Anda di halaman 1dari 4

UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP T.

A 2021/2022
NAMA : FAUZIAH MAHANI AZZAHRA
KELAS : G
NPM : 191000463
MATA KULIAH : VIKTIMOLOGI

SOAL
1. Jelaskan pengertian Viktimologi menurut I.S.Susanto?
2. Jelaskan bentuk-bentuk korban dalam viktimologi,dan berikan contohnya!
3. Para Korban khususnya korban kejahatan atau tindak pidana khusus (tindak pidana
perdagangan organ tubuh manusia), seharusnya diupayakan mendapatkan perlindungan hukum
atas hak haknya sebagai korban seperti yang dialami oleh mantan TKW Indonesia asal Jember
yang kehilangan 1(satu) ginjalnya,jelaskan:
4. Mengapa korban kejahatan perlu dilindungi menurut Muladi?
5. Sebutkan teori-teori dalam perlindungan korban kejahatan!
6. Sebutkan perbedaan hak-hak korban antara lain,yaitu restitusi, kompensasi, dan ganti
kerugian!
JAWABAN
1. Pengertian viktimologi menurut I.S. Susanto
Viktimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai hasil
perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial. Tujuannya adalah
untuk memberikan penjelasan mengenai peran yang sesungguhnya para korban dan hubungan
mereka dengan para korban serta memberikan keyakinan dan kesadaran bahwa setiap orang
mempunyai hak mengetahui bahaya yang dihadapi berkaitan dengan lingkungannya,
pekerjaannya, profesinya dan lain-lainnya. Pada saat berbicara tentang korban kejahatan cara
pandang kita tidak dilepaskan dari viktimologi. Melalui viktimologi dapat diketahui berbagai
aspek yang berkaitan dengan korban seperti : faktor penyebab munculnya kejahatan bagaimana
seseorang dapat menjadikorban upaya mengurangi terjadinya korban kejahatan hak dan
kewajiban korban kejahatan. Menurut I.S. Susanto korban dibagi dalam 2 (dua) pengertian, yaitu
dalam arti sempit dan dalam arti luas. Korban dalam arti sempit adalah korban kejahatan,
sedangkan dalam arti luas meliputi pula korban dalam berbagai bidang seperti korban
pencemaran, korban kesewenang-wenangan dan lain sebagainya.
2. Secara yuridis, pengertian korban dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana. Melihat rumusan tersebut, yang disebut korban adalah :
a. Setiap orang;
b. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau;
c. Kerugian ekonomi;
d. Akibat tindak pidana.
Menurut Arief Gosita yang dimaksud dengan korban adalah : Mereka yang menderita jasmaniah
dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita. Peraturan pemerintah Nomor 3
Tahun 2002 Tentang Kompensasi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Yang Berat, Pasal 1 angka (3) dan Pasal 1 angka (5) mendefinisikan korban sebagai
berikut: Orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik,
mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, penguruangan, atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
termasuk korban dan ahli warisnya Korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah
menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara
langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannyaa sebagai target (sasaran) kejahatan.
Menurut Mendelsohn, berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi lima macam,
yaitu:
a. Yang sama sekali tidak bersalah;
b. Yang jadi korban karena kelalaiannya;
c. Yang sama salahnya dengan pelaku;
d. Yang lebih bersalah dari pelaku;
e. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban diatas, dapat dilihat bahwa korban pada
dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat
dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/ penderitaan bagi diri/kelompoknya,
bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari
korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi
penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.

3. Perlindungan hukum yang diberikan oleh negara terhadap korban tindak pidana perdagangan
orang dalam perspektif Hak Asasi Manusia adalah perlindungan hukum berupa restitusi,
kompensasi dan rehabilitasi. Restitusi merupakan ganti rugi yang dibebankan oleh negara
melalui amar putusan pengadilan kepada terdakwa yang harus diberikan atau dibayarkan kepada
korban tindak pidana trafficking. Adapun bentuk perlindungan hukum berupa kompensasi yang
merupakan tanggung jawab negara terhadap korban sebagai kelompok masyarakat yang harus
dilindungi oleh pemerintah, dan merupakan tanggung jawab pemerintah apabila pelaku/terpidana
tidak mampu membayarkan restitusi kepada korban. Selain itu bahwa akibat dari tindak pidana
pedagangan orang tersebut, korban seringkali mengalami trauma yang berat sehingga perlu
memulihkan keadaan psikologis korban terhadap keadaan semula melalui rehabilitasi. Adapun
untuk implementasi pemberian restitusi, kompensasi maupun rehabilitasi terhadap korban tindak
pidana perdagangan orang sebagai bentuk perlindungan hukum, tidak dapat diterapkan oleh
karena belum adanya mekanisme atau indikator yang jelas tentang mekanisme pemberian
restitusi dan tata cara penghitungan yang dipakai sebagai alat ukur yang dijadikan penegak
hukum yaitu hakim dalam menjatuhkan sanksi restitusi yang harus diberikan kepada human
trafficking. Di samping itu, bahwa korban maupun penegak hukum kesulitan untuk
membuktikan ataupun merinci total kerugian yang dialami oleh korban, sehingga penegak
hukum khususnya hakim tidak dapat menentukan angka kerugian korban dalam pembuktian di
pengadilan.
4. Menurut Muladi, dalam rangka konsep pengaturan terhadap perlindungan korban tindak
pidana, hal pertama yang harus diperhatikan yakni esensi kerugian yang diderita korban. Esensi
kerugian tersebut tidak hanya bersifat material atau penderitaan fisik saja tetapi juga yang
bersifat psikologis. Hal ini dalam bentuk “trauma kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat
dan ketertiban umum”. Simptom dari sindrom tersebut dapat berupa kegelisahan, rasa curiga,
sinisme, depresi, kesepian dan perilaku penghindaran lainnya.
5. Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari
terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, maka dasar dari perlindungan korban kejahatan
dapat dilihat dari beberapa teori, di antaranya sebagai berikut.
a. Teori utilitas Teori ini menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang
terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang
memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak diterapkannya konsep
tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi juga bagi sistem penegakan hukum pidana
secara keseluruhan
b. Teori tanggung jawab Pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung
jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila seseorang
melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian (dalam arti
luas), orang tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada
alasan yang membebaskannya.
c. Teori ganti kerugian Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang
lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban
atau ahli warisnya.
Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas
hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana,
sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil,
maupun hukum pelaksanaan pidana.
6. Pengertian Resitusi; Kompensasi; Ganti Rugi; dan Bantuan Serta alasan diperlukan
a. Restitusi
ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.”
(Pasal 1 Angka 11 UU 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban). pembayaran ganti kerugian yang
dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas
kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya” (Pasal 1 angka 1
PP 43/2017).
b. Kompensasi ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.” (Pasal 1 Angka 4 PP
44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan
Korban).
c. Ganti Kerugian/ Ganti Rugi sejumlah uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang
harus dikembalikan kepada negara/daerah oleh seseorang atau badan yang telah melakukan
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Pasal 98 KUHAP).
• Mekanisme Pengajuan Restitusi, Kompensasi, Ganti Rugi dan Bantuan
a. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 8 PERMA No. 3 Tahun 2017
b. Penggabungan tuntutan ganti rugi dalam perkara pidana mengacu pada ketentuan dalam
KUHAP.
c. Korban pelanggaran HAM berat, korban terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan
seksual dan penganiayaan berat menggunakan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2018 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
d. Jika PBH anak, maka mekanisme pengajuan restitusi berdasarkan Peraturan Pemerintah No.43
Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.

Anda mungkin juga menyukai