Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai hak-hak

asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh

undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga seseorang berhak dan wajib

diperlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain.

Hak asasi setiap orang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam

keadaan apapun termasuk hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak

diperjual belikan dan tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak disukai

ataupun diperlakukan tidak sesuai harkat, martabat dan kehormatan dirinya

sebagai makhluk sosial.

Indonesia juga tidak dapat dihindari untuk dijadikan lahan subur dalam

praktik tindak pidana perdagangan orang. Jumlah penduduk yang sangat banyak

dan tidak didukung oleh ketersediaan lapangan pekerjaan sehingga mempermudah

para pelaku tindak pidana ini untuk melancarkan aksinya yang memberikan masa

depan lebih baik. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan setelah

kemerdekaan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, Bangsa Indonesia

berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan bangsa melalui upaya-

upaya yang diselenggarakan secara konsisten dalam melindungi warga negaranya

antara lain dari praktik-praktik perdagangan orang dan bentuk-bentuk eksploitasi

lainya.

1
2

Secara teori negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk

melindungi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali namun dalam kenyataanya

dalam konteks perdagangan orang terjadi inkonsisten dalam pelaksanaan

tanggung jawab negara terhadap warganya. Korban perdagangan orang adalah

bagian warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak dan kedudukan yang sama

dengan warga negara lainya tetapi dalam kenyataanya korban perdagangan orang

sering terabaikan dan mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam mengakses

layanan yang seharusnya dijangkau sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan

bagi korban perdagangan orang.

Persoalan tanggung jawab serta kewenangan dari kelembagaan yang

mewakili negara tidak secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-

undangan tersebut hasilnya jumlah korban semakin bertambah seiring perputaran

waktu sehingga terjadi kekosongan norma yang berkaitan dengan tanggung jawab

negara, selain itu kendala dalam operasional penanganan korban yang terjadi

adalah persoalan anggaran menjadi sesuatu hal yang potensial. Payung hukum

yang ada hanya mengatur secara umum pada instansi yang ditunjuk. Situasi dan

kondisi ini tentunya bertentangan dengan konsep tanggung jawab yang

sesungguhnya.

Sejak awal Indonesia telah mengkriminalisasikan perdagangan orang yang

diatur dalam pasal 297 KUHP. Akan tetapi, karena perdagangan orang sudah

berkembang menjadi kejahatan transnasional yang teroganisir, maka diperlukanya

adanya pembaharuan komitmen untuk memerangi sebagaimana tertuang dalam

Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional


3

Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dan gugus tugas yang

beranggotakan lintas sektoral untuk implementasinya, maka pada akhir bulan juni

2003 Indonesia telah naik ke peringkat kedua, satu tingkat lebih baik, ini awal

yang baik dari sebuah komitmen bangsa Indonesia1.

Dengan demikian untuk melengkapi segala kekurangan-kekurangan dalam

Undang-Undang sebelumnya sehingga diperlukan undang-undang yang lebih rinci

membahas mengenai perdagangan orang. Kemudian, telah disahkanya Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang, maka masalah kekurangan-kekurangan dalam undang-

undang sebelumnya telah dapat teratasi.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan

masyarakat. Dalam realita ini pelaksanaanya sering mendapat hambatan, kendala

dan masalah yang berdampak pada proses penegakan hukum. Karena itu

kebijakan (policy) penegakan hukum harus menyeluruh dimulai dari sistem,

peranan dan fungsi hukum.

Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan

secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Wujudnya

yang ilegal dan terselubung berupa perdagangan orang melalui bujukan, ancaman,

penipuan dan rayuan untuk direkrut dan dibawa ke daerah lain bahkan keluar

negeri untuk diperjual belikan dan dipekerjakan secara paksa sebagai pekerja seks,

1
Tita Syamsudin, Tinjauan yuridis terhadap pertanggungjawaban pidana dalam pembantuan
tindak pidana perdagangan orang, skripsi FH, Universitas Hasanuddin, Makasar, 2018. hlm 2
4

pekerja paksa, atau bentuk perdagangan lainya2. Maraknya isu perdagangan orang

diawali dengan semakin meningkatnya para pencari kerja dan kurangnya latar

belakang pendidikan yang dimiliki menyebabkan rentan terjebak dalam

perdagangan orang.

Tindak pidana perdagangan orang terus meningkat sehingga dibutuhkan

penanganan secara komperenshif dan sinergi karena mengakibatkan hak-hak asasi

serta kemerdekaan diri korban yang mayoritas perempuan menjadi terhambat oleh

proses pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Adapun yang

termasuk sebagai tindak pidana perdagangan orang adalah melakukan sebagai

berikut 3:

1. Eksploitasi, yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi

tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan

atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik,

seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau

mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau

kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materil.

