBB berkomitmen untuk menyelesaikan setiap konflik internasional yang terjadi
dan berusaha mencegahnya. Namun situasi terus berubah. Bila semula konflik-konflik yang
terjadi dalam masyarakat internasional adalah konflik antar negara, maka saat ini yang lebih
banyak terjadi adalah konflik internal dengan jumlah korban dari kalangan sipil yang juga terus
meningkat. Situasi semacam ini menjadi tantangan tersendiri bagi PBB untuk tetap dapat
menjalankan fungsinya melindungi masyarakat dari berbagai kejahatan kemanusiaan.
Konsep tanggung jawab untuk melindungi mencakup tiga tanggung jawab khusus untuk: 1)
mencegah, 2) bereaksi, dan 3) membangun kembali. Dengan cara ini, ICISS mengembangkan
konsepsi multifase tentang tanggung jawab dan memperluas parameter konseptual dari gagasan
intervensi, menyatakan bahwa tanggapan yang efektif terhadap kekejaman massal tidak hanya
membutuhkan reaksi, tetapi lebih jauh, keterlibatan yang langgeng untuk mencegah konflik dan
membangun kembali masyarakat setelah peristiwa.
c. Membangun kembali
Memastikan rekonstruksi dan rehabilitasi yang berkelanjutan akan melibatkan
komitmen atas dana dan sumber daya, sejauh mungkin mendorong pertumbuhan
ekonomi, penciptaan kembali pasar dan pembangunan berkelanjutan untuk pemulihan
negara secara keseluruhan.
Berbagai faktor risiko menunjukkan bahwa kejahatan kekejaman adalah proses dan tidak
ada peristiwa tunggal. Lingkungan yang permisif terhadap kejahatan semacam itu tidak akan
berkembang dalam semalam; prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun atau bahkan
puluhan tahun. Holocaust tidak berasal dari kamar gas dan genosida di Rwanda tidak dimulai
dengan pembantaian di gereja-gereja. Genosida tersebut dimulai dengan ujaran kebencian,
diskriminasi dan marginalisasi. Meskipun prosesnya berbeda, dalam setiap kasus, sejumlah
langkah diambil yang, baik sengaja maupun tidak, memfasilitasi terjadinya kejahatan tersebut.
Tanggung jawab untuk mencegah adalah yang pertama dan terutama tanggung jawab
negara, tetapi tidak secara eksklusif. Fakta umum adalah kegagalan pencegahan dapat berdampak
besar pada perdamaian dan keamanan regional dan/atau internasional. Oleh karena itu,
diperlukan dukungan yang kuat dari komunitas internasional, dan dalam banyak kasus mungkin
sangat diperlukan. Dukungan semacam itu bisa dalam berbagai bentuk. Ini mungkin datang
dalam bentuk bantuan pembangunan dan upaya lain untuk membantu mengatasi akar penyebab
konflik potensial; atau upaya untuk memberikan dukungan bagi inisiatif lokal untuk memajukan
pemerintahan yang baik, hak asasi manusia, atau supremasi hukum; atau misi kebaikan, upaya
mediasi dan upaya lain untuk mempromosikan dialog atau rekonsiliasi.
Untuk sedapat mungkin membuat keputusan yang lebih mudah, Laporan ICISS
mengusulkan enam kriteria untuk intervensi militer, yaitu:
Salah satu pertanyaan yang paling penting, tetapi juga paling kontroversial adalah tentang
otorisasi penggunaan kekerasan. Menurut ICISS, urutan otoritas yang benar adalah sebagai
berikut:
1) Dewan Keamanan (kewenangan "utama" untuk menangani intervensi militer)
2) Komite Internasional Palang Merah (ICRC)
3) Majelis Umum PBB
4) Organisasi regional
10
5) Koalisi negara
Situasi apa yang dapat membenarkan intervensi militer untuk tujuan perlindungan manusia?
