Anda di halaman 1dari 6

Lio Kurniawan

NPM: 2006622092
Responsibility to Protect Report

Latar Belakang
Perkembangan konsep 'responsibility to protect' ('R to P') tidak lepas dari situasi abad ke-
20 yang dapat dikatakan sebagai 'abad pembunuhan massal'. Puluhan juta manusia di berbagai
belahan dunia telah menjadi korban pembunuhan, penyiksaan maupun karena kelaparan akibat
kejahatan-kejahatan yang dikenal sebagai pemusnahan massal, kejahatan perang, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis. Selama Perang Dunia Pertama, pembunuhan
massal terhadap orang-orang Armenia memakan korban jiwa lebih dari satu juta orang. Pada
Perang Dunia Kedua, rejim Nazi menewaskan tidak kurang dari 11 juta orang, termasuk 6 juta
orang Yahudi dan juga jutaan tawanan perang dan orang Gipsi.
Selanjutnya dunia kembali dikejutkan dengan ladang pembantaian (killing fields) yang
terjadi di Kamboja, hampir dua juta manusia dibunuh di bawah rejim Pemerintahan Khmer
Merah yang dipimpin oleh Pol Pot. Demikian pula dengan pembunuhan massal di Bosnia (1992-
1995), Somalia (1993), Rwanda (1994), Congo (1998) dan Kosovo (1999). Sekali lagi, lebih
dari sejuta laki-laki, perempuan dan anak-anak tewas dibunuh. Keadaan ini menjadi bukti bahwa
masyarakat internasional telah gagal mencegah terjadinya pemusnahan massal.
Kata genosida atau pembunuhan massal sudah tidak asing lagi untuk dikenal sampai
sekarang. Genosida sendiri merupakan salah satu kejahatan yang termasuk dalam kejahatan
internasional. Arti dari genosida adalah salah satu tindakan yang dimaksudkan untuk
menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau
keagamaan (Shaw, 2013). Pembunuhan massal adalah fenomena kuno. Namun, istilah genosida
pertama kali diciptakan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1944 dan disebut sebagai istilah hukum
dalam Konvensi PBB terhadap Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida
tahun 1948 (Daniel 2014).
Pemusnahan massal (genocide) didefinisikan oleh PBB sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan dengan tujuan untuk memusnahkan, sebagian maupun secara keseluruhan, kelompok
nasional, etnis, rasial atau keagamaan. Tindakan-tindakan ini meliputi: pembunuhan anggota
kelompok tertentu, menyebabkan kerugian serius terhadap anggota kelompok tersebut, dan
memusnahkan anak-anak dari kelompok tersebut. Kejahatan perang (war crimes) termasuk
tindakan-tindakan yang dilakukan selama perang atau konflik berlangsung seperti penyiksaan,
penahanan sandera, perlakuan yang tidak manusiawi terhadap tawanan perang, menargetkan
kaum sipil selama pertempuran, pemerkosaan, perbudakan seksual, dan kelaparan. Kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) termasuk penghilangan, perbudakan, deportasi,
penyiksaan, pemerkosaan dan tindakan yang secara sengaja menyebabkan penderitaan yang
sangat, atau luka yang serius terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik. Tindakan-tindakan
demikian kerap dilakukan selama konflik berlangsung, namun dapat pula dilakukan oleh rejim-
rejim yang berusaha untuk menekan rakyatnya. Istilah pembersihan etnis (ethnic cleansing)
berarti pemindahan populasi secara paksa, dengan cara pengusiran secara fisik atau intimidasi
melalui pembunuhan, tindakan teror, pemerkosaan dan sebagainya.
ICISS menyampaikan laporannya pada Desember 2001 mengenai 'R to P', dikatakan
bahwa semua negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi rakyat mereka dari
pemusnahan massal, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis.
Selanjutnya mereka juga berpendapat bahwa masyarakat internasional memiliki tanggung jawab
untuk membantu negara melindungi rakyatnya dari keempat kejahatan tersebut. Sehingga jika
suatu negara gagal memberikan perlindungan terhadap rakyatnya dari pembunuhan massal atau
bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya, maka masyarakat internasional harus mengambil
tanggung jawab untuk melindungi rakyat dari negara tersebut. Oleh sebab itu, dalam rangka
perlindungan, masyarakat internasional juga harus menggunakan serangkaian cara diplomatik,
ekonomi dan hukum, dan penggunaan kekuatan militer hanya dimungkinkan sebagai upaya
terakhir dalam situasi yang sangat ekstrim atau mendesak.
Berdasarkan dari laporan International Commission on Intervention and State
Sovereignty (ICISS), bilamana suatu negara tidak mau atau tidak mampu mencegah atau
melakukan tindakan yang menyebabkan luka fisik atau kematian penduduknya, maka prinsip
non-intervensi dapat disimpangi dan menjadi beban kewajiban internasional untuk melakukan
pencegahan dan melindunginya (international responsibility to protect). Laporan ICISS29
memberikan kejelasan apabila suatu negara memperlakukan warga negaranya dengan kejam dan
melanggar HAM, maka hak kedaulatan negara tersebut hilang dan masyarakat internasional
memiliki kewajiban moral untuk mengintervensi negara tersebut.
Holzgreve dan Robert (2003:1) mengatakan bahwa isu intervensi humaniter selalu
menjadi perdebatan yang belum selesai baik dalam hukum dan hubungan internasional. Di satu
sisi, hukum internasional menjamin hak suatu negara untuk mengintervensi negara lain dalam
hal pencegahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara masif. Sedangkan, disisi lain
intervensi humaniter bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara (state sovereignty) dan
prinsip non-intervensi (non-intervention).
Doktrin just war memberikan justifikasi atau alasan pembenar untuk melakukan serangan
terhadap negara lain selama serangan (perang) dilakukan secara adil. Doktrin ini memberikan
batasan seperti apa intervensi boleh dilakukan, dan norma apa saja yang menjadi pedoman dalam
melakukan intervensi secara benar. (Elshtein, 2001:4) Selama intervensi humaniter dilakukan
sebagai alasan yang benar dan dilakukan dengan cara yang benar maka tindakan intervensi
tersebut boleh dilakukan.
Berdasarkan kajian ICISS, pernyataan diatas menyatakan bahwa kedaulatan tidak hanya
memberikan hak kepada negara untuk mengendalikan semua urusan negara, tetapi kedaulatan
menjadi tanggung jawab utama negara untuk melindungi populasi didalam wilayahnya. Pada
hakikatnya 'R to P' merupakan komitmen politik dan moral yang disepakati oleh negara-negara
berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban setiap negara serta masyarakat internasional
untuk memberikan perlindungan kepada setiap individu dari tindak kekejaman massal (mass
atrocity) yang meliputi kejahatan genosida (genocide), kejahatan perang (war crimes),
pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity). Selain itu, masyarakat internasional juga mempunyai tanggung jawab untuk
membantu negara-negara dalam memenuhi kewajibannya tersebut. Bila karena sesuatu hal
negara tidak mampu (unable) atau tidak memiliki kemauan (unwilling) untuk melindungi
rakyatnya, maka masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk menyelematkan
masyarakat untuk dari pemusnahan massal dan juga dari kejahatan kemanusiaan lainnya.

Penutup
Ban-ki Moon membagi “Responsibility to Protect” ke dalam tiga pilar. Pilar-pilar ini
adalah: 1. Tanggung jawab melindungi yang dimiliki oleh negara-negara, bertanggung jawab
untuk melindungi rakyatnya sendiri dari pemusnahan massal (genocide), kejahatan perang (war
crimes), pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity), serta dari segala macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan
tersebut. 2. Bantuan internasional dan pembangunan kapasitas (capacity-building) 3. Respon
secara tepat dan tegas terhadap krisis kemanusiaan
“Responsibility to Protect” berhubungan dengan tanggung jawab semua negara untuk
melindungi rakyatnya sendiri dan tanggung jawab yang dimiliki komunitas internasional untuk
membantu negara-negara dalam mencapai hal ini. Jika sebuah negara gagal untuk melindungi
rakyatnya, sejumlah cara (ekonomi, diplomatik dan politik) digunakan untuk membantu negara
ini dan, hanya di dalam situasi yang ekstrim, intervensi militer dapat digunakan untuk
menghentikan pemusnahan massal dan berbagai kejahatan massal lainnya.
Prinsip Responsbility to Protect dapat dijadikan sebagai landasan utama untuk diterapkan
ke suatu negara dan menjadi suatu tanggungjawab internasional untuk melindungi populasi
disuatu negara. Serangkaian elemen Responsibility to Protect tersebut bertujuan sebagai bahan
pertimbangan agar aksi militer atau intervensi militer sebagai upaya akhir apabila langkah
pencegahan dan cara-cara damai tidak mampu menghentikan kejahatan massal yang terjadi.

Source: The Responsibility to Protect: Ending Mass Atrocity Crime and Once and for All (Evans, 2008)

Langkah awal dalam implementasi Responsibility to Protect yaitu prevention atau


pencegahan yang merupakan salah satu tujuan mendasar dan dimensi paling penting dalam
pelaksanaan Responsibility to Protect. Proses Responsibility to prevent memaparkan sebuah
penanganan akar penyebab dan penyebab langsung dari konflik yang menjadikan populasi
sebagai korban jiwa dari kejahatan massal. Pentingya sebuah pencegahan karena berisikan 3
unsur diantaranya, early warning system atau peringatan dini, root causes of conflict atau
menemukan akar masalah atau sebab utamanya konflik yang berisikan upaya dari tingkat
nasional maupun internasional untuk menemukan sebab utama dari konflik, dan direct
prevention atau pencegahan langsung melalui berbagai upaya diplomatik baik dari aspek politik,
ekonomi, hukum dan terakhir militer (Evans, 2008:84).
Langkah-langkah terpenting dalam pencegahan struktural dalam dimensi ekonomi yaitu
berupa strategi pembangunan ekonomi dan social. Hal ini dikarenakan sebagian besar penyebab
berlangsungnya konflik dan kekejaman massal disuatu negara disebabkan karena kekurangan
dan kesulitan dalam ekonomi. Pencegahan akar penyebab konflik secara ekonomi dilakukan
dengan cara melibatkan bantuan pembangunan dan kerja sama untuk mengatasi ketidakadilan
dalam distribusi sumber daya atau peluang perekonomian suatu negara, adanya syarat dan akses
yang mudah dalam melakukan perdagangan ke pasar eksternal dengan tujuan utama untuk
mengembangkan perekonomian suatu negara (ICISS, 2001).
Secara hukum pencegahan structural dilakukan dengan cara memberikan perlindungan
HAM kepada masyarakat, meningkatkan perlindungan bagi kelompok yang rentan terutama
kelompok minoritas dengan cara memberikan jaminan hak kebebasan berekspresi dalam
panggung legislative, memberikan kebebasan asosiasi, beragama, penggunaan bahasa dan non-
diskriminasi dalam pekerjaan, mempromosikan kejujuran dan akuntabilitas dalam penegakan
hukum, serta memberikan dukungan kepada institusi dan organisasi lokal yang bekerja untuk
memajukan hak asasi manusia (ICISS, 2001:23)
Direct Prevention atau pencegahan langsung pada dasarnya memiliki dimensi
pencegahan akar penyebab yang sama dengan pencegahan secara structural, seperti politik /
diplomatik, ekonomi, hukum dan militer. Namun, instrumen yang digunakan dalam direct
prevention berbeda dengan structural prevention, yang mencerminkan waktu yang lebih singkat
dalam pelaksanaannya. Instrumen-instrumen ini dalam setiap kasus dapat ditunjukkan dengan
berupa bantuan langsung, bujukan positif dalam kasus yang tidak terlalu sulit seperti seruan dan
kecaman internasional, dan adanya bujukan negatif seperti berupa pemberian hukuman atau
sanksi dalam kasus yang dinilai sulit dalam proses penyelesaianya.
Pencegahan secara langsung dalam sector keamanan yaitu berupa embargo senjata, yang
merupakan cara terakhir yang dilakuan oleh Dewan Keamanan dan komunitas internasional
ketika konflik mulai berkembang dan semakin mengancam kemanan (Evans, 2008). Tindakan
yang diperlukan biasanya berupa tindakan paksaan seperti pemberian sanksi dan penuntutan
international bahkan untuk kasus-kasus yang ekstrem, kondisi seperti ini diperbolehkan untuk
melakukan intervensi militer. ICISS memberikan penilaian dalam rangka intervensi militer harus
memenuhi 6 syarat diantaranya otoritas yang tepat (right authority), sebab yang sah (just cause),
niat yang benar (right intention), upaya atau langkah akhir (last resort), cara-cara yang
proposional (proportional means), dan prospek yang wajar (reasonable means) (Evans,
2008:141)
Selanjutnya dalam Responsibility to re-build terdapat empat dimensi yang saling terkait,
seperti keamanan, tata pemerintahan yang baik, keadilan dan rekonsiliasi, dan pembangunan
ekonomi dan sosial. Pelaksanaan intervensi militer yang telah menyebabkan kerusakan yang
parah, maka komitmen yang dilakukan ialah dengan membantu membangun perdamaian,
mempromosikan pemerintahan yang baik serta pembangunan yang berkelanjutan. Langkah
lainnya yaitu dengan memastikan rehabilitasi dan rekonstruksi yang berkelanjutan, adanya
kerjasama yang erat dengan masyarakat setempat.
Laporan ICISS menyatakan bahwa pelaksanaan Responsibility to re-build yang sukses
tidak selalu terjadi di meja dialog perpolitikan atau dalam proses peradilan. Rekonsiliasi terbaik
ialah ketika adanya usaha-usaha rekonstruksi, ketika mantan musuh ikut bergabung dalam
membangun kembali masyarakat dengan membangun kembali permukiman baru yang menjadi
korban konflik. Upaya tersebut berupa perbaikan infrastruktur, pembangunan perumahan serta
penanaman atau pemulihan lahan mata pencaharian serta kerjasama dalam kegiatan lainnya
(ICISS, 2001:40)

Referensi
Elshtein. J. B. 2001 'Just War and Humanitarian Intervention’. Ideas Vol. 8, No. 2 (2001). hal.4
Evans, Gareth 2008. The Responsibility to Protect : Ending Mass Atrocity Crime Once and for
All, hal. 84.
Feierstein, Daniel 2014, Genocide as Social Practise, New Brunswick, New Jersey : Rutgers
University Press, hal. 2.
Holzgreve, J. L. dan Robert O. Keohane (ed.) 2003 Humanitarian Intervention: Ethical, Legal,
and Political Dilemmas. UK: Cambridge University Press. hal.1
ICISS, The Responsibility to Protect, Report of the International Commission on Intervention
and State Souvereignty, December 2001
Shaw, Malcolm N. 2013, Hukum Internasional, diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie,
Bandung : Nusa Media, hal. 271

Anda mungkin juga menyukai