2. Eksploitasi seksual, yaitu segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau

organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, tetapi tidak

terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.

a. Perekrutan, yaitu tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan,

membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.

2
Redaksi Kesindo utama, Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kesindo utama, Surabaya, 2013.
3
Aziz Syamsudin, Tindak pidana khusus, Sinar grafika, Jakarta, 2011. hlm 58
5

b. Pengiriman, yaitu tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang

dari satu tempat ke tempat lain.

c. Kekerasan, yaitu setiap perbuatan secara melawan hukum dengan tanpa

menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya

bagi nyawa, badan, atau menimbulkan kemerdekaan seseorang.

Atas dasar itu setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan dan

jaminan hukum. Sehingga perdagangan orang harus diberantas, bukan hanya dari

sisi hukum pidana, tetapi juga norma hukum tentang hak asasi manusia. Oleh

karena itu, untuk melindungi dan menjamin hak asasi manusia, harus adanya

peran aparat penegak hukum4.

Kelemahan internal aparat penegak hukum di negara kita juga sangat

berpengaruh terhadap tindak pidana perdagangan orang, hal ini diperkuat dengan

masih banyak terjadi diskriminasi dalam penegakan hukum (law enforencement)

seperti yang di gambarkan oleh honore de balzac yakni : “laws are spider webs

trough wich the big files pass and the little ones get caught”, artinya penegakan

hukum hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu5.

Hal ini tidak terlepas dari masih kurangnya integritas moral dan peran aparat

penegak hukum. Kondisi yang demikian mengakibatkan perlindungan dan

penghormatan hak-hak asasi manusia. Peran aparat penegak hukum juga tidak

boleh semaunya dalam menjalankan acara pidana tetapi harus berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku6.

4
Henny Nuraeny, Tindak pidana perdagangan orang, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. hlm 7
5
Monika Yuniartha N, Pertanggung jawaban koorporasi dalam tindak pidana perdagangan
orang, Skripsi FH, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2015. hlm 14
6
Andi Hamzah, Perlindungan hak-hak asasi manusia dalam kitab undang-undang hukum acara
pidana , Bina Cipta, Bandung, 1986. hlm 2
6

Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial. dalam

konteks yang lebih fokus pada kinerja aparat penegak hukum. dalam hal ini yaitu

Kepolisian, disamping itu bahwa suatu rangkaian kegiatan dalam rangka

pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum baik yang bersifat penindakan maupun

pencegahan yang mencakup seluruh kegiatan baik teknis maupun administratif

yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sehingga nilai-nilai dasar hukum

yakni : Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian dapat terwujud.

Tindak Pidana Perdagangan Orang pada umumnya, yaitu berupa

pelanggaran harkat dan martabat manusia seperti perlakuan kejam dan bahkan

perlakuan serupa perbudakan. Para pelaku ini diterima sebagai ketidakberdayaan

korban yang terjebak dalam jeratan jaringan yang sangat sulit untuk di identifikasi

sehingga sangat sulit menemukan solusinya.

Faktor-faktor yang paling mendukung adanya perdagangan orang

diantaranya karena adanya permintaan (demand) terhadap pekerja disektor

informasi yang tidak memerlukan keahlian khusus, mau dibayar dengan upah

relatif rendah serta tidak memerlukan perjanjian kerja yang rumit, sehingga

menyebabkan para pelaku terdorong untuk melakukan bisnis perdagangan orang.

Dari segi ekonomi kegiatan usaha/bisnis seperti ini dapat mendatangkan

keuntungan yang sangat besar serta adanya celah hukum yang menguntungkan

para pelaku yaitu kurangnya penegakan hukum di Indonesia. Terutama dalam

mengadili para pelaku perdagangan orang7.

7
Nurut Fahmi, Tinjauan yuridis terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang, Skripsi FH,
Universitas Hassanudin, Makasar, 2017. hlm 4
7

Pembenahan sistem hukum dan peran penegakan hukum yang tebang pilih

lagi dapat di tawar-menawar. Indonesia juga harus segera menunjukan

komitmenya terhadap melawan penghapusan perdagangan orang sebagai upaya

memerangi human trafficking8.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka menarik untuk diteliti dan

dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “PENEGAKAN HUKUM

PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN

ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DI

WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN RESOR KARAWANG”.

B. Identifikasi Masalah

Dalam penelitian ini akan muncul berbagai permasalahan yang beragam dan

sangat luas. Oleh karena itu untuk mengkhususkan masalah pada penelitian ini

maka masalah yang akan dibatasi dan difokuskan dengan mengindentifikasi

masalah utamanya yaitu :

1. Bagaimana upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana

perdagangan orang (human trafficking) Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor

Karawang ?