Laporan ICISS mendefinisikan elemen dasar pembenaran sebagai: a) tindakan yang ditentukan
oleh kerangka Konvensi Genosida 1948 yang melibatkan ancaman atau kehilangan nyawa dalam
skala besar; b) Ancaman atau terjadinya hilangnya nyawa dalam skala besar, baik sebagai akibat
dari niat genosida atau bukan, dan apakah melibatkan tindakan negara atau tidak; c) manifestasi
berbeda dari 'pembersihan etnis', termasuk pembunuhan sistematis anggota kelompok tertentu
untuk mengurangi atau menghilangkan kehadiran mereka di daerah tertentu; pemindahan fisik
sistematis anggota kelompok tertentu dari wilayah geografis tertentu; tindakan teror yang
dirancang untuk memaksa orang melarikan diri; dan pemerkosaan sistematis untuk tujuan politik
perempuan dari kelompok tertentu (baik sebagai bentuk terorisme lain, atau sebagai cara untuk
mengubah komposisi etnis kelompok tersebut); d) kejahatan terhadap kemanusiaan dan
pelanggaran hukum perang, sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol Tambahan 1977 dan di tempat lain, yang melibatkan pembunuhan skala besar atau
pembersihan etnis; e) situasi keruntuhan negara dan akibatnya populasi terpapar kelaparan
massal dan / atau perang saudara; dan f) bencana alam atau lingkungan yang luar biasa, di mana
negara yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu mengatasinya, atau meminta bantuan,
dan korban jiwa yang signifikan sedang terjadi atau terancam. 4
Tujuan utama intervensi harus menghentikan atau menghindari penderitaan manusia. Setiap
penggunaan kekuatan militer yang bertujuan sejak awal, misalnya, untuk mengubah perbatasan
atau mendorong klaim kelompok kombatan tertentu untuk menentukan nasib sendiri, tidak dapat
dibenarkan. Penggulingan rezim bukanlah, dengan demikian, tujuan yang sah, meskipun
melumpuhkan kapasitas rezim untuk merugikan rakyatnya sendiri mungkin penting untuk
melaksanakan mandat perlindungan - dan apa yang diperlukan untuk mencapai penonaktifan itu
akan bervariasi dari kasus ke kasus. Pendudukan wilayah mungkin tidak dapat dihindari, tetapi
4
The Responsibility to Protect (2001). Report of the International Commission on the Intervention and State
Sovereignty, retrieved from: http://responsibilitytoprotect.org/ICISS%20Report.pdf
11
seharusnya tidak menjadi tujuan seperti itu, dan harus ada komitmen yang jelas sejak awal untuk
mengembalikan wilayah tersebut kepada pemiliknya yang berdaulat pada akhir permusuhan atau,
jika itu tidak memungkinkan, mengelolanya secara sementara di bawah naungan PBB. Salah satu
cara untuk membantu memastikan bahwa kriteria "niat yang benar" terpenuhi adalah dengan
membuat intervensi militer selalu dilakukan secara kolektif atau multilateral daripada basis
negara tunggal. Kedua, melihat apakah dan sejauh mana intervensi benar-benar didukung oleh
orang-orang yang dimaksudkan untuk kepentingan intervensi, serta apakah pendapat negara-
negara lain di kawasan itu telah diperhitungkan dan mendukung.
Fokus utama haruslah membantu penghentian kekerasan melalui mediasi dan perangkat lain
serta perlindungan orang melalui tindakan seperti pengiriman misi kemanusiaan, hak asasi
manusia dan polisi. Kekuatan, jika perlu digunakan, harus dikerahkan sebagai upaya terakhir.
Setiap jalur diplomatik dan non-militer untuk pencegahan atau resolusi damai dari krisis
kemanusiaan harus dieksplorasi. Tanggung jawab untuk bereaksi - dengan paksaan militer -
hanya dapat dibenarkan jika tanggung jawab untuk mencegah telah sepenuhnya dilaksanakan. Ini
tidak berarti bahwa setiap opsi seperti itu harus benar-benar telah dicoba dan gagal: seringkali
tidak ada waktu untuk proses itu berjalan sendiri. Tetapi itu berarti bahwa harus ada alasan yang
masuk akal untuk percaya bahwa, dalam semua keadaan, jika tindakan itu telah dicoba, tindakan
itu tidak akan berhasil.
