Anda di halaman 1dari 21

OUTLINE OF THESIS

COMPARASION OF THE JUSTICE COLLABORATION IMPLEMENTATION IN


INDONESIA AND NETHERLANDS IN DISCLOSING CRIMINAL ACT OF HUMAN
TRAFFICKING

Diajukan untuk Prasyarat Skripsi Pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Oleh:

Diah Mega Utami

E1B018005

KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO
A. Background
Di era globalisasi banyak kejahatan – kejahatan yang dilakukan secara bersama –
sama atau terorganisir salah satunya yaitu tindak pidana perdagangan orang. Tindak
pidana perdagangan orang merupakan delik formil dimana hanya cukup terpenuhinya
unsur – unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat.
Tindak pidana perdagangan orang merupakan isu yang perlu di perhatikan di Indonesia
dimana tindak pidana perdagangan orang merupakan suatu perbuatan yang dapat
melanggar HAM yang dapat merampas kebebasan, keadilan dan kedamaian.

Berdasarkan Undang – undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu :
“Tindakan perekrutan, pengangkatan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”

Tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana yang sangat


bertentangan dengan martabat kemanusiaan. Kejahatan ini dilakukan dengan terorganisir
dengan baik dan dilakukan secara nasional, regional, maupun internasional. Oleh karena
itu, tindak pidana perdagangan orang termasuk dalam extra ordinary crime dimana dalam
pencegahan dan pemberantasannya dilakukan secara luar biasa. Di Indonesia, kasus
tindak pidana perdagangan orang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kejahatan ini
biasanya dilakukan dengan modus pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri
melalui calo secara illegal. Setiap tahun terdapat 450.000 masyarakat Indonesia yang
diberangkatkan ke luar negeri dan dari jumlah tersebut 46 % terdeteksi kuat menjadi
korban tindak pidana perdagangan orang. 1
Dapat disimpukan bahwa upaya

1
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, “Hukum Berat Pelaku
Tindak Pidana Perdagangan Orang” (http://uc.xyz/10oTak?pub=link, accessed on September, 20, 2021)
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia masih belum berjalan
maksimal.

Dampak dari tindak pidana perdagangan orang bagi korban dapat mempengaruhi
kehidupan para korban baik secara fisik maupun secara psikis. Secara fisik, korban bisa
terjangkit penyakit menular seperti HIV/ AIDS karena hubungan seksual. Secara psikis,
korban bisa stress dan depresi akibat dari apa yang mereka alami. Kondisi seperti ini
dapat meresahkan masyarakat, sehingga perlu adanya tindakan yang serius dari
pemerintah. Namun dalam pelaksanaannya pemerintah mengalami kesulitan dikarenakan
tindak pidana perdagangan orang dilakukan secara teroganisir dan rapi sehingga perlu
adanya trobosan baru untuk melakukan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Oleh karena itu, Pemerintah Negara Republik Indonesia menerapkan justice
collaborator yang dipercaya dapat memerangi tindak pidana perdagangan orang di
Indonesia.

Dengan diterapkannya justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama
dengan pihak penegak hukum memberikan kemudahan bagi penegak hukum dalam
mengungkap tindak pidana perdagangan orang. Namun saksi pelaku yang akan bekerja
sama dengan penegak hukum menjadikan justice collaborator dalam kondisi bahaya
karena telah mengungkap kejahatan yang dilakukan oleh dirinya dan komplotannya. Oleh
karena itu, perlunya perlindungan hukum bagi justice collaborator agar seseorang yang
ingin menjadi justice collaborator merasa aman. Namun, perlindungan hukum untuk
justice collaborator di Indonesia masih sangat minim dan terpecah ke dalam beberapa
peraturan hukum.

Peraturan hukum di Indonesia mengenai justice collaborator ada di dalam


Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana
dan Saksi Pelaku yang bekerja sama dalam perkara tindak pidana tertentu. Dengan
terpecahnya pengaturan mengenai justice collaborator dan belum terdapat pengaturan
yang tegas mengenai mekanisme dan prinsip – prinsip pelaksanaan justice collaborator
maka masih perlu adanya payung hukum yang mengatur justice collaborator itu sendiri.
Hal ini diharapkan agar tidak terjadi disparitas hukum dalam pelaksanaan perlindungan
hukum dan kepastian hukum justice collaborator. Dampak dari disparitas hukum ini
menjadikan para penegak hukum terutama hakim dalam memutus suatu perkara akan
berbeda satu sama lain karena tidak adanya aturan yang jelas mengenai justice
collaborator, bahkan dampak lainnya yaitu tidak diberikannya reward pada justice
collaborator di Indonesia sehingga ini akan menimbulkan menurunya tingkat
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia.

