Anda di halaman 1dari 27

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENEGAKAN HUKUM

TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG


DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INDONESIA

OLEH :

PUTU AYU OCTAVIANTARI


NIM. 1914101110

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2022
DAFTAR ISI
COVER
DAFTAR ISI.............................................................................................................. i
A. Latar Belakang...................................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah.............................................................................................. 6

C. Pembatasan Masalah.............................................................................................6

D. Rumusan Masalah................................................................................................. 7

E. Tujuan Penelitian................................................................................................... 7
1. Tujuan Umum................................................................................................. 7
2. Tujuan Khusus................................................................................................7
F. Manfaat Penelitian................................................................................................. 7
1. Manfaat Teoritis..............................................................................................8
2. Manfaat Praktis............................................................................................... 8
G. Kajian Pustaka....................................................................................................... 8
1. Tijauan Umum Tentang Perdagangan Orang (Human Trafficking)...............8
2. Tinjauan Umum Tentang HAM....................................................................10
3. Sistem Peradilan Pidana Indonesia...............................................................12
4. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum..............................................18
H. Metode Penelitian............................................................................................... 20
1. Jenis Penelitian............................................................................................. 20
2. Jenis Pendekatan........................................................................................... 20
3. Sumber Bahan Hukum..................................................................................21
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum............................................................22
5. Metode Pengolahan Bahan Hukum..............................................................22
6. Teknik Analisis Bahan Hukum.....................................................................22
DAFTAR PUSTAKA
A. Latar Belakangan
Pesatnya pertumbuhan kejahatan telah mendorong para profesional sekolah
dasar di negara ini untuk berpikir kritis tentang mendefinisikan konsep untuk
menyeimbangkan pola kejahatan yang semakin kompleks. Meminta agar hukum
dan peraturan kita menangani hal ini adalah untuk melindungi ketidakadilan.
Kepastian itu penting, namun ketika hukum semakin pasti, maka semakin tidak adil
sebagaimana salah satu asas hukum yang mengatakan Nemo ius ignoraria consetur
(Sunggara, 2020). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bukanlah produk
asli negara kita, melainkan produk adopsi dari Belanda, sehingga sepertinya banyak
ketentuan dalam ketentuan Undang-Undang ini sudah tidak relevan lagi untuk
memerangi kejahatan di negara ini.
Perdagangan orang merupakan kejahatan yang berkembang di Indonesia.
Dokumentasi hukum pasal mengenai masalah ini telah diatur dalam Pasal 297
KUHP, namun sampai saat ini belum dirasakan manfaatnya. Penegakan hukum kita
harus mengambil langkah-langkah kepatuhan yang kuat untuk membuat hukum
pidana kita lebih manusiawi. Sistem hukum pidana kita selalu cenderung
menonjolkan kejahatan dari sudut pandang pelakunya. Menurutnya, jika kita
mengabaikan sudut pandang korban, akan ada sesuatu yang kurang dan tidak
seimbang. Namun, unsur kausal kejahatan tidak akan terjadi tanpa adanya korban
(Ilyas, 2018).
Perdagangan manusia merupakan masalah utama yang mengancam umat
manusia karena kehidupan manusia itu sendiri ada. Salah satu bentuk perdagangan
manusia adalah praktik perbudakan manusia yang terjadi jauh sebelum
perdagangan manusia berkembang menjadi seperti sekarang ini. Semua perbudakan
pada waktu itu dilakukan tanpa memperhatikan hak seseorang untuk hidup bebas,
yang kini mengalami modernisasi dalam bentuk perdagangan budak. Berdasarkan
pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang penghapusan
tindak pidana perdagangan orang, yang dimaksud dengan perbuatan perdagangan
orang sebagai berikut: ut menggambarkan secara jelas pelanggaran-pelanggaran
hak asasi manusia (HAM) (Meliana, 2021). Saat ini, praktik perbudakan sedang
2

dimodernisasi dalam bentuk perdagangan budak. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1)
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
yaitu perdagangan orang, sebagai berikut:
“Perekrutan, pemindahan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan
orang, melalui ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk
pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, penipuan atau penyalahgunaan
kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran
atau keuntungan untuk memperoleh keuntungan. persetujuan dari orang
yang berwenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi”.

Ada dua unsur antara korban dan pelaku. Dari bidang inilah kajian korban,
khususnya yang berkaitan dengan korban perdagangan orang, menjadi sangat
penting. Hal ini dilakukan dalam rangka mencari cara yang tepat untuk digunakan
sebagai pencegah kejahatan agar tidak menimbulkan korban lebih lanjut, dan juga
merupakan prasyarat untuk menyelesaikan studi hukum pidana secara utuh. Selama
ini korban hanya diwakili oleh negara sebagai pihak yang menderita akibat
kejahatan, yang akan membalaskan dendam pelakunya dengan tata cara yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Dari pengertian di atas, tidak ada perbedaan yang signifikan antara pengertian
perdagangan orang berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan protokol yang bertujuan
untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan orang, khususnya
perdagangan orang. wanita dan anak-anak. , melengkapi Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Menentang Kejahatan Terorganisir Transnasional (Protokol
Pencegahan, Respons dan Hukuman Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan
Anak-anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa). Perserikatan
Bangsa-Bangsa melawan kejahatan terorganisir transnasional).
Ancaman perdagangan manusia sering terjadi di berbagai negara di dunia,
terutama negara berkembang seperti Indonesia. Selain itu, Indonesia memiliki
posisi geografis yang strategis, sehingga Indonesia sering dijadikan sebagai jalur
transportasi dan perdagangan antar negara. Hal ini tentunya membawa banyak
manfaat bagi negara. Namun tidak dapat dipungkiri juga berdampak merugikan
3

bagi negara, banyak terjadi kejahatan di Indonesia, dan salah satu yang paling
mengancam adalah kejahatan perdagangan orang. Kejahatan ini terjadi karena tidak
menghormati harkat dan martabat manusia. Manusia dianggap sebagai komoditas
yang harganya dapat ditentukan tanpa persetujuannya, diangkut, dikumpulkan,
dikurung dan ditempatkan tanpa memperhatikan kebutuhannya sebagai manusia
(Muzaffar, 2017).
1. Setiap orang yang merekrut, membawa, menampung, menyampaikan,
memindahkan atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, pemaksaan, penipuan, penipuan,
penyalahgunaan, penggunaan kekuasaan atau posisi rentan, berhutang ,
atau memberikan pembayaran atau manfaat meskipun mendapat
persetujuan dari orang yang menguasai orang lain, untuk tujuan
pemanfaatan orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia;
2. Setiap orang yang memasukkan orang ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan maksud untuk dimanfaatkan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau untuk dieksploitasi di negara lain dan
setiap orang yang membawa warga negara Indonesia keluar dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan maksud untuk beroperasi di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini merugikan negara, banyak terjadi
kejahatan di Indonesia, dan salah satu yang paling mengancam adalah
perdagangan orang. Kejahatan ini terjadi karena tidak menghormati
martabat manusia. Manusia dianggap sebagai komoditas yang harganya
dapat ditentukan tanpa persetujuannya, diangkut, dikumpulkan, dikurung
dan ditempatkan tanpa memperhatikan kebutuhannya sebagai manusia.5
3. Setiap orang yang mengangkat anak dengan menjanjikan sesuatu atau
memberikan sesuatu dengan maksud untuk dimanfaatkan; Setiap orang
yang membawa anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara yang
mengakibatkan anak tersebut dieksploitasi;
4

4. Setiap lembaga penyelenggara negara yang menyalahgunakan


kekuasaannya yang berujung pada tindak pidana perdagangan orang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 5 dan 6 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang;
5. Setiap orang yang mencoba membujuk orang lain untuk melakukan
perdagangan orang, dan kejahatan itu tidak terjadi; Setiap orang yang
membantu atau berusaha melakukan tindak pidana perdagangan orang;
Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang;
6. Mereka yang memanfaatkan atau memanfaatkan korban tindak pidana
perdagangan orang dengan melakukan hubungan seks atau perbuatan cabul
lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, menggunakan
korban tindak pidana perdagangan orang untuk terus melakukan perbuatan
eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana
perdagangan manusia;
7. Perusahaan, tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh
perusahaan apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang
yang bertindak untuk dan/atau atas nama perusahaan atau untuk
kepentingan perusahaan, baik atas dasar pekerjaan maupun sebaliknya.
hubungan, bertindak dalam lingkungan bisnis, sendiri atau bersama-sama;
8. Sebuah kelompok terorganisir, seperti agen atau perusahaan, berpura-pura
menjadi pemasok tenaga kerja di luar negeri tetapi sebenarnya terlibat
dalam kegiatan perdagangan manusia.
9. Setiap orang yang memberikan atau mencantumkan keterangan palsu
dalam dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen
negara atau dokumen lain untuk memudahkan terjadinya tindak pidana
perdagangan orang.
Para pelaku kejahatan perdagangan manusia seringkali menyasar mereka yang
secara fisik, psikis, ekonomi, mental, politik dan sosial kurang beruntung. Pihak
yang paling rentan dalam kondisi dan situasi tersebut adalah perempuan dan anak-
5

anak. Bahkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2017


tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, disebutkan bahwa
berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak merupakan kelompok korban
tindak pidana perdagangan orang yang paling banyak. Perdagangan orang,
terutama perempuan dan anak, tersebar luas dalam bentuk jaringan kriminal yang
terorganisir dan tidak terorganisir. Jaringan pelaku kejahatan perdagangan orang
memiliki jangkauan kegiatan tidak hanya antar wilayah nasional tetapi juga antar
negara.
Padahal, Indonesia telah menyetujui berbagai peraturan tentang penghapusan
perdagangan orang yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai
bentuk partisipasi masyarakat Indonesia dan kepedulian masyarakat Indonesia
terhadap korban kejahatan perdagangan manusia. Tidak hanya itu, secara yuridis
Indonesia memiliki peraturan tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan
orang, pada dasarnya KUHP mengatur tentang larangan perdagangan orang melalui
Pasal 297 KUHP yang melarang perdagangan perempuan dan anak. untuk
bertindak sebagai penjahat.
Korban di sini tidak umum untuk dipertimbangkan, karena hukuman hanya
diberikan kepada pelaku, yang menandakan masalah sudah selesai. Bahkan jika,
menurut hukum, pelaku, korban belum tentu merasakan persetujuan dan keamanan.
Banyak korban masih tidak merasa bahwa mereka telah memenangkan keadilan
dan bahwa tempat mereka di masyarakat telah dipulihkan karena trauma yang
mereka derita dan keterpaparan psikiatri akut yang membuat perubahan menjadi
sulit. . Oleh karena itu, sangat penting untuk melindungi korban kejahatan.
Semakin terorganisir kejahatan perdagangan orang, semakin sulit bagi pemerintah
untuk menjamin perlindungan korban, karena kejahatan tersebut bersifat
transnasional, terstruktur, dan sistematis.
Berdasarkan latar belakang masalah yang di terangakan diatas maka penulis
dalam hal ini bertujuan untuk meneliti karya tulis ilmiah yang berjudul “Tinjauan
Yuridis Tentang Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan
Orang Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia”
6

B. Identifikasi Masalah
1. Semakin maraknya kasus perdagangan orang di indonesia dengan berbagai alasan
dan dalil untuk bekerja keluar negeri.
2. Adanya sindikat yang menawarkan lowongan pekerjaan ilegal ke luar negeri belum
terdeteksi oleh pihak yang berwajib yang masih sampai saat ini menyebar di
wilayah indonesia.
3. Kurangnya wawasan masyarakat dalam menyikapi kasus-kasus perdangan orang
dengan iming-iming memberi pekerjaan di luar negeri.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang disajikan diatas, perlu untuk
menggaris bawahi kata-kata artikel karya tulis ilmiah ini terkait dengan materi
yang akan ditentukan di dalamnya. Sangat penting untuk tidak meninggalkan
masalah utama yang muncul yang telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga
dapat digambarkan secara sistematis. Untuk menghindari diskusi diluar topic,
batasan diberikan sejauh mana masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan masalah yang paparkan diatas, maka pembatasan ruang
lingkup pembahasan yaitu mengenai Tinjauan Yuridis Tentang Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Perpektif Hukum Pidana
Indonesia.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, pokok permasalahan yang hendak
dibahas dalam proposal ini, yaitu:
1. Bagaimana Penegakan serta Perlindungan Hukum terhadap Korban
Perdagangan Orang di Indonesia (Human Trafficking) ?
2. Bagaimana Implementasi Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Pengaturan
Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia?

E. Tujuan Penelitian
7

1. Tujuan Umum
- Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum Tentang Penegakan
Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Perpektif
Hukum Pidana Indonesia.
- Untuk mengetahui Implementasi Hukum Hak Asasi Manusia Dalam
Pengaturan Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang di
Indonesia.
2. Tujuan Khusus
- Untuk menambah dan memperdalam pemahaman tentang
Implementasi Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Pengaturan
Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia.
- Untuk menganalisis dan mengkaji terkait Implementasi Hukum Hak
Asasi Manusia Dalam Pengaturan Pencegahan Tindak Pidana
Perdagangan Orang di Indonesia.
F. Manfaat Penelitian
Di dalam melakukan penelitian ini, penulis mengharapkan ada manfaat
yang dapat diambil, baik bagi penulis sendiri maupun bagi masyarakat pada
umumnya. Besarnya manfaat positif yang diberikan menunjukan nilai dan kualitas
dari penelitian tersebut. Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Dengan diadakannya penelitian ini semoga dapat memberikan
sumbangan keilmuan pada mahasiswa dan mahasiswi khususnya dalam
bidang hukum pidana mengenai Tinjauan Yuridis Tentang Penegakan
Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Perpektif
Hukum Pidana Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat
Memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan sebagai pemahaman
bagi masyarkat luas mengenai Tinjauan Yuridis Tentang Penegakan
8

Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Perpektif


Hukum Pidana Indonesia.
b. Bagi Instansi Aparat Penegak Hukum
Melalui penelitian ini penulis berharap hasil ini menjadi bahan
pertimbangan untuk bagaimana tindak lanjut dalam penanganan kasus-
kasus yg menyangkut Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Perpektif
Hukum Pidana Indonesia.
c. Bagi penulis
Untuk menambah motivasi dan wawasan serta untuk dapat mendorong
penulis lebih giat berusaha dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
sehingga penulis terdorong dan terinspirasi untuk melakukan penilitian
lebih lanjut dalam bidang ilmu hukum,khususnya hukum pidana.
G. Kajian Pustaka

1. Tijauan Umum Tentang Perdagangan Orang(Human Trafficking)


a. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking)
Pengertian Perdagangan Orang berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, yaitu:
“Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik
yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”

Yang berarti Perdagangan Orang adalah suatu tindakan perekrutan seseorang


secara paksa dan didagangkan atau didistribusikan kepada pihak lain yang secara
langsung dapat langsung memegang kendali seseorang tersebut.
9

Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang terdapat pada Pasal 1 Angka 2


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu:
“Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian
tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam
Undang-Undang ini.”

Berdasarkan uraian diatas Tindak Pidana Perdagangan Orang berarti setiap


perbuatan yang memiliki unsur tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUH Pidana, Tindak Pidana
Perdagangan Orang disebut sebagai kejahatan terhadapa kemerdekaan orang yang
diatur dalam Bab XVIII Pasal 324, yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan
perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan
sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu
perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.”

“Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan


perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan
sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu
perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.”

