Pencegahan Genosida
ABSTRAK
Negara-negara anggota Konvensi Genosida kiranya menyuarakan untuk melepas segala hal
yang berkaitan dengan kekerasan dan merampas hak asasi manusia. Pada forum PBB yang
membahas terkait responsibility to protect dan pencegahan genosida, para penyusun Konvensi
ini dijalankan setahun sekali dengan maksud untuk menyuarakan hal tersebut. Konvensi ini
memiliki maksud yang jelas untuk kedamaian bersama yang mana untuk mengurangi perang,
pembersihan etnik, dan kejahatan. Pada forum ini beberapa negara menolak keputusan
tersebut dan salah satunya ialah Indonesia. Respon PBB dan Masyarakat sangat
menyayangkan keputusan tersebut saat Konvensi di PBB yang seharusnya Indonesia
mendukung untuk keamanan dan perdamaian bersama. Dengan itu paper ini akan membahas
terkait respon Indonesia yang menolak atas Resolusi Genosida pada forum PBB silam.
Kata Kunci: Penolakan, Genosida, PBB, Indonesia, Perdamaian
LATAR BELAKANG
Tanggung jawab untuk melindungi adalah norma hukum internasional yang
muncul yang betujuan untuk menyediakan sarana bagi masyarakat internasional
untuk mencegah kekejaman berskala besar di dalam batas-batas Negara berdaulat.
Pasal 2 Piagam PBB menetapkan jika tak ada satu pun isi piagam PBB yang
mengizinkan PBB dalam mencampuri hal-hal yang menyangkut yurisdiksi nasional
Negaranegara yang bersangkutan. ini mendorong pengenalan prinsip Non-intervensi
yang tetap dihubugkan dengan sikap suatu Negara untuk tak ikut campur pada
urusan dalam negeri Negara lain yang akhirnya menolak doktrin intervensi
kemanusiaan (humanitarian intervention1 ). Oleh karena itu, perdebatan mengapa
intervensi kemanusiaan tak dimuat dengan esplisit pada piagam PBB membuat Kofi
Annan menyerukan kepada Negara-Negara anggota PBB untuk mendapatkan suatu
rumusan yang masuk akal dalam melaksanakan intervensi pada rangka perlindungan
HAM. Lahirlah Responsibility to Protect (R2P) yang merupakan norma baru dan
tampaknya diterima dan didukung oleh banyak Negara. Perubahan intervensi
kemanusiaan (humanitarian intervention) ini kemudian menjadi prinsip
Responsibility to Protect terwujud karena terdapatnya kegagalan komunitas
internasional dalam mencegah dan memberhentikan pembunuhan massal dan
kejahatan lainnya yang telah terjadi.
Responsibility to Protect merupakan sebuah konsep yang dibangun pada tahun
2001 atas prakarsa jenderal keamanan PBB yaitu Kofi Annan. Meluasnya konflik yang
berujung pada tindakan yang tidak menusiawi dari sebuah negara kepada
populasinya menjadi langkah awal terbentuknya Resposibility to Protect.
Terbentuknya konsep Responsibility to Protect tidak lepas dari upaya Menteri Luar
Negeri Australia tahun 1988 - 1996 dan sebagai ketua dari International Crisis Group
pada tahun 2000. Konsep R2P berasal dari kekecewaan terhadap ketidakcukupan dan
ketidakefektifan tanggapan internasional terhadap kekejaman, khususnya di Timur
Tengah, Afrika Utara, wilayah Great Lakes di Afrika, dan bekas Yugoslavia selama
tahun 1990-an. Kekecewaan ini muncul dengan latar belakang intervensi kemanusiaan
yang begitu diluar batas dan diterapkan secara tidak merata selama bertahun-tahun
dan di seluruh dunia. prinsip Responsbility to Protect dapat dijadikan sebagai
landasan utama untuk diterapkan ke suatu negara dan menjadi suatu tanggungjawab
internasional untuk melindungi populasi disuatu negara. Resposibility to Protect
mempunyai 3 elemen diantaranya Responsibility to prevent, Responsibility to-react dan
Responsibility to re-build. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan menjadi langkah
pencegahan untuk mencegah adanya suatu konflik. Pentingnya pencegahan dalam
konsep Responsibility to Protect juga tertuang dalam dokumen PBB tahun 2017 nomor
A/71/1016–S/2017/556 mengenai Implementing the responsibility to protect:
accountability for prevention yang menyatakan bahwa dengan pencegahan maka
mampu membantu negara-negara untuk mencegah pecahnya krisis yang berisko
tinggi terhadap kemanusiaan.
Pada tahun 2001 sebuah Komisi Internasional untuk Intervensi dan Kedaulatan
Negara yang diupayakan oleh Kanada sebagai tanggapan atas keprihatinan yang
diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB. Disebutkan bahwa ia menyampaikan
laporan terkait “Tanggungjawab Untuk Melindungi”. Laporan tersebut mengusulkan
kerangka kerja yang sama sekali baru untuk menggantikan apa yang disebut sebagai
hak intervensi kemanusiaan unilateral. Oleh karena itu, Negara justru akan memikul
tanggung jawab untuk mencegah, bereaksi terhadap, dan membangun kembali dari
kekejaman massal terhadap orang-orang yang berisiko dalam wilayah dan yurisdiksi
masing-masing. KTT Dunia memformulasi ulang kerja International Commision
Intervation and State Soverignity dengan mengadopsi tiga pilar tanggung jawab yang
sama pentingnya dan terus mendefinisikan R2P. Beberapa diantaranya, a.
mensyaratkan Negara untuk melindungi semua orang dalam wilayah dan yurisdiksi
masing-masing dari empat kejahatan kekejaman; kejahatan perang, kejahatan
terhadap kemanusiaan, genosida, dan pembersihan etnis. b. meminta komunitas
internasional untuk membantu negara-negara dalam membangun kapasitas, untuk
merespons secara efektif dalam krisis kemanusiaan. c. yang diusulkan oleh Uni Afrika
sebagai tanggapan langsung atas kegagalan intervensi kemanusiaan yang berulang
kali, menyatakan bahwa jika suatu negara secara nyata gagal untuk melindungi
penduduknya (baik warga negara atau bukan), Negara-negara lain siap untuk
menanggapi secara kolektif dengan tepat waktu dan tegas untuk mengambil berbagai
tindakan politik, ekonomi dan militer.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada pertemuan PBB silam membahas tentang
Responsibility to Protect (R2P) terkait mencegah pemusnahan massal, kejahatan
perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. PBB membuka
voting untuk menjadikan hal tersebut agenda tahunan yang mana nantinya negara-
negara melaporkan secara berkala tahunan kepada Sekertaris PBB. Namun pada isu
yang seharusnya jelas disetujui demi perdamaian bersama. Perwakilan Indonesia
justru memberikan vote NO (N) pada voting tersebut. Hal ini yang akhirnya
menjadikan Indonesia dan beberapa negara lain yang memilih sama dengan Indonesia
menjadi buah bibir. Hal ini tentu menjadi pertanyaan mengapa Indonesia memilih
vote NO (N) padahal Indonesia sendiri memiliki peraturan dalam Undang-undang
Republik Indonesia No 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia yang
menyebutkan bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia sehingga segala bentuk kejahatan yang merupakan pelanggaran Hak Asasi
Manusia merupakan hal sangat berat dan memiliki hukuman yang berat. Pada paper
ini kiranya akan dibahas lebih lanjut terkait isu tersebut, dengan tujuan akan penulis
dan juga penstudi Hubungan Internasional mengetahui penyebab dan alasan
mengapa perwakilan dari Indonesia lebih memberikan vote No (N) pada voting
tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Rational Choice Theory
Guna melengkapi kerangka tulisan, pada penulisan paper ini penulis
menggunakan Rational Choice Theory sebagai teori yang relevan untuk kasus yang
dibahas juga untuk untuk menganalisis suatu proses kebijakan luar negeri. Rational
Choice Theory digunakan untuk menganalisa suatu kasus terkait proses kebijakan itu
sendiri, yang mana sangat dipengaruhi oleh adanya faktor politik domestik dan
eksternal internasional. Rational Choice Theory disebut teori pilihan atau teori
tindakan rasional dengan asumsi dasar teori merupakan seluruh perilaku sosial
disebabkan oleh perilaku individu yang masing-masing membuat keputusannya
sendiri. Rational Choice Theory ialah suatu teori yang melihat kasus jika kasus
tersebut bisa dianggap menantang asumsi rasionalisme dalam politik luar negeri. RCT
juga mengikuti prinsip-prinsip ekonomi dan sedikit banyak dianut juga oleh realisme
dalam menjelaskan politik luar negeri suatu negara.
RCT merupakan teori yang mengasumsikan bahwa manusia adalah agen
rasional yang hanya berusaha memaksimalkan kepentingannya. Atau dengan kata
lain, manusia mementingkan dirinya sendiri dengan memperhitungkan cara-cara
bertindak yang memungkinkan untuk memaksimalkan keuntungan dan
meminimalisir biaya. Dalam konteks sosial, kehidupan sosial yang terorganisasi
merupakan ekspresi bersama dari para individu yang secara rasional menerapkan
kalkulasi ini. Beberapa kelemahan dalam RCT yang diidentifikasi oleh Imam B.
Prasodjo yaitu Pertama, kadang-kadang informasi yang diterima tidak merata antara
satu orang dengan orang yang lainnya. Kedua, rasionalitas yang terjadi dalam
kenyataan adalah berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya. Ketiga, tidak
semua perilaku manusia dapat dijelaskan melalui RCT ini, misalnya jika kita
dihadapkan kepada aturan budaya, maka kita cenderung untuk ikut saja. RCT tidak
memperhatikan nurani, insting, emosional, hal-hal yang irrasional. Konklusi dari
paparan kerangka teoretis di atas adalah RCT meniscayakan pertimbangan rasional
dalam setiap perilaku sosial manusia. Akan tetapi, rasional dalam perspektif RCT
lebih cenderung bernuansa ekonomi, terutama perhitungan untung-rugi antara biaya
yang dikeluarkan dengan keuntungan yang akan diraih. Oleh sebab itu, bahasan
analisis RCT terhadap transformasi madrasah akan difokuskan pada aspek
pertimbangan ekonomi dari setiap bentuk dan fase transformasi madrasah dari masa
klasik hingga masa kontemporer.
Konteks sosial dan politik yang melatar-belakangi RCT tidak lain adalah
kehidupan sosial Barat (Baca: Amerika Serikat) yang bersifat individualistik, serta
ideologi kapitalisme yang menjadi anutan mereka. Sedangkan latar belakang tokoh
utama RCT antara lain: Gary Becker adalah pakar ekonomi pendiri teori modal
manusia. Sedangkan James Coleman adalah tokoh sosiolog pencipta teori modal
sosial. Coleman dilabeli sebagai pakar yang banyak menemukan teori. Aliran
pemikiran yang mempengaruhi RCT ini adalah disiplin ilmu ekonomi, khususnya
karya ekonom Chicago Gary Becker (1976). Bias yang terjadi dari teori pilihan rasional
adalah menonjolnya kepentingan individu yang diperjuangkan. Para pakar sosiolog
pun ada beberapa yang tidak menyetujui teori ini. Allessandro Pizorno misalnya,
dalam teori tindakan kolektif dia berpendapat bahwa gerakan sosial tidak semata bisa
dilihat dengan teori pilihan rasional. Yakni, mereka bertindak karena menganggap
mereka bisa memperoleh keuntungan-keuntungan dari tindakan tersebut. Akan
tetapi, mereka bertindak untuk memperoleh identitas diri. Inilah yang kemudian
disebut dengan teori identifikasi. Dengan demikian sudah jelas bahwa RCT
mengandaikan bahwa seluruh tindakan didasarkan kepada suatu kalkulasi
untungrugi; sedangkan untung rugi tersebut didasarkan pada informasi. Dalam RCT,
setiap tindakan selalu didasarkan pada pilihan-pilihan rasional, informasi yang
masuk ke otak ditentukan oleh pilihanpilihan. Akhirnya mekanisme atau
pertimbangan untung rugi menjadikan RCT dominan dalam aplikasinya.
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
yang digunakan peneliti ialah penelitian kualitatif deskriptif, kualitatif deskriptif
adalah penelitian yang berupa ucapan, tulisan, dan perilaku orang-orang yang
diamati. Penelitian ini dilakukan dengan mendeskripsikan serta menganalisa suatu
peristiwa, fenomena, aktivitas sosial, persepsi dan pemikiran yang dilakukan secara
individu atau kelompok.
Teknik dalam mengumpulkan data yang dilakukan pada paper ini ialah
dengan cara studi kepustakaan (Library Research) yaitu merupakan tekhnik
pengumpulan data. Data yang digunakan diambil dari cara pengamatan mencakup
deskripsi dari hasil yang mendetail juga hasil analisis referensi-referensi lain seperti
pengambilan data yang diperoleh dari buku-buku baik karangan dalam negeri
ataupun luar negeri, karangan ilmiah, media massa, maupun jurnal-jurnal ataupun
artikel-artikel yang didapatkan dari situs internet yang bertalian dengan judul
tersebut..
DISKUSI
Dalam R2P memiliki tiga pilar yaitu Tanggung jawab negara untuk melindungi
rakyatnya sendiri dari pemusnahan massal (genocide), kejahatan perang (war crimes),
pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity), dan dari segala macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis
kejahatan tersebut. Komitmen komunitas internasional untuk membantu negara-
negara menjalankan tanggung jawabnya itu dan Komunitas Internasional memiliki
tanggung jawab untuk menggunakan pendekatan diplomatik, kemanusiaan dll yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari 4 jenis kejahatan tersebut. Selain itu,
komunitas internasional juga dituntut untuk mwngambil tindakan kolektif untuk
melindungi masyarakat sesuai dengan yang tertera dalam piagam PBB. Berdasarkan
laporan International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS)
tahun 2001 terdapat tiga elemen dalam R2P yaitu prevent, react dan rebuild. Ketiga
elemen ini dilakukan dalam merespon pelanggaran HAM yang tejadi di sebuah
negara. Tindak pencegahan atau prevent dilakukan agar kekerasan pelanggaran HAM
tidak terjadi secara lebih luas lagi. Sedangkan react adalah respon negaranegara
sebagai bagian dari komunitas internasional untuk turun tangan membantu Negara
yang gagal atau tidak ingin melindungi masyarakatnya. R2P berlaku dalam situasi
kekejaman massa. Kekejaman massa tersebut adalah genosida, kejahatan perang,
pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Konteks massa tidak hanya
diartikan dalam skala yang luas dan jumlah korban yang besar namun juga adanya
penindasan secara sistemik oleh pemerintah kepada rakyatnya. Hal ini bisa
dikategorikan bahwa Negara tidak ingin melindungi atau melakukan pembiaran
terhadap pelanggaran HAM. Bahkan terdapat kasus pelanggaran HAM yang gerakan
massa nya yang melakukan penindasan didukung oleh pemerintah. Responsibility to
prevent dimaknai kewajiban bagi negara untuk mencegah munculnya kejahatan
dengan cara yang tepat dan dibutuhkan. Negara menerima kewajiban tersebut dan
akan bereaksi berdasarkan hal tersebut. Masyarakat internasional secara tepat harus
mendorong negara dalam melaksanakan kewajibannya dan mendukung upaya PBB
untuk memberikan peringatan dini. Masyarakat internasional melalui PBB juga
memiliki kewajiban untuk menggunakan diplomasi, cara kemanusiaan dan metode-
metode damai lainnya dalam melaksanakan Piagam PBB chapter VI dan VII. Ketika
mekanisme pencegahan gagal dan kekejaman massa terjadi dalam sebuah negara
maka bertindak diam dan tidak melakukan sesuatu bukanlah pilihan bagi masyarakat
internasional. Berdasarkan World Summit 2005 dijelaskan bahwa responsibility to
react dimaknai kesiapan masyarakat internasional untuk mengambil langkah kolektif
secara tegas melalui Dewan Keamanan PBB sesuai dengan Piagam PBB chapter VII.
Analisa secara bertahap serta bekerjasama dengan organisasi regional secara tepat.
Tahapan dalam R2P yaitu tahap pertama Responsibility to prevent Tahap ini
bertujuan untuk mengatasi akar dan penyebab dari adanya konflik internal atau krisis
kemanusiaan yang membahayakan populasi. Elemen ini merupakan tanggung jawab
yang paling utama bagi negara yang berdaulat. Upaya perlindungan populasi dari
krisis kemanusiaan tidak terbatas kepada upaya nasional, namun juga melibatkan
upaya dan dukungan dari komunitas internasional. Dukungan tersebut dapat
berbentuk penyediaan bantuan bagi inisiatif lokal untuk meningkatkan pemerintahan
yang baik, penegakan HAM dan aturan hukum, serta upaya mediasi atau rekonsiliasi.
Tahap kedua, Responsibility to react Tahapan ini mencakup semua tindakan yang
merupakan reaksi dari situasi yang membutuhkan perlindungan, mencakup tindakan
koersif seperti sanksi-sanki politik, ekonomi atau yudisial, dan dalam kasus-kasus
ekstrim dapat mencakup intervensi militer. Intervensi militer hanya dapat dilakukan
ketika terdapat konflik sipil dan represi yang bersifat sangat keras yang mengancam
kelangsungkan hidup warga sipil, seperti adanya pembunuhan massal, genosida atau
pembunuhan etnis dalam skala besar. Prinsip non-intervensi dapat dikesampingkan
ketika terjadi kekerasan yang “mengejutkan hati nurani manusia”, atau yang
menunjukkan bahaya yang jelas bagi keamanan internasional, yang mengharuskan
penggunaan intervensi militer koersif. Untuk melakukan intervensi militer, ada enam
kriteria yang harus dipenuhi, yaitu right authority, just cause, right intention, last
resort, proportional means and reasonable prospects. Right authority mengarah
kepada otoritas yang berhak untuk melakukan intervensi. Right intention mengarah
kepada tujuan primer dari intervensi tersebut, yaitu untuk menghentikan atau
menghindari penderitaan manusia. Just cause mengarah kepada hal-hal yang dapat
menjustifikasi pengadaan intervensi, seperti adanya kehilangan jiwa dalam skala
besar dan pemusnahan etnis skala besar. Last resort mengartikan bahwa intervensi
militer hanya dapat dilakukan jika upaya pencegahan gagal dilakukan dan satu-
satunya jalan yang tersedia hanya intervensi militer. Proportional means mengartikan
harus adanya perencanaan skala dan durasi intervensi militer; dan serangan
dilakukan dengan intensitas minimum sejauh yang diperlukan untuk menyelamatkan
kemanusiaan yang menjadi target. Kemudian, reasonable prospects mengartikan
bahwa intervensi militer hanya dapat dijustifikasi jika hal tersebut memiliki peluang
yang masuk akal untuk menghentikan atau menghindari penderitaan. Tahap Ketiga,
Responsibility to rebuild, Tahap ini dilakukan pasca dilakukannya intervensi militer;
terdiri dari peace building (upaya rekonstruksi dan rehabilitasi), security (penyediaan
keamanan dan perlindungan dasar bagi populasi), justice and reconciliation
(penegakan keadilan dan dilakukannya proses rekonsiliasi), dan development
(pertumbuhan ekonomi, pembuatan kembali pasar-pasar dan pembangunan yang
berkelanjutan melalui proyek-proyek yang melibatkan kerjasama antara lembaga
nasional dan internasional). Berdasarkan hukum internasional, ada tiga kondisi
dilakukannya R2P, yaitu, (1) consent, yakni adanya izin dari negara yang menjadi
target R2P, hal ini berdasarkan Piagam PBB pasal 2 poin 7 dan ARSIWA
(Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts) tahun 2001 pasal 20; (2)
wewenang Dewan Keamanan PBB, yakni otorisasi R2P harus berada di tangan PBB
karena sesuai dengan tanggung jawabnya untuk menjaga perdamaian dan keamanan
internasional, sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB pasal 24; (3) dilakukan jika
telah ada serangan bersenjata yang mengancam keselamatan populasi, berdasarkan
Piagam PBB pasal 51. Berdasarkan Pasal 51 tersebut, intervensi militer dapat
dilakukan dengan landasan pertahanan diri, baik individu maupun kolektif jika
terjadi serangan bersenjata. Pertahanan diri suatu negara dapat dilakukan dengan cara
meminta bantuan kepada negara lain untuk mengatasi atau menghindari krisis yang
memberikan penderitaan bagi manusia. Dengan demikian, suatu negara yang
dimintai bantuan dapat melakukan intervensi militer sebagai bentuk dari pertahanan
diri kolektif.
Pencapaian Indonesia sebagai negara ASEAN yang saat ini diberikan akses
langsung oleh pemerintah Myanmar ke wilayah Rakhine. Hal ini tidak lepas dari
upaya Indonesia yang selalu mengedepankan engagement dan dukungan
pembangunan inklusif di Myanmar. Indonesia melakukan ini sebagai upaya
memenuhi tanggung jawabnya membantu Myanmar melindungi warga negaranya.
Hal lain yang dilakukan oleh Indonesia dalam membantu permasalahan di Myanmar
yaitu memastikan bahwa Pemerintah Myanmar tetap terbuka untuk menerima
kehadiran sukarelawan dari berbagai negara dan bantuan kemanusiaan untuk
meringankan beban Rohingya di Rakhine. Indonesia harus memastikan bahwa tidak
ada lagi operasi militer membabi buta yang dilancarkan oleh Pemerintah Myanmar di
kawasan Rakhine. dan Myanmar sebagai negara terimbas oleh eksodus Rohingya,
Pemerintah Indonesia harus membuat komitmen dan kesepakatan dengan
Pemerintah Myanmar mengenai penanganan imigran Rohingya di Indonesia.
Mekanismenya bisa saja pemulangan langsung dengan syarat bahwa mereka tidak
mengalami represi kembali setiba di tanah air, atau pemulangan secara bertahap
seiring dengan pulihnya situasi politik di Myanmar serta penguatan kapasitas
pemerintah Myanmar dalam pemecahan konflik. Kemanusiaan adalah hal yang
sangat penting dalam relasi antarnegara. Terkadang kemanusiaan mampu melampaui
sekat-sekat yang ada. Apa yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dalam
menangani konflik di Myanmar adalah diplomasi yang berlandaskan aspek
kemanusiaan bukan pada aspek kepentingan nasional semata. Melalui diplomasi
kemanusiaan ini, diharapkan tercipta stabilitas kawasan yang pada akhirnya mampu
menopang stabilitas dan ketahanan nasional Indonesia di masa yang akan datang.
Indonesia ikut serta dalam membantu permasalhan di Myanmar menunjukkan bahwa
Indoneisa memiliki rasa kepedulian terhadap kemanusiaan Internasional, sehingga
permasalahan Indonesia dalam menolak hasil Voting tidak perlu untuk
dipermasalahkan lebih lanjut dan menjadi buah bibir.
KESIMPULAN
Seperti yang sudah dipaparkan diatas, R2P merupakan upaya bersama atas
tanggung jawab kemanusiaan untuk menyelamatkan manusia dari genosida,
pembersihan etnis, dan kejahatan perang terhadap kemanusiaan. Dalam hal
konflik intra-negara, jikalau negara tidak mampu melindungi warganya dari
kekejaman massal, maka masyarakat internasional dapat mengambil alih tanggung
jawabnya dengan upaya preventif dan bertanggung jawab dengan
mengerahkan pasukan untuk mengurangi situasi konflik yang lebih buruk. Setelah
itu, masyarakat internasional akan melanjutkan untuk memberikan bantuan untuk
pemulihan pascakonflik. R2P berkontribusi karena membangun harapan bahwa
Dewan Keamanan memiliki tanggung jawab perlindungan, dan memaksa Dewan
Keamanan memberi respon ketika krisis perlindungan muncul. R2P memberikan
perlindungan terhadap mereka yang rentan akan menjadi prioritas utama dalam
memberikan respon. Dari sisi Indonesia sendiri diharapkan untuk terus konsisten
terhadap dukungannya pada penerapan R2P dan juga berlangsungnya intervensi
melalui pelaksanaan R2P guna mewujudkan komitmen politik dan moral
berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban bersama, masing-masing
negara dan masyarakat internasional untuk memberikan perlindungan kepada
setiap individu dari tindak kekejaman masal serta menjunjung perdamaian dunia.
Hal yang dilakukan Jndonesia dalam membantu permasalahan dunia khususnya
membantu negara Myanmar dalam menyelesaikan permasalahan Rohingya, Tidak
optimalnya realisasi responsibility to protect dalam upaya Indonesia mengatasi
gelombang pengungsi Rohingya dikarenakan Indonesia sebagai bagian dari
komunitas internasional hanya bertanggung jawab mendorong Myanmar untuk
melindungi etnis Rohingya. Namun, kedaulatan sepenuhnya dalam kasus ini adalah
milik Myanmar, sedangkan Myanmar justru tidak kooperatif dan menolak
bertanggung jawab atas kasus krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya.
Dengan demikian, belajar dari kasus krisis kemanusiaan dan upaya Indonesia
mengatasi gelombang Etnis Rohingya, dapat disimpulkan bahwa suatu negara
sebagai anggota komunitas internasional, memiliki berbagai kendala dalam upayanya
mengatasi krisis kemanusiaan yang terjadi di negara lain. Hal ini dikarenakan upaya
yang dilakukan tergantung pada sejauh mana komitmen negara yang dibantu dalam
menegakkan kewajibannya melaksanakan prinsip-prinsip responsibility to protect.
BIBLIOGRAF
Books and Journal
Ajawaila, D. P., Matulapelwa, A. H., & Ngongare, S. (2022). Peranan Indonesia Dalam
Kasus Etnis Rohingya Berdasarkan Konsep Responsibility to Protect
(R2P). JURNAL SAINS, SOSIAL DAN HUMANIORA (JSSH), 2(1), 131-136.
Badescu, Cristina G. Humanitarian intervention and the responsibility to protect:
security and human rights (Google eBook). New York, NY: Taylor and Francis
e-Library. 2010.
Haines, Steven: Kassimeris, George, ed. “Chapter 18, Humanitarian Intervention:
Genocide, Crimes Against Humanity and the Use of Force”, The Ashgate
research companion to modern warfare, Burlington, VT: Ashgate Publishing
Ltd, pp.307-309. 2010
Ibrahim, A. (2016). The Rohingyas: Inside Myanar's Hidden Genocide. USA: C.Hurst
& Co
International Commision On Intervention and State Sovereignty.The Responsibility to
Protect.www.iciss.ca/report-en.asp. diakses pada kamis, 16 maret 2017
Jati, I., & IP, S. (2018). Analisis Penerapan Responsibility To Protect (R2p) Dalam
Penyelesaian Krisis Kemanusiaan Di Rakhine: Studi Kasus Rohingya (2012-
2017).
Mahmood, S. (2017). The Rohingya people of Myanmar: health, human rights, and
identity. The Lancet, Vol.389, Issue 10081, . 1843.&1845
Nafziger, James, The Responsibilities to Protect Cultural Heritage and Prevent
Cultural Genocide, p. 184-213
Putri, D. A., & Sidik, H. (2020). Responsibility to Protect dalam Kasus Genosida oleh
ISIL terhadap Yazidi-Irak melalui Intervensi Militer Amerika Serikat. Jurnal
ICMES, 4(1), 46-63.
Rahayu. Januari. “Eksistensi Prinsip ‘Responsibility to Protect’ dalam Hukum
Internasional”. MMH Jilid 41 No. 1. 2012
Widagdo, S., & Kurniaty, R. (2021). Prinsip Responsibility to Protect (R2P) Dalam
Konflik Israel-Palestina: Bagaimana Sikap Indonesia?. Arena Hukum, 14(2), 314-
327.
Website
https://nasional.kompas.com/read/2021/05/21/08322721/pertemuan-majelis umum-
pbb-menlu-retno-serukan-penghentian-kekerasan. Diakses pada tanggal 4
Januari 2023 2021
https://www.antaranews.com/berita/2167890/prof-hikmahanto-jelaskan-no-vote-
oleh-indonesia-terkait-r2p. Diakses pada tanggal 4 Januari 2023
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210520073853-106-644538/viral-ri-
tolak-pencegahan-genosida-kemenlu-beri-klarifikasi. Di akses pada tanggal 5
Januari 2023
https://www.ngopibareng.id/read/ri-tolak-resolusi-pencegahan-genosida-dalam-su-
pbb
https://nasional.sindonews.com/read/433566/12/knpi-kritisi-sikap-ri-yang-tolak-r2p-
dan-pencegahan-genosida-di-sidang-pbb-1621580749/10
Author
Author