Sedangkan di negara Belanda telah memiliki peraturan yang mengatur mengenai


justice collaborator yang dikenal sebagai Witness Agreements yang diatur didalam
Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana Belanda (Dutch Criminal Code of
Prosedure) dan Directive Pledges to Witnesses in Criminal Case yang mengatur
mengenai pelaksanaan witness agreements agar mencegah perbuatan yang menyalahi
aturan antara jaksa dengan saksi pelaku.

Dilihat dari peraturan di Belanda yaitu KUHP Belanda yang sudah mengatur
justice colaborator ke dalam satu payung hukum dapat dikatakan bahwa Indonesia masih
sangat tertinggal akan perlindungan terhadap justice collaborator. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk membahas skripsi mengenai Perbandingan Penerapan Justice
Collaborator di Indonesia Dengan di Belanda Dalam Mengungkap Tindak Pidana
Perdagangan Orang.

B. Problems Formulation
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan dalam
penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan justice collaborator di Indonesia dalam mengungkap tindak
pidana perdagangan orang ?
2. Bagaimana penerapan justice collaborator di Belanda dalam mengungkapkan tindak
pidana perdagangan orang?

C. Theoretical Framework
Based on definition of Human Trafficking from Undang – undang Nomor 21
Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap
tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur – unsur tindak pidana yang
ditentukan dalam Undang – undang ini. Penjelasan lebih lanjut, terdapat dalam Pasal 2
ayat (1) UUPTPPO yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perekrutan,
pengangkutan,penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara
Republik Indonesia, di pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana paling sedikit
Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Menurut ahli hukum, Rebecca Surtees dan Martha Wijaya tindak pidana
perdagangan orang adalah “sindikat kriminal”, yaitu sekelompok orang yang dibentuk
untuk melakukan aktivitas kriminal. Dapat di lihat bahwa syarat untuk dapat dikatakan
sebagai sindikat kriminal harus dilakukan lebih dari satu orang atau berkelompok dalam
pelaksanaan tindak pidana perdagangan orang.2 Dapat diambil kesimpulan bahwa
aktivitas sindikat ini dilakukan secara terorganisir sebagai suatu kejahatan yang dilakukan
secara berkelompok dimana memiliki kesetiaan terhadap kelompoknya dalam
melaksanakan kejahatan tersebut. Menurut O.P. Dunbar menyatakan bahwa perdagangan
orang dalam arti sempit yaitu berkaitan dengan perdagangan perempuan tidak hanya
dibatasi pada pelacuran paksa3.

Menurut Aliansi Global Anti Perdagangan Perempuan bahwa setiap usaha dan
tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman,
atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk
penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang
dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak,
2
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika)
3
Ibid, hal.21.
untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa
atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang
itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali. 4

Berdasarkan pengertian diatas, telah membuktikan bahwa tindak pidana


perdagangan orang termasuk dalam extra ordinary crime maka dalam penegakan hukum
di Indonesia di perlukan sistem pembuktian yang lebih khusus dalam mengungkap extra
ordinary crime khususnya tindak pidana perdagangan orang. Berdasarkan pendapat
Sudikno Mertokusumo, pembuktian mempunyai beberapa pengertian, yaitu arti logis,
konvensional, dan yuridis. Pertama, pembuktian dalam arti logis ialah memberikan
kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti lawan. Kedua, pembuktian dalam arti konvensional adalah
memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif. 5
Dalam perspektif hukum acara
pidana, pembuktian yaitu ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha
mencari dan mempertahankan kebenaran, baik dari hakim, penuntut umum, terdakwa
maupun penasihat hukum, semuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, serta
penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang – undang. 6

Di dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang diperlukan 4


(empat) macam sistem pembuktian yaitu:7
1. Conviction in time yaitu sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan
hakim an sich dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak
terbuktinya kesalahan yang telah didakwakan kepada terdakwa.
2. Conviction in raisonee yaitu sistem pembuktian yang berpedoman pada
keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak
terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, namun keyakinan
hakim di dalam pembuktian harus berdasarkan alasan – alasan yang logis.
4
Ibid, hal.22.
5
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), 6.

6
Ibid,h.7

7
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Penerbit Djambantan, Jakarta, 1998.
3. Positief wettelijk stetsel yaitu sistem pembuktian berdasarkan alat bukti yang
telah ditentukan oleh undang – undang dalam memberikan keputusan terbukti
atau tidak terbukti dakwaan kepada terdakwa.
4. Negatief wettelijk stetsel yaitu sistem pembuktian berdasarkan alat bukti yang
telah ditentukan undang – undang dan keyakinan hakim dalam memberikan
keputusan terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa.

Di dalam hukum acara pidana Indonesia menganut sistem pembuktian negatif


wattenlijk stetsel dimana hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan alat bukti yang sah
dan keyakinan hakim. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah yaitu
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. 8
Dalam
membongkar dan mengungkap tindak pidana perdagangan orang dapat melalui trobosan
hukum dengan menggunakan justice collaborator sebagai saksi pelaku yang bekerja sama
dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap tindakan kejahatan yang dilakukan oleh
kelompoknya.

Istilah Justice Collaborator di Indonesia dengan di berbagai negara berbeda. Di


Indonesia dikenal dengan istilah “saksi mahkota” atau crown witness, adalah salah satu
pelaku yang dijadikan saksi kunci untuk mengungkap pelaku – pelaku lain yang terlibat
dalam tindak pidana dengan imbalan pengurangan hukuman. Di Belanda, Prancis, dan Italia
dikenal dengan konsep Protection of Cooperatig Person, sedangkan di negara Anglo Saxon
dan Commonwhealth seperrti Amerika di kenal dengan Whistleblowers. Terdapat perbedaan
antara Protection of Cooperating Person dengan Whistleblowes. Protection of Cooperating
Person sebagai si pengungkap fakta dan tetap dapat dipidana namun diberikan keringanan,
sedangkan Wistleblowers sama seklai tidak dipidana karena ia sebagai pengungkap saja dan
tidak terlibat dalma perkara tindak pidana tersebut. Konsep Protection of Cooperating
Person dapat disebut juga sebagai saksi yang bekerjasama dengan penegak hukum (Justice
Collaborator) dalam mengungkap perkaar extra ordinary crime. 9

8
Pasal 184 ayat (1) KUHAP
9
Firman Widjaya,2012, Whistle Blowers dan Justice Collaborator dalam perspektif Hukum, (Jakarta:Penaku), hlm.
11-12.
Pengaturan justice collaborator tidak diatur di dalam KUHP namun di atur di luar
KUHP secara terpisah, yaitu :

1. UNCATOC (United Nations Convention Agains Transnational Organized Crime)


UNCATOC di kenal dengan UU RI Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Konvensi PBB
Anti Kejahatan Transnasional, Pasal 26 menyatakan:
“Setiap Negara Pihak diwajibkan untuk memberi pengurangan hukuman dan
kekebalan atas tuntutan terhadap seseorang yang memberikan kerjasama yang
berarti dalam penyelidikan atas tindak pidana yang diatur dalam konvensi PBB
Anti Kejahatan Transnasional”10
2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 10 ayat (2) menyatakan :
“Seseorang saksi juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan
dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringankan pidana yang akan dijatuhkan.”
11

3. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung RI,Kepala
Kepolisian Negara RI, Komisi Pemberantasan Korupsi RI, Ketua LPSK RI
Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th,2011, PER-045/A/JA/12/2011. 1 Tahun 2011,
KEPB-02/01-55/12/2011, 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelopor,
Saksi Pelopor dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.
Pasal 1 ayat (3) menyatakan:
“Saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu
aparat penegak hukum untuk mengungkapkan suatu tindak pidana atau akan
terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset – aset atau hasil suatu
tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat
penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.” 12

10
Pasal 26 UU RI Nomor 5 Tahun 2009
11
Pasal 10 ayat (2) UU RI Nomor 13 tahun 2006

12
Pasal 1 ayat (3) Peraturan Bersama Nomor 4 Tahun 2011
Tujuan di bentuknya peraturan ini yaitu untuk menyamakan pandangan hukum
antara para penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana terorganisir.

4. SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana
(Whistle) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam
Perkara Tindak Pidana Tertentu. Pengaturan mengenai justice collaborator ada di
dalam point 9 yaitu :
Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama
adalah sebagai berikut :
a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu
sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang
dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta
memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
b. Jaksa Penuntu Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti – bukti yang sangat
signifikan sehingga penyidik dan / atau penuntut umum dapat mengungkap
tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku – pelaku lainnya
yang memiliki peran lebih besar dan / atau mengembalikan aset – aset / hasil
suatu tindak pidana. 13

Meskipun justice collaborator sudah diatur di dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011
dan telah dijadikan pedoman bagi hakim di dalam memutus perkara di lingkungan
peradilan pidan Indonesia, tetapi SEMA tersebut tidak mengikat bagi jaksa maupun bagi
penyidik. Artinya hakim dalam memutus perkara dapat berpedoman dengan SEMA dan
dapat tidak berpedoman dengan SEMA.

Seseorang yang bersedia menjadi justice collaborator akan terancam


keselamatannya baik dirinya maupun keluarganya. Oleh karena itu, pelaku enggan
bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar tindak pidana
yang dilakukan oleh kelompoknya. Maka untuk menjamin keselamatan saksi pelaku
maka pemerintah harus memberikan perlindungan hukum kepada saksi pelaku agar
13
Point 9 SEMA Nomor 4 Tahun 2011
bersedia mengungkap pelaku – pelaku lain. Perlindungan hukum terhadap Whistle
Blower dan Justice Collaborator ada di dalam Pasal 10 A UU No. 31 Tahun 2014, yakni:

1. Perlindungan fisik dan psikis


2. Perlindungan hukum
3. Penanganan secara khusus
4. Memperoleh penghargaan 14

Menurut Abdul Haris Samendawao mengemukakan prosedur pemberian hak –


hak Justice Collaborator yaitu:15
1. Prosedur pemberian perlindungan fisik dan psikis;
a. Proses pemberian difasilitasi oleh LPSK atas inisiatif justice collaborator
ataupun atas perintah Jaksa Penuntut Umum;
b. Tersangka atau terdakwa tidak dapat mengajukan perlindungan kepada
LPSK jika belum ditetapkan statsunya sebagai justice collaborator;
c. LPSK memeriksa keabsahan permohonan tersebut kemudian LPSK wajib
sendiri atau dengan pihak lain memberikan dukungan baik fisik ataupun
psikis kepada justice collaborator.
2. Mekanisme pemberian perlakuan khusus
Pemisahan ruang tahanan dengan pelaku lain yang kasusnya dia ungkap.
Dalma hal ini LPSK berkerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM;
3. Mekanisme pemberian penghargaan
a. Proses pemberian reward dalma bentuk kontrak oleh saksi pelaku dna
Jaksa Penuntut Umum
b. Permohonan dapat diajukan oleh inisiarif justice collaborator maupun
penegak hukum yang menangani kasus tersebut
c. Permohonan dapat diajukan langsung kepada Jaksa Agung dan LPSK
dapat memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung mengenai
permohonan tersebut
14
Muhammad, Rusli.2015.Pengaturan dan Urgensi Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Sistem
Peradilan Pidana. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 22 (2): 203-222
15
Abdul Haris Semendawai, 2013, “Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi, Catatan tentang Urgensi
dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya pada Proses Peradilan Pidana,” Makalah disampaikan dalam Kegiatan
Stadium General Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 17 April 2013.
d. Khusus pemberian reward berupa remisi dan grasi diserahkan kepada
Menteri Hukum dan HAM serta Presiden.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum formil di


Indonesia khususnya Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum
mengatur mengenai pemberian reward dan perlindungan terhadap saksi pelaku (justice
collaboratror). Dengan tidak diaturnya di dalam satu payung hukum akan terjadi
disparitas hukum didalam penjatuhan putusan pidana bagi saksi pelaku (justice
collaborator).

Di Belanda , tindak pidana perdagangan orang merupakan masalah yang sangat


merugikan negara. Berdasarkan data dari tahun 2013-2017 menunjukan bahwa ada 958
korban perdagangan orang yang terdaftar di ComenSha. Sekitar 72% korban adalah
perempuan, 27% adalah laki – laki. Rata – rata, hampir setengah dari korban yang
terdaftar beumur dibawah 23 tahun. 16Menurut Dapartemen Luar Negeri Amerika Serikat,
Belanda merupakan tujuan dan sumber dari perdagangan orang, korban secara khusus
dipaksa melakukan pelacuran dan kerja paksa. Atas kondisi seperti ini, Pemerintah
Belanda menerbitkan rencana Aksi Nasional untuk sebuah pendekatan terpadu terhadap
perdagangan manusia “Together Against Human Trafficking”. Program ini berisi lima
tindakan, yaitu :
1. Pengembangan lebih lanjut dari pendekatan dasar untuk memerangi tindak
pidana perdagangan orang
2. Pengembangan lebih lanjut dari pendekatan untuk memerangi eksploitasi
tenaga kerja
3. Pencegahan korban dan pelaku
4. Memperkuat pendekatan kota untuk memerangi tindak pidana perdagangan
orang
5. Berbagai ilmu dan informasi.

16
European Commision, “Together Againts Trafficking in Human Beings”, An Official EU Website. (Accessed on
September, 21, 2021 di laman https://uc.xyz/10qr9W?pub=link)
Pengertian tindak pidana perdagangan orang di Belanda telah diatur dalam art.
273f of Dutch Criminal Code, yaitu :

1. Setiap orang yang:


(1) Dengan paksaan, tindakan kekerasan atau tindakan lain atau ancaman
kekerasan atu tindakan lain, dengan pemerasan, penipuan, penipuan atau
penyalahgunaan posisi otoritas yang timbul dari keadaan de facto, dengan
menyalahgunakan posisi rentan atau dengan memberi atau menerima
imbalan atau manfaat untuk mendapatkan persetujuan dari orang – orang
yang memiliki kendali atas orang lain tersebut merekrut, mengangkut,
memindahkan, menampung atau menerima orang lain dengan maksud
mengeksploitasi orang lain ini atau mengambil organnya;
(2) Merekrut, mengangkut, memindahkan, menampung atau menerima orang
lain dengan maksud mengeksploitasi orang lain atau mengambil organnya
sedangkan orang ini di bawah umur delapan belas tahun;
(3) Merekrut, memindahkan, atau menculik ornag lain dengan maksud
membujuk orang tersebut untuk berbuat pada dirinya bersedia untuk
melakukan tindakan seksual dengan atau pihak ketiga untuk mendapatkan
imbalan;
(4) Memaksa atau membujuk orang lain dengan salah satu cara yang
disebutkan dalam (1) untuk menjadikan dirinya sendiri bersedia untuk
melaksanakan pekerjaan atau pelayanan atau membuat tubuhnya bersedia
untuk atau di bawah keadaan yang di maksud dalam (1), mengambil
tindakan apapun atas pengetahuannya atau memiliki alasan yang masuk
akal untuk tersangka memimpin orang lain tersebut untuk menyediakan
dirinya untuk melaksanakan pekerjaan atau pelayanan atau membuat
dirinya bersedia.
(5) Mendorong orang lain untuk membuat dirinya bersedia melakukan
tindakan seksual dengan atau untuk pihak ketiga untuk mendapatkan
keuntungan atau menyediakan tubuhnya untuk mendapatkan keuntungan
atau mengambil tindakan apapun sehubungan dengan orang lain yang dia
kenal atau memiliki alasan yang masuk akal untuk dicurigai akan
menyebabkan orang lain untuk membuat dirinya bersedia untuk
melakukan tindakan atau pelayanan tersebut sedangkan orang ini berusia
dibawah delapan belas tahun.
(6) Dengan sengaja mengambil keuntungan dari eksploitasi orang lain;
(7) Dengan sengaja mengambil keuntungan dari pengambilan organ tubuh
orang lain sementara dia mengetahui atau memilikinya dengan alasan
yang masuk akal untuk mencurigai bahwa tubuhnya telah diambil di
bawah salah satu dari keadaan yang dirujuk dalam (1);
(8) Dengan sengaja mengambil keuntungan dari tindakan seksual orang lain
dengan atau untuk pihak ketiga sedangkan orang lain ini berada di bawah
usia delapan belas tahun;
(9) Memaksa atau membujuk orang lain dengan salah satu cara yang
disebutkan dalam (1) untuk memberinya hasil perbuatan seksualnya
dengan atau pihak ketiga atau pengambilan organ tubuhnya;
2. Eksploitasi paling sedikit mencakup eksploitasi orang lain dalam prostitusi,
bentuk – bentuk seksual lainnya, kerja atau layanan paksa atau wajib,
perbudakan atau praktik serupa dengan perbudakan.17

Based on defination of Maria Louis in Recht en wet, In Netherland kennen wij


een negatief-wettelijk bewijsstelsel (zie.art. 338 Sv). 18
Artinya di Belanda sistem
pembuktian pidana menggunakan sistem negatief-wettelijk bewijsstetsel. Terbukti di
dalam pasal 338 Sv menyatakan :

“Het bewijs dat de verdachte het telastegelegde feit heeft begaan, kan door den
rechter slechts worden aangenomen, indien hij daarvan uit het oonderzoek op de
terechtzitting door den inhoud van wettige bewijsmiddelen de overtuiging heeft
bekomen.”

17
Dutch of Criminal Code Act of 3 March 1881, secion 273f

18
Maria Louise, “Bewijs in het strafrech”, Meld Artikel, 04 November 2010. (Accessed on September, 21, 2021 di
laman https://uc.xyz/10r75s?pub=link)
“Terbukti bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan
berdasarkan keyakinan hakim dari pemeriksaan di sidang pengadilan melalui isi
alat bukti yang sah.”

Justice Collaborator diterapkan juga di Belanda dalam mengungkap tindak


pidana terorganisir seperti tindak pidana korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak
pidana perdagangan orang dan tindak pidana lain yang tidak mudah dalam
pengungkapannya. Di Belanda istilah Justice Collaborator di kenal dengan Witness
Agreement (Perjanjian Saksi) adalah perjanjian yang dibuat antara Jaksa Penuntut Umum
dengan saksi dalam memberikan kesaksian di dalam persidangan dengan imbalan
reward. 19
Awal mula muncul istilah Witness Agreement di Belanda yaitu pada abad –
19 Belanda mengalami kesulitan dalam melakukan perlawanan terhadap kejahatan
terorganisir dalam skala yang lebih besar seperti peredaran obat bius. Oleh karena itu,
berdasarkan asas oportunitas Jaksa Penuntu Umum di Belanda membuat sebuah
perjanjian saksi untuk bersaksi membongkar tindak pidana yang dilakakukan oleh
kelompoknya dan disetujui oleh Mahkamah Agung. Pada tahun 2006, Pemerintah
Belanda merasa bahwa perlu adanya aturan mengenai Witness Agreement sebagai salah
satu cara yang dipercaya dapat mengungkap takbir gelap tindak pidana terorganisir
tersebut. Oleh karena itu, dasar hukum perjanjian saksi ini sudah diatur di dalam Buku
Kedua, Judul III bagian 4B/4D (artikel 226 G – 226 L CCP).

Based on definition from Government of The Netherland, human trafficking


adalah merekrut, mengangkut atau menerima dan menampung manusia melalui
pengggunaan kekuatan, untuk tujuan mengeksploitasinya. Ada berbagai jenis
perdagangan manusia, yaitu:

1. Eksploitasi tenaga kerja yaitu ketika seorang pekerja dipaksa menyerahkan


seluruh atau sebagian dari pendapatan mereka dan/atau harus bekerja dalam
kondisi tidak manusiawi

19
Amir Ilyas dan Jupri, Justice Collaborator Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2018), 42
2. Eksploitasi seksual yaitu ketika seseorang dipaksa untuk berhubungan seks
dengan imbalan uang, pakaian atau makanan yang harus diserahkan ke
pengeksploitasi
3. Eksploitasi pidana yaitu ketika seseorang dipaksa untuk memohon, mencuri
atau terlibat dalam kegiatan kriminal lainnya dan menyerahkan barang atau
uang kepada pengeksploitasi
4. Penghilangan organ paksa yaitu ketika organ seseorang dihilangkan dengan
paksa.20

Di dalam artikel 226 (1) G telah diatur mengenai syarat - syarat mekanisme
dilakukannya perjanjian saksi yaitu :

1. Penuntut umum terlebih dahulu harus memmberitahukan kepada hakim


mengenai perjanjian yang dibuat bersama saksi pelaku di dalam peradilan
terhadap tindak pidana dalam konteks terorganisir dan merupakan
pelanggaran berat terhadap ketertiban hukum atau diancam dengan pidana
paling lama delapan tahun atau lebih
2. Perjanjian saksi dibuat secara tertulis yang berisi identitas saksi, tindak pidana
yang dituntut kepada saksi, dan pernyataan bahwa terdakwa bersedia menjadi
saksi dan bekerjasama dengan penegak hukum.
3. Perjanjian tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum di berikan kepada hakim untuk
dilakukan pemeriksaan mengenai keabsahannya.
4. Jika permohonan dari Jaksa Penuntut Umum di terima maka akan dibuat suatu
berita acara tentang perjanjian saksi tersebut dan lalu akan dilampirkan
kedalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Di dalam Pasal 226 h telah diatur mengenai hak saksi pelaku untuk didampingi
penasehat hukum dalam melakukan perjanjian dengan Jaksa Penuntut Umum. Apabila
saksi pelaku belum memiliki penasehat hukum maka atas perintah hakim untuk diberikan
bantuan hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum. Dalam membuat Witness Agreement
20
Government of The Netherland, “Combating Human Trafficking” (https://uc.xyz/10vnRq?pub=link , Diakses pada
tanggal 22 September 2021, 16:54)
Jaksa Penuntut Umum dilarang untuk menambahkan catatan lain dari apa yang sudah
diperjanjikan antara Jaksa Penuntut Umum dengan saksi pelaku.

Di dalam Pasal 226 I telah diatur mengenai keputusan hakim yang harus memuat
pertimbangan hakim dalam memutus perkara, tanggal dan tanda tangan. Pasal ini juga
memuat mengenai upaya hukum yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum ke
pengadilan apabila keputusan hakim yang memeriksa perjanjian antara Jaksa Penuntut
Umum dengan saksi pelaku dianggap tidak ketentuan hukum. Pengajuan banding oleh
Jaksa Penuntut Umum dapat dilaksanakan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal
putusan.

Di dalam Pasal 226 J mengatur mengenai keabsahan dari perjanjian saksi yang
dibuat Jaksa Penuntut Umum dengan saksi pelaku oleh hakim pemeriksa dan pasal ini
juga mengatur mengenai perlindungan hukum bagi saksi pelaku yang bekerja sama
dengan aparat penegak hukum dalam memberikan kesaksian di dalam proses
penyelidikan dan persidangan agar identitas dari saksi pelaku di sembunyikan untuk
sementara waktu. Perlindungan ini dilaksanakan agar saksi pelaku merasa aman dan
terhindar dari bahaya dalam memberikan keterangan terkait keterlibatan pelaku lain
dalam tindak pidana terorganisir tersebut.

Di dalam Pasal 226 K telah mengatur mengenai pemberian reward atas kesaksian
yang diberikan oleh saksi pelaku dalam mengungkap tindak pidana terorganisir. Reward
akan di rekomendasikan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam persidangan. Reward
tersebut dapat berupa pengurangan hukuman hingga maksimal satu setengah. Untuk
syarat – syarat rekomendasi pemberian reward berupa pengurangan hukuman harus
sesuai dengan artikel 44a Wetboek van Strafrecht ( Criminal Code) yaitu dalam
pengurangan hukum, pengadilan harus mempertimbangkan fakta bahwa dengan
pentingnya memberikan kesaksian terhadap pelanggaran berat.

Pasal 226 L mengatur mengenai pengambilan langkah – langkah khusus untuk


melindungi saksi pelaku oleh Kementerian Keamanan dan Keadilan Belanda
sebagaimana dimaksud dalam pasal 226 a, 226 g, 226k, dan 226 m sesuai dengan cara
yang ditentutkan oleh Keputusan Pemerintah. Hal ini berlaku secara mutatis mutandis
terhadap saksi yang bekerjasama dengan pihak berwenang yang melakukan penyidikan
dan penuntutan tindak pidana dalam kebutuhan mendesak yang timbul akibat dari kerja
sama tersebut.

Menurut J.H Crijns menyatakan bahwa dalam melaksankan perjanjian saksi


berupa pemberian reward kepada saksi pelaku, dilarang untuk memberikan keringanan
yang lebih dari 50% dari penjatuhan hukuman sebelumnya. Jika keringanan diberikan
lebih dari 50% dari penjatuhan hukuman maka dapat terjadi kebebasan total. 21
Bentuk –
bentuk reward lain yang ditawarkan oleh JPU yaitu berupa saksi pelaku dapat mengklaim
harta kekayaan yang diperoleh secara legal, pemindahan ke penjara lain yang lebih dekat
dengan keluarga saksi.

D. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk menganalisis dan mengetahui penerapan justice collaborator di Indonesia
dalam mengungkap tindak pidana terorganisir seperti tindak pidana perdagangan
orang
2. Untuk menganalisis dan mengetahui penerapan justice collaborator di Belanda dlam
mengungkap tindak pidana terorganisir seperti tindak pidana perdagangan orang

E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
ilmiah mengenai pembeharuan hukum di Indonesia terutama mengenai perlindungan
terhadap justice collaborator yang menjadi saksi pelaku yang bekerjasama dengan
penegak hukum dalam mengungkap extra ordinary crime seperti tindak pidana
perdagangan orang

2. Kegunaan Praktis

21
Ibid, hal.44.
a. Hasil penelitian ini diharapakan dapat memebrikan sumbangan pemikiran bagi
pemerintah agar dapat membuat kebijakan dalam satu perundang – undangan
mengenai justice collaborator di Indonesia.
b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan bacaan yang berguna bagi
masyarakat mengenai perbandingan penerapan justice collaborator di Indonesia
dengan di Belanda.

F. Metode Penelitian

1. Metode pendekatan
Metode yang di pakai oleh penulis adalah metode penelitian yuridis normatif atau
penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder berupa surat – surat pribadi,
buku – buku, dan dokumen – dokumen resmi yang dikeluarkann oleh pemerintah 22.
Secara lebih jelas, penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum baik
menggunakan konsepsi legis positivis berupa peraturan perundang – undangan,
KUHP Indonesia, KUHAP Indonesia, Wetboek Van Strafvordering of Dutch,
Wetboek van Strafrecht of Dutch maupun metode kepustakaan dengan menelaah
literatur – literatur yang berkaitan dengan penelitian ini yang lebih mengutamakan
norma hukum daripada norma lain.

2. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan oleh penulis adalah desktripstif- normatif
yaitu dengan menelaah peraturan – peraturan yang berlaku dikaitkan dengan teori –
teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif. Secara rinci meneliti fakta -
fakta hukum secara menyeluruh dengan mengkaji secara sistematis dan melakukan
perbandingan pengaturan di dalam perundang – undangan, KUHP Indonesia,
KUHAP Indonesia, Wetboek Van Strafvondering of Dutch, Wetboek Van Straffrecht
mengenai penerapan justice collaborator dalam perkara extra ordinary crime
khususnya tindka pidana perdagangan orang.
22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cetakan
kedelapan, Jakarta. Sinar Grafika, hal. 24.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Jenderal
Seedirman Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

4. Jenis dan Sumber Data


Penelitian ini dilakukan menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi
kepustakaan terhadap berbagai macam bahan bacaan berupa buku – buku literatur,
peraturan perundang – undangan baik di Indonesia maupun di Belanda, artikel –
artikel hukum dan bacaan – bacaan yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Metode Pengumpulan Data


Metode yang dipakai penulis dalam melakukan penelitian pengumpulan data yaitu
dengan menggunakan metode dokumenter yang di peroleh dari penelitian
kepustakaan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data
dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meiputi
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.23
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yakni:
1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
2) Kitab Undang – Undang Acara Pidana
3) Wetboek Van Strafvondering of Dutch
4) Wetboek Van Straffrecht of Dutch.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahna hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil – hasil penelitian dan karya
ilmiah dari kalangan hukum terkait dengan justice collaborator dan human
trafficking.

6. Metode Penyajian Data

23
Ibid, hal. 39.
Penelitian ini menggunakan penyajian data dalam bentuk tulisan yang diperoleh
dari data sekunder dan disusun secara sistematis dengan memberikan gambaran
umum berupa informasi terhadap hasil penelitian mengenai perbandingan penerapan
justice collaborator di Indonesia dengan di Belanda terkait tindak pidana perdagangan
orang

7. Penggolahan Data
Proses pengolahan data dengan melakukan editing yaitu memeriksa data dan
meneliti data yang telah diperiksa agar tidak terjadi kekeliruan dan melengkapi data
yang belum lengkap.

8. Metode Analisis Data


Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yaitu data yang diperoleh dan
dianalisis menggunakan metode normatif kualitatif dimana dianalisis menggunakan
teori – teori dan peraturan perundnag – undangan yang berlaku seperti KUHP
Indonesia, KUHAP Indonesia, Wetboek Van Strafvordering of Dutch, Wetboek van
Strafrecht of Dutch dikaitkan dengan permasalahan yang diteliti. Data – data hukum
yang telah dikumpulkan digunakan untuk menguraikan dan menjelaskan mengenai
pengungkapan perkara extra ordinary crime khususnya tindak pidana perdagangan
orang dengan menerapkan justice collaborator baik di dalam sistem peradilan pidana
di Indonesia maupun sistem peradilan pidana di Belanda.

F. Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai