NIM : 1704551133
Kelas : C
Identifikasi Masalah.
Landasan Teori.
1. Perdagangan Manusia (Human Trafficking)
Human trafficking merupakan sebuah bentuk perdagangan manusia
modern. Tidak hanya merampas hak asasi manusia sebagai korban, tetapi
juga membuat masyarakat rentan terhadap penganiayaan atau siksaan
fisik dan kerja paksa. Hal tersebut dapat menyebabkan trauma psikis,
bahkan cacat dan kematian. Isu human trafficking (perdagangan manusia)
sudah menjadi perhatian berbagai pihak dari kancah internasional maupun
dalam negeri. Modus kejahatan ini merupakan tindak kejahatan yang
menjadikan manusia sebagai komoditas perdagangan dan merupakan
pelanggaran hak asasi manusia.
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM). Sedangkan yang
dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah:
“ Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang
secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil
dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku” (Pasal 1 ayat
6 No.39 Tahun 1999 Tentang HAM).
1
Diratifikasi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to
Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing The United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol Untuk Mencegah, Menindak, dan
Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
utang, pengantin pesanan melalui e-mail (mail order bride) dan
perdagangan organ tubuh manusia.2
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Bab I,
Ketentuan Umum, Pasal 1
berbunyi, dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
a. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang
dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
b. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak,
mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari
keluarga atau komunitasnya.
c. Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan
seseorang dari satu tempat ke tempat lain.
2
Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, 2011, Perdagangan Orang: Dimensi, Instrumen Internasional dan
Pengaturannya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.24
Secara etimologis, yurisdiksi dalam Bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Inggris yaitu jurisdiction. Jurisdiction sendiri berasal dari bahasa
Latin “Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti
kepunyaan menurut hukum, dan dictio yang berarti ucapan. Sehingga jika
didefinisikan secara singkat, maka inti dari yurisdiksi adalah ucapan yang
memiliki dasar hukum. Memiliki dasar hukum dapat diartikan sebagai
kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua)
pengertian, yaitu :
a. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;
b. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah
atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum
Dalam Hukum Internasional Negara-negara diakui memiliki hak
kekuasaan, ataupun kewenangan untuk membuat, memberlakukan,
melaksanakan, dan atau memaksakan hukum atau peraturan perundang-
undangan nasionalnya atas objek-objek hukum, baik yang berupa orang
atau badan hukum, benda-benda bergerak ataupun tidak bergerak, serta
peristiwa-peristiwa hukum yang ada atau terjadi baik di dalam maupun di
luar batas-batas wilayahnya. Inilah yang dalam Hukum Internasional
disebut dengan yurisdiksi Negara berdasarkan Hukum
3 4
Internasional. Beberapa macam yurisdiksi Negara, yaitu:
1. Yurisdiksi Legislatif, adalah yurisdiksi suatu Negara untuk membuat
peraturan perundang-undangan nasional untuk mengatur suatu objek
hukum yang ada atau terjadi baik di dalam dan atau di luar batas-
batas wilayahnya.
2. Yurisdiksi eksekutif, yaitu yurisdiksi suatu Negara untuk
melaksanakan atau menerapkan hukum atau peraturan perundang-
undangan nasionalnya atas suatu objek hukum yang ada atau terjadi
baik di dalam dan atau di luar batas-batas wilayahnya.
3. Yurisdiksi yudikatif, yaitu yurisdiksi suatu Negara untuk mengadili
(memaksakan penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan
nasionalnya) terhadap pihak yang melakukan peristiwa hukum tersebut
yang merupakan pelanggaran atas hukum atau peraturan perundang-
undangan nasionalnya.
Salah satu dari peristiwa hukum yang tunduk pada ketiga macam
yurisdiksi Negara di atas adalah peristiwa kejahatan. Jika terjadi suatu
peristiwa kejahatan di dalam atau di luar wilayah suatu Negara, sepanjang
ada kepentingan dari Negara tersebut atau warga Negara ataupun badan-
badan hukum nasionalnya yang harus dilindungi oleh Negara yang
3
I Wayan Parthiana, 2006, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, h.101
4
Ibid.h.102
bersangkutan, maka Negara tersebut dapat memiliki
5
yurisdiksinya. Yurisdiksi ini disebut dengan yurisdiksi kriminal.Yurisdiksi
kriminal dapat dibedakan dalam beberapa macam, yaitu:6
1. Yurisdiksi kriminal berdasarkan tempat terjadinya kejahatan, dibedakan
atas:
a. Yurisdiksi kriminalberdasarkan prinsip territorial.
b. Yurisdiksi criminal berdasarkan prinsip ekstrateritorial.
2. Yurisdiksi kriminal berdasarkan kewarganegaraan dari orang atau
subjek hukum yang melakukan kejahatan, dibedakan atas:
a. Yurisdiksi criminal berdasarkan prinsip kewarganegaraan aktif.
b. Yurisdiksi criminal berdasarkan prinsip kewarganegaraan pasif.
3. yurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip perlindungan, yaitu yurisdiksi
kriminal berdasarkan kepentingan Negara yang harus dilindungi dari
peristiwa kejahatan disebut.
4. Yurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip universal, yaitu yurisdiksi
kriminal Negara berdasarkan atas macam peristiwa pidana dan korban
yang ditimbulkannya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan universal.
Berlakunya hukum pidana nasional suatu Negara berdasarkan
prinsip universal, artinya suatu Negara dapat memberlakukan hukum
atau peraturan perundang-undangan pidana nasionalnya terhadap suatu
kejahatan dalam kategori tertentu tanpa memandang siapapun pelakunya
ataupun korbannya atau dimanapun kejahatan itu dilakukan dengan
segala akibat yang ditimbulkannya. Kejahatan-kejahatan dalam kategori
ini adalah kejahatan yang tingkat kekejaman sangat serius dibuktikan
dengan korbannya adalah orang-orang yang tidak berdosa yang jumlahnya
sangat banyak, pelakunya tidak mengenal prikemanusiaan, bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan universal.
4. Teori Ekstradisi.
Menurut J.G Starke istilah ekstradisi menunjuk kepada proses di
mana berdasarkan traktat atau atas dasar resiprositas (kepantasan), suatu
negara menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya, atas
seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak
kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan
permintaan. Negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk
mengadili tertuduh pelaku tindak pidana tersebut. Pertimbangan-
pertimbangan rasional yang menentukan hukum dan praktik ekstradisi,
yaitu :
5
Ibid.h.103
6
Ibid, h.104
1. Kehendak bersama semua negara, untuk menjamin bahwa kejahatan
serius tidak akan dibiarkan tanpa penghukuman. Suatu negara yang di
wilayahnya berlindung seorang pelaku tindak pidana, seringkali tidak
dapat mengadili atau menghukumnya hanya karena kaidah teknis
hukum pidana atau karena tidak memiliki jurisdiksi. Untuk menutup
celah tersebut maka hukum internasional memberikan dalil “aut punire
aut dedere”, yaitu pelaku tindak pidana harus dihukum oleh negara
tempatnya mencari perlindungan atau diserahkan kepada negara yang
dapat dan menghendaki penghukuman terhadapnya.
2. Negara yang wilayahnya terjadi tindak pidana adalah yang paling
mampu mengadili pelaku tindak pidana itu, karena bukti-bukti yang
diperluas lebih banyak tersedia di sana, dan bahwa negara tersebut
mempunyai kepentingan paling besar untuk menghukum pelaku tindak
pidana, serta memiliki fasilitas-fasilitas yang paling banyak untuk
memastikan kebenaran. Maka yang paling benar dan paling tepat
adalah, kepada negara teritorial itulah pelaku tindak pidana yang
mencari perlindungan ke negara lain harus diserahkan.
Pasal 1 UU.NO 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi menentukan:
“DalamUndang-undang ini yang dimaksud dengan Ekstradisi adalah
penyerahan oleh suatunegara kepada negara yang meminta penyerahan
seseorang yang disangka atau dipidanakarena melakukan suatu
kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam
yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut,
karenaberwenang untuk mengadili dan memidananya”.
Ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian dan dalam hal
belum ada perjanjian ekstradisi, maka ekstradisi dapat dilakukan atas
dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara RepublikIndonesia
menghendakinya (Pasal 2 UU.NO.1 Tahun 1979). Daftar kejahatan yang
pelakunya dapat diekstradisikan:7
1. Pembunuhan.
2. Pembunuhan yang direncanakan.
7
Lampiran UU.NO.1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
5. Persetubuhandengan seorang wanita di luar perkawinan atau
perbuatan-perbuatan cabul denganseseorang padahal diketahui,
bahwa orang itu pingsan atau tak berdaya atauorang itu belum
berumur 15 tahun atau belum mampu dikawin.
11. Perbudakan.
17. Penipuan.
23. Penyelundupan.
Learning Goals.
1. Apakah perbuatan Mr.A yang mengirim 25 remaja perempuan ke
kawasan tambang uranium di Australia tersebut dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana perdagangan orang (human trafficking)?
2. Apakah Mr.A dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran berat
HAM?
3. Apakah pemerintah Belgia mempunyai yurisdiksi dalam melakukan
proses hukum terhadap Mr.A yang melakukan tindak pidana
(perdagangan orang) di Australia?
4. Apakah Pemerintah Australia, Indonesia dan Malaysia dapat meminta
kepada pemerintah Belgia agar proses hukum terhadap Mr. dilakukan di
Negara masing-masing
Pembahasan.
KESIMPULAN
Berdasarkan definisi dari Tindak Pidana Perdagangan Orang maka
perbuatan Mr.A yang melakukan perbuatan mengirim remaja perempuan ke
kewasan tambang Uranium untuk dipekerjakan secara illegal dapat
dikategorikan dia telah melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Perbuatan ini termasuk pelanggaran HAM sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 9 huruf c UU.NO.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
sebagaimana telah diuraikan di atas Mr.A telah melakukan pelanggaran
HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan berupa
perbudakan, dimana dijelaskan bahwa perbudakan yang dimaksud adalah
perbudakan modern perdagangan orang khususnya perempuan dan anak.
Pembenaran dari pemerintah Belgia dalam melakukan proses hukum terhadap
Mr A adalah Yurisdiksi Universal.Pengadilan nasional Belgia dapat mengadili
kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida tanpa
memandang siapa dan dimana kejahatan tersebut terjadi. Dan, tanpa harus
ada keterkaitan dengan Belgia baik secara teritorial (asas teritorial) maupun
individual (nasionalitas dan personalitas pasif). Berdasarkan teori ekstradisi
yang telah diuraikan di atas maka pemerintah Australia, Indonesia dan
Malaysia dapat meminta kepada pemerintah Belgia untuk mengekstradisi Mr.A
ke Negara peminta asalkan sudah mempunyai perjanjian ekstradisi dengan
pemerintah Belgia. Sedangkan International Criminal Court (ICC) yang
sebenarnya memiliki kewenangan untuk mengadili kasus ini, memiliki statuta
ICC mendahulukan otoritas hukum nasional (legal remedies) untuk terlebih
dahulu mengadili pelaku kejahatan HAM berat berat. Sehingga, ketika hukum
nasional tidak dapat menyelesaikan perkara atau kasus pelanggaran HAM
Berat, pengadilan nasional akan melimpahkan kasus tersebut ke ICC.
Daftar Pustaka