Skala, durasi dan intensitas intervensi militer yang direncanakan harus seminimal mungkin
untuk mengamankan tujuan kemanusiaan yang bersangkutan. Sarana tersebut harus sepadan
dengan tujuan, dan sejalan dengan besarnya provokasi yang semula. Efek pada sistem politik
negara yang ditargetkan harus dibatasi, sekali lagi, pada apa yang benar-benar diperlukan untuk
mencapai tujuan intervensi.
Tindakan militer hanya dapat dibenarkan jika memiliki peluang keberhasilan yang masuk
akal, yaitu menghentikan atau menghindari kekejaman atau penderitaan yang memicu intervensi
12
sejak awal. Intervensi militer tidak dibenarkan jika perlindungan yang sebenarnya tidak dapat
dicapai, atau jika konsekuensi dari memulai intervensi kemungkinan besar lebih buruk daripada
jika tidak ada tindakan sama sekali. Secara khusus, aksi militer untuk tujuan perlindungan
manusia yang terbatas tidak dapat dibenarkan jika dalam prosesnya memicu konflik yang lebih
besar. Ini akan menjadi kasus di mana beberapa manusia tidak dapat diselamatkan kecuali
dengan biaya yang tidak dapat diterima - mungkin dari kebakaran regional yang lebih besar,
yang melibatkan kekuatan militer besar. Dalam kasus seperti itu, betapapun menyakitkan
kenyataannya, aksi militer koersif tidak lagi dapat dibenarkan.
Tanggung jawab untuk membangun kembali berarti bahwa jika tindakan intervensi militer
diambil - harus ada komitmen yang tulus untuk membantu (kembali) membangun perdamaian
yang tahan lama, dan mempromosikan pemerintahan yang baik dan pembangunan yang
berkelanjutan. Salah satu fungsi penting dari pasukan intervensi adalah untuk memberikan
keamanan dan perlindungan dasar bagi semua anggota populasi, tanpa memandang asal etnis,
agama atau hubungan dengan sumber kekuasaan sebelumnya di wilayah tersebut. Dalam situasi
pasca konflik, pembunuhan balas dendam dan bahkan “pembersihan etnis terbalik” sering terjadi
sebagai kelompok yang menjadi korban kelompok penyerang yang terkait dengan mantan
penindasnya.
Pada bagian ini, pendidikan merupakan salah satu tugas terpenting dalam “masalah
pembangunan kembali”. Itu dapat mempromosikan toleransi dan pemahaman tentang nilai
keragaman. Ada juga praktik tindakan peringatan dan peringatan kejahatan kekejaman masa lalu
sebagai elemen penting dalam rekonstruksi dan pembangunan kembali masyarakat.
13
institusi. Kerangka hukum untuk akuntabilitas tersebut disediakan melalui ratifikasi, domestikasi
dan implementasi instrumen hukum internasional yang relevan.
Pengimplementasian prinsip R2P yang merupakan salah satu norma hukum internasional
akan dicurigai sebagai bentuk baru intervensi terhadap kedaulatan suatu negara, khususnya bila
norma hukum tersebut membebankan kewajiban dalam bidang-bidang yang secara tradisional
dianggap sebagai urusan dalam negeri. Seringkali negara mengklaim bahwa sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat maka semua persoalan yang terjadi di wilayahnya (termasuk juga
pelanggaran berat HAM) adalah urusan dalam negeri atau merupakan jurisdiksi domestik negara
yang bersangkutan sehingga tidak seharusnya terjadi intervensi dalam bentuk pemberlakuan
norma hukum internasional. Hal ini dapat dikemukakan bahwa dalam konteks hukum
internasional, jurisdiksi domestik merupakan konsep yang relatif sifatnya, karena perubahan dan
perkembangan yang terjadi dalam prinsip-prinsip hukum internasional akan memengaruhi
pemaknaan konsep yurisdiksi dalam hukum internasional. Dalam kaitannya dengan
penghormatan dan penegakan HAM, maka konsep jurisdiksi domestik ini sangat dibatasi oleh
14
hukum internasional. Berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional, perlakuan negara
terhadap warga negaranya telah mengalami internasionalisasi. Praktek yang terjadi dalam
masyarakat internasional menunjukkan bahwa persoalan yang berkaitan dengan penegakan HAM
tidak dapat dilepaskan dari domain hukum internasional. Yurisdiksi domestik tidak lagi dapat
dijadikan dalih untuk tidak menegakkan dan mengungkap terjadinya pelanggaran HAM di suatu
wilayah negara. Oleh karena itu kedaulatan negara harus diletakkan dalam konteks dan dikaitkan
dengan prinsip-prinsip umum hukum internasional yang berlaku.
