BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar Belakang
Sebagai negara, Indonesia sudah pasti menjadi bagian dari subjek hukum
menaati ketentuan hukum internasional, terutama yang berkenaan dengan hak dan
kewajiban dan tanggung jawab negara sehingga harus dilaksanakan oleh negara
ditaati oleh Indonesia adalah The United Nations Convention on the Rights of the Child
1989 atau Konvensi Hak Anak PBB 1989. Konvensi Hak Anak PBB 1989 mengatur
mengenai perlindungan anak. Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB 1989, Indonesia
upaya memajukan dan melindungi hak seorang anak sesuai kebutuhan dan
1
Broer Mauna, Hukum Internasional (Dalam Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Edisi
Kedelapan, Bandung: Penerbit Alumni, 2017, Hlm. 625.
2
konvensi, kerja sama dalam pengumpulan data, evaluasi dan pengawasan, mobilisasi
Terdapat beberapa pasal di dalam Konvensi Hak Anak PBB 1989 yang
mengatur mengenai hak anak. Pasal pertama adalah Pasal 8 ayat (1).3 Pasal 8 ayat (1)
menyatakan bahwa negara-negara pihak harus berusaha menghormati hak anak untuk
keluarga seperti yang diakui oleh hukum tanpa campur tangan yang tidak sah. Pasal
kedua adalah Pasal 14 ayat (1).4 Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa negara-negara
pihak harus menghormati hak anak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, dan
beragama. Pasal ketiga adalah Pasal 15 ayat (1).5 Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa
negara-negara pihak harus mengakui hak-hak anak atas kebebasan berhimpun dan
kebebasan berkumpul dengan damai. Pasal keempat adalah Pasal 2.6 Pasal 2
tanpa diskriminasi macam apapun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin,
2
J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2018,
Hlm. 77.
3
Konvensi Hak Anak PBB 1989
4
Ibid.
5
Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Nasional, Bandung: Mandar Maju,
2019, Hlm. 49.
6
Ibid.
3
bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-
usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang
tua anak atau wali hukum anak, serta harus mengambil semua langkah yang tepat untuk
menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas
dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali
hukum anak atau anggota keluarga anak. Pasal kelima adalah Pasal 3 ayat (2) dan (3).7
Pasal 3 ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa negara-negara pihak berusaha menjamin
tuanya, wali hukumnya atau orang-orang lain yang secara sah atas anak, dan untuk
tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat,
serta menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung
jawab atas perawatan dan perlindungan tentang anak, menyesuaikan diri dengan
bidang keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan kesesuaian staf, mereka, dan juga
ayat (2) dan (3) juga menyatakan bahwa anak harus mendapatkan perlindungan dari
penganiayaan dan perenggutan atas kebebasan. Pasal terakhir adalah Pasal 17.8 Pasal
dilakukan media massa dan menjamin bahwa anak mempunyai akses ke informasi dan
7
Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, Hlm. 58.
8
Ibid.
4
bahan dari suatu diversitas sumber-sumber nasional dan internasional, terutama yang
kesehatan fisik dan mentalnya sehingga negara pihak harus mendorong media massa
untuk menyebarluaskan informasi dan bahan yang mempunyai manfaat sosial dan
budaya pada anak dan sesuai dengan makna pasal 29, mendorong kerjasama
menjadi anggota kelompok minoritas dan merupakan penduduk asli, serta mendorong
bertanggung jawab untuk menjamin bahwa tidak ada satupun yang boleh menjalani
kekerasan yang tidak memiliki nilai kemanusiaan dan menurunkan martabat. Salah satu
bentuk kekerasan yang tidak berhak dialami oleh anak adalah kekerasan perundungan.9
Perundungan merupakan salah satu kekerasan yang diberikan kepada dengan cara
9
Candra Gautama, Konvensi Hak Anak (Panduan Bagi Jurnalis), Edisi Ketujuh, Jakarta: Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan, 2017, Hlm.30.
5
tindakan verbal, fisik, dan sosial yang dilakukan secara berulang sehingga dapat
individu maupun kelompok. Kekerasan perundungan dapat terjadi di dunia maya dan
yang tidak boleh dialami oleh anak, Indonesia sebagai negara penandatangan Konvensi
Hak Anak PBB 1989 yang sudah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990, tidak boleh hanya tinggal diam. Indonesia sebagai negara penandatangan
Konvensi Hak Anak PBB 1989. Konvensi Hak Anak PBB 1989 sebagai sumber hukum
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang diteliti sebagai berikut:
10
Yayasan Sejiwa, Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan di Lingkungan, Jakarta: Grasindo, 2017,
Hlm.3.
6
terhadap perlindungan anak korban perundungan sesuai Konvensi Hak Anak PBB
1989.
Kegunaan secara praktik: Sebagai syarat menempuh S1 di Fakultas Hukum UPN Veteran
2. Warga Negara Indonesia lebih memahami adanya perlindungan hukum bagi anak,
Lebih memahami adanya perlindungan hukum bagi pejabat Indonesia, khususnya pejabat
khususnya terhadap tindakan perundungan.
RI di luar negeri
1. Sebagai syarat untuk menempuh Sarjana Hukum (S1) di Fakultas Hukum Atma Jaya.
Lebih memerhatikan perlindungan hukum bagi WNI di luar negeri
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
penelusuran terhadap suatu aturan hukum yang terdapat di dalam hukum positif dengan
kepustakaan, yaitu berupa kepustakaan atau yang disebut dengan library research.
2. Data Penelitian
Sedangkan data yang digunakan oleh penulis adalah data sekunder. Data sekunder
buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya. 13 Ciri-
cirinya antara lain dalam keadaan siap dan dapat dipergunakan dengan segera, dibentuk
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , Edisi Kedelapan, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2018, Hlm. 58.
12
Ibid.
13
Ibid, Hlm. 59.
8
maupun konstruksi data, dan tidak terbatas oleh waktu maupun tempat. Berikut ini
adalah data sekunder yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum:
Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah melalui peraturan perundang-
Nomor 36 Tahun 1990 dan traktat atau perjanjian internasionalnya adalah berupa
Konvensi Hak Anak PBB 1989 dan Konvensi Wina 1969 / 1986.
Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah melalui laporan hasil
penelitian dan buku yang menunjang judul dan permasalahan dalam penulisan hukum
ini. Laporan hasil penelitian adalah berupa penelitian yang dilakukan dengan
melakukan riset dari kasus perundungan yang terjadi belakangan ini, yaitu kasus
perundungan yang dilakukan terhadap Audrey. Sedangkan buku yang digunakan dalam
penulisan ini adalah buku yang berjudul Hukum Internasional, Hukum Internasional,
Perlindungan Anak, Buku Kekerasan Anak, Hukum Perlindungan Anak, dan lain
sebagainya.
9
Bahan hukum tersier yang penulis gunakan adalah menggunakan bahan yang
sekunder, yaitu melalui kamus. Kamus yang penulis gunakan adalah Indonesia-
Penarikan kesimpulan deduktif adalah penarikan kesimpulan yang dimulai dari hal-hal
yang berlaku umum untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Artinya, cara
tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini memiliki tahapan-tahapan yang sama dengan
metode lain. Tahapan tersebut antara lain tahapan spekulasi, tahapan observasi dan
untuk menarik satu atau lebih kesimpulan (conclusion) berdasarkan seperangkat premis
menarik lebih dari satu kesimpulan. Penarikan kesimpulan deduktif biasanya sering
14
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif (Teori dan Praktik), Edisi Revisi, Jakarta: Bumi
Aksara, 217, Hlm. 44.
10
F. Sistematika Penulisan
Penulisan hukum ini terbagi menjadi empat bab yang akan diuraikan secara singkat,
antara lain:
1. BAB I: PENDAHULUAN
Bagian ini terdiri atas enam sub bab, yang terdiri atas Latar Belakang,
PERUNDUNGAN
Bagian ini menjelaskan tentang hal mengenai ruang lingkup Konvensi Hak
perlindungan anak, khususnya anak korban kekerasan perundungan. Pada awal bagian
Internasional. Setelah itu akan dijelaskan pula mengenai hal yang berkaitan dengan
Konvensi Hak Anak PBB 1989, seperti sejarah pembentukan Konvensi Hak Anak PBB
PERUNDUNGAN
dari Konvensi Hak Anak PBB 1989, terutama setelah Indonesia meratifikasi Konvensi
Hak Anak PBB 1989. Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai pengaturan
perlindungan anak dari perundungan berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB 1989,
urgensi Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB 1989, tanggung jawab
Indonesia pasca meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB 1989 terkait perlindungan anak
korban perundungan.
4. BAB IV PENUTUP
BAB II
Mau nulis tentang AS dan Kuba silahkan
PERUNDUNGAN
Contoh:"Penggunaan Montessori Dalam
Tahap Tumbuh Kembang dan Tipe Kepribadian Anak" Kerangka Teori dan
A. Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Internasional Kerangka Konseptual
15
Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, Edisi keenam,
2018, Hlm. 8.
13
Perjanjian Internasional
bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal
atau dua maupun lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan
kepadanya.16
yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek
hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah
16
Konvensi Wina 1969
17
UU Nomor 37 Tahun 1999.
18
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Pengantar Hukum
Internasional, 2017, Hlm. 117-118.
14
internasional yang mengikat antar negara untuk mencapai tujuan bersama dalam
bentuk tertulis serta dapat menimbulkan hak maupun kewajiban di antara negara –
umumnya tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya. Suatu
dan dengan memperhatikan keinginan para pihak pada perjanjian tersebut dan dampak
beragam, namun apabila ditelaah lebih lanjut, pengelompokkan suatu perjanjian dalam
judul tertentu dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesamaan materi yang diatur.
Selain itu, penggunaan judul tertentu pada perjanjian internasional juga dilakukan
19
Ibid.
15
Wina tahun 1969 mengenai Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai
Hukum Perjanjian Antara Negara dan Organisasi Internasional atau Antara Organisasi
perjanjian internasional. Selain itu, Pasal 102 Piagam PBB hanya membedakan
komitmen yang diberikan oleh suatu negara secara unilateral dalam pelaksanaan
sebagai berikut:
pengertian khusus. Yang dimaksudkan dengan pengertian umum ialah bahwa treaty
treaty merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urutan
/ instrumen yang dibuat oleh subjek hukum internasional yang dibuat oleh subjek
internasional.21
20
Ibid., Hlm. 119.
21
Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Keduapuluh, Jakarta: Bhatara, 2016,
Hlm. 60.
16
dikenal dengan istilah traktat. Hingga saat ini, tidak terdapat pengaturan yang konsisten
atas penggunaan terminologi traktat tersebut. Pada umumnya, traktat digunakan untuk
suatu perjanjian yang materinya merupakan hal – hal yang sangat prinsipil. Umumnya
Contoh perjanjian yang berbentuk traktat antara lain sebagai berikut Perjanjian
Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara 24 Februari 1976 (Treaty of Amity and
Cooperation in Southeast Asia), Test Ban Treaty 5 Agustus 1963, Non Proliferation
Treaty 1 Juli 1968 dimana Indonesia telah menjadi pihak, Southeast Asia Nuclear
Weapon – Free Zone yang ditandatangani tanggal 15 Desember 1995 dan mulai berlaku
Juni 1974, Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan Filipina tanggal 10 Februari 1976,
Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas Dasar Laut tertentu dengan
Australia tanggal 16 Maret 1997, Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah
dengan Malaysia tanggal 17 Maret 1970, Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut
Wilayah dengan Singapura tanggal 25 Mei 1973, Perjanjian Penetapan Garis Batas
Laut Wilayah dengan Australia tanggal 22 April 1992, juga dengan Australia tentang
17
Saling Membantu dalam Masalah Kriminal (bagian dari ekstradisi minus penyerahan
perjanjian internasional secara umum. Dalam kaitan ini, Pasal 38 Statuta Mahkamah
internasional, kedua istilah ini menduduki tempat paling tinggi dalam urutan perjanjian
internasional. 23
internasional untuk berpartisipasi secara luas. Konvensi biasanya bersifat law making
22
Ibid.
23
Ibid., Hlm. 61.
24
Ibid.
18
Korban Perang, Konvensi – Konvensi Wina 1961 dan 1963 mengenai Hubungan
Konvensi – Konvensi Jenewa 1958 mengenai Hukum Laut, dan Konvensi PBB
perangkat internasional yang tidak memenuhi definisi traktat. Dengan demikian, maka
dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari traktat dan konvensi. 25
Indonesia lebih dikenal dengan istilah persetujuan. Menurut pengertian ini, persetujuan
pada umumnya mengatur materi yang memiliki cakupan lebih kecil dibandingkan
materi yang diatur pada traktat.26 Saat ini terdapat kecenderungan untuk menggunakan
istilah persetujuan bagi perjanjian bilateral dan secara terbatas pada perjanjian
25
Ibid., Hlm. 62.
26
Ibid.
19
yang mengatur materi kerjasama di bidang ekonomi, kebudayaan, teknik, dan ilmu
pengetahuan. Dalam bidang yang erat kaitannya dengan keuangan, persetujuan juga
organisasi internasional. Penggunaan istilah ini berasal dari Magna Charta yang dibuat
pada tahun 1215. Contoh umum perangkat internasional tersebut adalah Piagam PBB
tahun 1945.27
Signature adalah perangkat tambahan suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh
pihak – pihak yang sama pada perjanjian. Protokol perjanjian ini pada umumnya
berisikan hal – hal yang berkaitan dengan penafsiran pasal – pasal tertentu pada
perjanjian dan hal – hal yang berkaitan dengan pengaturan teknik pelaksanaan
27
Sri Setianingsih, Hukum Internasional, Jakarta: Universitas Terbuka, 2018, Hlm. 30.
28
Ibid.
20
adalah protokol yang memberikan tambahan berupa hak dan kewajiban selain yang
memiliki karakter khusus dan memerlukan proses pengesahan yang terpisah dari
kepada beberapa pihak pada perjanjian untuk membentuk pengaturan lebih jauh dari
perjanjian induk dan tanpa memerlukan persetujuan seluruh negara pihak. Dengan
demikian, maka protokol ini menciptakan two tier system pada perjanjian internasional.
Contoh dari perjanjian ini adalah Protokol Tambahan Kovenan Internasional menganai
Hak – Hak Sipil dan Politik 1966. Protokol ketiga adalah Protocol based on
perjanjian yang berlangsung lebih cepat dan sederhana, serta telah digunakan,
khususnya pada hukum lingkungan. Contoh protokol ini adalah The Montreal Protocol
on Substances that Deplete the Ozone Layer yang didasari oleh Pasal 2 maupun Pasal
8 Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer. Keragaman keempat
Deklarasi juga merupakan suatu perjanjian dan berisikan ketentuan umum dimana
kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang. Bedanya dengan perjanjian atau
konvensi adalah deklarasi isinya ringkas dan padat serta mengesampingkan ketentuan
– ketentuan yang hanya bersifat formal, seperti surat kuasa, ratifikasi, dan lain
sebagainya.29
Di dalam keenam deklarasi yang dibuat oleh ASEAN sampai sekarang ini, seperti
Declaration of ASEAN Concord 1976 dan Declaration of Zone of Peace, Freedom, and
Neutrality 1971, tidak ada satupun yang berisikan ketentuan mengenai cara – cara
berlakunya, yaitu apakah deklarasi harus diratifikasi atau tidak. Semua deklarasi yang
dibuat ASEAN tersebut hanya berisi prinsip – prinsip dan pernyataan – pernyataan
umum mengenai kebijaksanaan yang akan diambil oleh negara - negara ASEAN di
masa yang akan datang.30 Namun demikian, sesuai dengan praktek dan hukum
perjanjian – perjanjian lainnya. Hanya saja harus dibedakan deklarasi yang dihasilkan
oleh Majelis Umum PBB, seperti Universal Declaration of Human Rights 1948, The
29
Ali Sastroamidjojo, loc. cit.
30
Ibid.
22
g. Final Act
Final Act adalah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu
konvensi yang dihasilkan oleh konferensi tersebut dengan kadang – kadang disertai
anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap perlu. Penandatanganan Final Act ini
sama sekali tidak berarti penerimaan terhadap perjanjian – perjanjian atau konvensi –
konvensi yang dihasilkan tetapi hanya semacam kesaksian berakhirnya suatu tahap
proses pembuatan perjanjian. Penandatanganan dalam arti salah satu tahap ratifikasi
dilakukan kemudian pada lain kesempatan. Contoh dari Final Act adalah Final Act
General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994, Final Act Embodying the
Agreed Minutes dan Summary Records adalah catatan mengenai hasil perundingan
yang telah disepakati oleh pihak – pihak dalam perjanjian. Catatan ini selanjutnya akan
31
Indien Winarwati, Hukum Internasional, Surabaya: Setara Press, 2017, Hlm. 45.
32
Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (Dari Konsepsi Sampai Aplikasi), Bandung: Pustaka Setia,
2017, Hlm. 37.
23
i. Memorandum of Understanding
operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis.
perjanjian induk. Jenis perjanjian ini pada umumnya dapat segera berlaku setelah
j. Arrangement
operasional suatu perjanjian induk.34 Dalam kaitan ini, Arrangement juga dapat dipakai
untuk melaksanakan proyek – proyek jangka pendek yang betul – betul bersifat teknis
kadang juga dipakai istilah Special Agreement untuk pelaksanaan kegiatan – kegiatan
sedangkan pelaksanaan tiap – tiap bidang serta hak – hak dan kewajiban – kewajiban
33
Ibid.
34
Ibid., Hlm. 38.
35
Ibid.
24
k. Exchanges of Notes
banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan
mempertukarkan dua dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada
secara utuh isi surat yang diberikan oleh negara pengusul perjanjian tersebut dan
tersebut berisikan kesepakatan – kesepakatan yang telah dicapai dengan tanggal yang
sama dan mulai berlaku pada tanggal tersebut, kecuali bilamana pihak – pihak
menentukan lain.36
Pertukaran nota atau surat juga sering digunakan untuk penjelasan pasal – pasal
menjadi surat – menyurat, maka praktek sekarang ini menganjurkan agar dicapai
terlebih dahulu kesepakatan mengenai isi nota – nota tersebut sebelum dipertukarkan.
Di Indonesia, pertukaran nota atau surat biasanya mengatur soal – soal pelaksanaan
persetujuan induk, pemberian hibah, penyediaan alat – alat teknik, peningkatan studi
di berbagai bidang, kegiatan survey dan lain – lainnya. Pertukaran nota atau surat ini
36
Ibid., Hlm. 39.
37
Ibid.
25
termasuk cara – cara yang sering juga dipakai Indonesia dalam hubungan –
l. Modus Vivendi
Modus Vivendi adalah suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud
akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci. Biasanya dibuat dengan cara
m. Process – Verbal
pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hal – hal yang bersifat teknik adminstratif
n. Konstitusi
Perhimpunan Pos Sedunia (Universal Postal Union), Asia-Pacific Postal Union, Asia-
38
Darwis Anatami, Selayang Pandang Tentang Hukum Internasional, Yogyakarta: Deepublish, 2018,
Hlm. 29
39
Ibid.
40
Wiwin Yulianingsih, Hukum Organisasi Internasional, Banten: Andi Offset, 2017, Hlm. 41.
26
o. Strategic Partnership
politis) dan mempunyai lingkup yang luas / lebih dari satu bidang. Kesepakatan ini
dilakukan pada tingkat kepala negara. Walaupun tidak mengikat, tetapi dapat dijadikan
p. Letter of Intent
Letter of Intent adalah nota kesepakatan yang tidak mengikat. Biasanya dilakukan
pada tahap penjajakan dalam menyusun perjanjian. Misalnya kedua belah pihak
tertentu.42
41
Darwis Anatami, loc.cit.
42
Ibid.
27
1) Perundingan
Perundingan dilakukan oleh wakil – wakil negara yang diutus oleh negara –
dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, maupun duta besar. Perundingan
juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa full powers atau surat kuasa penuh.
2) Penandatanganan
Penandatangan merupakan hal yang telah disepakati oleh kedua belah pihak
biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri.
pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara – negara yang
jika 2/3 suara peserta yang hadir dalam pemberian suara, kecuali jika ditentukan lain.44
negaranya. Hal ini dibuktikan oleh Pasal 12 Konvensi Wina yang mengatakan bahwa
persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk
43
Wiwin Yulianingsih, op. cit., Hlm. 43.
44
Ibid.
28
tandatangan wakil negara tersebut, bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya, bila
terbukti bahwa negara – negara yang telah berunding menyetujuinya demikian, dan
bila surat kuasa penuh wakil – wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan
menciptakan ikatan hukum bagi para pihaknya.46 Hal ini dibuktikan oleh Pasal 14
Konvensi Wina yang mengatakan bahwa persetujuan suatu negara diikat suatu
perjanjian yang dinyatakan dalam bentuk ratifikasi apabila perjanjian itu sendiri
bahwa negara – negara yang ikut berunding setuju untuk mengadakan ratifikasi, bila
meratifikasinya kemudian atau surat kuasa penuh delegasi itu sendiri menyatakan
perjanjian – perjanjian itu pada umumnya menyangkut kepentingan dan mengikat masa
depan negara dalam hal – hal tertentu dan karena itu harus disahkan oleh kekuasaan
dengan pemerintah yang mengutus mereka, perlu adanya waktu agar instansi – instansi
45
Ibid.
46
Edy Suryono, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Edisi keduapuluh satu,
Bandung: Remadja Karya, 2017, Hlm.46.
47
Budiono Kusumohadidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional, Konvensi Wina Tahun 1969
Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Edisi keduapuluh, Bandung: Binacipta, 2016, Hlm. 46.
29
yang bersangkutan dapat mempelajari naskah yang diterima, dan pengaruh rezim
sifatnya eksekutif.48
Tahun 2000
1) Penjajakan
Penjajakan adalah tahap pertama yang dilakukan oleh kedua pihak yang
internasional. 50
2) Perundingan
inilah merupakan upaya yang ditempuh oleh para pihak dari negara – negara untuk
mencapai kesepakatan atas materi yang masih belum dapat disetujui dalam tahap
pertama, yaitu pada tahap penjajakan. Tahap perundingan perumusan naskah ini
48
Edy Suryono, loc.cit.
49
UU Nomor 24 Tahun 2000
50
Edy Suryono, loc. cit.
51
Ibid.
30
ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional. Hal ini dilakukan setelah
para pihak mendapatkan persetujuan untuk mengadakan perundingan. Oleh karena itu,
perundingan tersebut. Jika kepala negara tidak dapat menghadiri perundingan, maka
perundingan akan diwakili oleh Menteri Luar Negeri atau wakil diplomatiknya.
Apabila tidak, maka akan ditunjuk wakil-wakil berkuasa penuh dan mendapat surat
dalam konteks tersebut. Pada tahap perundingan inilah beberapa draft atau rancangan
perjanjian ditawarkan dan dibahas sehingga muncul usul, amandemen, pro maupun
kontra.52
3) Perumusan Naskah
perundingan oleh para pihak atas materi perjanjian internasional. Pada tahapan ini
diberikan juga tanda paraf terhadap materi yang telah disetujui sehingga dihasilkan
puls Agreed Minutes, atau Minutes of Meeting, atau Records of Discussion, atau
Summary Records yang berisi hal - hal yang sudah disepakati, belum disepakati,
52
Ibid.
53
Ibid, Hlm. 47.
54
Ibid.
31
perjanjian bilateral dari dua negara yang mempunyai bahasa yang sama, maka hal ini
setiap nama negara para pihak muncul. Begitu juga dengan letak tanda tangan, tanda
tangan harus diletakkan di sebelah kiri ataupun dibagian atas secara berurutan.
4) Penerimaan
Penerimaan adalah tahap keempat untuk menerima naskah perjanjian yang telah
dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan yang bersifat bilateral,
maka kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan bisa disebut penerimaan apabila
dilakukan dengan membubuhkan paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua
delegasi masing - masing. Akan tetapi, dalam perundingan yang bersifat multilateral,
maka kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan bisa dikatakan sebagai proses
5) Penandatanganan
untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh
55
Damos Dumoli, Hukum Perjanjian Internasional (Teori dan Praktik di Indonesia), Yogyakarta:
Social Agency Putera, 2018, Hlm. 37.
32
menyatakan bahwa penandatanganan itu mempunyai pengaruh. Jika tidak ada, maka
akan disebutkan bahwa negara – negara perunding telah menyetujui sebelumnya bahwa
penandatanganan itu harus mempunyai pengaruh atau adanya kehendak dari negara
surat kuasa penuh dari wakilnya atau selama perundingan. Penandatanganan suatu
pertimbangan lebih lanjut) ad referendum, dan jika nantinya diberikan konfirmasi oleh
56
Ibid.
57
Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2018, Hlm. 71.
33
Pertukaran instrumen dilakukan dengan cara persetujuan dari serikat untuk terikat
dengan suatu perjanjian yang dibentuk oleh Instrumen yang dipertukarkan antara
akan memiliki efek atau jika tidak ditetapkan bahwa Negara-negara itu sepakat bahwa
Persetujuan dari negara untuk terikat oleh suatu perjanjian dinyatakan oleh
ratifikasi ketika negara dari persetujuan untuk terikat oleh suatu ratifikasi perjanjian
ditetapkan bahwa perundingan serikat telah disepakati bahwa ratifikasi harus diminta,
Persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian dapat dinyatakan
dengan aksesi apabila perjanjian itu sendiri secara jelas menyatakan hal tersebut dan
jika terbukti bahwa negara – negara yang ikut berunding menginginkan yang
demikian.60
58
A. K. Syahmin, Hukum Internasional Publik: Dalam Kerangka Studi Analitis, Jakarta: Binacipta,
2017, Hlm. 35.
59
Ibid.
60
Ibid., Hlm. 37.
34
Cara lain yang dikehendaki oleh negara-negara adalah keterikatan secara otomatis
Gagasan mengenai hak anak bermula setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama.
Sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutana yang
dialami oleh kaum perempuan dan anak – anak, para aktivis perempuan dalam pawai
protes mereka dimana mereka membawa poster – poster yang meminta perhatian
publik atas nasib anak – anak yang menjadi korban perang. Salah seorang di antara
sepuluh butir pertanyaan tentang hak anak pada tahun 1923 dan diadopsi oleh Save the
Pada tahun 1924, untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara
internasional oleh Liga Bangsa – Bangsa (Sekarang Perserikatan Bangsa – Bangsa atau
PBB) dan deklarasi ini dikenal dengan Deklarasi Jenewa.63 Setelah berakhirnya Perang
Dunia Kedua, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal
61
D. Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya, Edisi Keenam, . Jakarta:
Diadit Media, 2017, Hlm. 31.
62
Ima Susilowati, dkk., Pengertian Konvensi Hak Anak, Jakarta: UNICEF INDONESIA, 2018, Hlm.
11.
63
Ibid.
35
mengenai Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember 1948. Peristiwa setiap tahun
yang diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia Sedunia ini menandai perkembangan
penting dalam sejarah hak asasi manusia. Beberapa hal yang menyangkut hak khusus
Pada tahun 1959, Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai
Hak Anak yang merupakan deklarasi internasional kedua. Lalu, pada tahun 1979 saat
terhadap hak – hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal mula perumusan
Konvensi Hak Anak. Terakhir, pada tahun 1989, Konvensi Hak Anak diselesaikan
pada tahun itu juga dan naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis
Umum PBB pada tanggal 20 November 1989. Rancangan inilah yang kita kenal
sebagai Konvensi Hak Anak PBB 1989. Konvensi Hak Anak PBB 1989 mulai
yang mengatur mengenai hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada anak.65
perlindungan anak. 66 Pelaksanaan konvensi Hak Anak PBB 1989 diawasi oleh Komite
64
Ibid., Hlm 12-13.
65
Hadi Setia Tunggal, Konvensi Hak-Hak Anak, Jakarta:Harvarindo, 2018, Hlm.65.
66
Ibid.
36
Kovensi Hak Anak PBB 1989. Anggotanya terdiri dari berbagai negara dari seluruh
dunia.
Konvensi Hak Anak PBB 1989 merupakan instrument internasional di bidang Hak
Asasi Manusia dengan cakupan hak yang paling komprehensif. Terdiri atas 54 Pasal,
Konvensi Hak Anak PBB 1989 hingga saat ini dikenal sebagai satu – satunya konvensi
di bidang Hak Asasi Manusia yang mencakup baik hak sipil dan politik, maupun
Berdasarkan strukturnya, Konvensi Hak Anak PBB 1989 terbagi atas empat bagian.
Bagian pertama adalah bagian preambule atau bagian mukadimah. Bagian mukadimah
berisi konteks dalam Konvensi Hak Anak PBB 1989. Bagian kedua adalah bagian satu
yang terdiri atas Pasal 1 – Pasal 41 yang mengatur hak bagi semua anak. Bagian ketiga
adalah bagian dua yang terdiri atas Pasal 42 – Pasal 45 mengatur mengenai masalah
pemantauan dan pelaksanaan dari Konvensi Hak Asasi Manusia. Bagian terakhir
adalah bagian tiga yang terdiri atas Pasal 46 – Pasal 54 yang mengatur mengenai
Berdasarkan isinya, Konvensi Hak Anak PBB 1989 terbagi atas lima bagian.67
Bagian pertama adalah kategorisasi berdasarkan konvensi induk hak asasi manusia
yang dikatakan bahwa Konvensi Hak Anak PBB 1989 mengandung hak – hak sipil dan
67
Ibid.,Hlm. 66.
37
politik serta hak – hak ekonomi, sosial, dan budaya. Bagian kedua adalah ditinjau dari
sisi yang berkewajiban melaksanakan Konvensi Hak Anak PBB 1989, yaitu negara dan
yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak anak (orang dewasa pada umumnya)
dan terdapat tiga kata kunci yang bisa dipakai sebagai jembatan untuk memahami isi
Konvensi Hak Anak yaitu memenuhi, melindungi, dan menghargai. Bagian ketiga
adalah mengenai cara pembagian yang sudah sangat populer dan dibuat berdasarkan
cakupan hak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak PBB 1989. Hak – hak
tersebut adalah hak atas kelangsungan hidup, hak atas berkembang, hak atas
keempat adalah cara pembagian yang dirumuskan oleh Komite Hak Anak PBB yang
mengelompokkan Konvensi Hak Anak PBB 1989 menjadi delapan kategori ( Langkah
– langkah implementasi umum, definisi anak, prinsip – prinsip umum, hak sipil dan
kesejahteraan dasar, pendidikan, waktu luang, dan kegiatan budaya, serta langkah –
perlindungan khusus). Bagian kelima adalah kategori substantif hak anak pada kategori
terakhir (4 – 8) dan tiga kelompok yang pertama (1 – 3 ) bersifat lintas kategori. Cara
pembagiannya lebih banyak digunakan, terutama oleh yang mengkhususkan diri pada
38
Konvensi Hak Anak PBB 1989 karena pembagian ini sekaligus memberikan kerangka
Intinya, di dalam Konvensi Hak Anak PBB 1989 inilah terdapat banyak hak yang
harus dimiliki oleh anak.69 Hak pertama adalah memperoleh nama dan kebangsaan
serta dipelihara oleh kedua orang tuanya. Hak kedua adalah berhak mempertahankan
identitas termasuk soal kewarganegaraan, nama diri, dan hubungan keluarga. Hak
ketiga adalah bebas menyatakan pendapat, baik secara lisan, tertulis maupun
cetakan, dalam bentuk seni atau media lain sesuai pilihan anak yang bersangkutan.
Hak keempat adalah berhak memperoleh informasi yang tepat dari berbagai sumber
berpikir, hati nurani, dan beragama. Hak keenam adalah berhak mempunyai
adalah berhak melindungi kehidupan pribadi. Hak kedelapan adalah berhak untuk
tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam, atau hukuman yang tidak manusiawi
oleh adat istiadat setempat. Hak kesepuluh adalah berhak memperoleh perawatan dari
orangtua. Hak kesebelas adalah berhak untuk tidak dipisahkan dari orangtua. Hak
keduabelas adalah berhak bersatu kembali dengan keluarga. Hak ketigabelas adalah
68
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Edisi Keempat, Bandung: Nuansa Cendekia, 2018, Hlm.
36.
69
Ibid.
39
berhak mendapat dukungan dari lingkungan keluarga. Hak keempat belas adalah
anak. Hak kelima belas adalah berhak memperoleh perlindungan dari Negara atas
tindakan penyerahan secara gelap ke luar negeri sehingga tidak dapat kembali ke
Indonesia. Hak keenam belas adalah berhak untuk tidak disalahgunakan dan
ditelantarkan oleh Negara. Hak ketujuh belas adalah berhak memperoleh peninjauan
kembali secara periodik penempatan eksistensi diri. Hak kedelapan belas adalah
layak, seandainya anak dalam keadaan cacat fisik atau mental. Hak kedua puluh adalah
berhak memperoleh jaminan kesehatan dan pelayanan kesehatan. Hak keduapuluh satu
adalah berhak mendapat jaminan sosial dan pelayanan perawatan serta berbagai
fasilitas dari Negara. Hak keduapuluh dua adalah berhak meningkatkan kualitas
hidup layak dan pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Hak
keduapuluh lima adalah berhak memperoleh fasilitas yang sama dari Negara
dalam memanfaatkan waktu luang, kegiatan rekreasi dan budaya. Hak keduapuluh
keduapuluh delapan adalah hak setiap anak untuk diperlakukan dengan baik.
40
Apabila ia melanggar hukum, maka penghukumannya sesuai dengan martabat dan nilai
puluh adalah tidak seorang anakpun menjalani siksaan atau perlakuan kejam,
perlakuan yang tidak manusiawi atau menurunkan martabat. Hak ketigapuluh satu
atas eksistensi anak yang menjadi korban konflik hukum. Hak ketigapuluh dua adalah
anak dilindungi Negara dari eksploitasi ekonomi dan terhadap pekerjaan yang
fisik, mental dan spirtual, moral. Hak ketigapuluh tiga adalah anak berhak
seksual. Hak ketigapuluh empat adalah negara akan melindungi anak dari semua
bentuk lain eksploitasi yang merugikan bagi setiap aspek dari kesejahteraan anak. Hak
ketigapuluh lima adalah anak dilindungi Negara dari pemakaian narkoba, dan
zat - zat psikotropika lainnya. Hak ketigapuluh enam adalah negara akan mengambil
langkah yang layak, baik secara nasional, bilateral dan multilateral untuk mencegah
penculikan, penjualan, atau jual - beli anak untuk tujuan atau dalam bentuk apapun..
Hak ketigapuluh tujuh adalah anak dari kalangan minoritas berhak untuk
Dari ketigapuluh tujuh hak anak tersebut, terdapat prinsip hak anak yang terdiri
atas sepuluh prinsip.70 Prinsip pertama menyatakan bahwa setiap anak harus menikmati
sema hak yang tercantum di dalam deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan, dan
tanpa diskriminasi. Prinsip kedua menyatakan bahwa setiap anak harus menikmati
perlindungan khusus, harus diberikan kesempatan dan fasilitas oleh hukum atau oleh
peralatan lain sehingga mereka mampu berkembang, secara fisik, mental, moral,
spiritual, dan sosial dalam cara yang sehat serta normal. Prinsip ketiga menyatakan
bahwa setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan indentitas kebangsaan.
Prinsip keempat menyatakan bahwa setiap anak harus menikmati manfaat dari adanya
jaminan sosial. Prinsip kelima menyatakan bahwa setiap anak, baik secara fisik,
bahwa setiap anak bagi perkembangan pribadinya secara penuh dan seimbang
memerlukan kasih sayang dan pengertian. Prinsip ketujuh menyatakan bahwa setiap
anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan atas dasar hak wajib belajar.
Prinsip kedelapan menyatakan bahwa setiap anak dalam situasi apapun harus
bahwa setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk keterlantaran, tindakan
kekerasan, dan eksploitasi.71 Prinsip kesepuluh atau terakhir menyatakan bahwa setiap
70
Ibid, Hlm. 34.
71
Ibid.
42
anak harus dilindungi dari setiap praktik diskriminasi berdasarkan rasial, agama, dan
bentuk-bentuk lainnya.
Menurut Pasal 1 Konvensi Hak Anak PBB 1989, anak adalah manusia yang
umurnya belum mencapai delapan belas tahun, kecuali berdasarkan undang – undang
yang berlaku untuk anak – anak sehingga kedewasaan telah dicapai dengan cepat.72
Maksud dari pernyataan Pasal 1 Konvensi Hak Anak PBB 1989 tersebut adalah pasal
tersebut juga mengakui kemungkinan adanya perbedaan atau variasi dalam penentuan
batas usia kedewasaan di dalam perundangan nasional dari tiap – tiap negara peserta.
beralkohol, untuk bertanggung jawab kriminal atau untuk bisa dijatuhi hukuman mati,
dan lain sebagainya.73 Idealnya, negara peserta memperlakukan standar terendah yang
ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak PBB 1989 sebagai standar terendah dan demi
sedikit mulai menyesuaikan batasan umur anak yang terdapat dalam perundangan
nasional supaya sesuai dengan standar dalam Konvensi Hak Anak PBB 1989.74
72
Irma Setyowati, Aspek Perlindungan Anak, , Edisi kedelapan belas, Jakarta: Bhumi Aksara, 2018,
Hlm. 40.
73
Ibid, Hlm. 41.
74
Chandra Gautama, Konvensi Hak Anak: Panduan Bagi Jurnalis, Edisi ketujuh, Jakarta: LSPP, 2018,
Hlm. 56.
43
Menurut Konvensi Hak Anak PBB 1989, perlindungan anak adalah perlindungan
yang diberikan kepada anak mengingat anak merupakan individu yang belum matang
secara fisik, mental, dan sosial, dari berbagai tindakan kejahatan.75 Perlindungan
kepada anak terdiri atas perlindungan umum dan perlindungan khusus.76 Perlindungan
umum meliputi perlindungan kepada anak dari keadaan darurat atau membahayakan,
yang dikategorikan oleh Komite Hak Anak PBB yang meliputi anak yang beradan
dalam situasi darurat dalam arti pengungsi anak dan anak yang berada dalam situasi
konflik bersenjata, anak yang mengalami masalah dengan hukum, anak yang
seksual, penjualan dan perdagangan anak dan yang mengalami bentuk eksploitasi
lainnya), dan anak yang berasal dari kelompok minoritas dan masyarakat adat.
3. Pengertian Perundungan
75
Konvensi Hak Anak PBB 1989.
76
Ibid.
44
a. Menurut istilah
mengusik terus menerus, menyusahkan, serta menyakiti orang lain secara verbal,
sosial, dan fisik berulang kali dan dari waktu ke waktu, seperti memanggil nama
berulang yang mengakibatkan kerugian fisik dan atau psikologis.Tindakan ini dapat
Perundungan dapat dilihat apabila seseorang yang menjadi korban terkena aksi
negatif oleh satu orang atau lebih, dan kesulitan untuk membela dirinya.80 Hal ini
77
Robert Pereira, Why’s children Bully, Jakarta: Grasindo, 2018, Hlm.3.
78
Tamer, Kamus Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris, Inggris: Tamer Press, 2017, Hlm.5.
79
Yayasan Sejiwa,Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan di Lingkungan,Jakarta:Grasindo,2017,Hlm.3.
80
Ibid, Hlm 4.
45
dibuktikan dengan tiga unsur atau definisi dari perundungan, antara lain sebagai
berikut:
negatif dan tidak diinginkan dengan tujuan menyakiti target. Target tersebut adalah
korban.81
2) Perundungan adalah pola perilaku yang dilakukan dengan cara berulang kali
dirinya.
ancaman kekerasan, penghinaan ras dan lain-lain. Perundungan ini biasanya sering
dilakukan oleh pelaku perundungan tanpa menyadari dan tanpa memahami bahwa hal
tersebut merupakan hal yang salah untuk dilakukan. Kata-kata yang biasa digunakan
oleh pelaku perundungan dalam perundungan secara verbal ini adalah kata-kata kasar
81
Ibid.
46
perundungan merasa rendah diri dan tidak memiliki kepercayaan diri.82 Pelaku yang
sarkasme dengan maksud untuk menyakiti perasaan korban perundungan dengan cara
kedua adalah perundungan fisik yang dilakukan dengan cara menonjok, menampar,
maya adalah perundungan dunia maya yang dilakukan dengan cara memberikan
internet ataupun lewat telepon.Perundungan terhadap anak usia di bawah usia 18 tahun
melalui dunia maya terjadi seiring dengan majunya teknologi,seperti telepon genggam,
82 82
Zainal Aqib dan Ahmad Amrullah, Ensiklopedia Pendidikan dan Guru, Banten: Andi Publisher,
2017, Hlm. 15.
83
Robert Pereira, Op. Cit., Hlm. 8.
84
Ibid.
85
Zainal Aqib dan Ahmad Amrullah, op. cit., Hlm. 16.
47
86
Perundungan jenis keempat adalah perundungan secara emosi. Perundungan
secara emosi adalah perundungan yang dilakukan dengan cara melibatkan emosi dan
depresi. 87
sulit terdeteksi apabila dilihat dari luar. Perundungan secara relasional ini pada
pasalnya dilakukan dengan cara melemahkan harga diri korban perundungan, yaitu
menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika
86
.Ibid.,Hlm.17 -18
87
Ibid., Hlm.9-11.
88
Ibid.
48
didekati oleh siapapun termasuk pelaku perundungan, takut ke luar rumah, dan takut
Terdapat beberapa akibat yang ditimbulkan dengan adanya perundungan bagi anak,
baik akibat yang ditimbulkan oleh pelaku (terutama pelaku sesama anak) maupun anak
perundungan antara lain memiliki watak keras dan merasa memiliki kekuasaan.90
Yang dimaksud oleh memiliki watak yang keras adalah pelaku perundungan memiliki
tingkat kepercayaan diri yang terlampau tinggi dan merasa harga dirinya tinggi pula
dan emosi yang tidak terkontrol. Pelaku perundungan pun mempunyai keinginan untuk
mendominasi dalam segala hal sehingga menghalalkan segala cara agar itu dapat
pelaku perundungan terus didiamkan tanpa intervensi dari pihak tertentu, dapat
terdapat lima akibat yang ditimbulkan dengan adanya perundungan. 91 Akibat pertama
adalah merasakan kecemasan.92 Korban perundungan akan selalu merasa takut dan
89
Andri Priyatna, Let’s End Bullying, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019, Hlm. 41.
90
Ibid.
91
Ibid, Hlm. 42.
92
Ibid.
49
jangka panjang, hal ini dapat juga mempengaruhi kepercayaan diri seorang anak
sekolah dan memunculkan perilaku menarik diri dari lingkup pergaulan. Akibat kedua
adalah mudah depresi dan marah. Perundungan yang dilakukan terus menerus
membuat korban merasa marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku ataupun
dirinya sendiri dan orang lain tidak ada yang menolongnya. Padahal sebetulnya
mungkin orang lain tidak tahu dengan apa yang sedang dialaminya. Akibat ketiga
adalah prestasi yang menurun, baik akademis maupun non akademis. Korban
maupun nonakademisnya akan menurun. Akibat keempat adalah bunuh diri. Dalam hal
ini, korban perundungan mungkin akan melakukan jalan yang menurut ia dapat
menyelesaikan masalahnnya. Akibat kelima adalah balas dendam. Selain bunuh diri,
tindakan ekstrim lainnya yang dapat dilakukan oleh korban perundungan adalah
dengan melakukan balas dendam pada pelaku perundungan yang tentu saja sikap balas
BAB III
hukum internasional dalam bentuk tertulis yang terdiri atas instrument yuridik serta
dapat menampung kehendak dan persetujuan dua negara atau lebih untuk mencapai
tujuan bersama, yaitu untuk memberikan perlindungan kepada anak dan memenuhi hak
anak.93 Dari Konvensi Hak Anak PBB 1989 itulah terdapat definisi bahwa anak
undang yang berlaku untuk anak – anak sehingga kedewasaan telah dicapai dengan
cepat) serta belum matang secara fisik, mental, dan sosial, dari berbagai tindakan
dan diskriminasi) maupun perlindungan yang bersifat khusus (perlindungan anak yang
berada dalam situasi darurat dalam arti pengungsi anak dan anak yang berada dalam
93
Remaja Aulia, Aku Anak – Anak Dunia (Beserta Hak – Hak Anak), Jakarta: UNICEF Indonesia,
2017, Hlm.5.
51
situasi konflik bersenjata, anak yang mengalami masalah dengan hukum, anak yang
obat, eksploitasi substansi, eksploitasi seksual, penjualan anak, dan eksploitasi anak
lainnya}, dan anak yang berasal dari kelompok minoritas dan masyarakat adat) .94 Oleh
karena itu, baik negara (sebagai peratifikasi maupun penandatangan Konvensi Hak
Anak PBB 1989) maupun individu (masyarakat) sebagai subyek hukum internasional
perlindungan kepada anak dalam mencapai tujuan untuk melindungi anak.95 Selain itu,
negara maupun individu (masyarakat) sebagai subyek hukum internasional juga wajib
bertanggung jawab atas pemenuhan hak anak, seperti hak atas kelangsungan hidup, hak
untuk berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat, hak atas berkembang, dan hak
secara bebas dan dihargai sesuai dengan usia/kematangan anak tanpa bentuk
diskriminasi.96
Salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB 1989 adalah
Indonesia. Indonesia meratifikasi melalui Konvensi Hak Anak PBB melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu perlindungan
94
Harrys Pratama Teguh, Teori dan Praktek Perlindungan Anak dalam Hukum Pidana, Jakarta: Andi
Publisher, 2019, Hlm. 20.
95
Ibid.
96
Ibid., Hlm. 21 – 22.
52
anak. Pada Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 inilah dijelaskan bahwa anak
sebagai sumber potensi harus diberikan pembinaan dan pengembangan diri supaya
pendapat dan aktivitasnya). 97 Yang paling utamanya lagi, anak harus dilindungi dari
Tanggung jawab atas perlindungan anak dari perundungan wajib dilakukan oleh negara
karena perundungan merupakan salah satu bentuk kekerasan kepada anak baik secara
dan lain – lain sehingga perundungan jenis ini biasanya sering dilakukan oleh pelaku
perundungan tanpa menyadari dan tanpa memahami bahwa hal tersebut merupakan
hal yang salah untuk dilakukan dan kata – kata yang biasa digunakan oleh pelaku
perundungan jenis ini adalah kata – kata kasar yang sifatnya merendahkan korban
perundungan sehingga korban merasa rendah diri dan tidak memiliki kepercayaan diri),
melibatkan fisik), dunia maya (Perundungan yang dilakukan dengan cara memberikan
orang lain melalui media elektronik), emosi (Perundungan yang dilakukan dengan cara
97
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
53
gambar, dan konten – konten pornografi kepada korban sehingga korban menunjukkan
gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, dan menangis jika didekati
oleh siapapun, termasuk korban perundungan, takut keluar rumah, dan takut bertemu
pasca meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB 1989 antara lain sebagai berikut:
kekerasan yang sangat berdampak buruk bagi perkembangan mental dan fisik anak itu
sendiri. Dalam masalah ini, Indonesia harus melibatkan lembaga, khususnya lembaga
98
Zainal Aqib, Loc. Cit.
54
Perwakilan Rakyat Komisi VIII (yang berkaitan dengan anak, sosial, dan agama), dan
tidak dapat digunakan atau upaya terakhir sehingga harus dibawa ke jalur hukum)
kronologis terjadinya perundungan tersebut beserta siapa pelaku yang terlibat (baik
pelaku yang sudah dewasa maupun pelaku yang masih dibawah umur/sesama anak -
Dasar Hukum: Pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak Anak PBB 1989 yang berbunyi,
Dalam semua tindakan yang menyangkut anak, baik yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga pengadilan, lembaga
pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus dijadikan
pertimbangan utama.100
kekerasan perundungan, baik perundungan secara fisik, verbal, emosi, media sosial,
maupun hubungan relasional atau pertemanan yang dapat memicu psikologis anak
menjadi lemah serta membuatnya takut pada lingkungan dan orang sekitar, terutama
pelaku perundungan. Dalam hal penjaminan ini, Indonesia juga wajib memperhatikan
bagaimana hak dan kewajiban orang tua/wali/orang yang bertanggungjawab atas anak
99
Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Kementerian Hukum dan HAM RI, Aspek Hukum
Perlindungan Terhadap Anak, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Kementerian Hukum
dan HAM RI, 2019, Hlm. 15.
100
Konvensi Hak Anak PBB 1989
55
perundang – undangan untuk membuat undang – undang yang memberikan efek jera
kepada pelaku pelanggaran anak yang dijamin dalam Konvensi Hak Anak PBB dan
dalam hal ini pelaku kekerasan perundungan.102 Salah satu contoh produk perundang –
undangan anak Indonesia yang sudah berlaku adalah UU Nomor 35 Tahun 2014.103
Anak maupun lembaga/instansi lainnya yang terkait dengan perlindungan anak, dalam
pemberian prasyarat, prosedur, teknis, maupun materi yang terkait dengan pelayanan
Dasar Hukum: Pasal 3 ayat (2) Konvensi Hak Anak PBB 1989 yang berbunyi,
3) Indonesia wajib mengambil langkah untuk melindungi dan mencegah anak dari
dan langkah administratif.106 Langkah lain tersebut adalah langkah sosial dan langkah
101
Harrys Pratam Teguh, Loc. Cit.
102
Interparlementary Union (DPR), Perlindungan Anak: Buku Panduan Bagi Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2018, Hlm.15.
103
Ibid.
104
Hadi Suyono, Op. Cit., Hlm. 20.
105
Konvensi Hak Anak PBB 1989
106
Suhasril, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2018,
Hlm. 65.
56
(dalam hal ini lembaga yang berkaitan hak asasi manusia/perlindungan anak) dalam
peningkatan pelayanan. Hal ini bisa dilihat dari contoh KPAI/KPAD/KPAID dalam
wawancara kepada orang tua/wali dari anak korban perundungan dan menyuruh orang
tua/wali untuk menceritakan kejadian perundungan yang dialami oleh anaknya. Setelah
anak korban perundungan untuk diassesement oleh dan diberikan kesempatan kepada
untuk berpendapat dan bercerita mengenai kejadian perundungan yang dialami korban.
cara menjalin kerja sama antara pendidik (dalam hal ini guru) dengan peserta didik
antara warga dalam lingkungan pendidikan (guru, sesama peserta didik, dan pengelola
sekolah) kepada peserta didik, seperti membuat peraturan tegas mengenai larangan
peningkatan tanggung jawab guru maupun kepala sekolah dalam menjaga ketahanan
positif. Selain memupuk kerja sama antara pendidik dengan anak didik maupun orang
107
Ibid.
108
Ibid., Hlm. 66.
57
Dasar Hukum: Pasal 19 ayat (1) Konvensi Hak Anak PBB 1989 yang berbunyi,
4) Indonesia harus lebih peka serta menjamin bahwa tidak ada satupun anak yang
serta hilangnya martabat seorang anak. Bentuk kehilangan tersebut antara lain
timbulnya kecemasan, penurunan prestasi pada anak (baik akademik maupun non
akademik), rasa sakit hati, serta pembalasan dendam antara anak sebagai korban
perundungan, dan lain sebagainya. Selain itu, Indonesia melibatkan lembaga sosial,
109
Donny Reno Astuti, Meredam Bullying, Jakarta: Grasindo, 2019, Hlm. 25.
110
Konvensi Hak Anak PBB 1989.
58
Dasar Hukum: Pasal 37 butir a Konvensi Hak Anak PBB 1989 yang berbunyi,
Negara-negara pihak harus menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat
menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi atau merendahkan martabat.112
5) Indonesia sebagai harus mengambil langkah untuk memulihkan fisik dan jiwa
kepada anak korban perundungan yang memupuk kesehatan, harga diri, serta
menghargai martabat anak. Dalam hal ini, Indonesia wajib melibatkan individu,
dalam rangka pemulihan fisik maupun psikologis dari anak korban perundungan.
Hal ini sudah dibuktikan dalam permen No. 10 Tahun 2010 diuraikan tentang
111
Yayasan Sejiwa, Bullying: Sejiwa, Jakarta: Grasindo, 2019, Hlm. 33.
112
Konvensi Hak Anak PBB 1989
59
Kejasama.113 Dalam hal pemulihan fisik kepada anak korban perundungan, negara
tim forensik untuk memeriksa visum ataupun luka sebagai pembuktian terjadinya
perundungan fisik.114 Apabila terdapat bukti visum atau luka, maka negara harus
pengobatan atau bagi anak korban perundungan. Selain diberikan kepada korban
perundungan secara fisik, pemulihan fisik juga dapat diberikan kepada anak yang
mual, mengalami demam tinggi dan lain sebagainya.115 Dalam hal ini, negara
memberikan pengobatan hingga anak korban perundungan mental ini pulih dari
penyakitnya. Dalam hal pemulihan jiwa kepada anak korban perundungan, negara
113
Beniharmoni Harefa, Perlindungan Hukum Bagi Anak, Yogyakarta: Gentra Press, 2016, Hlm. 38.
114
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2019, Hlm. 45.
115
Ibid.
60
perundungan, baik melalui kesaksian atau cerita dari anak sebagai korban
perundungan maupun orang tua korban serta pemeriksaan tes psikologi kepada
Dasar Hukum: Pasal 39 Konvensi Hak Anak PBB 1989 yang berbunyi,
Pada paragraf ini, penulis akan mengulas mengenai salah satu contoh kasus yang
melibatkan dua belas orang siswi SMA sebagai pelaku perundungan serta salah satu
siswi SMP berusia 14 tahun sebagai korban perundungan yang bernama Audrey.
Kasus ini bermula dari percekcokan akibat saling ejek antara Audrey dengan siswa
SMA di media sosial, padahal sebenarnya yang menjadi sasaran bukanlah Audrey,
melainkan kakak sepupunya. Dalam hal ini, salah satu pelajar berinisial Ec alias
dimulai karena kekesalan terhadap Audrey yang juga sering merundung diri Ec di
116
Abdul Malik Raharusun, dkk., Perlindungan Perempuan dan Anak Berbaris Kearifan Lokal, Jakarta:
Agupena, 2019, Hlm. 35.
117
Konvensi Hak Anak PBB 1989
61
sosial media. Perkelahian dan kekesalan pelaku terhadap Audrey tersebut dipicu
oleh adanya permasalahan mengenai pacar laki – laki dan sepupu Audrey adalah
Audrey.
Kejadian perundungan tersebut terjadi pada tanggal 29 Maret 2019. Pada saat
itu, Ec dan Audrey membuat perjanjian bahwa mereka akan bertemu pada hari
mereka yang diawali dengan sikap saling ejek di media sosial. Namun, rupanya
Audrey meminta pertemuan tersebut dilaksanakan pada hari Jumat, 29 Maret 2019.
Pertemuan antara mereka tersebut dilakukan di pinggir tepi Kapuas. Dan pada
pertemuan tersebutlah adu mulut dan baku hantam dimulai. Mereka melakukan
perundungan fisik, seperti mencekik leher Audrey, menyiram air kepada Audrey,
dengan sandal gunung sehingga terjadi pendarahan dalam hidung korban serta di
kepala ada benjolan dan luka yang mendalam. Akibat dari perundungan tersebut,
Audrey mengalami trauma serta sakit fisik sehingga menjalani perawatan intensif
yang jaraknya sekitar 500 meter dari tepi Kapuas. Di Taman Akcaya tersebut,
62
Audrey, Ll datang ke Taman Akcaya dan melakukan aktivitas yang sama dengan
Pada hari Jumat tanggal 5 April 2019, Ibunda Audrey yang bernama Ummi
Pontianak. Padahal sebelumnya Audrey tidak mau melaporkan masalah ini kepada
orang tuanya dengan alasan bahwa pelaku akan bertindak semakin kejam terhadap
Audrey. Kemudian pada hari Senin tanggal 8 April, kasus perundungan tersebut
dijelaskan bahwa Audrey sempat dijemput di rumah oleh temannya yang berinisial
DE dan diantar ke rumah sepupunya yang berinisial PP. Setelah itu, Audrey dan
sepupunya (PP) pergi naik motor dan mengaku dibuntuti oleh empat orang
perempuan dan mereka dicegat oleh seseorang yang berinisial TR. Dan setelah itu,
diretweet oleh lebih dari 9.400 pengguna Twitter. Isi dari twitter tersebut adalah,
63
“Nasib kurang beruntung dialami oleh Ay (14), siswi SMPN 17 Pontianak yang
di Kota Pontianak.” Lalu, pada tanggal 10 April 2019 pukul 12.20 WIB, perkara
yang memicu petisi viral ‘Justice For Audrey’ sudah ditingkatkan ke penyidikan
dan polisi meminta hasil visum sebagai pembuktian adanya kekerasan perundungan
Dua jam kemudian pada pukul 14.33 WIB, polisi menyatakan bahwa terdapat
empat orang yang sedang diperiksa di Polresta Pontianak terkait dengan dugaan
dan di-BAP oleh Polresta Pontianak. Menurut beliau juga, yang beredar luas adalah
pelaku yang terdiri atas tiga orang, tetapi bisa saja bertambah.
Pada pukul 15.11 WIB, polisi memaparkan hasil visum sebagai bukti kekerasan
Pontianak, Muhammad Anwar Nasir, membacakan hasil visum tersebut dari rumah
sakit. Hasil dari visum tersebut adalah ditemukan benjolan maupun pembengkakan
di kepala Audrey. Selain itu, ditemukan pula luka memar di mata, tetapi penglihatan
64
Audrey masih normal. Berdasarkan hasil visum itupun juga alat kelamin, selaput
dara atau hymen, intact dan tampak luka robek atau memar di alat kelamin.
Pada pukul 19.30, polisi menetapkan tiga orang tersangka kasus perundungan
terhadap Audrey, yaitu Ar, Ec, dan Ll. Mereka dijerat degan Pasal 76C juncto Pasal
kekerasan terhadap anak dan memberikan ancaman hukuman maksimal, yaitu 3,5
tahun penjara. Setelah itu, pada pukul 22.01 WIB, tujuh dari 12 siswi SMA yang
Audrey. Di antara mereka ada yang mengaku tidak berada di dua lokasi kejadian di
Aneka Pavilion di Jalan Sulawesi dan Taman Akcaya di Sutan Syahrir. Ketiga
Pada paragraf ini, penulis akan menyampaikan beberapa analisis dari kasus
perundungan yang diberikan kepada Audrey berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB
118
Ila Sean, Begini Kronologi Kasus Perundungan Audrey,
https://covesia.com/news/baca/730393/begini-kronologi-kasus-perundungan-audrey (Diakses Rabu, 22
Mei 2019)
65
maupun yang belum dilakukan sehingga tanggung jawab tersebut harus dilakukan
beberapa tanggung jawab yang wajib dilakukan oleh negara terkait kasus
sebagai anak menurut Konvensi Hak Anak PBB 1989. Dalam hal ini, Indonesia
yang ditujukan kepada Audrey. Hal ini sudah dibuktikan dengan adanya kerjasama
Tanggung jawab kedua yang wajib dilakukan negara terkait kasus perundungan
yang ditujukan kepada Audrey adalah memperhatikan hak dan kewajiban orang tua
Audrey dan untuk tujuannya, negara harus mengambil langkah legislatif maupun
administratif. Hal ini sudah dibuktikan dengan melihat bagaimana tanggung jawab
polisi demi perlindungan anaknya dari perundungan, serta untuk tujuan ini, negara
bertentangan dengan Konvensi Hak Anak PBB 1989. Hal ini dibuktikan dengan
penjatuhan Pasal 76C juncto Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 mengenai
hukuman maksimal, yaitu 3,5 tahun penjara, karena kekerasan perundungan sudah
bertentangan dengan Konvensi Hak Anak PBB 1989. Selain itu, negara juga wajib
Tanggung jawab ketiga yang wajib dilakukan oleh negara terkait kasus
tuanya. Mengenai langkah sosial, hal ini sudah dibuktikan dengan bagaimana
melaporkan masalah ini kepada kepolisian. Pada langkah pendidikan, negara juga
Tanggung jawab keempat yang wajib dilakukan oleh negara terkait kasus
perundungan terhadap Audrey adalah menjamin bahwa tidak ada satupun anak,
merendahkan martabat. Hal ini dapat dibuktikan dengan bagaimana Audrey merasa
mengalami tekanan psikologis yang berat saat mengalami perundungan dimana dia
disiram, ditendang, dan dicekek. Dalam hal ini, negara juga wajib melibatkan
Tanggung terakhir yang wajib dilakukan oleh negara terkait kasus perundungan
terhadap Audrey adalah memberikan pemulihan fisik maupun psikologis. Hal ini
perundungan.
68
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hak Anak PBB 1989.Tanggung jawab pertama adalah Indonesia wajib bertanggung
jawab untuk menjadikan hal yang menyangkut masalah anak sebagai pertimbangan
melibatkan lembaga (Pasal 3 ayat {1} Konvensi Hak Anak PBB 1989). Tanggung
perlindungan anak dari kekerasan perundungan, baik perundungan secara fisik, verbal,
emosi, media sosial, maupun hubungan relasional atau pertemanan yang dapat memicu
psikologis anak menjadi lemah serta membuatnya takut pada lingkungan dan orang
sekitar, terutama pelaku perundungan dan dalam penjaminan ini, Indonesia juga wajib
legislatif maupun langkah administratif (Pasal 3 ayat {2} Konvensi Hak Anak PBB
1989). Tanggung jawab ketiga adalah Indonesia wajib mengambil langkah untuk
langkah tambahan selain langkah legislatif dan langkah administratif, seperti langkah
sosial dan pendidikan (Pasal 19 ayat {1} Konvensi Hak Anak PBB 1989). Tanggung
jawab keempat adalah Indonesia harus menjamin bahwa tidak ada satupun anak
merendahkan serta hilangnya martabat seorang anak (Pasal 37 Konvensi Hak Anak
PBB 1989). Tanggung jawab terakhir adalah Indonesia sebagai harus mengambil
langkah untuk memulihkan fisik dan jiwa kepada anak korban perundungan yang
B. Saran
dirumuskan di atas, maka penulis akan menuliskan beberapa saran yang sesuai dengan
rumusan permasalahan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Saran tersebut adalah
kerja sama negara, baik kerja sama nasional maupun internasional supaya tujuan
Indonesia dalam melindungi anak dari perundungan tercapai,. Dalam hal ini, Indonesia
dapat melakukan kerja sama dalam hal pendidikan, sosial, pelayanan medis/kesehatan,
menampung masalah perundungan (untuk bekerja sama dalam menelaah lebih jauh
bagaimana kasus perundungan yang dialami anak, meningkatkan kerja sama yang
hangat antara guru dan siswa maupun orang tua siswa dalam mencegah dan
2. Indonesia sebagai subyek hukum harus menegakkan ketegasan hukum dan aturan
yang berkaitan dengan kekerasan pada anak, khususnya dalam hal perundungan. Oleh
karena itu, Indonesia harus lebih tegas dalam menegakkan aturan serta memberikan
sanksi yang menghasilkan efek jera bagi pelaku perundungan. Lalu, Indonesia juga
pendidikan. Dalam hal ini, Indonesia dapat mengajak Kepala Sekolah untuk
memberikan sanksi yang tegas kepada warga sekolah yang melakukan perundungan.
71
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Amrullah, Ahmad, Zainal Aqib, Ensiklopedia Pendidikan dan Guru, Banten: Andi
Publisher, 2017.
Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Nasional, Bandung:
Mandar Maju, 2019.
Djamil, Nasir, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2019.
Gautama, Candra, Konvensi Hak Anak: Panduan Bagi Jurnalis, Edisi ketujuh, Jakarta:
LSPP, 2018.
Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif (Teori dan Praktik), Edisi Revisi,
Jakarta: Bumi Aksara, 2017.
Hassan, Maulana Wadong, Advokasi dan Perlindungan Anak, Edisi Keempat, Jakarta:
Grasindo, 2018.
72
Mauna, Broer, Hukum Internasional (Dalam Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global), Edisi Kedelapan, Bandung: Penerbit Alumni, 2017.
Prist, Darwan, Hukum Anak Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2018.
Priyatna, Andri, Let’s End Bullying, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019.
Raharusun, Abdul Malik, dkk., Perlindungan Perempuan dan Anak Berbaris Kearifan
Lokal, Jakarta: Agupena, 2019.
Remaja Aulia, Aku Anak – Anak Dunia (Beserta Hak – Hak Anak), Jakarta: UNICEF
Indonesia, 2017.
73
Saraswati, Rika, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2019.
Setyowati, Irma, Aspek Perlindungan Anak, , Edisi kedelapan belas, Jakarta: Bhumi
Aksara, 2018.
Siregar, Bismar, Hukum dan Hak - Hak Anak, Edisi revisi, Jakarta: Rajawali, 2018.
Soeaidy, Sholeh, Dasar Hukum Perlindungan Anak: Anak Cacat, Anak Terlantar, Anak
Kurang Mampu, Pengangkatan anak, Pengadilan anak, Pekerja anak, Jakarta:
Novindo Pustaka Mandiri, 2018.
Starke, J. G., Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika, 2018.
Suhasril, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2018.
Suranto, Hanif, Konvensi Hak Anak, Edisi kesepuluh, Jakarta: LSPP, 2017.
74
Suyono, Hadi, Memahami Konvensi Hak – Hak Anak dan Undang – Undang
Perlindungan Anak, Edisi Kedua, Jakarta: KPAI, 2018.
Syahmin, A.K., Hukum Internasional Publik: Dalam Kerangka Studi Analitis, Jakarta:
Binacipta, 2017.
Teguh, Harrys Pratama, Teori dan Praktek Perlindungan Anak dalam Hukum Pidana,
Jakarta: Andi Publisher, 2019.
Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Kementerian Hukum dan HAM RI,
Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Anak, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional dan Kementerian Hukum dan HAM RI, 2019.
Tim UNICEF, Convention on the Rights of the Child : Konvensi Hak-Hak Anak, Edisi
Keduapuluh lima, Jakarta: UNICEF Indonesia, 2017.
Tsani, Mohd. Burhan, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, Edisi
keenam, 2018.
B. Perundang – undangan
Konvensi Wina 1969