Viktimilogi berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan
tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata mengalami kerugian
adalah sikap atau tindakan korban dan atau pihak pelaku serta mereka yang
secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan (D. M. A.
31
32
secara dimensional;
(Gosita, 1993).
pun erat kaitannya dengan korban dan pelaku karena pelaku lah yang
perhatian pada arti penting dan peranan korban dalam konteks dinamik
objek pasif yang tertuang dalam karya buku von Hentig yang berjudul
33
Criminal and His Victim (1948). Istilah Viktimologi muncul pada tahun 1974
“New Bio-Psycho Social Horizons:Victimilogy”. Maka dari itu karya dari von
Hal ini pun sejalan dengan tokoh pemikir viktimologi seperti Ellias ataupun
dan cara dari sistem sosial, peluang untuk melakukan jalan lain untuk
terhadap viktimisasi;
itu, pengaruh kuat mungkin ada dan melekat dalam jangka waktu yang
problematik.
sebagainya;
terhadap anak atau istri dan menelantarkan kaum manula (manusia usia
4. Viktimisasi media, dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan obat bius,
Maka dari itu, jika menurut teori J.E. Sahetapy, ruang lingkup
viktimologi ini meliputi seseorang yang bisa menjadi korban yang ditentukan
mengkaji korban karena musibah atau bencana alam karena korban bencana
alam diluar kemauan manusia (out of man’s will) (D. M. A. M. & E. Gultom,
2007).
sebagai objek kajian viktimologi semakin luas dan meminta perhatian bahwa
melalui kegiatan dalam bisnis atau industri yang pada umumnya dilakukan
seperti organized crime, white collar crime, dan korupsi (D. M. A. M. & E.
Gultom, 2007).
struktural hak asasi manusia yang ada, yang mana hal tersebut terlihat dari
pula “the rights of victim are component part of the concept of human rights.”
(Zvonimir, 1985).
1988).
C. Pengertian Korban
secara jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari
pemenuhan dan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan
terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena
masyarakat pun dapat menjadi korban. Korban dalam pengertian diatas pun
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Pasal 1 angka 3, yaitu “orang
hak asasi manusia yang berat termasuk korban dan ahli warisnya.” (Peraturan
n.d.)
41
kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya
“orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman dalam lingkup rumah
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Pasal 1 ayat (5).
Pengertian korban dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi: “Korban adalah
langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban
perlindungan hukum.
D. Hak-Hak Korban
Hak-hak korban menurut van Boven adalah hak untuk tahu, hak atas
keadilan dan hak katas reparasi (pemulihan), yang merujuk pada semua
bentuk pemilihan materil dan imateriil bagi para korban pelanggaran hak
asasi manusia.
2. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
4. mendapat penerjemah;
9. dirahasiakan identitasnya;
1993):
pelaku;
hak korban tersebut menjadi payung hukum bagi mereka yang menjadi
Korban pelecehan seksual terutama pada wanita, tidak perlu takut lagi
Hak-hak korban pun haruslah didasari dengan asas equality before the
law, yaitu persamaan di depan hukum. Asas equality before the law
pelecehan seksual pada perempuan inilah yang harus didasari dengan asas
equality before the law, karena dalam kasus tersebut sering kali terjadi
atau aparat hukum dan malah menyalahkan korban yang merupakan korban
Ryan yang merupakan seorang sosiolog dari Amerika. William Ryan selalu
45
mengamati gejala sosial kemiskinan yang dipicu oleh rasisme dan yang
menjadi sasarannya yaitu kaum lemah yang tidak memiliki pengetahuan yang
cukup dan miskin. Dalam bukunya yang ia tulis berjudul “Blaming the
tidak adil lewat kesalahan atau kecacatan yang dilihat pada korban. Victim
kesalahan atau bencana yang dirinya sendiri (Alfi & Halwati, 2019).
atau sebagian atas kejahatan yang telah terjadi. Victim blaming ini bisa
medis, dan kesehatan mental juga dari media, anggota keluarga atau pun
rekan-rekan korban (Coates, L., Richardson, C & Wade, 2006). Pelaku laki-
Salah satu efek dari menyalahkan korban adalah efek selanjutnya pada
& Wade, 2006). Korban yang disalahkan lebih memilih untuk menghindari
46
Victim Blaming juga terjadi karena adanya faktor rape culture. Rape
pembunuhan (murder);
4. Dalam tingkat keempat, ada: rape jokes (“laki-laki memang begitu”), wage
kejahatan yang selalu dianggap remeh atau dianggap sebagai hal biasa yang
Dunia adalah salah satu bentuk kekerasan seksual yang menjadi masalah
1. Perkosaan;
3. Pelecehan Seksual;
4. Eksploitasi Seksual;
6. Prostitusi Paksa;
7. Perbudakan Seksual;
9. Pemaksaan Kehamilan;
mendiskriminasi perempuan;
dan agama.
seksual yang merupakan sudah banyak terjadi dan hampir seluruhnya terjadi
dan karena itu kurang berpengaruh, yang mana kekuasaannya ada di para
bapak, suatu sistem keluarga, ideologis dan politik di mana laki-laki dengan
kekuatan tekanan langsung, atau melalui ritual, tradisi, hukum, bahasa, adat
istiadat, etiket, pendidikan, dan pembagian kerja menentukan apa peran yang
seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan oleh perempuan, dan dimana pun
diartikan sebagai bentuk perbuatan yang mengabaikan nilai dan norma yang
mengucapkan sesuatu yang berbau seksual yang dapat terjadi dimana saja dan
kapan saja meskipun itu di keramaian yang penuh dengan orang-orang. objek
Korbannya tidak memandang dari pakaian, kelakuan dan usia saja karena
49
adapun yang sudah lanjut usia, dewasa, anak-anak yang berpakaian rapi dan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 289 KUHP, ialah segala perbuatan yang
ini (Soesilo, 1996). Maka dari itu, dapatlah ditarik kesimpulan dalam Pasal
285 dan 289 KUHP terdiri dari unsur ancaman, memaksa, dan memperkosa,
ternodai.
mengundang kejahatan.
dikarenakan oleh faktor feminisme radikal. Kata radical secara bahasa berarti
jenis kelamin tidak bisa dilakukan hanya dalam tataran struktural atau
tataran legal-formal. Bagi aliran ini hukum apapun adalah produk dari
kendalinya oleh pihak laki-laki maka hukum pun pasti akan mewakili
karya monumental Simone de Beauvoir‟s yang berjudul The Second Sex pada
tahun 1949 di Perancis. Karya itulah yang memulai munculnya analisis yang
perempuan pada kehidupan sosial yang bias gender, khususnya mengenai isu
aliran ini, yang termasuk juga dalam aliran ini adalah feminisme psikoanalitis
dan feminisme standpoint (Lorber, 2001). Pada intinya, menurut aliran ini,
ini salah satu penyebabnya adalah budaya patriarki yang sangat kental dalam
segi budaya maupun agama. Perempuan dianggap sebagai sebuah objek yang
dapat digunakan dalam segi apa pun oleh laki-laki merupakan bentuk dari
kelamin, berarti ia adalah korba ketidakadilan korban (A, 2012). Pada intinya
perempuan (dalam sisi negatif) dan merasa laki-laki tidak boleh ada dibawah
perempuan dalam hal apa pun. Dalam hal ini, laki-laki ingim mendominasi
kepentingannya sendiri.
53
blaming ialah kasus Baiq Nuril Maknun. Baiq Nuril Maknun mengalami
pelecehan seksual secara verbal dari seorang laki-laki yang bernama Muslim,
merupakan atasan dari Baiq Nuril Maknun, karena Baiq Nuril Maknun ini
melakukan pelecehan seksual secara verbal kepada Baiq Nuril Maknun lewat
Hal tersebut membuat Baiq Nuril Maknun menjadi risih dan terganggu saat
akan cerita Muslim tersebut, Baiq Nuril Maknun tanpa sepengetahuan pelaku
Baiq Nuril Maknun. Lalu, setelah kejadian tersebut, Baiq Nuril Maknun
yaitu Imam Mudawin. Lalu, oleh Imam Mudawin disebarkan hingga sampai
Undang ITE. Hingga pada akhirnya, Baiq Nuril Maknun yang sebagai korban
dan denda Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah) dengan subsidair 3
Baiq Nuril Maknun, akan tetapi Jaksa mengajukan kasasi dan Baiq Nuril
Maknun pun dijatuhi hukuman 6 (enam) bulan penjara dan denda Rp.
kurungan. Merasa tidak adil, Baiq Nuril Maknun pun mengajukan Peninjauan
Kembali (PK) akan tetapi ini tidak berhasil karena ditolak oleh Mahkamah
Agung. Oleh sebab itu, Presiden Joko Widodo pun mengusulkan untuk
mengajukan amnesti yang dibantu oleh Menteri Hukum dan HAM Yassona H
mahasiswinya, seperti “poto yang sexy.. kirim plis” “jadi kita bimbingan
salah satu mahasiswi dicoret mamanya dari daftar yudisium karena Rektorat
berupa 3 (tiga) buah ponsel korban, 1 (satu) buah ponsel pelaku yang berisi
chat yang mengarah pada pelecehan seksual ada pula chat yang berisi voice
note suara desahan yang dikirimkan pelaku kepada para korban. Oleh karena
tidak bisa mendapatkan PK dan korban 3 (tiga) mahasiswi yang tidak bisa
F. Tipologi Korban
korban
korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) yang
berdaya.
dirinya sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Maka dari itu,
(bukan kelompok),
disebabkan oleh keadaan fisik korban yang mana korbannya itu ialah
1999 tentang Hak Asasi Manusia, 1999) diatur tentang hak wanita yang
dalam pasal-pasal tersebut, hak wanita berarti dijamin dan dilindungi oleh
hukum yang mempunyai hak istimewa dimata hukum yaitu berupa jaminan
victim pada kasus pelecehan pada perempuan ada pada masyarakat atau
korban yang tidak berdaya. Hal ini pun dapat disimpulkan bahwa kasus
sekali tidak bersalah, karena dalam kasus pelecehan seksual pada perempuan
menjadi objek pelecehan seksual, yang mana ini menunjukkan bahwa korban
sudah berperilaku dan berpakaian rapi dan sopan sesuai dengan situasinya
tetapi masih saja bisa menjadi korban pelecehan seksual yang menunjukkan
61
bahwa pelaku disinilah yang salah karena korban sudah selakunya berperilaku
dan berpakaian sopan, tetapi pelaku masih saja melakukan aksi kejahatan
pelecehan seksualnya.