Pada laporan yang dikeluarkan oleh Sekjen PBB dengan judul “Implementing Responsibility
to Protect” pada bulan Januari 2009 lalu, Ban-ki Moon menegaskan adanya 3 pilar utama yang
harus diterapkan sebagai bentuk respon yang segera terhadap kekejaman massal yang terjadi.
Ketiga pilar tersebut adalah:
Pilar Pertama: The Protection Responsibility of State Pilar pertama ini menekankan bahwa
setiap negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi rakyatnya dari genosida,
kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Beberapa
rekomendasi yang disampaikan Sekjen PBB tentang bagaimana tanggung jawab ini dilakukan
adalah:
a. Menjamin adanya mekanisme yang efektif untuk menangani konflik-konflik domestik.
b. Melindungi hak-hak perempuan, kaum muda dan minoritas di dalam negara.
c. Menerapkan perjanjian-perjanjian hukum internasional yang terkait mengenai hak asasi
manusia, hukum humaniter internasional dan hukum mengenai pengungsi, serta Statuta
Roma mengenai Pengadilan Hak Asasi Internasional (Rome Statute of the International
Criminal Court).
d. Terlibat di dalam proses untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip yang terkandung di
dalam “Responsibility to Protect” dapat diintegrasikan ke dalam negara.
e. Berupaya untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang mendukung penegakan tanggung
jawab untuk melindungi, seperti dengan aparat kepolisian, militer, pengadilan dan
penyusun undang-undang, untuk memperbaiki penegakan hukum (rule of law) dan
perlindungan hak asasi manusia.
15
f. Bekerja bersama-sama dengan kelompok-kelompok non-pemerintah dan organisasi-
organisasi internasional untuk memfasilitasi kemajuan “Responsibility to Protect”.
Pilar Kedua: The International Assistance and Capacity Building Pilar kedua ini merupakan
komitmen masyarakat internasional untuk menyediakan bantuan bagi negara-negara guna
membangun kapasitas mereka melindungi rakyatnya dari kekejaman massal. Pilar kedua ini lebih
pada upaya preventif yang dapat dilakukan oleh masyarakat internasional untuk mencegah
terjadinya pelanggaran berat HAM. Beberapa rekomendasi yang diberikan oleh Sekjen PBB bagi
masyarakat internasional untuk melaksanakan kewajiban ini diantaranya adalah:
a. Mendukung PBB dan organisasi-organisasi regional yang memiliki mekanisme dialog,
pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia dan standar kemanusiaan.
b. Memajukan pembelajaran dari kawasan ke kawasan (region-to-region) mengenai R2P,
termasuk pendidikan mengenai strategi-strategi dan praktek-praktek terbaik untuk
mencegah pemusnahan massal dan kejahatan kemanusiaan lainnya.
c. Mendorong negara-negara untuk memberikan kontribusi dana bagi program-program
yang akan memperbaiki kondisi-kondisi bagi R2P, seperti reformasi militer dan
perbaikan penegakan hukum (rule of law).
d. Menciptakan tim-tim 'reaksi cepat' (rapid response) sipil dan militer pada tingkat regional
untuk membantu negara-negara di mana terdapat perkembangan konflik.
Pilar Ketiga: Timely and Decisive Response Pilar ketiga ini menghendaki adanya tanggung
jawab masyarakat internasional untuk mengambil tindakan secara tegas dan tepat waktu guna
mencegah dan menghentikan kekejaman massal ketika suatu negara gagal melindungi rakyatnya.
Sejumlah langkah yang diusulkan Ban-ki Moon untuk mengimplementasikan Pilar ketiga ini,
terutama oleh PBB dan/atau organisasi internasional regional, diantaranya adalah:
a. Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum bisa menunjuk misi pencari fakta (fact-
finding mission) untuk menyelidiki dan melaporkan dugaan pelanggaran hukum
internasional. Dewan HAM PBB juga dapat mengirim misi pencari fakta serta menunjuk
perwakilan khusus atau pelapor khusus untuk memberikan saran mengenai situasi
tertentu.
16
b. Misi-misi tersebut dapat sekaligus memberikan peringatan dini tentang krisis
kemanusiaan yang terjadi dan bernegosiasi dengan para pemimpin negara di mana krisis
tersebut berlangsung untuk mencari cara penyelesaian.
c. Kerjasama regional dan global untuk menjamin peningkatan dan semakin efektifnya
kolaborasi antara PBB dan organisasi-organisasi regional dan sub-regional, termasuk
hal-hal yang terkait dengan pembagian kapasitas (capacity-sharing) dan kapabilitas
peringatan dini (early-warning capability).
d. Pertimbangan PBB untuk menggunakan kekuatan militer guna menghadapi kekerasan
massal yang mendesak dan bersifat aktual. Hal penting yang harus diingat bahwa respon
kolektif masyarakat internasional melalui penggunaan kekuatan militer ini harus
merupakan upaya terakhir bila suatu negara dipandang gagal melindungi warganya dan
bila cara-cara damai yang ditempuh juga mengalami kegagalan.
Hingga tahun 1989 Kosovo merupakan bagian dari wilayah Yugoslavia yang memiliki
otonomi khusus. Namun, setelah pecahnya Yugoslavia, Kosovo berada dibawah Kontrol Serbia.
Hal ini menandai berakhirnya otonomi yang dimiliki Kosovo tersebut. Pemerintah Serbia
dibawah kepemimpinan Slobodan Milosevic telah menegasikan hak minoritas Kosovo.
Akibatnya konflik terbuka antara Kosovo (dibawah Kosovor Albanian Forces/ Kosovo
Liberation Army) dan militer Serbia yang tidak seimbang menyebabkan kematian warga sipil
dan gelombang pengungsi yang besar. Antara Maret 1998-Maret 1999, lebih dari 2000 orang
terbunuh sebagai akibat kebijakan Pemerintah Serbia di Kosovo. Dugaan kuat bahwa terdapat
pembunuhan masal terhadap masyarakat sipil telah terbukti setelah Tim Kemanusiaan PBB
menemukan lebih dari 40 orang tewas di Desa Racak, Kosovo.5
Hingga satu tahun konflik berlangsung, PBB juga tidak turut tangan, masih menganggap
bahwa konflik yang berlangsung walaupun menyebabkan kematian besar warga sipil masih
menjadi urusan dalam negeri negara lain. NATO, sebagai kekuatan pertahanan Atlantik Utara,
5
Fitria (2012). “Implementasi Doktrin Responsibility to Protect (Humanitarian Intervention) dalam Hukum
Internasional (Kasus Kosovo Libya dan Suriah)”. Lex Jurnalica, Vol. 9, No. 1, April, pp. 44-50
17
tidak tinggal diam. Setelah beberapa kali upaya untuk membawa masalah ini ke meja
perundingan mengalami kegagalan, akhirnya NATO mengambil langkah sepihak melakukan
serangan selama 78 hari (24 Maret10-Juni 1999) ke wilayah Yugoslavia (Serbia). Serangan bom
yang dilayangkan NATO terhadap Serbia telah membawa pelanggaran dalam bentuk yang lain,
seperti hukum perang karena membawa kerugian bagi warga sipil Serbia dengan terbakarnya
kilangnya minyak Pancevo sehingga menyebabkan kerusakan ekonomi dan efek buruk bagi
kesehatan.
Namun begitu, serangan NATO ini juga tidak lepas dari dukungan pihak lain. Laporan yang
dibuat British Parliamentary Foreign Affairs Select Committee (FSC), menyimpulkan bahwa
Serangan yang dilakukan NATO walaupun diragukan legalitasnya, namun dapat dijustifikasi
oleh alasan moral. Sehingga dukungan Perdana Menteri Tony Blair atas serangan udara tersebut
dapat dibenarkan.
Misi NATO ini akhirnya mendapatkan pengesahan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (DK-PBB) setelah mengeluarkan resolusi No. 1244, yang diantaranya: memberikan
kekuasaan kepada NATO untuk memimpin pasukan Penjaga Perdamaian dan menetapkan
Kosovo dibawah Administrasi PBB.
