Oleh:
E1B018005
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
A. Background
Di era globalisasi banyak kejahatan – kejahatan yang dilakukan secara bersama –
sama atau terorganisir salah satunya yaitu tindak pidana perdagangan orang. Tindak
pidana perdagangan orang merupakan delik formil dimana hanya cukup terpenuhinya
unsur – unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat.
Tindak pidana perdagangan orang merupakan isu yang perlu di perhatikan di Indonesia
dimana tindak pidana perdagangan orang merupakan suatu perbuatan yang dapat
melanggar HAM yang dapat merampas kebebasan, keadilan dan kedamaian.
1
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, “Hukum Berat Pelaku
Tindak Pidana Perdagangan Orang” (http://uc.xyz/10oTak?pub=link, accessed on September, 20, 2021)
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia masih belum berjalan
maksimal.
Dampak dari tindak pidana perdagangan orang bagi korban dapat mempengaruhi
kehidupan para korban baik secara fisik maupun secara psikis. Secara fisik, korban bisa
terjangkit penyakit menular seperti HIV/ AIDS karena hubungan seksual. Secara psikis,
korban bisa stress dan depresi akibat dari apa yang mereka alami. Kondisi seperti ini
dapat meresahkan masyarakat, sehingga perlu adanya tindakan yang serius dari
pemerintah. Namun dalam pelaksanaannya pemerintah mengalami kesulitan dikarenakan
tindak pidana perdagangan orang dilakukan secara teroganisir dan rapi sehingga perlu
adanya trobosan baru untuk melakukan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Oleh karena itu, Pemerintah Negara Republik Indonesia menerapkan justice
collaborator yang dipercaya dapat memerangi tindak pidana perdagangan orang di
Indonesia.
Dengan diterapkannya justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama
dengan pihak penegak hukum memberikan kemudahan bagi penegak hukum dalam
mengungkap tindak pidana perdagangan orang. Namun saksi pelaku yang akan bekerja
sama dengan penegak hukum menjadikan justice collaborator dalam kondisi bahaya
karena telah mengungkap kejahatan yang dilakukan oleh dirinya dan komplotannya. Oleh
karena itu, perlunya perlindungan hukum bagi justice collaborator agar seseorang yang
ingin menjadi justice collaborator merasa aman. Namun, perlindungan hukum untuk
justice collaborator di Indonesia masih sangat minim dan terpecah ke dalam beberapa
peraturan hukum.
Dilihat dari peraturan di Belanda yaitu KUHP Belanda yang sudah mengatur
justice colaborator ke dalam satu payung hukum dapat dikatakan bahwa Indonesia masih
sangat tertinggal akan perlindungan terhadap justice collaborator. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk membahas skripsi mengenai Perbandingan Penerapan Justice
Collaborator di Indonesia Dengan di Belanda Dalam Mengungkap Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
B. Problems Formulation
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan dalam
penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan justice collaborator di Indonesia dalam mengungkap tindak
pidana perdagangan orang ?
2. Bagaimana penerapan justice collaborator di Belanda dalam mengungkapkan tindak
pidana perdagangan orang?
C. Theoretical Framework
Based on definition of Human Trafficking from Undang – undang Nomor 21
Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap
tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur – unsur tindak pidana yang
ditentukan dalam Undang – undang ini. Penjelasan lebih lanjut, terdapat dalam Pasal 2
ayat (1) UUPTPPO yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perekrutan,
pengangkutan,penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara
Republik Indonesia, di pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana paling sedikit
Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Menurut ahli hukum, Rebecca Surtees dan Martha Wijaya tindak pidana
perdagangan orang adalah “sindikat kriminal”, yaitu sekelompok orang yang dibentuk
untuk melakukan aktivitas kriminal. Dapat di lihat bahwa syarat untuk dapat dikatakan
sebagai sindikat kriminal harus dilakukan lebih dari satu orang atau berkelompok dalam
pelaksanaan tindak pidana perdagangan orang.2 Dapat diambil kesimpulan bahwa
aktivitas sindikat ini dilakukan secara terorganisir sebagai suatu kejahatan yang dilakukan
secara berkelompok dimana memiliki kesetiaan terhadap kelompoknya dalam
melaksanakan kejahatan tersebut. Menurut O.P. Dunbar menyatakan bahwa perdagangan
orang dalam arti sempit yaitu berkaitan dengan perdagangan perempuan tidak hanya
dibatasi pada pelacuran paksa3.
Menurut Aliansi Global Anti Perdagangan Perempuan bahwa setiap usaha dan
tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman,
atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk
penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang
dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak,
2
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika)
3
Ibid, hal.21.
untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa
atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang
itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali. 4
6
Ibid,h.7
7
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Penerbit Djambantan, Jakarta, 1998.
3. Positief wettelijk stetsel yaitu sistem pembuktian berdasarkan alat bukti yang
telah ditentukan oleh undang – undang dalam memberikan keputusan terbukti
atau tidak terbukti dakwaan kepada terdakwa.
4. Negatief wettelijk stetsel yaitu sistem pembuktian berdasarkan alat bukti yang
telah ditentukan undang – undang dan keyakinan hakim dalam memberikan
keputusan terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa.
8
Pasal 184 ayat (1) KUHAP
9
Firman Widjaya,2012, Whistle Blowers dan Justice Collaborator dalam perspektif Hukum, (Jakarta:Penaku), hlm.
11-12.
Pengaturan justice collaborator tidak diatur di dalam KUHP namun di atur di luar
KUHP secara terpisah, yaitu :
3. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung RI,Kepala
Kepolisian Negara RI, Komisi Pemberantasan Korupsi RI, Ketua LPSK RI
Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th,2011, PER-045/A/JA/12/2011. 1 Tahun 2011,
KEPB-02/01-55/12/2011, 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelopor,
Saksi Pelopor dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.
Pasal 1 ayat (3) menyatakan:
“Saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu
aparat penegak hukum untuk mengungkapkan suatu tindak pidana atau akan
terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset – aset atau hasil suatu
tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat
penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.” 12
10
Pasal 26 UU RI Nomor 5 Tahun 2009
11
Pasal 10 ayat (2) UU RI Nomor 13 tahun 2006
12
Pasal 1 ayat (3) Peraturan Bersama Nomor 4 Tahun 2011
Tujuan di bentuknya peraturan ini yaitu untuk menyamakan pandangan hukum
antara para penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana terorganisir.
4. SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana
(Whistle) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam
Perkara Tindak Pidana Tertentu. Pengaturan mengenai justice collaborator ada di
dalam point 9 yaitu :
Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama
adalah sebagai berikut :
a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu
sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang
dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta
memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
b. Jaksa Penuntu Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti – bukti yang sangat
signifikan sehingga penyidik dan / atau penuntut umum dapat mengungkap
tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku – pelaku lainnya
yang memiliki peran lebih besar dan / atau mengembalikan aset – aset / hasil
suatu tindak pidana. 13
Meskipun justice collaborator sudah diatur di dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011
dan telah dijadikan pedoman bagi hakim di dalam memutus perkara di lingkungan
peradilan pidan Indonesia, tetapi SEMA tersebut tidak mengikat bagi jaksa maupun bagi
penyidik. Artinya hakim dalam memutus perkara dapat berpedoman dengan SEMA dan
dapat tidak berpedoman dengan SEMA.
16
European Commision, “Together Againts Trafficking in Human Beings”, An Official EU Website. (Accessed on
September, 21, 2021 di laman https://uc.xyz/10qr9W?pub=link)
Pengertian tindak pidana perdagangan orang di Belanda telah diatur dalam art.
273f of Dutch Criminal Code, yaitu :
“Het bewijs dat de verdachte het telastegelegde feit heeft begaan, kan door den
rechter slechts worden aangenomen, indien hij daarvan uit het oonderzoek op de
terechtzitting door den inhoud van wettige bewijsmiddelen de overtuiging heeft
bekomen.”
17
Dutch of Criminal Code Act of 3 March 1881, secion 273f
18
Maria Louise, “Bewijs in het strafrech”, Meld Artikel, 04 November 2010. (Accessed on September, 21, 2021 di
laman https://uc.xyz/10r75s?pub=link)
“Terbukti bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan
berdasarkan keyakinan hakim dari pemeriksaan di sidang pengadilan melalui isi
alat bukti yang sah.”
19
Amir Ilyas dan Jupri, Justice Collaborator Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2018), 42
2. Eksploitasi seksual yaitu ketika seseorang dipaksa untuk berhubungan seks
dengan imbalan uang, pakaian atau makanan yang harus diserahkan ke
pengeksploitasi
3. Eksploitasi pidana yaitu ketika seseorang dipaksa untuk memohon, mencuri
atau terlibat dalam kegiatan kriminal lainnya dan menyerahkan barang atau
uang kepada pengeksploitasi
4. Penghilangan organ paksa yaitu ketika organ seseorang dihilangkan dengan
paksa.20
Di dalam artikel 226 (1) G telah diatur mengenai syarat - syarat mekanisme
dilakukannya perjanjian saksi yaitu :
Di dalam Pasal 226 h telah diatur mengenai hak saksi pelaku untuk didampingi
penasehat hukum dalam melakukan perjanjian dengan Jaksa Penuntut Umum. Apabila
saksi pelaku belum memiliki penasehat hukum maka atas perintah hakim untuk diberikan
bantuan hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum. Dalam membuat Witness Agreement
20
Government of The Netherland, “Combating Human Trafficking” (https://uc.xyz/10vnRq?pub=link , Diakses pada
tanggal 22 September 2021, 16:54)
Jaksa Penuntut Umum dilarang untuk menambahkan catatan lain dari apa yang sudah
diperjanjikan antara Jaksa Penuntut Umum dengan saksi pelaku.
Di dalam Pasal 226 I telah diatur mengenai keputusan hakim yang harus memuat
pertimbangan hakim dalam memutus perkara, tanggal dan tanda tangan. Pasal ini juga
memuat mengenai upaya hukum yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum ke
pengadilan apabila keputusan hakim yang memeriksa perjanjian antara Jaksa Penuntut
Umum dengan saksi pelaku dianggap tidak ketentuan hukum. Pengajuan banding oleh
Jaksa Penuntut Umum dapat dilaksanakan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal
putusan.
Di dalam Pasal 226 J mengatur mengenai keabsahan dari perjanjian saksi yang
dibuat Jaksa Penuntut Umum dengan saksi pelaku oleh hakim pemeriksa dan pasal ini
juga mengatur mengenai perlindungan hukum bagi saksi pelaku yang bekerja sama
dengan aparat penegak hukum dalam memberikan kesaksian di dalam proses
penyelidikan dan persidangan agar identitas dari saksi pelaku di sembunyikan untuk
sementara waktu. Perlindungan ini dilaksanakan agar saksi pelaku merasa aman dan
terhindar dari bahaya dalam memberikan keterangan terkait keterlibatan pelaku lain
dalam tindak pidana terorganisir tersebut.
Di dalam Pasal 226 K telah mengatur mengenai pemberian reward atas kesaksian
yang diberikan oleh saksi pelaku dalam mengungkap tindak pidana terorganisir. Reward
akan di rekomendasikan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam persidangan. Reward
tersebut dapat berupa pengurangan hukuman hingga maksimal satu setengah. Untuk
syarat – syarat rekomendasi pemberian reward berupa pengurangan hukuman harus
sesuai dengan artikel 44a Wetboek van Strafrecht ( Criminal Code) yaitu dalam
pengurangan hukum, pengadilan harus mempertimbangkan fakta bahwa dengan
pentingnya memberikan kesaksian terhadap pelanggaran berat.
D. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk menganalisis dan mengetahui penerapan justice collaborator di Indonesia
dalam mengungkap tindak pidana terorganisir seperti tindak pidana perdagangan
orang
2. Untuk menganalisis dan mengetahui penerapan justice collaborator di Belanda dlam
mengungkap tindak pidana terorganisir seperti tindak pidana perdagangan orang
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
ilmiah mengenai pembeharuan hukum di Indonesia terutama mengenai perlindungan
terhadap justice collaborator yang menjadi saksi pelaku yang bekerjasama dengan
penegak hukum dalam mengungkap extra ordinary crime seperti tindak pidana
perdagangan orang
2. Kegunaan Praktis
21
Ibid, hal.44.
a. Hasil penelitian ini diharapakan dapat memebrikan sumbangan pemikiran bagi
pemerintah agar dapat membuat kebijakan dalam satu perundang – undangan
mengenai justice collaborator di Indonesia.
b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan bacaan yang berguna bagi
masyarakat mengenai perbandingan penerapan justice collaborator di Indonesia
dengan di Belanda.
F. Metode Penelitian
1. Metode pendekatan
Metode yang di pakai oleh penulis adalah metode penelitian yuridis normatif atau
penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder berupa surat – surat pribadi,
buku – buku, dan dokumen – dokumen resmi yang dikeluarkann oleh pemerintah 22.
Secara lebih jelas, penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum baik
menggunakan konsepsi legis positivis berupa peraturan perundang – undangan,
KUHP Indonesia, KUHAP Indonesia, Wetboek Van Strafvordering of Dutch,
Wetboek van Strafrecht of Dutch maupun metode kepustakaan dengan menelaah
literatur – literatur yang berkaitan dengan penelitian ini yang lebih mengutamakan
norma hukum daripada norma lain.
2. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan oleh penulis adalah desktripstif- normatif
yaitu dengan menelaah peraturan – peraturan yang berlaku dikaitkan dengan teori –
teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif. Secara rinci meneliti fakta -
fakta hukum secara menyeluruh dengan mengkaji secara sistematis dan melakukan
perbandingan pengaturan di dalam perundang – undangan, KUHP Indonesia,
KUHAP Indonesia, Wetboek Van Strafvondering of Dutch, Wetboek Van Straffrecht
mengenai penerapan justice collaborator dalam perkara extra ordinary crime
khususnya tindka pidana perdagangan orang.
22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cetakan
kedelapan, Jakarta. Sinar Grafika, hal. 24.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Jenderal
Seedirman Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
23
Ibid, hal. 39.
Penelitian ini menggunakan penyajian data dalam bentuk tulisan yang diperoleh
dari data sekunder dan disusun secara sistematis dengan memberikan gambaran
umum berupa informasi terhadap hasil penelitian mengenai perbandingan penerapan
justice collaborator di Indonesia dengan di Belanda terkait tindak pidana perdagangan
orang
7. Penggolahan Data
Proses pengolahan data dengan melakukan editing yaitu memeriksa data dan
meneliti data yang telah diperiksa agar tidak terjadi kekeliruan dan melengkapi data
yang belum lengkap.
F. Daftar Pustaka