Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat), sehingga segala

persoalan hukum dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat

sejauh mungkin diselesaikan melalui jalur hukum. Demikian pula halnya

dengan masalah kejahatan. Kejahatan mempunyai berbagai pengertian.

MenurutRoeslanSaleh :

“Dalam artian kriminologis adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak


susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak
ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat
itu tidak berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas
kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan kelakuan
tersebut”.1

Berdasarkan definisi ini, hal yang hakiki dari kejahatan adalah

“menimbulkan ketidaktenangan dalam suatu masyarakat”.Moeljatno

mengatakan perbuatan tersebut sebagai anti sosial.2 Sementara itu, dalam

bagian lain RoeslanSaleh menyatakan,“perbuatan pidana (tindakpidana)

adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang

melakukannya”.Oleh karena itu tekanan terutama pada adanya larangan-

larangan undang-undang terhadap perbuatan yang dalam kriminologi itu

dipandang sebagai kejahatan.3


1
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara
Baru, 1983), hlm 17.
2
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (PT. Bina Aksara 1983), hlm 3.
3
Ibid.,hlm 20.
2

Perkembangan kejahatan di Indonesia semakin meningkat. Hal

tersebut dapat dilihat dari banyaknya perbuatan yang dikriminalisasi.

Kejahatan tersebut seperti perdagangan orang (human trafficking), peredaran

narkoba (drug trafficking), penyelundupan kayu (illegal logging), terorisme,

penyelundupan senjata.

Perbuatan yang paling banyak jadi perhatian adalah perdagangan orang

(human trafficking). perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi

perhatian luas di asia bahkan seluruh dunia. Perdagangan orang terjadi tidak

hanya menyangkut di dalam negara Indonesia saja yaitu perdagangan orang

antar pulau, tetapi juga perdagangan orang di luar negara Indonesia dimana

terjadi perdagangan orang di negara-negara lain. Kurangnya pendidikan dan

keterbatasan informasi yang dimiliki yang menyebabkan mereka terjebak

dalam perdagangan orang. Faktor penyebab terjadinya human trafficking

tersebut adalah faktor kemiskinan, ketersediaan lapangan kerja, perubahan

orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang

tidak berkesudahan.4

Sejak awal Indonesia telah mengkriminalisasikan perdagangan orang

yang diatur dalam Pasal 297 KUHP. Akan tetapi, karena perdagangan orang

sudah berkembang menjadi kejahatan transnasional yang terorganisir, maka

diperlakukan adanya komitmen untuk memerangi sebagaimana tertuang dalam

Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang rencana aksi nasional penghapusan

perdagangan perempuan dan anak dan gugus tugas yang beranggotakan lintas

4
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm 4.
3

sektoral untuk implementasinya. Komitmen nasional ini bertujuan tidak hanya

memerangi kejahatan perdagangan orang saja, tetapi juga akar masalahnya

yaitu kemiskinan, kurangnya pendidikan dan keterampilan, kurangnya akses,

kesempatan dan informasi, dan nilai-nilai sosial budaya. Gandhi Lapian

mengatakan tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang

sangat rumit, menyangkut budaya, sikap perilaku dan struktur sosial

masyarakat.5

Usaha menanggulangi kejahatan perdagangan memerlukan sumber

daya yang besar dan waktu yang lama, apalagi perdagangan orang merupakan

kejahatan transnasional yang terorganisir oleh karena ituFarhana menyatakan

diperlukan konsolidasi antara unsur-unsur penyelanggara negara dan juga

kerjasama dengan negara-negara lain agar upaya penanggulangan

perdagangan orang dapat berjalan dengan efektif.6

Perdagangan orang telah dikriminalisasi dalam hukum Indonesia.

Perdagangan disebut secara ekplisit dalam KUHPdan Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut.

Pasal 297 KUHPmenyatakan bahwa:

“Perdagangan wanita (umur tidak disebutkan)dan perdagangan anak-


anak laki yang belum dewasa, diancam pidana penjara paling lama
enam tahun”.