Apabila merujuk kepada hukum internasional, tidak ada perjanjian internasional apapun
yang secara eksplisit mengatur tentang tanggung jawab negara atau organisasi internasional
untuk memberikan perlindungan kepada penduduk sipil yang mengalami kekerasan oleh negara
dimana penduduk sipil itu berada. Ketentuan tersebut, baru sebatas pandangan ahli hukum
18
internasional (Doktrin) yang dikenal sejak akhir Abad ke 19, yang dikenal dengan nama
humanitarian intervention.
Serangan NATO ke Yugoslavia menunjukkan babak baru implementasi doktrin R2P. Bahwa
komunitas internasional tidak boleh membiarkan terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suatu
negara kepada penduduk dalam wilayahnya. hingga dapat disimpulkan bahwa aksi yang
dilakukan NATO adalah legal dan sah sebagai tindakan luar biasa untuk mencegah terjadinya
bencana kemanusiaan yang luar biasa. Ada sebuah bukti yang nyata bahwa bencana tersebut
bersifat nyata. Sebgian pihak melihat justifikasi serangan tersebut dari perluasan tafsir atas Pasal
51 Piagam PBB: setiap negara memiliki hak untuk menggunakan kekuatan senjatanya untuk
mendukung negara lain yang telah mendapatkan serangan militer. Ketentuan ini diperluas bahwa
intervensi senjata suatu negara di negara lain secara internasional dianggap sah karena setiap
negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan maksimal warga negaranya di luar
negeri.
Bukanlah hal yang mudah untuk dapat mentransformasi doktrin R2P sebagai perjanjian
hukum internasional yang bersifat mengikat, mengingat resistensi banyak negara, terutama
negara-negara berkembang atas pemberlakuan doktrin ini. Kita tidak bisa memungkiri bahwa
intensi NATO dalam beberapa penyerangannya ke negara yang sedang dalam konflik bukan
19
semata kepentingannya dalam rangka melaksanakan R2P dan melindungi penduduk sipilnya di
negara tersebut. Penyerangan tersebut, kita sebut saja pada kasus Libya, terdapat indikasi bahwa
ada motivasi politik tertentu dari negara-negara yang tergabung dalam NATO. Sebagian
menduga bahwa respon cepat DK-PBB dan keterlibatan Amerika Serikat dan negara sekutu
lainnya terhadap kasus Lybia bukan semata-mata kemanusiaan namun juga aspek ekonomi, agar
kepentingan mereka atas akses minyak di Lybia dapat tetap dijamin.
Langkah yang paling mungkin adalah menguji doktrin ini, melalui praktek dalam hukum
internasional secara konsisten dan meluas sehingga dapat menjadi kebiasaan internasional. Untuk
itu, syarat penerapan doktrin ini dalam praktek harus memiliki kewibawaannya dengan
mereduksi motivasi-motivasi lain seperti politik dan ekonomi bagi para pelaksana doktrin. Hal
ini adalah syarat yang tidak dapat ditawar agar hukum internasional memiliki kewibawaannya.
5. PENUTUP
Berkaitan dengan implementasi R2P sampai saat ini masih berkembang persepsi di kalangan
negara-negara berkembang bahwa konsep R2P adalah sama dengan 'humanitarian intervention',
sehingga yang menjadi fokus perhatian mereka adalah memberi peluang kepada pihak asing
mengambil alih tanggung jawab suatu negara dalam melindungi warganya. Kekhawatiran yang
kemudian muncul adalah manipulasi dan politisasi yang dilakukan oleh negara-negara besar
untuk melegalkan tindakan intervensi yang dilakukannya tersebut. Inilah salah satu tantangan
yang cukup berat untuk menyamakan persepsi di antara anggota masyarakat internasional bahwa
untuk menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia harus dipahami bahwa 'national authority is
manifestly failing to protect...' berdasarkan standar nilai dan ukuran yang universal tanpa
politisasi dari pihak mana pun.