2. Apa hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana

perdagangan orang (human trafficking) Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor

Karawang ?

C. Tujuan Penelitian
8
Ibid. hlm 9
8

1. Untuk mengetahui upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak

pidana perdagangan orang (human trafficking) Di Wilayah Hukum Kepolisian

Resor Karawang.

2. Untuk mengetahui hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap Pelaku

tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) Di Wilayah Hukum

Kepolisian Resor Karawang.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang penegakan

hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (human

trafficking) Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Karawang yang sudah ramai di

perbincangkan oleh lingkungan masyarakat sekitar. Dan diharapkan sebagai

sarana untuk pengembangan suatu ilmu pengetahuan di bidang tindak pidana.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini sebagai masukan bagi para pemangku kebijakan dan aparat

penegak hukum dalam menentukan langkah menanggulangi tindak pidana

perdagangan orang dan juga sebagai acuan masyarakat khususnya Mahasiswa

untuk membantu dan melaporkan apabila terjadi tindak pidana perdagangan orang

ditengah lingkungan masyarakat dan melakukan penelitian selanjutnya terhadap

tindak pidana perdagangan orang (human trafficking).

E. Kerangka Pemikiran
9

Perdagangan orang pertama kali dikemukakan pengertianya pada Tahun

2000, ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menggunakan protokol

untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku atas perdagangan orang,

khususnya kaum perempuan dan anak-anak yang akhirnya terkenal dengan

sebutan “protocol palermo” yang ditetapkan pada tanggal 15 November 2003,

merupakan sebuah perangkat hukum atau perjanjian mengikat yang menciptakan

kewajiban bagi semua negara yang meratifikasinya atau meyetujuinya9.

Situasi masyarakat Kabupaten Karawang yang heterogen menjadi salah satu

penyebab maraknya terjadi tindak pidana perdagangan orang. Tersedianya tempat-

tempat hiburan malam dan peredaran narkoba menjadi pemicu maraknya terjadi

perdagangan orang di Kabupaten Karawang. Lemahnya pengawasan dari Aparat

Penegak Hukum memperkuat terjadinya Human Trafficking.

Dalam hukum pidana dikenal dengan suatu asas yaitu asas legalitas yang

tercantum dalam pasal 1 KUHP, yakni suatu asas yang menentukan bahwa tidak

ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak

ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Dalam bahasa latin dikenal

dengan nullum dellictum nulla poena sine praevia lege poenali yang artinya tidak

ada suatu perbuatan pidana tanpa peraturan terlebih dahulu.

Menurut pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia. ada 3 tugas pokok POLRI yaitu memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum dan memberikan

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat10. Tugas POLRI


9
Paul sinoloe, Tindak pidana perdaganga orang, Setara press, Malang, 2007. hlm 1
10
I Ketut Adi P, Sejarah dan peran POLRI dalam penegakan hukum serta perlindungan HAM,
Refika Aditama, Bandung, 2018. hlm 61
10

dalam mewujudkan penegakan hukum guna terpeliharanya keamanan dan

ketertiban pada hakikatnya dapat dilihat sebagai hukum yang hidup (living law).

Karena di tangan POLRI itulah hukum menjadi konkret atau mengalami

perwujudanya di dalam masyarakat. Pada posisi ini, POLRI diharapkan dapat

berbuat banyak untuk berperan dalam penegakan hukum dari masyarakat yang

dilayaninya.

Penegakan hukum (law enforcement) yaitu sebagai suatu usaha untuk

mengekspresikan citra moral yang terkandung di dalam hukum bisa ditegakan

melalui aparat penegak hukum. Dilihat dari aspek normatif tugas POLRI sebagai

aparat penegak hukum, diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 13 yang berbunyi “Tugas

pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat11”.

Sebagai aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya, POLRI

dituntut menanamkan rasa kepercayaan kepada masyarakat, karena menegakan

wibawa hukum, pada hakikatnya berarti menanamkan nilai kepercayaan di dalam

masyarakat. Di samping menanamkan nilai kepercayaan kepada masyarakat,

POLRI juga dituntut mempunyai profesionalisme dalam menegakan hukum yang

berarti mutu, kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi orang

yang profesional.

Adanya aturan didalam hukum positif tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.


11
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
11

Indonesia yang berkomitmen penuh untuk memberantas eksploitasi yang

disebutkan dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu “tindakan dengan atau

tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja

atau pelayanan paksa perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan,

pemerasan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum

memindahkan atau mentransplantasi organ dan atau kemampuan seseorang oleh

pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materil atau immateril”12.

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi “Setiap orang

yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan

kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan

kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat

walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang

lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik

Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling

lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00

(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus

juta rupiah)”13.