Menurut Wijers dan Lap-Chew (Ruth Rosenberg: 2003) yaitu:


“Perdagangan sebagai perpindahan manusia khususnya perempuan dan anak,
dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan, di dalam suatu negara
atau ke luar negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak
hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok pernikahan (servile
marriage)”

Menurut Wijers dan Lap-Chew, perdagangan orang khususnya perdagangan


wanita dan anak tidak hanya terjadi dalam negeri saja, namun juga dapat dikirim ke
10

luar negeri, dan perdangan orang tidak hanya sebatas prostitusi dan perbudakan,
namun segala bentuk eksploitatif (Subhandi, 2016).

2. Tinjauan Umum Tentang HAM


a. Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan sebagai anugerah Tuhan yang harus
diberikan oleh negara, hukum, pemerintah, dan rakyat. dan perlindungan harkat dan
martabat manusia. Asal usul gagasan hak asasi manusia seperti yang disebutkan
sebelumnya berasal dari teori hak kodrati. Teori hak kodrat diturunkan dari teori
hukum kodrat. Dalam proses tumbuh melawan kekuasaan, muncul gerakan
pembaruan (Renaisans), dengan harapan kembali ke budaya Yunani dan Romawi
yang menghargai individu. Gerakan pembaruan melanjutkan dari hukum alam yang
ada yang diprakarsai oleh Thomas Aquinas dan Grotius, yang menegaskan bahwa
setiap orang dalam kehidupan ditentukan oleh Tuhan, tetapi semua orang, terlepas
dari statusnya, tunduk pada otoritas Tuhan. Artinya, tidak hanya kekuasaan Raja
yang dibatasi oleh aturan ilahi tetapi semua manusia diberkahi dengan identitas
pribadi yang unik, berbeda dari keadaan di mana ia memiliki hak alami untuk
menetapkan bahwa setiap individu adalah organisme yang otonom (Smith, 2009).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia adalah
hak asasi manusia yang hak asasinya melekat atau melekat, secara universal mengacu
pada pelaksanaan hak tanpa membedakan warna kulit, ras atau suku, agama, suku,
bangsa. atau etnis. status sosial lainnya dan tidak dapat dicabut, hak ini menjadi milik
individu hanya karena diciptakan manusia oleh-Nya dan bukan karena menjadi warga
suatu bangsa (Kusniati, 2011). Tanpa hak-hak tersebut, seseorang tidak dapat
dianggap sebagai manusia seutuhnya, dan jika hak-hak tersebut dikurangi atau
dilanggar, maka kualitas manusia ciptaan Tuhan juga akan menurun.
11

Hak asasi manusia mengatur bahwa manusia memiliki hak-hak dasar yang
melekat pada identitas manusia, yang keberadaannya berarti bahwa seseorang
memiliki "hak istimewa" yang memberinya hak untuk diperlakukan sesuai dengan
hak istimewa tersebut. Ada pula kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan
“keistimewaan” yang ada pada orang lain (Majda, 2009). Oleh karena itu, hak milik
setiap manusia harus dijalankan dan dilindungi guna mewujudkan kesempurnaan
eksistensi manusia, untuk mewujudkan hal tersebut setiap manusia perlu saling
menyadari dan melindungi secara bersama-sama.
Kebebasan berpendapat adalah pelaksanaan hak yang dimiliki setiap manusia
untuk mengekspresikan sesuatu, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Kebebasan berpendapat berarti seseorang telah memilih untuk menggunakan haknya,
karena dalam pengertian hak asasi manusia seseorang dapat melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu. Ditinjau dari etimologi kata dalam kalimat hak asasi
manusia, arti kata hak dan hak asasi manusia berasal dari bahasa arab yaitu hak yang
berarti wajib, praktis, benar dan tetap sehingga masuk akal. melakukan. atau tidak
melakukan sesuatu. Kata bahasa Arab manusia adalah asay yang berasal dari akar
kata assa, yaussu, asan, artinya membangun, meletakan, mendirikan sehingga asasi
dapat diartikan hal mendasar dan fundamental yang melekat pada obyeknya.
b. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (fundamental rights) berarti hak-hak dasar (yang sudah
mapan). Hak asasi manusia adalah hak dasar dan melekat pada identitas manusia
yang universal. Dengan demikian, penelitian hak asasi manusia, menurut Todung
Mulya Lubis, pada dasarnya adalah studi tentang totalitas kehidupan, sejauh mana
hidup kita memberi orang posisi alami, dalam hak asasi manusia bukan hanya produk
Barat tetapi merupakan fondasi yang kokoh untuk semua agama dan budaya yang
ada (Nowak, 2003). Indonesia sebagai negara yang mengakui agama dan memelihara
keragaman budaya dalam kehidupan sehari-hari, menjunjung tinggi nilai-nilai HAM
sesuai dengan perkembangan agama dan budaya, oleh karena itu wacana HAM
mudah dipahami namun tidak selalu sesuai dengan kenyataan.
12

