1. Pengertian Korban
Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini
adalah untuk sekedar membantu dalam menentukan secara jelas batas-
batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh
kesamaan secara pandang.
Korban suatu kejahatan tidak selalu harus berupa individu, atau
orang perorangan, tetapi bisa juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan
tertentu, korban bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti
tumbuh-tumbuhan, hewan atau ekosistem. Korban semacam ini lazim kita
51
temui dalam kejahatan terhadap lingkungan. Namun dalam pembahasan
ini korban sebagaimana dimaksud terakhir tidak termasuk didalamnya.
51
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,
(Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007), hal. 45-46.
Dalam perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana lazimnya
pengertian “korban kejahatan” merupakan terminologi disiplin ilmu
kriminologi dan victimologi yang kemudian dikembangkan dalam sistem
peradilan pidana. Dikaji dari perspektif ilmu victimologi, pengertian
korban dapat diklasifikasikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian
luas korban diartikan sebagai orang yang menderita atau dirugikan akibat
pelanggaran baik bersifat pelanggaran hukum pidana (penal) mupun diluar
hukum pidana (non penal) atau dapat juga termasuk korban
penyalahgunaan kekuasaan (victim abuse of power). Sedangkan pengertian
korban dalam artian sempit dapat diartikan sebagai victim of crime yaitu
52
korban kejahatan yang diatur dalam ketentuan hukum pidana.
Dari perspektif ilmu victimologi tersebut di atas, korban dapat
diklasifikasi secara global menjadi:
Korban kejahatan (victims of crime) sebagaimana termaktub dalam
ketentuan hukum pidana sehingga pelaku (offender) diancam dengan
penerapan sanksi pidana. Pada konteks ini maka korban diartikan
sebagai penal victimology dimana ruang lingkup kejahatan meliputi
kejahatan tradisional, kejahatan kerah putih (white collar crime), serta
victimless crimes yaitu viktimasasi dalam korelasinya dengan penegak
hukum, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan,
Korban akibat penyalagunaan kekuasaan (victims abuse of power). Pada
konteks ini maka lazim disebutkan dengan terminologi political
victimology dengan ruang lingkup abuse of power, Hak Asasi Manusia
(HAM) dan terorisme,
Korban akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif atau yang
bersifat non penal sehingga ancaman sanksinya adalah sanksi yang
bersifat administratif bagi pelakunya. Pada konteks ini lazimnya ruang
lingkupnya bersifat economic victimology, dan
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan Pidana
(Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan dan Kebijakan Hukum Pidana, Filsafat
Pemidanaan serta Upaya Hukum Peninjauan kembali oleh Korban Kejahatan), (Bandung:
Penerbit CV. Mandar Maju, 2010), hal. 1-2.
Korban akibat pelanggaran kaedah sosial dalam tata pergaulan
bermasyarakat yang tidak diatur dalam ketentuan hukum sehingga
53
sanksinya bersifat sanksi sosial atau sanksi moral.
Pengertian korban kejahatan berkaitan erat dengan sifat kejahatan itu
sendiri. Korban kejahatan pada mulanya hanya diartikan sebagai korban
kejahatan yang bersifat konvensional, misalnya pembunuhan, perkosaan,
penganiayaan, dan pencurian. Kemudian diperluas pengertiannya menjadi
kejahatan yang bersifat non konvensional, seperti terorisme, pembajakan,
perdagangan narkotika, kejahatan terorganisir, kejahatan terhadap
kemanusiaan (crime against humanity), penyalahgunaan kekuasaan, dan
lain-lain. Menurut Mardjono Reksodiputro, pembicaraan mengenai korban
meliputi pula pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, yang
bersumber dari illegal abuses of economic power dan illegal abuses of
54
public power.
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli
maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas
mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya adalah sebagai berikut:
Arif Gosita, menurutnya korban diartikan sebagai, “mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain
yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
55
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.
Yang dimaksud “mereka” oleh Arif Gosita disini adalah:
Korban orang perorangan atau korban invidual (viktimasasi primair),
Korban yang bukan perorangan, misalnya, suatu badan, organisasi,
lembaga. Pihak korban adalah impersonal, komersial, kolektif
(viktimisasi sekunder) adalah keterlibatan umum, keserasian sosial dan
pelaksanaan perintah, misalnya pada pelanggaran peraturan dan
56
ketentuan-ketentuan negara (viktimisasi tersier).
Ralph de Sola, Crime Dictionary (New York: Facts on File Publication, 1998), hal. 188.
Romli Atmasasmita, Masalah Santunan terhadap Korban Kejahatan, (Majalah Hukum Nasional
Departemen Kehakiman, 1992) hal. 9.
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Op.cit., hal. 47.
Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 108.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008), hal. 733.
Tipologi Korban
Tipologi korban kejahatan dapat ditinjau dari berbagai persfektif,
yaitu:
Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya
kejahatan, Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban
63
yaitu:
Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak
kejahatan dan penjahat, tetapi tidak turut berpartisipasi dalam
penanggulangan kejahatan,
63
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi & Viktimologi, (Jakarta: PT.
Djambatan, 2004), hal. 124.
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2010), hal. 52-53.
Stephen Scafer, Op.cit., hal. 159. Lihat pula dalam, H. Parman Soeparman, Pengaturan Hak
Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana bagi Korban Kejahatan,
(Bandung: Penerbit Refika Aditama, 2007a), hal. 65-66.
3. Hak-hak Korban
Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu
korban mempunyai hak-hak yang dapat diperolehnya sebagai korban.
Adapun hak-hak korban menurut Van Boven adalah hak untuk tahu, hak
atas keadilan dan hak atas reparasi (pemulihan). Hak atas pemulihan yaitu
hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik materiil maupun
non materiil bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak
tersebut telah terdapat dalam berbagai instrument-instrumen hak asasi
manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-
komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak
69
asasi manusia.
70
Menurut Arif Gosita, hak-hak korban mencakup:
Mendapatkan ganti kerugian atas penderitaannya. Pemberian ganti
kerugian tersebut harus sesuai dengan kemampuan memberi ganti
kerugian pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam
terjadinya kejahatan dan delinkuensi tersebut,
Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi
karena tidak memerlukannya),
Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak korban
meninggal dunia karena tindakan tersebut,
Mendapat pembinaan dan rehabilitasi,
Chaerudin & Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Persfektif Viktimologi & Hukum Pidana
Islam, (Jakarta: Grhadika Press, 2004), hal. 11.
Arif Gosita, 1993, Op.cit., hal. 103.
J.E. Sahetapy, Op.cit., hal. 89.
Ibid.
Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Op.cit., hal. 50.
Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana, (Jurnal
Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol. I/No.I/1998), hal.16-17.
89
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 61.
Kunarto, PBB dan Pencegahan Kejahatan, Ikhtisar Implementasi Hak Asasi Manusia dalam
Penegakan Hukum, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1996), hal. 107.
Mardjono Reksodiputro, Hak asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007b),
hal. 102.
Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, (Bandung: Binacipta, 1986), hal. 13-14.
Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: Sebagaimana dimuat dalam
Kumpulan Karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), hal. 172.
Arif Gosita, 1993, Op.cit., hal. 50.
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Op.cit., hal. 164.
97
Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Menanggulangi
diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi. Lihat,
Mardjono Reksodiputro, 2007b, Op.cit., hal 84-85. lebih lanjut, sistem peradilan pidana menurut
Mardjono Reksodiputro merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-
lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Tujuan dari sistem
peradilan pidana tersebut adalah sebagai berikut: a. Mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan. b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. c. Mengusahakan agara mereka yang pernah
melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Lihat, Mardjono Reksodipoetro, Sistem
Peradilan Pidana Indonesia, Melihat pada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas- Batas
Toleransi, (Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1993), hal. 2.
Angkasa, Kedudukan Korban Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jurnal Penelitian
Hukum "Supremasi Hukum" Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, FH UNIB Bengkulu), hal. 119-12.
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana, (Disertasi),
(Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), hal. 10.
Ibid., hal. 224.
Ibid.
Parman Soeparman, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat dari Sudut Viktimologi, (Varia Peradilan,
Majalah Hukum Tahun Ke XXII No. 260 Juli 2007b), hal. 57.
Muladi & Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 1992), hal. 85.