Kewajiban dan tanggung jawab negara sebagaimana ditegaskan dalam Pilar kesatu R2P
sebenarnya sudah tertuang dalam berbagai instrumen internasional HAM, seperti Genocide
Convention 1948, ICCPR, ICESCR, CAT, CRC, CERD, CEDAW, Rome Statute dan Geneva
Convention 1949. Negara-negara yang sudah menjadi peserta perjanjian-perjanjian internasional
memiliki kewajiban mengimplementasikannya (asas 'pacta sunt servanda'). Dalam konteks R2P,
maka kewajiban negara berkaitan dengan genosida dan kejahatan perang sudah diatur secara
20
jelas dan memiliki dasar hukum sendiri, yaitu dalam Genocide Convention dan Geneva
Convention 1949. Dalam kaitannya dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, maka beberapa
praktek pengadilan internasional dapat menjadi rujukan penting bagi persoalan ini. Ketiga jenis
kejahatan ini, yaitu genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan sudah
terakomodasi dalam Statuta Roma yang juga mempertegas kewajiban negara untuk secara efektif
menjatuhkan hukuman kepada para pelaku kejahatan tersebut.
Pilar kedua R2P yang menghendaki peran aktif masyarakat internasional dan PBB dalam
mencegah, menghentikan dan menyelesaikan berbagai tindak kekerasan sebagaimana dimaksud
dalam Pilar kesatu, dapat dilakukan oleh masyarakat internasional melalui berbagai cara,
diantaranya melalui hubungan diplomatik, bantuan kemanusiaan, penguatan instrumen hukum
dan institusi dari negara yang membutuhkan dan cara-cara lain sebagaimana dimungkinkan oleh
Bab VI Piagam.
Demikian pula dengan Pilar ketiga R2P yang mewajibkan masyarakat internasional untuk
memberikan respon yang tegas dan tepat waktu, sesungguhnya juga bukan merupakan hal baru
karena berkaitan dengan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah sejalan dan konsisten dengan praktek hukum internasional yang selama ini
berkembang. Hukum internasional telah menerima hal-hal tersebut sebagai peremptory norms,
artinya bila terdapat indikasi bahwa suatu negara melanggar norma tersebut maka masyarakat
internasional harus bekerja sama untuk mengakhiri pelanggaran itu dengan menggunakan
perangkat hukum yang ada.
Hal ini bukan berarti bahwa dengan alasan R2P masyarakat internasional 'wajib' melakukan
intervensi militer, karena harus lebih dulu dilakuKan upaya-upaya pencegahan, penghentian dan
penyelesaian masalahnya secara damai. Intervensi militer menjadi pilihan terakhir dengan
justifikasi dan legitimasi PBB dengan memperhatikan beberapa kriteria, yaitu:
a. Tindakan tersebut harus memiliki dasar pembenaran yang adil (just cause) karena telah
terjadi kekejaman massal.
b. Tujuan yang benar (right intension) berupa usaha untuk menghentikan penderitaan
manusia.
21
c. Merupakan langkah terakhir (final resort) karena semua segala langkah damai baik yang
bersifat diplomasi mmaupun non militer ternyata gagal.
d. Didasarkan pada keabsahan kewenangan (legitimate authority) dengan mandat Dewan
Keamanan PBB.
e. Menggunakan sarana yang proporsional (propotional means), artinya tidak berlebihan
baik dari sisi alat maupun tujuan sesuai dengan hukum humaniter.
f. Intervensi militer itu dilakukan dengan jaminan sukses untuk menghentikan kekejaman
dan penderitaan massal (reasonable prospect).
Kalimat penutup yang di perlukan adalah Prinsip R2P yang muncul sebagai reaksi atas
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat internasional sebenarnya bukan merupakan hal
yang benar-benar baru, karena sesungguhnya prinsip ini hanya memberikan penegasan dan
kerangka kerja terhadap hal-hal yang sudah diatur di dalam berbagai instrumen hukum
internasional, khususnya yang berkaitan dengan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis
dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengimplementasiannya memerlukan reformasi struktural
PBB, khususnya keanggotaan Dewan Keamanan, sebagai organisasi internasional yang memiliki
wewenang untuk melakukan intervensi militer terhadap suatu negara yang dianggap melakukan
kekejaman massal.
22