Pasal 65 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia menyatakan bahwa:

5
Ghandi Lapian dan Hetty A. Geru, Traficking Perempuan dan Anak, (Yayasan Obor
Indonesia, 2010), hlm 1.
6
Farhana, Op.cit, hlm 7.
4

“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan


eksploitasi dan pelecehan seksual, perdagangan anak, serta dari berbagai
bentuk penyalahgunaan narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.”

Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang

Pemberatasan Tindak Perdagangan Orang pada bulan April 2007, peraturan-

peraturan yang ada dan berlaku belum memadai untuk menanggulangi

perdagangan orang, guna menjerat para pelaku perdagangan orang dan

memenuhi rasa keadilan bagi perlindungan korban karena peraturan yang

digunakan, yaitu Pasal 297 KUHP dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan perdagangan orang

sesuai saksi hukum dalam Pasal297 KUHP masih ringan, yaitu ancaman 0-6

tahun penjara, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia tidak ada sanksi.Setelah disyahkannya Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Pidana Perdagangan

Orang pada April 2007 yang merupakan pengaturan yang khusus yang

mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang, sehingga dapat menjadi

sarana bagi penegakan hukum, khususnya terhadap penanganan perdagangan

orang.7

Pemahaman tindak pidana perdagangan orang (human trafficking)

sebagai suatu kejahatan yang “terorganisir” telah menunjukkan cirri tindak

pidana perdagangan orang (human trafficking) yang selalu cenderung

melibatkan beberapa orang di dalam mewujudkannya. Dalam praktek

penerapan hukum pidana, mengenai tindak pidana perdagangan orang (human

7
Ibid., hlm 19-20.
5

trafficking) yang melibatkan beberapa orang secara bersama-sama di dalam

mewujudkannya, biasanya dikaitkan dengan teori yang membahas ajaran

tentang “penyertaan” (deelneming). Chairul Huda mengatakan, bentuk

penyertaan itu karena mempunyai hubungan tertentu dengan pelaku

materiilnya.8

Bentuk dalam penyertaan diatur dalamPasal 55 KUHP yaitu:

1. Mereka, yang melakukan perbuatan pidana,

2. Mereka, yang menyuruh melakukan perbuatan pidana,

3. Mereka, yang turut serta melakukan suatu perbuatan pidana,

4. Mereka, yang membujuk supaya dilakukan suatu tindak pidana.

Selain itu, Pasal 56 KUHP mengatur sebagai pembantu pelaku pada

suatu kejahatan (jadi bukan pelanggaran):

1. Mereka, yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu

kejahatanitu dilakukan dan

2. Mereka, yang dengan sengaja memberikan kesempataan, sarana-sarana

atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan.

Berkaitan dengan uraian di atas, dalam Putusan Pengadilan Negeri

Tangerang Nomor 1410/PID.B/2005/PN.TNG bahwa Majelis Hakim memutus

terdakwa dengan putusan “menyatakan terdakawa Marentha Fandyanasari

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

bersama-sama melakukan perdagangan orang”. Putusan tersebut di perkuat

8
Chairul Huda, “Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada
Pertanggung jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Putra Grafika), hlm 40.
6

oleh Pengadilan Tinggi. Sedangkan dalam pertimbangan Majelis Hakim

terdakwa terbukti memenuhi unsure turut serta melakukan.

Berdasarkan pertimbangan dan putusan Majelis Hakim di atas

menimbulkan suatu kontradiksi dalam bentuk penyertaan.Ketentuan tentang

penyertaan, khususnya dalambentuk “turut serta melakukan” (medeplegen)

ini, jelas bahwa subyeknya paling sedikit dua orang, yaitu seorang pelaku dan

seorang atau lebih pelaku-peserta yang melakukan tindak pidana yang

dilakukan oleh pelakunya.9 Roeslan Saleh telah menggemukakan, bahwa

“mereka yang turut serta melakukan perbuatan pidana adalah mereka yang

bersama-sama melakukan perbuatan pidana. Jadi mereka yang dengan sengaja

ikut mengerjakannya”.10

Ihwal “turut serta melakukan” (mendeplegen) tidak dapat dimengerti

sekedar sebagai kumpulan pelaku tindak pidana.Tiap orang yang dikualifikasi

sebagai “turut serta melakukan” niscaya harus memenuhi seluruh unsur dalam

rumusan tindak pidana. Ada semacam pembagian kerja dengan tanggung

jawab yang dibebankan pada kelompok secara bersama-sama. Untuk

membuktikan adanya bentuk “turut serta melakukan” (medeplegen) dalam

proses persidangan, Majelis Hakim harus mempertimbangkan teori dan

konsepsi pengertian “turut serta melakukan“ (medeplegen) sebagai referensi

yang mendasari putusan, bukan didasarkan pada kesimpulan-kesimpulan para

hakim.11

9
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1997), hlm 615.
10
Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan, (Jakarta:
Aksara Baru, 1981), hlm 98.
11
Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Tama, 2003), hlm 317.
7

Menurut pendapat Hazewinkel-Suringa, Hoge Raad Belanda

mengemukakan dua syarat bagi adanya turut serta melakukan tindak pidana,

yaitu:

a. Kerja sama yang disadari antara para pelaku, yang merupakan suatu
kehendak bersama (afspraak) diantara mereka.
b. Mereka harus bersama-sama melakukan kehendak itu.12

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, merupakan hal yang

memotivasi penulis untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam

skripsi dengan judul “Pertimbangan Hakim Dalam Tindak Pidana

Penyertaan Pasal 55 ayat (1) Dikaitkan Dengan Tindak Pidana

Perdagangan Anak”. ( Studi Kasus Putusan Nomor :

1410/PID.B/2005/PN.TNG )

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan pokok

yang menjadi landasan pemikiran di dalam penelitian skripsi ini dapat

diidentifikasikan sebagai berikut:

Bahwa dalam kasus perdagangan orang(human trafficking), penulis

memandang adanya persoalan mengenai Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

sebagimana dimaksud dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri

Tangerang dalam perkara tindak pidana perdagangan orang (human

trafficking).

12
Wirjono Prodjodikoro, Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2003), hlm 123.
8

Dari penggunaan pasal yang digunakan oleh Hakim dalam

Putusannya, menyatakan bahwa rumusan tindak pidana perdagangan orang

(human trafficking) tersebut telah dipandang sebagai penyertaan,

khususnya dalam bentuk turut serta melakukan (medeplegen), dan juga

sebagai rumusan yang ditujukkan kepada “pembuat” lebih dari satu.

Dengan demikian, persoalannya adalah guna menentukan apakah

rumusan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) tersebut

ditujukan (adderessat) kepada turut serta melakukan perbuatan atau

bersama-sama melakukan perbuatan. Dalam hal ini bersama-sama

melakukan masih belum mendapat tempat dalam bentuk penyertaan.Selain

itu hal ini terkait juga mengenai perlu atau tidaknya ketentuan penyertaan

dalam rumusan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) yang

dimaksud.

2. Pembatasan Masalah

Di dalam masalah penelitian skripsi ini, penulis merasa

memberikan ruang lingkup pembahasan atau pembatasan masalah,

dengan maksud agar pembahasannya terarah pada pokok permasalahan

yang ada. Pembahasannya adalah hanya terbatas mengenai suatu tinjauan

tentang penerapan Pasal 83 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 yang

dijunctokan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan menggunakan

analisis Putusan Nomor: 1410/PID.B/2005/PN.TNG dalam kasus tindak

pidana perdagangan manusia (human trafficking).


9

3. Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah perbuatan terdakwa Marentha Fandyanasari sudah sesuai

dengan ajaran penyertaan dalamPasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal

83 Undang-Undang Nomor23 Tahun 2002?

b. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman

bagi Terdakwa Marentha Fandyanasari berdasarkan Putusan

Pengadilan NegeriNomor:1410/PID.B/2005/PN.TNG?

C. Landasan Teori dan Definisi Operasional

1. Landasan Teori

Dalam Pasal 55 KUHP telah menggunakan perkataan “pembuat”

(dipidana sebagai “pembuat”) dan perkataan “melakukan” (yang

melakukannya tentu menjadi “pelaku”). Dengan demikian ada “pelaku”

disamping “pembuat”. Dalam hal ini undang-undang itu sendiri tidak

menerangkan lebih jauh mengenai pengertian-pengertian tersebut.

Roeslan Salehberpendapat :

“Bahwa pembuat adalah seseorang yang mewujudkan isi rumusan


aturan perundang-undangan sebagai tindak pidana dan dapat pula
dikatakan, bahwa pembuat adalah mereka yang dengan
kelakuannya telah dipenuhi semua unsur tindak pidana”.13

13
Roeslan Saleh, Tentang Delik Penyertaan, (Pekanbaru: Fakultas Hukum Universitas
Islam Riau, 1989), hlm 3.
10

Dalam hukum pidana terdapat beberapa teori untuk menentukan

kriteria dari pembuat itu sendiri. Mereka yang menganut ajaran pembuat

dalam arti ekstensif, adalah “barangsiapa yang menjadi sebab kelakuan

yang sesuai dengan rumusan delik” 14, menurut pendapat ini disebut

sebagai pembuat dan dikemukakan pula bahwa ketentuan mengenai

“penyertaan mengadakan pembatasan terhadap isi pengertian pembuat

ekstensif”.

Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa pembentuk undang-

undang berpangkal tolak pada pengertian pembuat yang restriktif

sebaliknya menyatakan “pembuat hanyalah mereka yang dengan

kelakuannya sendiri telah dipenuhinya semua unsur delik, ketentuan

mengenai penyertaan hanya memperluas pengertian pembuat”.15

Menurut pandangan pembuat fungsional, dalam hal ini pengertian

pembuat seharusnya ditentukan oleh kelakuan yang dalam lalu lintas

masyarakat dipandang sebagai menentukan terjadinya perbuatan terlarang

itu, untuk menemukan siapa pembuat fungsional tersebut, ada dua masalah

yang harus diperhatikan:

a. Adalah masalah mengenai siapakah yang sebenarnya yang dituju oleh

norma yang terkandung dalam aturan perundang-undangan

bersangkutan.

b. Bilamana yang dituju oleh norma yang terkandung dalam aturan

perundang-undangan itu telah diketahui, haruslah diteliti apakah

14
Ibid, hlm4.
15
Ibid., hlm6.
11

dalam kejadian konkrit itu yang bersangkutan memang adalah

pembuat.16

Ketentuan mengenai penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal

55 dan Pasal 56 KUHP,telah menunjukkan adanya beberapa orang yang

tersangkut dalam terjadinya tindak pidana. Sungguhpun demikian tidak

setiap orang yang tersangkut itu dapat disebut sebagai peserta. Karena

untuk menjadi peserta haruslah dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan

dalam pasal tersebut. Diluar daripada itu, tidak ada yang disebut dalam arti

hukum pidana.

Pada mulanya pandangan tentang penyertaan khususnya dalam

bentuk turut serta melakukan (mendeplegen) oleh Van hamel dan

Trapman dapatdisimpulkan, bahwa “tiap-tiap” pelaku-peserta harus

memenuhi semua unsur-unsur delik yang diuraikan dalam undang-undang

pidana secara sempurna.17

Loebby Loqman berpendapat, bahwa teori subjektif mendasarkan

kepada niat seseorang. Apabila suatu perbuatan sudah merupakan

permulaan dari niatnya. Lain halnya dengan toeri obyektif, pada teori ini

dititik beratkan pada tujuan yang dikehendaki pelaku.18

Pernyataan diatas merupakan pandangan sempit yang lebih

condong pada ajaran obyektif. Pandangan ini bertolak belakang dengan


16
Ibid., hlm 6-7.
17
Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan
Delik(Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Delik) dan Hukum Penetensier, (Jakarta: Sumber
Ilmu Jaya, 2002), hlm 190.
18
Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta:
Universitas Tarumanegara, 1996), hlm 19-20.
12