Sebagai suatu tindak pidana, perdagangan orang dapat merugikan dan

merenggut hak asasi yang dapat menimbulkan kesengsaraan dan kekerasan


12
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. pasal 1 angka 7.
13
Ibid. Pasal 2
12

seksual. Selain itu dari kejahatan tersebut korban mengalami penderitaan lahir dan

batin, kehancuran masa depan, kecacatan seumur hidup bahkan berakibat pada

kematian.

Perdagangan manusia, khususnya yang berkaitan dengan perempuan

merupakan bisnis terbesar setelah perdagangan narkoba (drug trafficking) dan

perdagangan senjata (trafficking in weapon). Menjadi bisnis yang

menguntungkan, karena resiko rendah, mudah diperluas, dipakai atau dijual lagi.

Yang sering jadi sasaran kejahatan ini adalah daerah-daerah terjadinya konflik,

karena di daerah ini masyarakat sipil belum stabil dan penegakan hukum masih

lemah. Bisnis mempunyai tujuan, salah satunya perbudakan14.

Mengenai ancaman pidana dalam hal mendasar yang membedakan antara

KUHP dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu ancaman hukumannya lebih berat

dibandingkan yang terdapat di KUHP. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2007 dicantumkan pidana penjara minimal dan maksimal serta denda maksimal

dan minimal terhadap pelakunya sesuai dengan penggolongan pelaku, sedangkan

dalam KUHP hanya dicantumkan pidana penjara maksimalnya yaitu 6 tahun

penjara dan tidak dicantumkan pidana penjara minimalnya ataupun dendanya

terhadap pelakunya, seperti yang disebutkan dalam pasal 297 KUHP.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

14
Made darma weda, Kejahatan Perdagangan Manusia,
http://www.sinarharapan.co.id/berita/07/01/22/opi01.html. Download : 18 Februari 2022.Pukul
22.53.
13

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini yaitu pendekatan

yuridis normatif atau pendekatan dengan peraturan perundang-undangan (statuta

approach) karena yang diteliti dari berbagai macam aturan hukum dan pendekatan

konseptual dari pendapat teori dan pendapat para ahli (doktrin) yang berkembang

di dalam ilmu hukum.

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu menjelaskan data yang

bersumber dari studi kepustakaan dan hasil wawancara (interview). Dengan hasil

pengamatan dan dokumen pendukung kemudian dianalisa yang dituangkan dalam

bentuk karya ilmiah.

3. Tahapan penelitian

Tahapan yang akan dilakukan oleh penulis mulai dari perencanaan,

pelaksanaan dan laporan, yang akan dimulai dari muatan :

a. Tujuan pelaksanaan penelitian

b. Manfaat pelaksanaan penelitian

c. Lokasi pelaksanaan penelitian

d. Jenis data penelitian yang diperlukan

e. Persoalan dilaksanakanya penelitian

f. Metode dan jenis penghimpunan manajemen pengelolaan data

g. Hipotesis

h. Sistematika laporan yang digunakan

4. Teknik Pengumpulan Data


14

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi

kepustakaan. Data sekunder yang didapat melalui penelitian normatif atau studi

kepustakaan yang mencakup :

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang utama, sebagai bahan hukum yang bersifat

kewenangan yang meliputi peraturan perundang-undangan dan segala

dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, diantaranya:

1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang.

2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana.

5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum

Pidana.

6) Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi

Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.

7) Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas

Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Anak.

8) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan

Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi atau Korban Tindak

Pidana Perdagangan Orang.


15

9) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2012 tentang Panduan

Pembentukan dan Penguatan Gugus Tugas Pencegahan dan

Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Anak.

10) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2008 tentang

Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang.

11) Peraturan Bupati Karawang Nomor 36 Tahun 2018 tentang Gugus

Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang Di

Kabupaten Karawang.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum

primer diantaranya yaitu:

1) Buku

2) Hasil Penelitian Sebelumnya

3) Makalah

4) Jurnal

5) Artikel

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diantarnya:

1) Kamus

2) Ensiklopedia
16

Adapun sebagai data tambahan yang dibutuhkan yaitu data primer yang

diperoleh dari hasil wawancara dengan :

a. KANIT RESKRIM PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Kepolisian

Resor Karawang.

b. KANIT RESKRIM Kepolisian Sektor Teluk Jambe Barat.

c. Pelaku tindak pidana perdagangan orang

d. Korban Perdagangan Orang

5. Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisa secara kualitatif dengan

menggunakan metode interpretasi (penafsiran) yaitu dengan memberikan

penjelasan tentang teks peraturan perundang-undangan agar ruang lingkup kaidah

dalam undang-undang dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu.

G. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan :

1. Kantor Kepolisian Resor Karawang.

2. Perpustakaan Universitas Buana Perjuangan Karawang.

Anda mungkin juga menyukai