Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan orang atau istilah asingnya Human Trafficking

merupakan kejahatan yang sangat sulit untuk diberantas dan telah

digambarkan oleh masyarakat internasional sebagai bentuk perbudakan

modern dan pelangaran hak asasi manusia. kejahatan perdagangan

manusia semakin meningkat, baik secara nasional maupun internasional.

Perempuan dan anak merupakan kelompok paling rentan menjadi

korban perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual dalam negara

maupun lintas negara. Kondisi perempuan dan anak yang tidak berdaya

dan lemah secara fisik maupun mental, bahkan terkesan pasrah pada saat

diperlakukan sebagaimana mestinya.

Perempuan merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang perlu

dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk

tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan kodratnya. Perempuan memiliki

hak yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh jaminan pemenuhan

hak hidup bernegara yang layak, sehat dan bermartabat.

Perempuan dengan tidak cukup pendidikan, informasi yang tidak

memadai, dan sistem hukum yang diskriminatif cenderung membenamkan

perempuan dalam lingkup eksploitasi. Perempuan sering menjadi korban

kekerasan karena seksualitasnya sebagai seorang perempuan, di kehidupan


21

sehari-hari perempuan menunjukkan bagaimana lemah posisinya ketika

mengalami kekerasan.1

Argumentasi demikian dapat dibenarkan jika merujuk pada data


berikut :
Pada tahun 2019, Polri melaporkan telah menangkap 132
terduga pelaku perdagangan seks. Polri menyidik 102
kasus, lebih tinggi dibandingkan dengan 95 kasus pada
2018 dan lebih rendah dari tahun 2017 dengan 123
kasus. Penyidikan ini termasuk 52 kasus pekerja migran
dan 50 kasus “aktifitas seks komersial” yang mungkin
termasuk kejahatan lain di luar definisi perdagangan orang.
Polisi menyelesaikan dan menyerahkan 26 hasil penyidikan
ini kepada Kejagung pada tahun 2019. 2
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perdagangan orang

menurut Farhana adalah faktor ekonomi, kemiskinan dan lapangan kerja

yang tidak ada atau tidak memadai dengan besarnya jumlah penduduk

menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu dengan tujuan

memperbaiki keadaan ekonomi serta menambah kekayaan materiil. 3

Faktor Ekologis, dimana kelompok masyarakat yang berasal dari

perdesaan atau kawasan kumuh perkotaan yang memaksakan diri ke luar

daerah untuk bekerja walupun dengan bekal kemampuan yang sangat

terbatas dan informasi terbatas. 4

Faktor penegakan hukum di dalam masyarakat selain dipengaruhi

oleh peraturan atau undang-undang (kaidah-kaidah) juga ditentukan oleh

para penegak hukum (pengembala hukum) sering terjadi beberapa

Siti Nurhikmah, Sofyan Nur. “Kekerasan Dalam Pernikahan Siri: Kekerasan dalam
1

Rumah Tangga? (Antara Yurisprudensi dan Keyakinan Hakim)” PAMPAS: Journal Of Criminal
Law Volume 1, Nomor 1, 2020.
2
https://www.id.usembassy.gov ,laporan, diakses pada tanggal 24 Februari 2021, Pukul
20:15 WIB.
3
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Cet 1, Sinar Grafika, Jakarta,
2010, hlm. 50.
4
Ibid.
22

peraturan tidak dapat terlaksana dengan baik karena ada penegak hukum

yang tidak melaksanakan suatu peraturan dengan cara sebagaimana

mestinya.5

Dari sisi formulasi aturan hukum, sebenarnya Indonesia telah

mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang selanjutnya

penulis menyebut Undang-Undang Pemberantas TPPO dengan

harapannya, peraturan perundangan ini dapat memberikan perlindungan

kepada seluruh warga Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.

Merujuk dari aspek pengertian perdagangan orang diatur dalam


Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Pemberantas TPPO berisi :
Tindakan perekrutan, penculikan, penyekapan,
penampungan, pengiriman,pemindahan, penggunaan
kekerasaan, penculikan, penyekakapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekerasaan, posisi rentan,
penjeratan utang/memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di
dalam Negara maupun antar Negara untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi
Selanjutnya penulis menyebutkan bahwa perdagangan orang

bukanlah kejahatan pidana biasa, melainkan kejahatan berat karena

dilakukan dengan modus operandi yang sistematis dan berkesinambungan

serta merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk terhadap

pelanggaran harkat dan martabat manusia.

Merujuk pengertian perdagangan dalam undang-undang orang

yang tidak terlepas dengan istilah eksploitasi pada Pasal 1 angka 7 adalah

5
Ibid. hlm 56.
23

“Tindakan dengan atau tanpa persetujaun korban yang tidak


terbatas pada pelacuran, kerja paksa atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan,
pemerasan, pemandaatan fisik, seksual, organ reproduksi,
atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentransplansi orang/atau jaringan tubuh atau
memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oeh
pihak lain untuk mendapat keuntungan baik materill
maupun immaterial”.
Sedangkan dalam butir 8 menjelaskan tentang eksploitasi seksual

adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh

lain dari korban dengan tujuan mendapat keuntungan, tidak terbatas pada

kegiatan pelacuran dan pencabulan.

Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan

perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau

penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau

memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala

bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,

penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi

rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh

persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.6

Hakikat kejahatan seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang

merugikan korban, karena itu pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar

harus pula memperhatikan kepentingan si korban dalam bentuk pemulihan

6
Hafrida, Nelli Herlina,dan Zulham Adamy, ”The Protection of Women and Children as
Victims of Human Trafficking in Jambi Province”, Jambe Law Journal Vol 1, No. 2, 2018,
hlm. 208 – 209.
24

kerugian yang dideritanya. Kerugian yang harus dipulihkan tersebut, tidak

saja kerugian fisik tetapi juga kerugian non fisik.7

Kepercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum seperti

kepolisian, kejaksanaan, dan pengadilan diharapkan dapat melaksanakan

perlindungan hukum bagi korban kejahatan. Perlindungan hukum korban

kejahatan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah

restitusi. Restitusi merupakan pembayaran ganti kerugian yang dibebankan

kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan atas kerugian materiil

dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.8 Restitusi

sebagai ganti rugi diberikan pelaku kepada korban sebagai ganti rugi atas

penderitaan yang dialami korban dalam bentuk uang untuk pemulihan

korban guna mengurangi penderitaannya.

Aturan perundang-undangan mengenai restitusi terdapat pada :

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang –Undang

Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun

7
Dheny Wahyudi, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Cyber
Crime Di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Jambi, Vol. 4, No. 1, 2013, hlm.99.
8
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
25

2018 tentang Pemberian Kompensasi, Rstitusi, dan Bantuan Kepada Saksi

dan Korban.

Pemenuhan hak atas korban yang diatur dalam perundang-

undangan tersebut memberikan kontribusi pada perlindungan hak atas

korban, bahkan hak-hak korban penting dalam proses pemidanaan dan

bukan menghukum pelaku saja. Korban tindak pidana perdagangan orang

memiliki hak untuk mendapatkan restitusi yang tercantum dalam beberapa

peraturan perundang-undangan ;

a. Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(KUHAP) :
a) Jika suatu perbuatan menjadi dasar dakwaan dalam suatu
pemerikasaan perkara pidana oleh pengadilan negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua
sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan gati kerguain kepada
perkara pidana itu.
b) Permintaan dapat diajukan paling lambat sebelum
penuntut umum mengajukan
b. Pasal 99 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) :
a) Apabila pihak yang dirugikan minta pengganbungan
perkara gugatannya pada perkara pidana, maka pengadilan
negeri menimbang untuk mengadili gugatan tersebut
b) Kecuali pengadilan negeri tidak berwenang mengadili
gugatan tersebut.
c) Putusan mengenai ganti kerugian mendapat kekuatan
hukum tetap, apabila putusan pidananya mendapat
kekuatan hukum tetap. Dalam Undang-Undang
Pemberantasan TPPO sebagai berikut:
c. Pasal 35 Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 200 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia
a) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
atau ahli warinys dapat memperoleh kompensasi, restitusi
dan rehabilitasi.
b) Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dicantumkan dalam
amar putusan Pengadilan HAM.
c) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi
diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah.
26

d. Pasal 48 Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 200 tentang


Pengadilan Hak Asasi Manusia
Setiap korban atau ahli warisnya berhak mendapat restitusi
a) Restitusi yang dimaksud ganti kerugian atas :
1. Kehilangan kekayaan atau penghasilan.
2. Penderitaan.
3. Buaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau
psikologis; dan/atau.
4. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat
perdagangan orang.
b) Restitusi dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.
e. Pasal 49 Dalam Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000
Tahun tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
a) Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua
pengadilan yang memutuskan perkara di sertai tanda bukti
pelaksanaan pemberian restitusi
f. Pasal 7 A Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
a) Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa:
1. Ganti kerugian atas kehilangan keyaan atau
penghasilan;
2. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan
yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
dan/atau
3. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau pskilogis.
b) Tindak pidana ditetapkan dengan keputusan LPSK.
c) Pengajuan permohonan restitusi dilakukan sebelum dan
setelah putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap melalui LPSK.
d) Permohonan restitusi sebelum putusan pengadilan
diajukan kepada penunut umum oleh LPSK.
e) Permohonan restitusi setelah putusan pengadilan diajukan
kepada pengadilan.
f) Korban meninggal dunia, restitusi diberikan kepada
keluarga korban.
g. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi
dan Korban
a) Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi
berupa:
1. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau
penghasilan;
2. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan
yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
dan/atau
3. Penggantian biaya perawatan media dan/atau
psikologis.
27

4. Permohohan untuk memperoleh Restitusi) diajukan


oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya.
h. Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi
dan Korban
a) Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum
atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap melalui LPSK.
b) Permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK
mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat
dalam tuntutannya.
c) Permohonan Restitusi diajukan setelah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan, LPSK dapat mengajukan
Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.
Terdapat 3 (tiga) perkara yang terdapat di Pengadilan Negeri Jambi

pada Tahun 2018 sampai 2019 mengenai tindak pidana perdagangan

orang, yaitu Putusan Nomor 121/Pid.Sus/2018/Pn Jmb dimana hakim

menjatuhkan hukum 3 (tiga) tahun penjara dan denda Rp. 120.000.000-,

pada pelaku kejahatan sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

pemberantasan TPPO.

Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN Jmb, hakim menjatuhkan

hukuman pidana penjara 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp.

120.000.000-, (seratus dua puluh juta rupiah) dengan dakwaan pasal 2 ayat

(1) Undang-Undang pemberantasan TPPO Jo. Pasal 55 ayat (1)

KUHPidana, dakwaan alternative kedua Pasal 10 Undang-Undang

pemberantasan TPPO Jo. Pasal 5 ayat (1) KUHPidana, dan dakwaan

alternative ketiga Pasal 296 KUHPidana Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHPidana.

Putusan Nomor 35/Pid.Sus/2019/Pn Jmb hakim menghukum

terdakwa dengan 3 (tiga) tahun penjara dan dengan sebesar Rp.

120.000.000-, (seratus dua puluh juta rupiah) dakwaan pasal 2 ayat (1)
28

Undang-Undang pemberantasan TPPO Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHPidana,

dakwaan alternative kedua Pasal 10 undang-undang pemberantasan TPPO

Jo. Pasal 5 ayat (1) KUHPidana, dan dakwaan alternative ketiga Pasal 296

KUHPidana Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHPidana.