pandangan luas yang lebih mengarah pada ajaran subyektif, yaitu

‘pandangan yang tidak mensyaratkan bahwa perbuatan pelaku-peserta

harus sama dengan perbuatan seorang pembuat (dader), perbuatannya

tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak pidana.19

Pandangan yang luas ini merupakan pandangan yang lebih modern

daripada pandangan yang lama yang lebih sempit sebagaimana yang telah

diuraikan di atas,karena apabila “tiap-tiap peserta sudah dapat

dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap apa yang

dilakukannya sendiri, maka tidaklah diperlukan bentuk turut serta

melakukan (medelpegen)”.20

A.Z Abidin dan Andi Hamzah mengutip pendapat Moeljatno,

yaitu “bahwa dapatlah dipastikan bahwa para pelaku-peserta pada waktu

mewujudkan delik bekerja sama secara sadar dan oleh karenanya tiap-tiap

pelaku-peserta juga bertangunggungjawab atas perbuatan pelaku-peserta

lain”21. Sedangkan Moeljatno sendiri menjelaskan tentang hakekat turut

serta melakukan, yaitu “setidak-tidaknya mereka itu semua melakukan

unsur-unsur perbuatan pidana”.22

2. Definisi Opersional

19
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Tentang Percobaan dan
Penyertaan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm97.
20
Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Loc.cit.
21
Ibid., hlm194.
22
Moeljatno, Hukum Pidana “Delik-Delik percobaan, Delik-Delik penyertaan”,(Jakarta:
Bina Aksara, 1983), hlm113.
13

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini memuat

pengertian atau definisi sebagai berikut:

a. Penyertaan atau Deelneming

Merupakan Tatbestanddausdehunungsgrund, yaitu dasar yang

memperluas tindak pidana23, sehingga peserta tindak pidana itu

melanggar kaidah-kaidah hukum pidana yang telah diperluas bukan

perluasan pertanggungjawaban.

b. Turut Serta Melakukan atau Medeplegen

Menurut Van Hattum, medeplegen adalah “kesengajaan untuk turut

serta mewujudkan delik yang dilakukan oleh orang lain.24

c. Pelaku dan Pleger

“Orang yang memenuhi semua unsur delik (juga dalam bentuk

percobaan dan persiapannya), termasuk jika dilakukan lewat orang-

orang lain atau bawahan mereka (terpikirkan disini dalam kaitannya

dengan fungsional)”.25

d. Pembuat atau Dader

Merupakan istilah penghimpun bagi semua orang yang disebut dalam

Pasal 55 ayat (1) dan (2) KUHPidana, yaitu meliputi: pelaku (Pleger),

pelaku-peserta (Medepleger), pembuat-pelaku atau penyuruh

(Doenpleger), pemancing atau pembujuk (Uitlokker).26

e. Tindak Pidana atau Perbuatan Pidana

23
Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Op.cit, hlm146.
24
Ibid., hlm 191.
25
Jan Remmelink, Op.cit, hlm 308.
26
Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Op.cit, hlm 146.
14

Menurut Moeljatno, adalah “perbuatan yang oleh suatu atuaran

hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja pada itu diingat bahwa

larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau

kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman

pidanannya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian

itu”.27

f. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)

PerdaganganOrang “adalah perekrutan, pengangkutan,pemindahan,

penampungan atau penerimaan orang, baik dibawah ancaman atau

secara paksa atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan,

penipuan, kecurangan atau penyalahgunaan wewenang atau situasi

rentan atau pemberian atau peneriamaan bayaran atau keuntungan

guna memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki kontrol

atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk

eksploitasi seksual yang lain,kerja paksa atau wajib kerja paksa,

perbudakan atau praktik-praktik yang mirip dengan perbudakan,

penghambaan atau pengambilan organ tubuh”.28

D. Metodologi Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

27
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm 54
28
Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, (Jakarta: USAID,
2003), hlm 14-15.
15

a. Untuk mengetahui apakah perbuatan terdakwa Marentha Fandyanasari

sudah sesuai dengan ajaran penyertaan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP jo. Pasal 83 Undang-Undang Nomor23 Tahun 2002.

b. Untuk mengetahui apakah yang menjadi dasar hakim dalam

menjatuhkan hukuman bagi terdakwa turut serta melakukan

(medeplegen) dalam rumusan tindak pidana perdagangan manusia

(human traffcking), terutama dalam kasus Maretha Fandyanasari atas

Putusan Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang tentang penyertaan

tindak pidana perdagangan orang(human traffcking).

2. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum

normatif. Penelitian ini merujuk kepada keseluruhan data sekunder yang

mencakup bahan hukum primer (bahan-bahan yang mengikat), bahan

hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer), dan bahan hukum tersier (bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum

sekunder).29

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan

Deskriptif Normatif. Penelitian Deskriptif dimaksudkan sebagai “studi

untuk menemukan fakta dengan interprestasi yang tepat”.30 Fakta-fakta

yang terungkap dari berbagai putusan pengadilan, baik tingkat pertama,

tigkat banding maupun kasasi, mengenai suatu tinjauan tentang bentuk


29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm 194.
30
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm 105.
16

turut serta melakukan (medeplegen) dari Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

dalam tindak pidana perdagangan orang (human traffcking) akan diteliti

sebagai gejala yang telah terjadi.

3. Metode Penelitian

Dalam penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data

dasar yang didalam penelitian dikelompokkan sebagai data sekunder.

Oleh karena itu metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah studi kepustakaan. Sumber data sekunder dalam

penelitian hukum normatif, sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto

dan Sri Mamudji,”31 adalah mencakup:

a. Bahan hukum primair, yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat,

yang terdiri dari:

1) Norma Dasar atau Kaidah Dasar, yaitu pembukaan UUDNRI

1945.

2) Peraturan Dasar yaitu: Batang tubuh UUDNRI 1945 dan

ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

3) Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan asas

hukum penyertaan dan tindak pidana perdagangan orang (human

traffcking), antara lain:

(a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

(b) Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

PerdaganganOrang.

31
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc.cit.
17

(c) Yurisprudensi beserta putusan-putusan Pengadilan Negeri,

Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu: yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti: Rancangan Undang-Undang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (R.U.U. KUHP Tahun 2012), hasil

karya atau analisis yuridis para ahli hukum dan seterusnya.

4. Analisis Data

Data yang terkumpul selanjutnya diolah dengan mengadakan

sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, yang untuk

selanjutnya dianalisis. Oleh karena itu analisis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah yuridis kualitatif, sehingga kegiatan yang dilakukan

dalam analisis data, yaitu:

a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur

tentang ajaran turut serta melakukan (medeplegen) dan kaidah hukum

tentang tindak pidana perdagangan orang.

b. Memilih putusan-putusan pengadilan, baik pengadilan tingkat 1,

tingkat banding dan tingkat kasasi, yng berkaitan dengan penerapan

bentuk turut serta melakukan (medeplegen) dalam perkara tindak

pidana perdagangan orang.

5. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan solusi atau jawaban

atas permasalahan yang didapat, sehingga bermanfaat bagi pengembangan

teori dan praktek.


18

Secara teoritis, kegunaan penelitian ini adalah agar dapat

menemukan asas atau doktrin hukum positif ajaran tentang pembuat dan

konsep turut serta melakukan (medeplegen) dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP pada penerapannya dalam undang-undang pemberantasan tindak

pidana perdagangan orang sehubungan dengan kompleksitas modus

operandi tindak pidana perdagangan orang yang melibatkan lebih dari

satu orang.

Secara pragmatis, kegunaan penelitian ini diharapkan:

a. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu

pengetahuan hukum pidana.

b. Memberi kontribusi dalam perumusan kebijakan nasional, termasuk

kebijakan legislatif (peraturan perundang-undangan) di dalam

memperbaiki materi hukum, khususnya tentang pemberantasan

perdagangan orang.

c. Memberikan kontribusi pemikiran dan bahan masukan bagi aparat

penegak hukum, demi kelancaran dan keberhasilan di dalam

penanganan perkara tinndak pidana perdagangan orang.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian skripsi ini disusun secara sistematis ke dalam lima

bab.Penyusunan bab per bab tersebut dilakukan dengan memperhatikan

substansi pembahasan. Hal-hal yang bersifat teoritis dan normatif untuk

menentukan urgensi dan ruang lingkup dari permasalahan yang diangkat,

dikemukakan dalam satu bab. Kemudian dalam bab tersendiri akan


19

dikemukakan mengenai tinjauan umum tentang pembuat yang akan dibahas

secara teoritis dalam hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukannya.