Di Indonesia, wacana HAM mudah diterima, dipahami dan diwujudkan dalam


pembuatan kebijakan dan pembangunan sosial politik. Dalam konteks reformasi,
wacana hak asasi manusia muncul sebagai jaminan yang lebih kuat dan mendapatkan
momentum. Perubahan UUD 1945 merupakan fakta sejarah yang dianggap sebagai
poin penting bagi penguatan demokrasi di Indonesia berdasarkan perlindungan hak
asasi manusia (HAM).
Pada tataran praktis, nilai-nilai hak asasi manusia belum sepenuhnya
dijalankan, dan pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi secara besar-besaran.
Hak asasi manusia sering dibatasi dan terdistorsi maknanya. Hak asasi manusia
dipahami sebagai hak mutlak yang seringkali mengabaikan pentingnya kehadiran
kewajiban manusia. Pendekatan ini sering mengarah pada upaya untuk memaksakan
kehendak atas dasar kebaikan dan kepentingan bersama. Pemaksaan kehendak sering
mengarah pada perilaku kekerasan. Untuk lebih kasarnya, kita dapat mengatakan
bahwa ada kecenderungan untuk "mencegah" dan "menekan". Tindakan penindasan
dan represi ini merupakan manifestasi dari pemikiran pembangunan yang mengarah
pada terwujudnya ketertiban (Majda, 2009). Sulit dipahami bagaimana kemauan yang
kuat untuk membelaak asasi manusia berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.
Todung Mulya Lubis menyebutkan bahwa ada 4 teori mengenai HAM, diantaranya
sebagai berikut:
1) Hak-hak alami
Yang berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh setiap
manusia berdasarkan takdirnya, sehingga dapat dikatakan bahwa secara
kodrati HAM itu melekat pada setiap insan yang diciptakan oleh Tuhan Yang
Maha Esa.
2) Teori Positivis
Teori ini berpandangan bahwa HAM harus tertuang dalam hukum maka akan
menimbulkan adanya jaminan konstitusi sebagai perlindungan hak. Indonesia
sebagai negara hukum, harus menjamin HAM dalam suatu peraturan untuk
mengatur dan menegakka HAM dalam kehidupan sehari-hari.
3) Teori Relavisitas Kultural
13

Penekanan teori ini adalah bahwa manusia merupakan interaksi sosial dan
kultural serta perbedaan tradisi budaya dan peradaban berisikan perbedaan
cara pandang kemanusiaan.

4) Doktrin Marxis
Doktrin Marxis menolak teori hak-hak alami karena dalam suatu negara
merupakan dasar dari seluruh hak.Hak-hak untuk mendapat pengakuan atas
hak individu harus mendapat pengakuan dari Negara (Lubis, 2011) .
Berdasarkan teori di atas, hak asasi manusia tidak berkembang pada satu
sebab. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan HAM. Hak asasi manusia
tidak hanya berkembang seiring dengan perkembangan orang itu sendiri, tetapi
cenderung dipengaruhi oleh lingkungan, baik individu maupun masyarakat. Pengaruh
yang melingkupi wacana hak asasi manusia harus menjadi kajian untuk dapat
sepenuhnya menyadari dan menerima hak asasi manusia sebagai nilai aturan hidup.
Kewajiban inti manusia adalah seperangkat kewajiban yang, jika tidak
dipenuhi, tidak memungkinkan untuk melaksanakan dan menegakkan hak asasi
manusia. Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 1 Nomor (2) Undang-
Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999. Setiap manusia perlu memiliki
rasa saling menghormati dan menghargai hak asasi manusia agar hak asasi manusia
dapat terwujud. menyadari. penuh.
Hak asasi manusia adalah seperangkat prinsip yang diturunkan dari nilai-nilai
dan kemudian menjadi aturan sebagai pedoman perilaku manusia dalam berhubungan
dengan manusia. Kewajiban hak asasi manusia adalah hal-hal yang harus dilakukan
oleh orang itu sendiri. Kewajiban hak asasi manusia sebagai bentuk pembatasan
terhadap hak asasi manusia juga menjadi pengecek agar kondisi sosial masyarakat
lebih kondusif bagi rasa saling menghormati antar sesama hak asasi manusia.
Di Indonesia, hak asasi manusia diatur oleh Undang-Undang Hak Asasi
Manusia Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 69 ayat (2), “Semua hak asasi manusia
menciptakan kewajiban dan tanggung jawab mendasar untuk menghormati hak asasi
manusia. kewajiban pemerintah untuk menghormati, melindungi, melindungi dan
14

memajukannya Melalui pasal ini kita dapat memahami bahwa setiap hak asasi
manusia memiliki kewajiban mendasar berupa tanggung jawab untuk menjadi hak
asasi manusia demi terwujudnya hak asasi manusia secara penuh.

3. Tinjauan Umum Sistem Peradilan Pidana Indonesia


a. Sistem Peradilan Pidana
Istilah sistem peradilan pidana (criminal justice system) mengacu pada
mekanisme pencegahan kejahatan secara aktif dengan menggunakan pendekatan
sistem dasar. Pendekatan sistem adalah pendekatan yang menggunakan semua
elemen yang berpartisipasi di dalamnya sebagai satu kesatuan dan saling
berhubungan (hubungan timbal balik) dan saling mempengaruhi. Melalui pendekatan
ini, polisi, jaksa, pengadilan dan penjara merupakan elemen penting dan saling
bergantung.
Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada hakikatnya merupakan
sistem terbuka. Sistem terbuka adalah sistem yang dalam proses advokasinya
mempengaruhi pencapaian tujuan, baik jangka pendek (sinergi), jangka menengah
(pencegahan kejahatan) dan jangka panjang (kesejahteraan sosial). lingkungan
masyarakat dan lapangan. Dalam kehidupan manusia, sistem peradilan pidana dalam
pergerakannya akan selalu melalui antar muka (interaksi, interkoneksi,
interdependensi) dengan lingkungan baik dari segi kepangkatan, masyarakat,
ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi, serta subsistem peradilan pidana. sistem
itu sendiri (subsistem dari sistem peradilan pidana).
b. Pengertian Dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana
Pengertian sistem peradilan pidana menurut beberapa ahli, diantaranya:
a. Mardjono Reksodiputro
Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri
dari lembaga kepolisian. Kejaksaan, pengadilan dan terpidana. Sistem peradilan
pidana juga telah dinyatakan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk
menangani kejahatan (Atmasasmita, 2015). Penanggulangan diartikan sebagai
pengendalian kejahatan sedemikian rupa sehingga masih dalam toleransi masyarakat.
15