Peraturan perundang-undangan Indonesia mengakui bahwa korban

dan ahli warisnya dapat menerima restitusi. Pemenuhan hak restitusi pada

korban dan ahli warisnya tidak dapat langsung dinikmati karena ketiadaan

peraturan dan prosedur yang jelas bagi korban untuk memperoleh hak-

haknya, selain itu tidak adanya metode penghitungan kerugian selama ini

menjadi kelemahan sehingga hak-hak korban tidak berjalan dengan baik.

Ditemukannya konflik norma pada peraturan perundang-undangan

yang mengatur mengenai restitusi yaitu Undang-Undang Pemberantasan

TPPO, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, dan Peraturan

Pemerintah Nomor 7 tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi,

Restitusi, dan Bantuan Hukum kepada Saksi dan Korban. Sehingga

membuat hak restitusi korban perdagangan orang sulit untuk dilaksanakan.

Hal ini didukung dengan adanya putusan pengadilan di atas

dimana 3 (tiga) putusan di atas hakim hanya menjatuhkan pidana penjara 3

(tiga) tahun dan denda sebesar Rp. 120.000.000-, (seratus dua puluh juta

rupiah) kepada masing-masing terdakwa. Maka dengan ini dapat

dilakukan penelitian oleh penulis untuk melihat perlindungan hukum

terhadap perempuan korban perdagangan orang yang terdapat di

Pengadilan Negeri Jambi. Kemudian melihat juga akibat hukum dari tidak
29

terlaksananya perlindungan hukum terhadap perempuan korban

perdagangan orang melalui restitusi.

Berdasarkan paparan yang telah disajikan sebelumnya penelitian

melakukan studi analisa kasus mengenai perlindungan hukum terhadap

perempuan korban perdagangan orang melalui restitusi yang tertuang

dalam skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PEREMPUAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG MELALUI

RESTITUSI”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap perempuan korban

perdagangan orang melalui restitusi?

2. Apa akibat hukum dari tidak terlaksananya pengaturan hukum

terhadap perempuan korban perdagangan orang melalui restitusi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalis pengaturan hukum terhadap

perempuan korban perdagangan orang melalui restitusi.

2. Untuk mengetahui dan menganalisi akibat hukum tidak terlaksananya

pengaturan hukum terhadap perempuan korban perdagangan orang

melalui restitusi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis
30

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum

pidana, khususnya yang terkait dengan Tindak Pidana Perdagangan

Orang, Eksploitasi Seksual, Restitusi.

2. Manfaat Praktis

Untuk dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi para

mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan pemerintah dalam

melakukan penelitian, yang berkaitan dengan Restitusi.

Untuk dijadikan rujukan sebagai salah satu bahan pertimbangan atau

referensi dalam menciptakan karya-karya ilmiah bagi civitas di

Fakultas Hukum Universitas Jambi maupun pihak-pihak lain yang

membutuhkan.

Untuk memberi masukan kepada masyarakat, tentang pengaturan

Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam hukum positif dan agar

penegak hukum dalam memastikan hak-hak korban kejahatan

terpenuhi.

E. Kerangka Konseptual

Guna untuk memberikan gambaran yang jelas dan

menghindari penafsiran yang berbeda-beda dalam mengartikan

istilah yang digunakan memahami maksud dari judul skripsi ini dan

mempermudah untuk membahas permasalahan serta untuk

menghindari penafsiran yang berbeda, maka penulis perlu

menjelaskan beberapa konsep terkait yang berkaitan dengan judul


31

skripsi ini dengan memberikan definisi-definisi dari beberapa istilah

yang ada, yaitu sebagai berikut ini :

1. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum merupakan usaha Negara untuk

memberikan rasa aman kepada korban yang telah mengalami kerugian

secara moril maupun material yang dilakukan oleh perorangan atau

kolektif. 9

Perlindungan hukum diberikan kepada korban bahkan juga

pelaku kejahatan baik perorangan maupun kelompok. Bentuk

perlindungan hukum korban perdagangan orang dapat diwujudkan

dalam berbagai bentuk, seperti melalui rehabilitas, restitusi dan

kompensasi pelayanan media dan bantuan hukum. Namun

pelaksanaan perlindungan hukum prosesnya tidaklah mudah

dibutuhkan waktu yang panjang dan terus menerus sama halnya

dengan proses pembangunan itu sendiri.

2. Korban

Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Pemberantasan TPPO,

Korban adalah seseorang yang mengalami pendeiritaan psikis, mental

fisik, seksual, ekonomi, dan/sosial, yang diakibatkan tindak pidana

perdagangan orang.

Korban kejahatan adalah seseorang yang mengalami kerugian

akibat adanya suatu kejahatan. Kerugian yang dirasakan dapat berupa

9
Moh. Hatta, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Cet. 1, Liberty Yogyakarta,
Yogyakarta, 2012, hlm. 11.
32

kerugian fisik, cedera fisik maupun mental dan juga mencakup

penderitaan yang dialami secara emosional oleh korban. Korban

menderita secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung

seperti diatas kerugian fisik, cedera fisik bahkan trauma. Sedangkan

menderita secara tidak langsung dirasakan oleh kerabat korban seperti

istri kehilangan suami, anak kehilangan bapak/ibu, orang tua

kehilangan anaknya dan lainnya.

3. Perdagangan Orang

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Pemberatasan TPPO

menyatakan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan,

pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau

penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasaan, penggunaan

kekerasaan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,

penyalahgunaan kekerasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau

memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari

orang yang memegang kendali atas orang lain, baik yang dilakukan di

dalam Negara maupun antar Negara untuk tujuan ekploitasi atau

mengakibatkan orang tereksploitasi.

4. Restitusi
33

Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Pemberantasan TPPO

menyatakan Restisusi merupakan pembayaran ganti kerugian oleh

pelaku kepada korban yang berdasarkan putusan pengadilan atas

kerugian materil dan immaterial.

Restitusi dikategorikan sebagai bagian dari upaya pemulihan

yang adil terhadap korban dan kewajiban untuk memberikan reparasi

kepada korban merupakan kewajiban yang tidak perlu dikatikan

dengan ada atau tidaknya proses yudisial/pengadilan. 10

Perlindungan hukum terhadap korban sebagai seseorang yang

mengalami kerugian akibat tindak pidana perdagangan orang dengan

memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain korban,

untuk mendapatkan keuntungan terhadap pelaku seperti pelacuran dan

pencabulan dapat memberikan rasa aman kepada korban. Bentuk

perlindungan hukum dapat berupa restitusi, yaitu pembayaran ganti

kerugian oleh pelaku kepada korban sebagai upaya pemulihan yang

adil berdasarkan putusan pengadilan.

F. Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori

pertanggungjawaban Negara. Teori pertanggungjawaban Negara pada

dasarnya ada dua macam. Pertama, Teori Resiko (Risk Theory) yang

kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute

liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective

10
Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Cet. 1, Setara Press, Malang,
2017, hlm. 151.
34

responsibility), yaitu bahwa suatu Negara mutlak bertanggung jawab

atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat

membahayakan (Harmful effect of untra-hazardous activities) walupun

kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum. 11

Kedua, teori kesalahan (fault theory) melahirkan prinsip

tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung

jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa

tanggung jawab Negara atas perbuatannya baru dapat dikatakan jika

dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.

Menurut Hukum Internasional, kewajiban bagi Negara untuk

memberikan pemulihan terhadap korban yang dilakukan oleh Negara

sebagai bentuk pengakuan atas pelanggaran hak korban, kehilangan

penderitaan yang dialami

dan menjadi tanggung jawab Negara, baik materi maupun

nonmateri.Teori tanggung jawab juga dilakukan setiap subjek hukum,

orang ataupun kelompok atas segala perbuatan hukum yang

dilakukannya sehingga orang lain menderita kerugian (dalam artis

luas), orang tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang

ditimbulkannya.

G. Metode Penelitian

11
Ibid, hlm.37.
35

1. Tipe Penelitan

Tipe Penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah

Yuridis Normatif. Pengertian penelitian hukum normatif menurut

Bahder John Nasution merupakan kegiatan untuk menjelaskan hukum

tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu

hukum normatif tidak mengenal data atau fakta sosial yang dikenal

hanya bahan hukum. 12

2. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan penulis maka,

penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue

approach) dan pendekatan kasus (historical approach) yaitu :

a) Pendektan perundang-undangan

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah

semua undang-unsang dan semua regulasi yang bersangkutan

dengan isi hukum yang sedang ditangani.13

b) Pendekatan Kasus

Melakukan kajian terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan

isu hukum yang dihadapi yang telah menjadi Putusan Pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.14 Adapun

kasus yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Putusan Nomor

121/Pid.Sus/2018/PN Jmb, Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/Pn

12
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung, 2009,hlm.
87.
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 133.
14
Ibid
36

Jmb, dan Putusan Nomor 35/Pid.Sus/2019/Pn Jmb.

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa sumber bahan hukum,

dengan pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.

a) Bahan hukum primer

Bahan yang diperoleh dengan mempelajari perundang-undangan

yang berlaku dengan penulisan skripsi ini antara lain :

- Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

- Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

- Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang

Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Hukum

Kepada Saksi dan Korban.

b) Bahan hukum sekunder

Bahan yang diperoleh dengan memperlajari semua literature baik

berbentuk buku, jurnal hukum, makalah dan sebagainya yang

berlaku berkenaan dengan skripsi ini antara lain, yaitu : Buku,

Jurnal Hukum, Artikel dan lainnya yang berkaitan dengan

penelitian yang dilakukan.

4. Analisi Bahan Hukum


37

Pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu analisi data

yang tidak menggunakan angka melainkan memberikan gambaran –

gambaran yang jelas dengan menginventarisir semua peraturan-

perundang-undangan yang mengatur mengenai restitusi. Kemudian

penulis menganalisis semua aturan tersebut lalu melakukan evaluasi

dan menemukan bahwa aturan hukum tersebut tidak bersifat final.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi atas 4 (Empat) bab, masing-

masing bab terdiri atas sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan

cakupan permasalahan yang diteliti, dan juga untuk mendapatkan gambaran yang

lebih jelas Tentang arah dan tujuan penulisan skripsi ini, maka secara garis besar

dapat digambarkan sistematika skripsi ini sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

Pada bab ini mengambarkan secara umum dan luas

mengenai pokok permasalahan yang akan dibahas dalam

penulisan skripsi ini yaitu meliputi latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kerangka konseptual, landasan teori, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN TENTANG PERLINDUNGAN

HUKUM, KORBAN, DAN RESTITUSI

Bab ini menerangkan data perlindungan hukum korban

eksploitasi yang meliputi a. Pengaturan Perlindungan

Umum, b. Korban, c. Restitusi.


38

BAB III. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN

KORBAN PERDAGANGAN ORANG MELALUI

RESTITUSI

Bab ini penulis menguraikan tentang bagaiamanakah

perlindungan hukum terhadap perempuan korban

perdangangan orang melalui restitusi di Pengadilan Negeri

Jambi dan Akibat hukum tidak terlaksananya perlindungan

hukum terhadap perempuan korban perdagangan orang

melalui restitusi pada Putusan Pengadilan Negeri Jambi.

BAB IV. PENUTUP

Bab ini adalah bagian terakhir dari skrpsi yang berisi

kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan dalam

bab-bab sebelumnya serta berisikan saran-saran dari

permasalah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai