Anda di halaman 1dari 13

KEBIJAKAN PERUMUSAN SISTEM PEMIDANAAN

YANG BERORIENTASI PADA KORBAN

Eko Soponyono
Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Jalan Prof. Soedarto, SH Tembalang Semarang
Email : eko.soponyono@gmail.com

Abstract

Policy of sentencing system in this study in a functional significance (Material Criminal Law, Formal Criminal
Law and Law of Punishment Execution). The main problems of this study are (a) How does the formulation
of the victim-oriented sentencing system policy in the current positive law? (b) How does the formulation of
victim-oriented sentencing system policy in the future positive law? Research carried out a normative legal
research and approaches used include the approach of legislation, conceptual approaches and
comparative approach. Formulation of policy oriented system on victims in the positive law currently only
exist on a small portion statutory provisions in Indonesia, while in most of it is still oriented of criminal act
offender. Although in its development, emerging concern for the victim, but has not awakened a policy of
criminalization of the integral sentencing system. The conclusion that can be put forward is that there is
concern for the victims in the current positive law, though not yet awakened a policy of criminalization of the
integral system. In the coming policy so the policy was also concerned with both the victims and the
offenders.

Key word : Sentencing System Formulation, Victim-oriented Policies

Abstrak

Kebijakan sistem pemidanaan dalam penelitian ini dalam makna fungsional (Hukum Pidana Materiil,
Hukum Pidana Formil dan Hukum Pelaksanaan Pidana). Permasalahan yang diteliti dan dianalisis meliputi
1. Bagaimana kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam hukum
positif saat ini?. 2. Bagaimana kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban
dalam hukum positif yang akan datang?. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif
dan pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan perundang-undangan (statute appproach),
pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam hukum positif saat ini
hanya ada pada sebagian kecil ketentuan perundang-undangan di Indonesia, sedangkan pada sebagian
besarnya masih berorientasi pada pelaku tindak pidana. Walaupun dalam perkembangannya, muncul
perhatian terhadap korban, namun belum terbangun suatu kebijakan sistem pemidanaan yang integral.
Kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah bahwa ada perhatian terhadap korban dalam hukum positif
saat ini, meskipun belum terbangun suatu kebijakan sistem pemidanaan yang integral. Dalam kebijakan
mendatang kebijakan demikian menunjukkan perhatiannya baik pada korban dan pelaku tindak pidana

Kata Kunci : Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan, Orientasi Korban

29
MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012

Pendahuluan "Prevention of crime of the treatment of offenders",


Hakikat tujuan pemidanaan dalam konteks Milan (Italia) tahun 1985 menganjurkan agar negara
Pancasila, yang pertama-tama harus dihayati adalah anggota senantiasa memperhatikan korban terhadap
pendekatan multi dimensional yang bersifat hal-hal berikut ini:
mendasar terhadap dampak tindak pidana. Dengan a. Access to justice and fair treatment (kesempatan
demikian tujuan pemidanaan adalah untuk untuk memperoleh keadilan dan perlakuan
memperbaiki kerusakan baik yang bersifat individual, secara adil);
maupun yang bersifat sosial (individual and social b. Pembayaran ganti rugi (restitution) oleh pelaku
damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. tidak pidana kepada korban, keluarganya atau
Dalam kerangka ini, maka tujuan pemidanaan harus orang lain yang kehidupannya tergantung pada
berorientasi pada pandangan yang integratif, yang korban. Ganti rugi ini sebaiknya dirumuskan
terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang dalam bentuk sanksi pidana dalam perundang-
harus dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan undangan yang berlaku;
manakah yang merupakan titik berat sifatnya c. Apabila terpidana tidak mampu, negara
kasuistis. Dalam tujuan pemidanaan pula tercakup diharapkan membayar santunan
tujuan memelihara solidaritas masyarakat. (compensation) finansial kepada korban,
Pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan keluarganya atau mereka yang menjadi
mempertahankan kesatuan masyarakat (to maintain tanggungan korban;
social cohasion intact)1. Hukum pidana tidak boleh d. Bantuan materiil, medis, psikologis dan sosial
hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja kepada korban, baik melalui negara,
(daad strafrecht) sebab dengan demikian hukum sukarelawan, masyarakat.
pidana menjadi tidak manusiawi dan mengutamakan e. Adanya perubahan perundang-undangan,
pembalasan. Sebaliknya hukum pidana juga tidak f. Korban dari penyalahgunaan kekuasaan,
benar apabila hanya memperhatikan si pelaku saja g. Korban dari pelanggaran terhadap standar-
(daderstrafrecht), sebab dengan demikian penerapan standar yang diakui secara internasional.
hukum pidana akan berkesan memanjakan penjahat Secara khusus kongres meminta perhatian
dan kurang memperhatikan kepentingan yang luas, terhadap korban kejahatan karena mereka
yaitu kepentingan masyarakat, kepentingan negara sudah menjadi korban eksploitasi, korban
dan kepentingan korban tindak pidana. perampasan hak dan tindakan-tindakan
Fungsi hukum pidana adalah untuk melindungi kekerasan, khususnya masalah seksual (sexual
sekaligus untuk menjaga keseimbangan pelbagai assault) dan tidak kekerasan dalam rumah
kepentingan (masyarakat, negara, pelaku tindak tangga (domestic violence).
pidana dan korban tindak pidana). Terjadi perluasan h. Korban sebagai akibat atau pengaruh dari suatu
optik perkembangan ilmu hukum pidana dan kebijakan di bidang tenaga kerja yang
kriminologi, yakni perhatiannya tidak hanya tertuju mengganggu lapangan pekerjaan atau
kepada kejahatan dan pembuatnya seperti dulu-dulu, menciptakan adanya pengangguran, dapat
akan tetapi juga kepada orang-orang selain pembuat dilihat sebagai "abuse of power" dalam arti
yaitu, korban, orang-orang yang menyaksikan, luas.
anggota masyarakat lainnya.
Perluasan optik ilmu hukum pidana sampai ke Metode Penelitian
masalah korban, menimbulkan berbagai pertanyaan Permasalahan dalam penelitian ini termasuk
mendasar yaitu: siapakah yang disebut korban, masalah sentral dari kebijakan penal, merupakan
bagaimana mengukur kerugian yang diderita korban, bagian dari kebijakan kriminal. Oleh karena itu
terutama kerugian yang bersifat immateriil, pendekatannya tidak dapat dipisahkan dari
bagaimana jika si pembuat tidak mampu memberikan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy
ganti rugi yang ditetapkan hakim ?. 2 oriented approach) Hakikat penelitian ini adalah
Perhatian terhadap korban juga tampak dalam menganalisa kebijakan legislatif/formulatif dalam
Kongres Internasional pada kongres PBB ke-7; menetapkan dan merumuskan sistem hukum

1. Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Di Masa Datang , Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, Semarang, hlm 2
2. Sudarto, 1979, Suatu Dilemma Dalam Pembaharuan Sistim Pidana Indonesia, Semarang, Fakultas Hukum UNDIP Semarang, 1979, hal. 25.

30
Eko Soponyono,Kebijakan Perumusan Sitem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban

pidana/sistem pemidanaan yang meliputi, hukum tindak pidana tidak dapat dikatakan sebagai alat untuk
pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum mencapai suatu tujuan. Pidana yang dijatuhkan
pelaksanaan pidana. Oleh karena itu pendekatan tersebut mencerminkan keadilan (uitdrukking van de
dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. gerechtigheid).
Dalam penelitian hukum normatif digunakan Dari berbagai pandangan dalam teori absolut /
beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang- retributif ini, Nigel Walke5r mengatakan, bahwa teori
undangan (statute appproach), pendekatan retributif murni sajalah yang mengemukakan alasan-
konseptual (conceptual approach) dan pendekatan alasan atau dasar pembenaran untuk pengenaan
perbandingan (comparative approach). pidana, maka penganutnya dikenal dengan
“Punisher” (penganut aliran/teori pemidanaan). Teori
Kerangka Teori retributif tidak murni terbagi menjadi, yang terbatas
Kerangka pemikiran teoretis dalam penelitian dan yang distributif. Teori retributif tidak murni yang
berjudul “Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan terbatas mengatakan, bahwa pidana yang dijatuhkan
Yang Berorientasi Pada Korban” digunakan untuk tidak harus cocok / sepadan dengan kesalahan;
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan hanya saja tidak boleh melebihi batas yang
dalam Perumusan Masalah (1. Bagaimana kebijakan cocok/sepadan dengan kesalahan pelaku tindak
perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pidana.
pada korban dalam hukum positif saat ini?. 2. Berfungsinya hukum pidana dalam kebijakan
Bagaimana kebijakan perumusan sistem penanggulangan kejahatan (politik kriminal) memiliki
pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam dampak pencegahan secara psikis, menurut Van
hukum positif yang akan datang?). Beberapa teori Bemmelen,6 bahwa upaya penerapan hukum pidana
yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dewasa ini dalam mencegah main hakim sendiri
yang ada terangkum dalam “Teori-teori Pemidanaan (vermijding van eigenrichting) merupakan fungsi yang
(Dasar-dasar Pembenaran dan Tujuan Pemidanaan) penting sekali yakni memenuhi keinginan akan
terdiri dari “Teori Absolut atau Teori Pembalasan pembalasan(tegemoetkoming aan de
(Retributive/Vergeldings Theorieen)”, “Teori Relatif vergeldingsbehoefte).
atau Teori Tujuan (Utilitarian/Doeltheorieen)” dan Berbagai hal di bawah ini merupakan uraian
“Teori Gabungan (Verenigings Theorieen)”. yang masih terkait dengan teori pembalasan. Dalam
Menurut Teori Absolut atau Teori Pembalasan Online Etymology Dictionary tentang “Word Origin &
(Retributive/Vergeldings Theorieen)3 bahwa “pidana” History” :lex talionis 1597, from L., "law of retaliation,"
sebagai sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak an eye for an eye, a tooth for a tooth. Bahwa makna
pidana, semata-mata karena alasan bahwa lex talionis sebagai;“principle developed in early
seseorang telah melakukan tindak pidana (quia Babylonian law and present inboth biblical and early
peccatum est). Roman law that criminals should receive as
Menurut Johanes Andenaes dan Immanuel punishment precisely those injuries and damages
Kant,4 mengkaitkan teori absolut ini dengan “keadilan they had inflicted upon their victims. Many early
dan kesusilaan”. Johanes Andenaes menekankan societies applied this "eye-for-an-eye" principle
tujuan utama (primer)dari pidana teori absolut ini literally”.7
adalah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to Menurut Teori Relatif bahwa tujuan “penjatuhan
satisfy the claims of juctice), sedangkan Immanuel pidana” bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut
Kant mengemukakan, bahwa dijatuhkannya pidana dari keadilan. Ditegaskan bahwa pembalasan itu tidak
merupakan suatu tuntutan kesusilaan. Ditegaskan mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk
pula bahwa pidana yang dijatuhkan pada pelaku melindungi kepentingan masyarakat.Karena pidana

3. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Penerbit Alumni, disusun kembali menggunakan kalimat penulis, dalam halaman 10
sampai dengan 25.
4. Ibid, hlm 11
5. Ibid
6. Muladi dan Barda Nawawi Arief, op cit, halaman 15
7. Online Etymology Dictionary, © 2001 Douglas Harper Encyclopedi: Lex Talionis/pembalasan merupakan asas yang dibangun dalam Hukum Babilonia dan ada dalam
Kitab Injil serta Hukum Romawi, bahwa pembalasan merupakan pidana yang tepat bagi pelaku kejahatan yang telah menimbulkan kuka-luka dan kerusakan bagi
korbannya. Banyak masyarakat yang telah menerapkan asas ini “mata dibalas dengan mata” merupakan asas yang sebenarnya.

31
MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012

digunakan sebagai sarana melindungi kepentingan Senada dengan nilai keseimbangan dalam
masyarakat, maka Jhon Andenaes menyebutnya kebijakan sistem pemidanaan, Hulsman 1 2
dengan “teori perlindungan masyarakat” (social mengemukakan hakikat dari pidana, adalah
defence theory), namun menurut Nigel Walker9 teori “menyerukan untuk tertib” (tot de orde roepen); bahwa
tersebut lebih tepat disebut dengan “teori reduktif” pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan
(the “reductive” point of view). Dikatakan demikian, utama ,yakni untuk mempengaruhi tingkah laku
karena menurut teori ini dasar pembenaran pidana (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik
adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan dan (conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat
penjatuhan pidana memiliki tujuan tertentu yang lebih terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau
bermanfaat. perbaikan hubungan baik yang dirusak atau
Selain tujuan pidana untuk pencegahan pengembalian kepercayaan antar sesama manusia.
kejahatan yang terbagi menjadi “prevensi special dan Menurut Muladi13 bahwa keseluruhan teori
prevensi general”, Van Bemmelen10 memasukkan pemidanaan harus dipandang tercakup (implied) di
“teori daya untuk mengamankan” (de beveiligende dalam perangkat tujuan pemidanaannya. Hakikat
werking) ke dalam golongan “teori relatif”. Aplikasi tujuan pemidanaan dapat dipahami dengan
teori tersebut pada “pidana pencabutan pendekatan multi dimensional yang bersifat
kemerdekaan”. Pidana pencabutan kemerdekaan mendasar terhadap dampak tindak pidana. Tindak
sangat mengamankan masyarakat terhadap pidana harus dipandang sebagai gangguan terhadap
kejahatan, selama terpidana berada dalam lembaga keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam
pemsayarakatan daripada kalau dia tidak ada dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian tujuan
lembaga pemasyarakatan. pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan
Menurut Teori Gabungan dibicarakan dalam yang bersifat individual dan sosial (individual and
konteks yang tidak dapat dipisahkan dengan teori social damage)yang diakibatkan oleh tindak pidana.
pembalasan. Penulis awal yang mengajukan “teori Hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada
gabungan” adalah Pellegrino Rossi 11 yang perbuatan manusia saja (daadstrafrecht), karena
mengatakan, bahwa pembalasan sebagai asas dari menjadi tidak manusiawi dan mengutamakan
pidana dan beratnya tidak boleh melampaui suatu pembalasan. Hukum pidana juga tidak benar jika
pembalasan yang adil, namun ditegaskan bahwa hanya memperhatikan si pelaku saja
pidana memiliki pelbagai pengaruh antara lain (daderstrafrecht), karena akan timbul kesan
“perbaikan sesuatu yang rusak akibat tindak pidana memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan
dalam masyarakat dan prevensi general”. kepentingan masyarakat dan negara dan lebih
Ukuran penderitaan korban adalah pada khusus kepentingan korban tindak pidana.
penderitaan orang lain, demikian halnya ganti Di samping mengemukakan berbagai teori yang
tugi/kompensasi yang diterima korban juga diukur berkaitan dengan sistem pemidanaan di atas, sebagai
dengan kompensasi yang diterima orang lain. Inilah kelengkapan analisis terhadap perumusan
esensi dari “Teori Keseimbangan” yang oleh Heider permasalahan yang telah disusun, maka berikut
dijadikan ide untuk terwujdnya “dunia yang adil”. dikemukakan teori tentang korban.
Menurut teori keseimbangan, apabila takdir Menurut Hindelang, Gottfredson, Dan Garofalo
berlaku dan perilaku seseorang tidak menjadi dalam “Victims - Criminological Theory And Crime
penyebabnya dan oleh karena itu tidak juga dapat Victims”14 bahwa Dua teori kriminologi besar yang
disimpulkan bahwa timbulnya korban dapat sering digunakan untuk menafsirkan korban
ditetapkan, tanpa memperhatikan kompensasi dan kejahatan adalah “Teori Gaya Hidup”. Menurut teori
intensitas penderitaannya. tersebut, bahwa pekerjaan tertentu dan pola rekreasi
8. Muladi dan Barda Nawawi Arief, op cit, halaman 16
9. Ibid
10.Ibid, halaman 19
11.Ibid
12.Muladi dan Barda Nawawi Arief, op cit, halaman 9
13. Muladi, op cit, disari dari halaman 11 dan 12
14. http://law.jrank.org/pages/2272/Victims-Criminological-theory-crime-victims.html
“Two major criminological theories often are used to interpret crime victimization. Lifestyle theories postulate that certain work and leisure patterns are more highly
associated with crime victimization than others. Lifestyles are said to be influenced by three major considerations: the social roles that people play; their position in the

32
Eko Soponyono,Kebijakan Perumusan Sitem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban

lebih banyak berhubungan dengan korban kejahatan Timbulnya korban karena perilaku pasif korban
daripada yang lain. Gaya hidup dikatakan dipengaruhi dapat menjadi memotivasi atau mengancam
oleh tiga pertimbangan utama: peran sosial terhadap penyerang. Kejahatan semacam itu dapat terjadi
aktivitas seseorang, posisi mereka dalam struktur karena adanya konflik pribadi, seperti dua individu
sosial, dan keputusan tentang perilaku yang bersaing untuk cinta bunga, promosi, pekerjaan, atau
diinginkan. komoditas diinginkan atau langka lainnya. Menurut
Menurut Jennifer MCGrath15 ketika mengungkap penelitian, timbulnya korban pasif ada dalam
“Teori tentang Korban”, khususnya “Teori Timbulnya kaitannya dengan kekuasaan. Oleh karena itu,
Korban” dikatakan bahwa kekuatan ekonomi dapat mengurangi risiko timbulnya
“The victim precipitation theory suggests that korban/viktimisasi.
some people cause or initiate a particular
confrontation that may eventually lead to that Pembahasan
person becoming victimized by injury or death. Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang
Such precipitation on part of the victim can either Berorientasi Pada Korban Dalam Hukum Positif
be active or passive. Active precipitation exists Saat Ini
when the victim knowingly acts in a provocative Dari jumlah 106 (seratus enam) ketentuan
manner, uses fighting words or threats, or simply perundang-undangan setelah dilakukan penelitian
attacks first. In cases of rape, courts have terhadap setiap perundang-undangannya diperoleh
presented not-guilty verdicts based upon data, bahwa sebagian besar darinya mencantumkan
whether or not the victim acted in any way that jenis pidana selain ganti rugi. Hanya ada sebagian
seemed to consent to sexual relations such as kecil/sejumlah 21 (dua puluh satu) mencantumkan
the manner in which a woman was dressed” ketentuan di antaranya; ganti rugi, kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi.
Dalam kasus-kasus pemerkosaan, pengadilan Dengan demikian kebijakan perumusan sistem
dapat menjatuhkan vonis tidak bersalah apabila pemidanaan dalam hukum positif saat ini sebagian
korban menyetujui dilakukannya hubungan seksual. besar masih berorientasi pada pelaku tindak pidana,
Lebih lanjut diuraikan, bahwa sedang sebagian kecilnya/sejumlah 21 (dua puluh
Passive precipitation however, occurs when the satu) berorientasi pada korban.
victim contains characteristics that unknowingly Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang
motivates or threatens the attacker. Such crimes berorientasi pada korban meliputi; kebijakan
can exist due to personal conflicts such as two perumusan perlindungan korban dalam hukum
individuals competing for a love interest, a pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum
promotion, a job, or any other desirable or rare pelaksanaan pidana. Sasaran/Objek yang dibahas
commodity. A woman may receive a promotion terhadap ketiga ruang lingkup kebijakan meliputi;
and become a victim of violence because of the 1) F o r m u l a s i t i n d a k p i d a n a , F o r m u l a s i
jealousy of someone she may or may not even pertanggungjawaban pidana dan Formulasi
know. Such precipitation may also exist when a pidana/pemidanaan dalam “Kebijakan
victim is part of a particular group that offends or Perumusan Perlindungan Korban Dalam Hukum
threatens someone's economic well-being, Pidana Materiil”.
status or reputation. According to research, Suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak
passive precipitation exists in relation to power. pidana apabila unsur-unsurnya terpenuhi yaitu,
Therefore, economic power reduces the risk of perbuatan yang dilakukan baik aktif maupun pasif,
victimization. memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat
melawan hukum. Perbuatan dikatakan memenuhi

social structure; and decisions about desirable behaviors. Thus, a woman working a job that ends in the early hours of the day may feel constrained financially to use
public transportation and to walk several lonely blocks to her apartment because she cannot afford a taxi; she is more likely to become a crime victim than the woman
riding in a taxi”. Routine activities concepts state that criminal offenses are related to the nature of everyday patterns of social existence. When most adults in a
neighborhood are working, for instance, there is a greater likelihood that youngsters with increased freedom from adult supervision will get into trouble. So, too, houses
unoccupied during the day make much more inviting targets than those with people at home or with neighbors who make it their business to be aware of what is occurring
on the street.
15.http://www.associatedcontent.com/article/1680773/theories_of_victimization_victim_precipitation.html

33
MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012

rumusan undang-undang apabila sifat hakiki dari pertanggungjawaban pidana dalam undang-undang
perbuatannya sama dengan perbuatan yang tersebut dikenakan pada subjek hukum “Badan
dirumuskan secara abstrak dalam ketentuan Hukum/Korporasi”.
perundang-undangan. Perbuatan demikian sebagai Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang
bersifat melawan hukum formil dan tercantum secara berorientasi pada korban dalam hukum pidana
eksplisit/tersurat dalam rumusan tindak pidana. materiil berupa “ganti rugi/restitusi/lainnya”
Perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum materiil dirumuskan sebagai “Pidana Tambahan” dan “Bukan
apabila bertentangan dengan nilai-nilai hukum yang Pidana Tambahan”. Pembayaran ganti rugi di
hidup dalam masyarakat. antaranya memang merupakan pidana tambahan,
Perbuatan melawan hukum baik formil maupun namun perumusannya tidak senantiasa berada dalam
materiil merupakan perbuatan yang menimbulkan bab “ketentuan pidana”, tetapi dalam bab “ yang
kerugian/perbuatan yang menimbulkan korban. Oleh mengandung ketentuan pidana”. Kebijakan
karena itu dirumuskannya tindak pidana dalam perlindungan korban yang berupa “pembatasan gerak
“ketentuan pidana” merupakan akibat juridis dari pelaku” dirumuskan sebagai “Pidana Tambahan” dan
timbulnya kerugian/korban. dalam bab “Ketentuan Pidana” ada kebijakan
Unsur pertanggungjawaban pidana atau “tindakan tata tertib” berupa; perbaikan akibat tindak
unsur kesalahan bagi pelaku tindak pidana sebagai pidana dan pewajiban mengerjakan apa yang
wujud tanggungjawabnya atas penderitaan yang dilalaikan tanpa hak.
dirasakan korban. Azas dalam pertanggungjawaban Dengan demikian dalam kebijakan perlindungan
pidana dikenal dengan azas Culpabilitas/”Tiada korban dapat dikatakan “terlepas” dari jalinan/ikatan
Pidana Tanpa Kesalahan”/”Geen Straf Zonder sistem, merupakan kebijakan yang tidak berpola,
Schuld”/Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea”. merupakan kebijakan yang fragmentaris. Kebijakan
Moeljatno16 katakan bahwa azas tersebut tidak yang tidak berpola tersebut menunjukkan adanya
tercantum dalam hukum tertulis, tetapi dalam hukum kelemahan dalam kebijakan perumusan sistem
tidak tertulis yang juga di Indonesia berlaku. pemidanaan yang berorientasi pada korban.
Pencantuman unsur pertanggungjawaban Ketiadaan pola dalam kebijakan perumusan sistem
pidana dalam ketentuan perundang-undangan pemidanaan yang berorientasi pada korban
dengan kata, “sengaja, kealpaan, dengan maksud, merupakan kendala dalam menentukan “Standar
yang diketahuinya” dan lainnya. Terhadap masalah Kebijakan” yang ideal.
kesalahan, Moeljatno nyatakan, bahwa schuld tidak
dapat dimengerti tanpa adanya wederrechtelijkheid, 2.) Prosedur memperoleh Ganti Rugi/Kompensasi,
tetapi sebaliknya wederrechtelijkheid mungkin ada Mediasi dan Posisi korban dalam “Kebijakan
tanpa adanya kesalahan. Demikian halnya bahwa Perumusan Perlindungan Korban Dalam Hukum
seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan Pidana Formil”
atas perbuatannya dan dijatuhi pidana kalau dia tidak Ketentuan prosedur memperoleh ganti
melakukan tindak pidana. Sebaliknya, meskipun rugi/kompensasi, restitusi, bantuan, mediasi dan
seseorang telah melakukan tindak pidana tidak posisi korban dalam kebijakan perlindungan korban
senantiasa dapat dipidana. Ketentuan perundang- dalam hukum pidana formil didasarkan pada;
undangan yang terkait dengan formulasi 1.Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
pertanggungjawaban pidana dalam kebijakan sistem KUHAP, 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
pemidanaan yang berorientasi pada korban tampak tentang Perlindungan Saksi dan Korban, 3. Peraturan
dari rumusan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan ayat (3) “Selain 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bantuan Kepada Saksi dan Korban, 4. Undang-
pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
pemegang izin operasi juga diwajibkan untuk Konsumen, 5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
memberi ganti rugi kepada korban. Formulasi tentang Kehutanan, 6. Undang-Undang Nomor 27

16.Moeljatno, 1983, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hlm 130

34
Eko Soponyono,Kebijakan Perumusan Sitem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban

Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pulau-Pulau Kecil, 6., 7. Undang-Undang Nomor 18 Penglolaan Lingkungan Hidup.
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, 8. Secara umum upaya penyelesaian sengketa di
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang luar pengadilan merupakan sarana yang “disepakati
Perlindungan dan Penglolaan Lingkungan Hidup. oleh para pihak”, di luar kewenangan pengadilan
Dua ketentuan perundang-undangan di antaranya namun hasil kesepakatannya “memuaskan” (karena
dikemukakan sebagai berikut; terwujudnya keadilan) sesuai keinginan mereka.
Ketentuan Pasal 98 (1) Undang-undang Nomor Masalah “substansi” kesepakatan serta bagaimana
8 Tahun 1981/KUHAP; “Jika suatu perbuatan yang realisasinya/dilibatkannya pihak ketiga juga
menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan ditentukan secara bersama. Berikut ini analisa
perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan terhadap kelima ketentuan perundang-undangan
kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang yang mencantumkan upaya penyelesaian sengketa di
atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk luar pengadilan.
menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian Pemahaman terhadap upaya penyelesaian
kepada perkara pidana itu”. Ketentuan tersebut sengketa dari uraian di atas dapat digunakan untuk
mencerminkan upaya perlindungan korban berupa menjelaskan “posisi korban” di dalamnya. Bahwa
“ganti kerugian”, namun prosedur perolehannya (atas tujuan utama upaya penyelesaian sengketa adalah
permintaan orang itu/korban) melalui “gugatan “perlindungan korban” dengan memposisikan pelaku
perdata” yang digabungkan dengan perkara tindak pidana dengan korban dalam level yang sama.
pidananya. Tujuan tersebut tercapai ketika ditetapkan lembaga
Ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun “penyelesaian sengketa di luar pengadilan” dalam
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ketentuan perundang-undangan dan kebijakan
memuat pokok materi: 1. Perlindungan dan hak Saksi demikian itulah yang mencerminkan “upaya
dan Korban; 2. Lembaga Perlindungan Saksi dan perlindungan korban”.
Korban; 3. Syarat dan tata cara pemberian
perlindungan dan bantuan dan 4. Ketentuan pidana. 3) Kelengkapan Peraturan Pelaksanaan dalam
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian “Kebijakan Perumusan Perlindungan Korban
perlindungan dan bantuan dalam undang-undang Dalam Hukum Pelaksanaan Pidana”.
tersebut dilengkapi dengan ketentuan pelaksanaan Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang
prosedur yaitu Peraturan Pemerintah Republik berorientasi pada korban dalam hukum pelaksanaan
Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian pidana menunjukkan adanya keaneka ragaman
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi “kelengkapan peraturan pelaksanaan” merupakan
dan Korban. bukti kebijakan yang fragmentaris. Unifikasi
Praktek penyelesaian perkara pidana di luar “Kelengkapan Peraturan Pelaksanaan dalam
pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum Kebijakan Perumusan Perlindungan Korban Dalam
formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang Hukum Pelaksanaan Pidana” dapat saja terjadi jika
secara informal telah ada penyelesaian damai “bentuk perlindungan korban berupa pemberian
(walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada saksi dan
tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang korban” tercantum dalam seluruh ketentuan
berlaku. Dalam perkembangan wacana teoritik perundang-undangan. Bentuk perlindungan korban
maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana tersebut ada dalam Peraturan Pemerintah Republik
di berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk Indonesia Nomor 44 Tahun 2008.
menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah
satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan yang
pidana. Ketentuan perundang-undangan yang Berorientasi pada Korban dalam Hukum Positif
mencantumkan bab tentang “Penyelesaian Sengketa Yang Akan Datang
di luar Pengadilan” terdapat dalam; 1. Undang- Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan berorientasi pada korban dalam hukum positif yang
Konsumen, 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 akan datang meliputi; Kebijakan Perumusan
tentang Pengelolaan Sampah dan 3. Undang- undang Perlindungan Korban Dalam Hukum Pidana Materiil,

35
MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012

Kebijakan Perumusan Perlindungan Korban Dalam hidup dalam masyarakat. (3). Pidana tambahan
Hukum Pidana Formil dan Kebijakan Perumusan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat
Perlindungan Korban Dalam Hukum Pelaksanaan dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup
Pidana. Substansi yang dijadikan bahan kajian dalam masyarakat atau pencabutan hak yang
adalah RUU KUHP Tahun 2008 (Konsep) dan diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak
Rancangan KUHAP Tahun 2009 (Rancangan) dan tercantum dalam perumusan tindak pidana”.
Ketentuan Pelaksanaan. Ketentuan Pasal 67 ayat (2); “Pidana tambahan
Ruang lingkup yang dianalisa terhadap dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana
“Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat
berorientasi pada korban dalam Hukum positif yang dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan
akan datang” dalam ketentuan perundang-undangan yang lain. Pemahaman terhadap ketentuan tersebut
yang diteliti meliputi; kebijakan perumusan tidak dijumpai dalam penjelasan. Terhadap ayat (1)
perlindungan korban dalam hukum pidana materiil, diberi penjelasan bahwa “Pidana tambahan
kebijakan perumusan perlindungan korban dalam dimaksudkan untuk menambahkan pidana pokok
hukum pidana formil dan kebijakan perumusan yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif.
perlindungan korban dalam hukum pelaksanaan Pidana tambahan harus dicantumkan secara jelas
pidana. dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan,
sehingga hakim dapat mempertimbangkan untuk
1) Ruang lingkup kebijakan perumusan dikenakan terhadap terpidana”. Penjelasan Pasal 67
perlindungan korban dalam Hukum Pidana ayat (1) dapat diartikan bahwa terhadap pidana
Materiil meliputi; ”aturan umum” (general rules) tambahan “pembayaran ganti kerugian” hanya dapat
dan ”aturan khusus” (special rules). dijatuhkan hakim kalau ketentuan tersebut “tercantum
Ruang lingkup “aturan umum dalam Konsep secara jelas dalam rumusan tindak pidana”.
KUHP Baru di antaranya meliputi perumusan ”asas- Ketentuan Pasal 54; “Pemidanaan bertujuan di
asas Hukum Pidana”, Perumusan ”jenis/bentuk- antaranya : c. menyelesaikan konflik yang
bentuk sanksi pidana/tindakan” yg berorientasi pada ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
korban; baik untuk pelaku perseorangan maupun keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
korporasi, Perumusan ”aturan pemidanaan” masyarakat”.
Ketentuan Pasal 4 Asas Nasional Pasif, bahwa Ketentuan Pasal 55 ayat (1); “Pedoman
ketentuan pidana dalam peraturan perundang- Pemidanaan yang harus dipertimbangkan hakim di
undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang di luar antaranya: pengaruh tindak pidana terhadap korban
wilayah Negara Republik Indonesia yang melakukan atau keluarga korban; pemaafan dari korban dan/atau
tindak pidana di antaranya terhadap: a. warga negara keluarganya”.
Indonesia; atau b. kepentingan negara Indonesia Penjelasan ketentuan pada ayat (1) ini memuat
yang berhubungan dengan; di antaranya martabat pedoman pemidanaan yang sangat membantu hakim
Presiden dan/atau Wakil Presiden dan pejabat dalam mempertimbangkan takaran atau berat
Indonesia di luar negeri. ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dengan
Ketentuan Pasal 4 Buku Kesatu Konsep KUHP mempertimbangkan hal-hal yang dirinci dalam
Tahun 2008 “Asas Nasional Pasif atau Asas pedoman tersebut diharapkan pidana yang dijatuhkan
Perlindungan”, bermaksud melindungi kepentingan bersifat proporsional dan dapat dipahami baik oleh
nasional. Warga negara merupakan aset nasional masyarakat maupun terpidana. Rincian dalam
dengan sendirinya merupakan kepentingan nasional. ketentuan ini tidak bersifat limitatif, artinya hakim
Warga negara di luar negeri yang menjadi korban dapat menambahkan pertimbangan lain selain yang
tindak pidana, maka bagi pelaku dikenakan ketentuan tercantum pada ayat (1) ini.
pidana dalam perundang-undangan Indonesia. Ketentuan Pasal 71 huruf c, d dan g; “Dengan
Ketentuan Pasal 67 (1); “Pidana tambahan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan Pasal 55,
terdiri atas di antaranya; d. pembayaran ganti pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan, jika
kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut: di
setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang antaranya; 1. kerugian dan penderitaan korban tidak

36
Eko Soponyono,Kebijakan Perumusan Sitem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban

terlalu besar 2. terdakwa telah membayar ganti ini, seharusnya tidak ada, sebab menurut ketentuan
kerugian kepada korban 3. korban tindak pidana Pasal 99; (1) “Dalam putusan hakim dapat ditetapkan
mendorong terjadinya tindak pidana tersebut”. kewajiban terpidana untuk melaksanakan
Penjelasan Pasal 71; “Ketentuan dalam Pasal ini pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli
dimaksudkan untuk membantu hakim dalam warisnya”.
menentukan takaran pidana yang akan dijatuhkan. Secara juridis ketentuan Pasal 99 Konsep, dapat
Bersama-sama dengan ketentuan dalam Pasal 54 dimaknai bahwa terhadap semua ketentuan “tindak
dan Pasal 55, hakim diharapkan dapat menjatuhkan pidana” Buku Kedua Konsep KUHP tahun 2008 tidak
pidana secara proporsional dan efektif”. perlu ada pencantuman khusus (seperti 4 pasal di
Ketentuan Pasal 71 ini sebagai aturan atas), karena hakikat ketentuan Pasal 99 adalah
pemidanaan bagi hakim dalam hal tidak akan “dalam putusan hakim”, dapat diartikan sebagai
menjatuhkan pidana penjara, di samping tetap putusan untuk semua tindak pidana. Hakim sendirilah
mempertimbangkan ketentuan Pasal 54 dan Pasal 55 yang mempertimbangkan, apakah perkara yang
tentang “tujuan dan pedoman”, juga sedang ditangani perlu pidana tambahan tersebut
mempertimbangkan tiga keadaan tersebut dalam atau tidak.
nomor 1,2 dan 3 di atas. Tentang keadaan-keadaan
yang terkait dengan korban, mungkin tidak terlalu sulit 2) Ruang lingkup kebijakan perumusan
untuk dipahami hakim, tetapi bagaimana hasil perlindungan korban dalam Hukum Pidana
pemahamannya dapat dipakai untuk “menentukan Formil meliputi: a.Perumusan tentang
takaran” pidana yang akan dijatuhkan bukanlah kedudukan/posisi korban dalam proses
persoalan mudah. Formulasi ketentuan Pasal 77 ini peradilan; b.Perumusan bentuk-bentuk sanksi;
pun tidak operasional karena tidak terdapat c.Perumusan tentang hak-hak korban;
“ketentuan jenis pidana yang dapat dijatuhkan hakim” d.Perumusan tentang penyelesaian di luar
setelah dia tidak menjatuhkan pidana penjara. pengadilan antara offender dan korban (a.l.
Ketentuan demikian juga tidak tercantum dalam masalah mediasi) dan Perumusan tentang
penjelasan. akibat/konsekuensi hukum dari penyelesaian di
Ketentuan Pasal 65 ayat (1) di bawah paragraf luar pengadilan.
“jenis pidana” di samping penjara, tercantum juga Perumusan tentang kedudukan/posisi korban
sebagai pidana pokok yaitu; tutupan, pengawasan, dalam proses peradilan dapat dipahami dari berbagai
denda dan kerja sosial. Persoalannya kalau ketentuan yaitu: Pasal 12; Mengatur Penyidikan,
ketentuan Pasal 71 terpenuhi, jenis pidana apa yang Pasal 14; mengatur Penghentian Penyidikan, Pasal
dapat dijatuhkan hakim agar dalam menentukan 37 ayat (1 )dan (2), Pasal 38, Pasal 40; mengatur
takaran pidana yang akan dijatuhkan proporsional Perlindungan Pelapor, Pengadu, Saksi dan Koban.
dan efektif. Perumusan bentuk-bentuk sanksi dapat
Ruang lingkup ”aturan khusus” (special rules) dipahami dari ketentuan Pasal 135 mengatur bentuk
dalam Buku Kedua Konsep kebijakan sistem sanksi berupa “ganti kerugian” yang harus dipenuhi
pemidanaan yang berorientasi pada korban mulai dari pelaku tindak pidana untuk korban. Pasal 135 (1);
Pasal 212 sampai dengan Pasal 742 (catatan; Pasal “Apabila terdakwa dijatuhi pidana dan terdapat korban
741 dan Pasal 742 merupakan “Ketentuan Penutup”), yang menderita kerugian materiel akibat tindak
sehingga ketentuan “Tindak Pidananya” berjumlah pidana yang dilakukan oleh terdakwa, Hakim
kurang lebih 528 (lima ratus dua puluh delapan). mengharuskan terpidana membayar ganti kerugian
Setelah dilakukan penelitian mengenai berbagai kepada korban yang besarnya ditentukan dalam
ketentuan yang mencantumkan “pidana tambahan putusannya”. Penjelasan Pasal 135; “Terpidana yang
berupa pembayaran ganti kerugian”, ditemukan mampu membayar ganti kerugian tidak pantas
sebanyak 4(empat) pasal yaitu; 1. Pasal 306, 2. Pasal mendapatkan pidana yang lebih ringan dibandingkan
449, 3. Pasal 466 Jo. Pasal 464 dan 4. Pasal 604 Jo. dengan orang yang tidak mampu sebab ia memiliki
Pasal 601 dan Pasal 602. Ditemukannya 4 (empat) uang untuk membayar kompensasi. Ketentuan ini
pasal yang mencantumkan pidana tambahan dimaksudkan agar terpidana yang memiliki
“pembayaran ganti kerugian” yang diuraikan di bawah kemampuan membayar kompensasi menghindari

37
MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012

pembayaran ganti kerugian”. tindak pidana dapat berupa perbaikan, penggantian


Perumusan tentang hak-hak korban untuk atau pembayaran harga taksiran kerusakan sebagai
memperoleh perlindungan hukum pada semua akibat tindak pidana tersebut”
tingkat peradilan harus diberitahukan termasuk juga Dalam Rancangan bahwa Pelaksanaan
kepada keluarga atau ahli warisnya, termasuk juga Putusan Pengadilan yang telah memperoleh
jika perkara yang ditangani bukan merupakan tindak kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa (Pasal
pidana atau jika korban meninggal dunia, maka hak 266). Ketentuan Pasal 135 ayat (1); “Apabila terdakwa
untuk memperoleh penanganan dengan penuh dijatuhi pidana dan terdapat korban yang menderita
penghormatan harus dilakukan penyidik (Pasal 5, 14, kerugian materiel akibat tindak pidana yang dilakukan
37, 38 dan 40). Hak korban tersebut juga diberikan oleh terdakwa, Hakim mengharuskan terpidana
kepada keluarga atau ahli waris korban apabila membayar ganti kerugian kepada korban yang
terpenuhi syarat “keadaan tertentu”(Pasal 5). besarnya ditentukan dalam putusannya”. Ayat (2);
Perumusan tentang penyelesaian di luar “Apabila terpidana tidak membayar ganti kerugian,
pengadilan antara pelaku tindak pidana dan korban maka harta benda terpidana disita dan dilelang untuk
(a.l. masalah mediasi) dan kebijakan perumusan membayar ganti kerugian kepada korban”.
tentang akibat/konsekuensi hukum dari Sistem Pengawasan dalam Rancangan,
penyelesaian di luar pengadilan. Terhadap kedua ketentuan Pasal 273 sampai dengan Pasal 279 yang
ruang lingkup tersebut tidak dijumpai rumusan berada di bawah bab tentang “Pengawasan dan
prosedurnya dalam Rancangan. Tidak Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan”
dirumuskannya ketentuan penyelesaian di luar merupakan sistem pengawasan untuk penjatuhan
pengadilan dalam hukum pidana formil merupakan pidana perampasan kemerdekaan, bukan untuk
indikasi terputusnya jalinan sistem pemidanaan yang pidana ganti kerugian. Ketentuan yang sama juga ada
sedang dibangun. dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Pelaksanaan ketentuan “penyelesaian di luar KUHAP.
proses” sebagai “alasan hapusnya kewenangan Kebijakan perlindungan korban dalam ketentuan
menuntut pidana” tidak dijumpai baik dalam Konsep, perundang-undangan tidak seluruhnya
maupun “Penjelasan Konsep”. mencantumkan dalam bab “ketentuan pidana”.
Seluruh ketentuan perundang-undangan
3) Ruang lingkup kebijakan perumusan mencantumkan kebijakan perlindungan korban dalam
perlindungan korban dalam Hukum 14 (empat belas) “model bab”. Kebijakan
Pelaksanaan Pidana meliputi: 1. Perumusan perlindungan korban berupa ganti
aturan pelaksanaan sanksi/tindakan (ganti rugi/restitusi/lainnya dirumuskan sebagai “Pidana
rugi/kompensasi/ rehabilitasi) dan 2. Sistem Tambahan” dan “Bukan sebagai Pidana Tambahan”.
pengawasan. Pencantuman dalam bab yang berbeda terhadap
Perumusan aturan pelaksanaan sanksi/tindakan materi yang sama (ganti rugi/restitusi/lainnya)
(ganti rugi/kompensasi/ rehabilitasi) dalam Konsep, menunjukkan kebijakan yang tidak didasarkan pada
ketentuan Pasal 68 tentang tata cara pelaksanaan “standar kebijakan” baku.
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, Ketentuan dalam RUU KUHP Tahun 2008,
Pasal 66, dan Pasal 67 diatur dengan Undang- Rancangan KUHAP Tahun 2009 dan Undang-Undang
Undang. Ketentuan Pasal 65 tentang “Pidana Pokok”, Pelaksanaan Pidana dapat dijelaskan, bahwa
Pasal 66 tentang “Pidana Mati” dan Pasal 67 tentang ketentuan induk Hukum Pidana Materiil/hukum positif
“Pidana Tambahan”. Ketentuan Pasal 112 tentang yang akan datang adalah RUU KUHP Tahun 2008
tata cara pelaksanaan jenis-jenis tindakan (Konsep). Perkembangan demikian tidak dapat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 diatur lebih dipisah-lepaskan dari masalah utamanya yang
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Jenis tindakan menjadi ruang lingkup pembaharuan hukum pidana
dalam rumusan Pasal 101 yang berhubungan dengan nasional, yaitu masalah tindak pidana, masalah
korban adalah “perbaikan akibat tindak pidana”. pertanggungjawaban pidana serta masalah pidana
Bentuk “perbaikan akibat tindak pidana” dirumuskan dan pemidanaan. Hakikat pembaharuan hukum
dalam Pasal 108; “Tindakan berupa perbaikan akibat pidana sebagai upaya perlindungan korban

38
Eko Soponyono,Kebijakan Perumusan Sitem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban

tercantum dalam RUU KUHP Baru yaitu dalam dimaksudkan untuk lebih memberikan kepastian
pidana tambahan; pembayaran ganti kerugian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum,
(termasuk sebagai syarat dalam pidana pengawasan, keadilan masyarakat, dan perlindungan hukum serta
termasuk untuk anak), pemenuhan kewajiban adat hak asasi manusia, baik bagi tersangka, terdakwa,
setempat (termasuk anak) dan/atau kewajiban saksi, maupun korban, demi terselenggaranya
menurut hukum yang hidup dalam masyarakat, dan negara hukum.
tindakan; perbaikan akibat tindak pidana (termasuk Ketentuan Induk Hukum Pelaksanaan Pidana
anak). Dengan demikian, kebijakan perumusan /hukum positif yang akan datang belum
sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban diprogramkan oleh Pemerintah. Ketentuan hukum
dalam RUU KUHP Baru tercantum dalam: “Pidana pelaksanaan pidana tidak berstatus induk
Tambahan dan Tindakan”. Kebijakan yang sama di dicantumkan dalam Konsep KUHP Baru, Rancangan
luar ketentuan tersebut (pidana tambahan dan KUHAP Baru dan di luarnya. Dalam Konsep KUHP
tindakan) dalam RUU KUHP Baru tercantum dalam: 1. Baru dicantumkan ketentuan Bab III tentang “Pidana
Asas Nasional Pasif/Asas Perlindungan; 2. Tindak dan Tindakan”, Pasal 23 ayat (4); “Ketentuan
Pidana Aduan bagi korban belum berumur 16 tahun mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi
dan belum kawin atau berada di bawah pengapuan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.
korban tindak pidana aduan meninggal dunia; 3. Bahan-bahan komparasi kebijakan perumusan
Ketentuan Pasal 52; 4. Menyelesaikan konflik yang sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban di
ditimbulkan oleh tindak pidana, Memulihkan antaranya dalam KUHP Iran yang memadukan ide
keseimbangan, dan Mendatangkan rasa damai dalam keseimbangan antara perlindungan kepentingan
masyarakat; 5. Pengaruh tindak pidana terhadap pelaku dengan perlindungan kepentingan korban
korban atau keluarga korban dan pemaafan dari yaitu “upaya permaafan”. Upaya permaafan tersebut
korban dan/atau keluarganya; 6. Kondisi korban tercantum dalam “Pedoman Pemidanaan” berupa
sebagai alasan pertimbangan hakim tidak “permaafan dari korban dan/atau keluarganya”.
menjatuhkan pidana penjara, seperti, korban tindak Upaya permaafan tersebut tidak terpisahkan dengan
pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut; “Tujuan Pemidanaan” berupa “menyelesaikan konflik
7. Faktor-faktor yang Memperingan (pemberian ganti yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
sukarela); 8. Gugurnya Kewenangan Penuntutan masyarakat”.
(penyelesaian di luar proses). Baik upaya permaafan dan peneyelesaian
Di samping berdasar pada “ide keseimbangan”, konflik dapat diakomodasi ke dalam “Lembaga
penyusunan Konsep juga berdasar pada ide dari Mediasi Penal atau Keadilan Restoratif”, karena
berbagai forum seminar nasional maupun dalam lembaga tersebut permaafan dan
internasional. Ide yang terkait dengan upaya penyelesaian konflik terwujud. Kalau dipadukan
pelindungan korban dari hasil penggalian dan dengan teori pemidanaan, maka upaya permaafan
pengkajian sumber hukum tidak tertulis dan nilai-nilai dan penyelesaian konflik paralel dengan “Teori
yang hidup dalam masyarakat di antaranya dalam Absolut yang Relatif”/“Teori Gabungan” yang
hukum agama dan hukum adat. hakikatnya memadukan tujuan pidana sebagai
Kebijakan Internasional yang dapat dijadikan pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dengan
ide dasar kebijakan perlindungan dalam penyusunan “upaya penyelesaian konflik” di antaranya “pemberian
Konsep KUHP Baru adalah Kongres PBB ke-7; maaf” oleh korban atau keluarganya kepada pelaku
"Prevention of crime of the treatment of offenders", tindak pidana.
Milan (Italia) tahun 1985 menganjurkan agar negara Kajian teoritik/pendapat sarjana dapat dipahami
anggota senantiasa memperhatikan korban. dari uraian, bahwa dicantumkannya sanksi
Ketentuan Induk Hukum Pidana Formil/hukum “pembayaran ganti kerugian” dan “permaafan dari
positif yang akan datang adalah Rancangan KUHAP korban dan/atau keluarganya” dalam “pedoman
Baru Tahun 2009. Dalam ketentuan “Dasar pemidanaan” merupakan wujud upaya perlindungan
Pertimbangan huruf c” Rancangan ditegaskan, terhadap korban tindak pidana.
bahwa pembaharuan hukum acara pidana juga

39
MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012

Simpulan lingkup ”aturan umum” (general rules) meliputi;


Setelah dilakukan penelitian dan analisis perumusan ”asas-asas Hukum Pidana”, perumusan
terhadap 2 (dua) permasalahan yang disusun dan ”jenis/bentuk-bentuk sanksi pidana/tindakan” yg
dijabarkan ke dalam kebijakan perumusan sistem berorientasi pada korban, baik untuk pelaku orang
pemidanaan fungsional yang mencakup sub-sistem maupun korporasi; perumusan ”tujuan dan pedoman
hukum pidana materiil, sub-sistem hukum pidana pemidanaan”; perumusan ”aturan pemidanaan”.
formil dan sub-sistem hukum pelaksanaan pidana Ruang lingkup ”aturan khusus” (special rules) ada
maka simpulan yang dapat dikemukakan adalah dalam ketentuan perumusan delik/tindak pidana.
sebagai berikut. Dalam hukum pidana formil substansi yang
1. Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang terkait dengan perlindungan korban terdapat dalam:
berorientasi pada korban dalam hukum positif perumusan tentang kedudukan/posisi korban dalam
saat ini. proses peradilan; perumusan bentuk-bentuk sanksi;
Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang perumusan tentang hak-hak korban; perumusan
berorientasi pada korban secara in concreto dalam tentang penyelesaian di luar pengadilan antara
hukum positif saat ini tidak ada dalam ketentuan induk pelaku dan korban (antara lain masalah mediasi); dan
KUHP/WvS, namun hanya ada pada sebagian kecil perumusan tentang akibat/konsekuensi hukum dari
ketentuan perundang-undangan di luarnya, penyelesaian di luar pengadilan.
sedangkan pada sebagian besarnya masih Dalam hukum pelaksanaan pidana substansi
berorientasi pada pelaku tindak pidana. Terjadi yang terkait dengan perlindungan korban meliputi:
kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang perumusan aturan pelaksanaan sanksi/tindakan
berorientasi pada korban dalam ketentuan (ganti rugi/kompensasi/ rehabilitasi); dan sistem
perundang-undangan di luar KUHP/WvS merupakan pengawasan.
bentuk kebijakan murni yang tidak terjalin secara Keterpaduan substansi bidang hukum pidana
sistem dengan induknya. materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan
Dalam hukum pidana materiil kebijakan pidana di atas dapat dijadikan “Standar Kebijakan
perumusan perlindungan korban dalam “Perumusan Ideal” dalam “Kebijakan perumusan sistem
tindak pidana (kriminalisasi) dan Perumusan pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam
pertanggung-jawaban pidana”, “Perumusan hukum positif yang akan datang”.
pidana/pemidanaan”, “Pidana Tambahan” “Tindakan”
dan “Perumusan pemidanaan” membuktikan belum DAFTAR PUSTAKA
terbangun suatu kebijakan perumusan sistem
pemidanaan yang integral. Arief, Barda Nawawi. 2001, Masalah Penegakan
Dalam hukum pidana formil ketentuan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
prosedural yang dapat mengakomodasi berbagai Kejahatan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
bentuk perlindungan korban termasuk “Upaya ---------, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan” tersebar Pidana, Bandung, Citra Additya Bakti.
diberbagai ketentuan perundang-undangan. ---------,2006, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang
Dalam hukum pelaksanaan pidana kebijakan Sistem Peradilan Pidana
perumusan perlindungan korban dalam ketentuan Terpadu(Integrated Criminal Justice
perundang-undangan ada keragaman “kelengkapan System), Semarang, Badan Penerbit
peraturan pelaksanaan”, merupakan wujud adanya Universitas Diponegoro.
kebijakan perumusan yang tidak berpola. ---------,2003, Kapita Selekta Hukum Pidana,
Bandung,Citra Additya Bakti .
2. Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang ---------,2008, Kumpulan Hasil Seminar Nasional Ke I
berorientasi pada korban dalam hukum positif s/d VIII dan Konvensi Hukumm Nasional
yang akan datang. 2008, Semarang, Pestaka Magister.
Dalam hukum pidana materiil substansi yang --------,2007, Masalah Penegakan Hukum dan
terkait dengan perlindungan korban dapat Kebijakan Hukum Pidana dalam
dimasukkan/diatur dalam ”aturan umum” (general Penanggulangan Kejahatan, Jakarta,
rules) dan ”aturan khusus” (special rules). Ruang Kencana Prenada Media Group.

40
Eko Soponyono,Kebijakan Perumusan Sitem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban

--------,2008, Mediasi Penal, Penyelesaian Perkara Di ---------, 2007, RUU KUHP Baru, Sebuah
Luar Pengadilan, Semarang, Pustaka Restrukturisasi/Rekonstruksi Hukum
Magister. Pidana Indonesia, Semarang, Pustaka
---------,2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Magister.
Perspektif Kajian Perbandingan,Bandung, ---------,2009, Tujuan Dan Pemidanaan Pemidanaan
Citra Additya Bakti . Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana
--------,Pembaharuan Sistem Penegakan Hukum dan Perbandingan Beberapa Negara,
Dengan Pendekata Religius Dalam Konteks Semarang, Badan Penerbit Universitas
Siskumnas dan Bankumnas, Makalah Diponegoro .
dalam Seminar “Menembus Kebuntuan Gattuso Holman, Nancy A. dalam Victims and Society;
Legalitas Formal Menuju Pembangunan “Criminal Sentencing and Victim
Hukum dengan Pendekatan Hukum Ompensation Legislation: Where is the
Progresif”, FH UNDIP, 19 Desember 2009. victim ?, Edited by Emilio C.Viano, Visage
--------,2007, Perkembangan System Pemidanaan di Press, Inc./Washington D.C.
Indonesia, Semarang, Penerbit Pustaka. Hart,H.L.A. 1972, The Concept of Law, London, The
Magister. English Language Book Society and Oxford
--------,2009, Reformasi Sistem Peradilan (sistem University Press .
Penegakan Hukum) di Indonesia, Artikel Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori – Teori
untuk penerbitan buku Bunga Rampai dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni.
“Potret Penegakan Hukum di Indonesia”, Sudarto, 1986, Hukum Dan Hukum Pidana,
edisi keempat, Jakarta. Bandung, Alumni.

41

Anda mungkin juga menyukai