Mengendalikan kejahatan agar tetap dalam toleransi masyarakat tidak berarti


menoleransi kejahatan atau membiarkannya terjadi. Toleransi adalah pengertian
bahwa kejahatan akan tetap ada selama masih ada manusia dalam masyarakat. Jadi,
di mana ada masyarakat, akan selalu ada kejahatan.
b. Remington dan Ohlin
Menjelaskan sistem peradilan pidana sebagai penggunaan pendekatan sistem
mekanisme administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai sistem yang
dihasilkan dari interaksi antara hukum dan peraturan, praktek administrasi dan sikap
atau perilaku sosial.
Tujuan sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro adalah:
a. Mencegah masyarakat menjadi objek/korban.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya (Atmasmita, 2015)
c. Asas – asas Peradilan Pidana
1. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
Sebenarnya, ini bukan hal baru dengan diperkenalkannya KUHAP. Sejak
awal, sejak HIR diperkenalkan, asas ini telah diungkapkan lebih spesifik daripada
asas-asas yang digunakan dalam KUHAP. Pencantuman contante justitie dalam
KUHAP banyak diungkapkan dengan istilah “segera”. Asas peradilan cepat,
sederhana, dan murah yang dianut dalam KUHAP pada hakikatnya merupakan
pembuatan undang-undang atas ketentuan dasar kekuasaan kehakiman. Persidangan
yang cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum keputusan
hakim) adalah hak asasi manusia. Demikian juga dalam sistem peradilan yang bebas,
kejujuran dan keadilan ditunjukkan dalam hukum.
Penjelasan umum yang dijabarkan dalam banyak pasal dalam KUHAP antara
lain sebagai berikut :
a. Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat (4), dan
Pasal 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal – pasal tersebut dimuat ketentuan
16

bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat
sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum, dan hakim harus sudah
mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum.
b. Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk segera
diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang
apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai pemeriksaan.
c. Pasal 102 ayat (1) menyatakan penyidik yang menerima laporan atau
pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan
tindak pidana wajib segera melakukan penyidikan yang diperlukan.
d. Pasal 106 menyatakan hal yang sama di atas bagi penyidik.
e. Pasal 10 ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai disidk
oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, segera menyerahkan
hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada
Pasal 6 ayat (1) huruf a.
f. Pasal 110 mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik yang
semuanya disertau dengan kata segera. Begitu pula Pasal 138.
g. Pasal 140 ayat (1) menyatakan bahwa:
”dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan”
(Hamzah, 2010).

2. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)


Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum acara pidana.
Ketentuan asas “praduga tak bersalah” eksistensinya tampak pada Pasal 8 ayat (1)
Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan penjelasannya umum angka 3 huruf c
KUHAP yang menentukan bahwa :
“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilaan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.”

Dalam praktek peradilan, perwujudan asas ini dapat digambarkan secara lebih
rinci, selama proses hukum masih berlangsung (pengadilan negeri, pengadilan tinggi,
17

pengadilan agung), dan belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde), Terdakwa tidak dapat dianggap sebagai pelaku, oleh karena itu dalam
proses pidana harus memperoleh haknya menurut hukum (Hamzah, 2010).

3.Asas oportunitas
A.Z. Abidin Farid memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut :
“asas hukum yang memeberikan wewenang kepada penuntut umum untuk
menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau
korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.”
4. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum
Pada kepala subparagraf ini telah tegas tertulis “pemeriksaan pengadilan”,
yang berarti pemeriksaan pendahuluan, penyidikan, dan praperadilan terbuka untuk
umum. Dalam hal ini dapat diperhatikan pula Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4)
KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
Ayat (3):
“untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan
atau terdakwanya anak – anak.”
Ayat (4):
“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan
batalnya putusan demi hukum.”

Pada penjelasan ayat (3) dinyatakan cukup jelas, dan untuk ayat (4) lebih dipertegas
lagi, yaitu :
“Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya, terbukti
dengan timbulnya akibat hukum jika asas tersebut tidak dipenuhi.” (Hamzah,
2010).

5. Asas semua orang diperlakukan sama di depan hakim


Dalam hukum acara pidana tidak mengenal forum priviligiatum atau
perlakuan yang bersifat khusus, karena negara Indonesia sebagai negara hukum
mengakui bahwa manusia sama di depan hukum (equality before the law) (Mulyadi,
18

2012). Sebagaimana ditentukan Pasal 4 ayat (1) Undang – Undang nomor 48 tahun
2009 dan penjelasan umum angka 3 huruf a KUHAP yaitu:
“pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda – bedakan
orang”.

6. Asas tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum


Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP diatur tentang bantuan
hukum tersebut dimana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan yang sangta luas.
Kebebasan itu antar lain sebagai berikut :
1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan.
2. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
3. Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat
pemeriksaan pada setiap tingkat.
4. Pembicaraan antar penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh
penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan
negara.
5. Tuntutan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna
kepentingan pembelaan.
6. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari
tersangka/terdakwa.
7. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan
Pada asasnya dalam praktik pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan
dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi – saksi serta
dilaksanakan dengan secara lisan dalam bahasa indonesia. Tegasnya hukum acara
pidana indonesia tidak mengenal pemeriksaan perkara pidana dengan acara
mewakilkan dan pemeriksaan secara tertulis sebagaimana halnya dalam hukum
perdata. Implementasi asas ini lebih luas dapat dilihat dari penjelasan umum angka 3
huruf h, Pasal 153, Pasal 154, serta Pasal 155 KUHAP, dan seterusnya (Mulyadi,
2012).
19

4. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum


a. Tinjauan Umum Penegakan Hukum
Pengertian teori penegakkan hukum Menurut Satjipto Rahardjo, berbunyi:
“penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum, yaitu pikiranpikiran dari badan-badan pembuat
undang-undang yang dirumuskan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan
hukum yang kemudian menjadi kenyataan.”
Dari perspektif subjek, penegakan hukum memiliki arti yang lebih sempit.
Artinya, penegakan hukum sebagai upaya aparat penegak hukum tertentu untuk
menjamin dan menjamin agar supremasi hukum berjalan sebagaimana mestinya
(Atika, 2012).
Dengan demikian, penegakan hukum adalah proses membuat aturan hukum
menjadi kenyataan, dan pejabat pemerintah yang bertindak sebagai aparat penegak
hukum harus memastikan dan memastikan bahwa aturan ditegakkan sebagaimana
mestinya. Untuk mencapai tujuan dan kepentingan negara hukum, negara hukum
harus ditegakkan.
Teori penegakan hukum bila dipadukan dengan permasalahan yang diangkat
peneliti adalah bagaimana menerapkan dan menegakkan peraturan yang ada dengan
baik dan maksimal. Untuk mengetahui apakah, bagaimana, dan bagaimana undang-
undang yang mengatur dan melindungi hak-hak korban tindak pidana perdagangan
orang dapat dilaksanakan dan ditegakkan dengan baik dalam kehidupan nyata.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakkan hukum yaitu, sebagai
berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri yaitu undang-undang.
2. Faktor penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan
hukum itu yakni aparat pemerintah.
3. Faktor fasilitas dan sarana untuk mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat yakni lingkungan hukum yang diterapkan/berlaku.
5. Faktor kebudayaan yang lahir dalam pergaulan hidup masyarakat.
20

Dari beberapa faktor yang diuraikan diatas, faktor penegak hukum menjadi
yang paling penting. Penegak hukum utama adalah Polisi sebagai Penyidik, Jaksa
Penuntut Umum, Hakim, Lembaga Permasyarakatan. Dengan penegak hukum yang
profesional dapat menghindari malpraktik dibidang hukum. Dalam perekrutan para
penegak hukum yang profesional harus memperhatikan tiga hal yaitu:
1. IQ singkatan dari Intellegence Quotient yaitu tingkat kecerdasan. Para
penegak hukum diharapkan memiliki tingkat kecerdasan sesuai standard dan
latar belakang pendidikan penegak hukum juga sangat penting. Karena
keterbatasan kecerdasan dan pendidikannya kebanyakan penegak hukum
salah dalam menerapkan peraturan perundang-undangan dan tidak dapat
memprediksi akibat dari tindakan/keputusan yang diambil.
2. EQ singkatan dari Emotional Quotient yaitu tingkat kemampuan dalam
mengendali emosi, mampu memahami perasaan orang lain dan sendiri.
Penegak hukum sering berhadapan dengan masyarakat apalagi jika
menghadapi demonstrasi dengan inteligensi emosional yang rendah dapat
menimbulkan tindakan yang gegabah.
3. SQ singkatan dari Spiritual Quotient yaitu tingkat kemampuan dalam
mengamalkan nilai-nilai agama. Jika para penegak hukum tidak sungguh-
sungguh mendalami ajaran agamanya dapat dengan gampang terjerumus ke
hal-hal duniawi yang tidak benar.

H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian
terhadap legalisasi sebuah organisasi dimana diatur dalam norma internasional.
Adapun norma internasional ialah Hukum Pidana menyangkut Tinjauan Yuridis
Tentang Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam
Perpektif Hukum Pidana Indonesia.
2. Jenis Pendekatan
21

Sesuai dengan jenis penelitiannnya yakni penelitian hukum normatif (yuridis


normatif), maka dapat digunakan lebih dari satu pendekatan. Dalam penelitian ini
digunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan Pendekatan
Perbandingan (comparative approach)).
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) merupakan penelitian
yang mengutamakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan
sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian. Pendekatan ini dilakukan
dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan
permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan
ini misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian penegakan
hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia.
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai Tinjauan Yuridis Tentang Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Perpektif Hukum Pidana
Indonesia.
b. Pendekatan Perbandingan (comparative approach)
Pendekatan yang mencoba membandingkan baik dengan negara-negara lain
maupun dengan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di satu negara pendekatan
yang diambil ialah Pendekatan perbandingan makro (macro comparative
approach) digunakan untuk membandingkan suatu kejadian atau peristiwa hukum
yang terjadi diberbagai tempat, khususnya perbandingan mengenai tindak pidana
perdagangan orang di indonesia.
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum
normatif merupakan data sekunder yang diperoleh dari sumber kepustakaan yang
terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas, yang terdiri dari:
1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
22

2) Undang-Undang No. 21 Tahun 3007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidan


Perdagangan Orang
3) Undang-Undsang No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana
b) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang bersifat membantu atau
menunjang bahan hukum primer dalam penelitian yang akan memperkuat
penjelasan di dalamnya meliputi literatur-literatur, jurnal hukum, hasil penelitian
dan artikel-artikel hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam
penyusunan skripsi.
c) Bahan Hukum Tersier yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum,
ensiklopedia, dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum


Dalam penelitian ini digunakan Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian
teknik documenter (library research), yaitu dikumpulkan dari telaah arsip atau studi
pustaka seperti, buku-buku, makalah, artikel, majalah, jurnal, koran atau karya para
pakar.
5. Metode Pengolahan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini digunakan pengolahan bahan hukum dengan cara
editing, yaitu pemeriksaan kembali bahan hukum yang diperoleh terutama dari
kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian, serta relevansinya dengan kelompok
yang lain. Setelah melakukan editing, langkah selanjutnya adalah coding yaitu
memberi catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber bahan hukum (literatur,
Undang-undang atau dokumen), pemegang hak cipta (nama penulis, tahun
penerbitan) dan urutan rumusan masalah.
Selanjutnya adalah rekonstruksi bahan (reconstructing) yaitu menyusun ulang
bahan hukum secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan
diinterpretasikan. Langkah terakhir adalah sistematis bahan hukum (systematizing)
yakni menempatkan bahan hukum berurutan menurut kerangka sistematika bahasan
berdasarkan urutan masalah.
23

6. Teknik Analisis Bahan Hukum


Dalam penelitian ini, setelah bahan hukum terkumpul maka bahan hukum
tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi, bentuk dalam teknik analisis bahan
hukum adalah Content Analysis. Dalam analisis bahan hukum jenis ini dokumen atau
arsip yang dianalisis disebut dengan istilah “teks”. Content analysis menunjukkan
pada metode analisis yang integratif dan secara konseptual cenderung diarahkan
untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah, dan menganalisis bahan hukum
untuk memahami makna, signifikansi, dan relevansinya.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Atmasasmita, Romli, 2015 Sistem Peradilan Pidana(Criminal Justice System)
Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Penerbit Bina Cipta,
Jakarta, 1996, Hlm. 15.

Ilyas, Ahidi, M Jakfar Puteh, 2018. Islam Tinjauan Spiritual dan Sosial, Banda Aceh,
Yogyakarta: AK Group

Majda, Muhtaj, 200. Dimensi-Dimensi HAM: Mengurangi Hak Ekonomi, sosial dan
Budaya Edisi Ke III, Jakarta : PT. Rajagarfindo Persada, hlm. 15

Mulyadi, Lilik, 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Tinjauan Khusus
Terhadap: Surat Dakwaan, Eksepsi, Dan Putusan Peradilan , PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, , Hlm. 17

Muzaffar, Chandra, 2017. Human’s Wrong: Rekor Buruk Dominasi Barat Atas HAM
Yogyakarta: Pilar Media.

Nowak, Manfred, 2003. Introduction to the International Human Rights Regime,


Leiden: Martinus Nijhoff Publisher, hlm. 1

Smith, Roma, 2009. Hukum HAM, Yogyakarta : Pusham UII, hlm. 12


Sunggara, Muhamad Adystia, 2020. “Penerapan Dan Pemberian Bantuan Hukum
Bagi Masyarakat Kurang Mampu,” SOLUSI. Vol 19 No 2. 2020: 138- 154.
,.
Hamzah, Andi, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, , hlm.
12

Mulyadi, Lilik, 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Tinjauan Khusus
Terhadap: Surat Dakwaan, Eksepsi, Dan Putusan Peradilan , PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, , Hlm. 17

Todung Mulya Lubis, 2010, In Search of Human Rights; Legal-Political Dilemmas


of Indonesia’s New Order1996-1990 Edisi ke 5, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, hlm. 1

ARTIKEL DI INTERNET :

Meliana, Yang, 2021. “Kajian Yuridis Tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia
Dalam Kehidupan Bernegara Di Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,” Justici, Vol 13 No.1.

Kusniati, R, 2011. “Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya
dengan Konsepsi Negara Hukum”,Jurnal Ilmu Hukum, Vol 4 No.5

Siti Filza Atika, 2012. “Penegakan Hukum di Indonesia”,

DASAR HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN

1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana


2) Undang-Undang No. 21 Tahun 3007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidan
Perdagangan Orang
3) Undang-Undsang No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana

PERATURAN PENDUKUNG
Pasal 3 Protocol to Prevent, Suppress, And Punish Trafficking In Persons, Especially
Women And Children, Supplementing The United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime (Protokol Untuk Mencegah,
Menindak, Dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan
Anak-Anak, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi).

Anda mungkin juga menyukai