Berkenaan dengan tinjauan umum tentang perdagangan orang, yang secara

teoritis akan dibahas dalam hubungannya dengan ciri atau karekteristik tindak

pidana perdagangan orang, dalam hal ini juga pada bab tersendiri. Khusus

dalam proses analisis terhadap ruang lingkup permasalahan dan penelitian

skripsi ini, dibahas dalam satu bab. Kemudian dalam bab terakhir, akan

dikemukakan kesimpulan dan saran-saran.

Guna memberikan kemudahan bagi pembaca di dalam memahami

skripsi ini, adapun perincian sistematika penulisannya akan disusun sebagai

berikut:

Bab I adalah sebagai bab pendahuluan yang akan dikemukakan

tentang apa yang menjadi latar belakang masalah sehingga judul ini penting

untuk dilakukan pengkajian. Berdasarkan latar belakang tersebut, kemudian

diidentifikasi beberapa pokok permasalahan dan memberikan pembatasan

pokok masalah dengan maksud agar pembahasannya terarah pada pokok

permasalahan yang ada. Pada bab ini dikemukakan pula mengenai landasan

teori dan definisi operasional, metodologi penelitian, serta sistematika

penulisan.

Bab II berisi tentang mengenai tujuan umum mengenai pembuat

dalam hubungan dengan tindak pidan yang dilakukannya. Beberapa sub bab

yang menjadi ruang lingkup pembahasan pada bab ini adalah pertama-tama

akan diuraikan mengenai pembuat dalam hubungannya dengan teori pemisah


20

antara tindak pidana , kemudian akan diuraikan mengenai pengertian pembuat

itu sendiri, ajaran-ajaran tentang pembuat, serta akan dikemukakan pula

mengenai penyertaan sebagai pembuat tindak pidana.Kemudian bab ini akan

diakhiri dengan mengemukakan tentang subyek hukum tindak pidana

perdagangan orang.

Bab III berisi tentang tinjauan umum mengenai perdagangan anak,

yang meliputi pengertian secara umum dari perdagangan anak, faktor-faktor

terjadinya perdagangan anak, kualifikasi atau ciri tindak pidana perdagangan

orang yang cenderung melibatkan beberapa orang di dalamnya, serta uraian

tentang perbuatan perdagangan anak sebagai salah satu kejahatan transnasional

terorganisasi dalam konvensi internasional. Kemudian bab ini akan diakhiri

dengan mengemukakan tentang subyek hukum tindak pidana perdagangan anak.

Bab IV berisi tentang Analisis Putusan Pengadilan Negeri No.

1410/PID.B/2005/PN.TNG.,terdiri dari pertimbangan hakim dalam penerapan

bentuk turut serta melakukan (medeplegen), khususnya dalam kasus

perdagangan orang, dengan terdakwa Maretha Fandyanasari.Analisis pada

bab ini, dilakukan terhadap perumusan tindak pidana perdagangan orang,

khususnya pada Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, guna menentukan apakah

rumusan tersebut ditujukan (addressat) kepada pembuat tunggal ataukah

pembuat lebih dari satu. Hal ini terkait dengan perlu tidaknya ketentuan

penyertaan khususnya dalam bentuk turut serta melakukan dalam rumusan

tindak pidana perdagangan orang tersebut.


21

Bab V adalah sebagai penutup bab penutup, yang merupakan suatu

kesimpulan dari beberapa jawaban pokok permasalahan yang

telahmendapatkan pembahasan dalam bab sebelumnya. Disamping itu, pada

bab ini akan dikemukakan pula mengenai saran-saran.

Anda mungkin juga menyukai