Anda di halaman 1dari 75

1

BAB I

PENDAHULUAN

A . Latar Belakang

Sebagai negara, Indonesia sudah pasti menjadi bagian dari subjek hukum

internasional. Sebagai bagian dari subjek hukum internasional, Indonesia wajib

menaati ketentuan hukum internasional, terutama yang berkenaan dengan hak dan

kewajiban negara. Salah satu ketentuan tersebut adalah berbentuk perjanjian

internasional. Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum

internasional yang penting. Perjanjian internasional itulah yang membebankan

kewajiban dan tanggung jawab negara sehingga harus dilaksanakan oleh negara

penandatangan, dalam hal ini Indonesia.1

Salah satu perjanjian internasional yang ditandatangani, diratifikasi, dan wajib

ditaati oleh Indonesia adalah The United Nations Convention on the Rights of the Child

1989 atau Konvensi Hak Anak PBB 1989. Konvensi Hak Anak PBB 1989 mengatur

mengenai perlindungan anak. Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB 1989, Indonesia

sebagai negara penandatangan memiliki tanggung jawab utama dalam melakukan

upaya memajukan dan melindungi hak seorang anak sesuai kebutuhan dan

kesejahteraan. Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB 1989 melalui

1
Broer Mauna, Hukum Internasional (Dalam Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Edisi
Kedelapan, Bandung: Penerbit Alumni, 2017, Hlm. 625.
2

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang mencakup berbagai kegiatan

komprehensif, antara lain pembentukan institusi nasional dalam rangka pelaksanaan

konvensi, kerja sama dalam pengumpulan data, evaluasi dan pengawasan, mobilisasi

sosial masyarakat mengenai prinsip-prinsip konvensi, serta pengumpulan berbagai

sumber daya yang ada.2

Terdapat beberapa pasal di dalam Konvensi Hak Anak PBB 1989 yang

mengatur mengenai hak anak. Pasal pertama adalah Pasal 8 ayat (1).3 Pasal 8 ayat (1)

menyatakan bahwa negara-negara pihak harus berusaha menghormati hak anak untuk

mempertahankan identitasnya, termasuk kewarganegaraan, nama, dan hubungan

keluarga seperti yang diakui oleh hukum tanpa campur tangan yang tidak sah. Pasal

kedua adalah Pasal 14 ayat (1).4 Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa negara-negara

pihak harus menghormati hak anak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, dan

beragama. Pasal ketiga adalah Pasal 15 ayat (1).5 Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa

negara-negara pihak harus mengakui hak-hak anak atas kebebasan berhimpun dan

kebebasan berkumpul dengan damai. Pasal keempat adalah Pasal 2.6 Pasal 2

menyatakan bahwa negara-negara pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak

tanpa diskriminasi macam apapun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin,

2
J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2018,
Hlm. 77.
3
Konvensi Hak Anak PBB 1989
4
Ibid.
5
Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Nasional, Bandung: Mandar Maju,
2019, Hlm. 49.
6
Ibid.
3

bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-

usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang

tua anak atau wali hukum anak, serta harus mengambil semua langkah yang tepat untuk

menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas

dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali

hukum anak atau anggota keluarga anak. Pasal kelima adalah Pasal 3 ayat (2) dan (3).7

Pasal 3 ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa negara-negara pihak berusaha menjamin

perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk

kesejahteraannya dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang

tuanya, wali hukumnya atau orang-orang lain yang secara sah atas anak, dan untuk

tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat,

serta menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung

jawab atas perawatan dan perlindungan tentang anak, menyesuaikan diri dengan

standar-standar yang ditentukan oleh para penguasa yang berwenang, terutama di

bidang keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan kesesuaian staf, mereka, dan juga

pengawasan yang berwenang. Selain menjamin perlindungan dan perawatan, Pasal 3

ayat (2) dan (3) juga menyatakan bahwa anak harus mendapatkan perlindungan dari

penganiayaan dan perenggutan atas kebebasan. Pasal terakhir adalah Pasal 17.8 Pasal

17 menyatakan bahwa negara-negara pihak harus mengakui fungsi penting yang

dilakukan media massa dan menjamin bahwa anak mempunyai akses ke informasi dan

7
Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, Hlm. 58.
8
Ibid.
4

bahan dari suatu diversitas sumber-sumber nasional dan internasional, terutama yang

ditujukan pada peningkatan kesejahteraan sosial, spiritual, kesusilaannya,serta

kesehatan fisik dan mentalnya sehingga negara pihak harus mendorong media massa

untuk menyebarluaskan informasi dan bahan yang mempunyai manfaat sosial dan

budaya pada anak dan sesuai dengan makna pasal 29, mendorong kerjasama

internasional dalam produksi, pertukaran, dan penyebarluasan informasi dan bahan

tersebut dari suatu diversitas budaya, sumber-sumber nasional dan internasional,

mendorong produksi dan penyebarluasan buku anak-anak, mendorong media massa

agar mempunyai perhatian khusus pada kebutuhan-kebutuhan linguistik anak, yang

menjadi anggota kelompok minoritas dan merupakan penduduk asli, serta mendorong

perkembangan pedoman-pedoman yang tepat untuk perlindungan anak dari informasi

dan bahan yang merusak kesejahteraannya dengan mengingat ketentuan-ketentuan

Pasal 13 dan Pasal 18.

Berdasarkan hal tersebut, negara penandatangan, terutama Indonesia, wajib

bertanggung jawab untuk menjamin bahwa tidak ada satupun yang boleh menjalani

kekerasan yang tidak memiliki nilai kemanusiaan dan menurunkan martabat. Salah satu

bentuk kekerasan yang tidak berhak dialami oleh anak adalah kekerasan perundungan.9

Perundungan merupakan salah satu kekerasan yang diberikan kepada dengan cara

menyalahgunakan kekuasaan secara berkelanjutan dalam suatu hubungan, baik melalui

9
Candra Gautama, Konvensi Hak Anak (Panduan Bagi Jurnalis), Edisi Ketujuh, Jakarta: Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan, 2017, Hlm.30.
5

tindakan verbal, fisik, dan sosial yang dilakukan secara berulang sehingga dapat

mengakibatkan kerugian fisik maupun kerugian psikologis yang dilakukan oleh

individu maupun kelompok. Kekerasan perundungan dapat terjadi di dunia maya dan

dunia nyata serta dapat terlihat jelas maupun tersembunyi.10

Mengingat bahwa kekerasan perundungan merupakan salah satu bentuk kekerasan

yang tidak boleh dialami oleh anak, Indonesia sebagai negara penandatangan Konvensi

Hak Anak PBB 1989 yang sudah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36

Tahun 1990, tidak boleh hanya tinggal diam. Indonesia sebagai negara penandatangan

harus melaksanakan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam

Konvensi Hak Anak PBB 1989. Konvensi Hak Anak PBB 1989 sebagai sumber hukum

internasional yang berbentuk perjanjian internasional merupakan unsur yang paling

penting yang berkenaan dengan perlindungan anak.

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang diteliti sebagai berikut:

Bagaimana tanggung jawab Indonesia sebagai negara peserta terhadap perlindungan

anak korban perundungan sesuai Konvensi Hak Anak PBB 1989 ?

10
Yayasan Sejiwa, Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan di Lingkungan, Jakarta: Grasindo, 2017,
Hlm.3.
6

C.Tujuan Penulisan Hukum

Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab Indonesia sebagai negara peserta

terhadap perlindungan anak korban perundungan sesuai Konvensi Hak Anak PBB

1989.

D. Kegunaan Penulisan Hukum

Kegunaan secara praktik: Sebagai syarat menempuh S1 di Fakultas Hukum UPN Veteran

1. Pemerintah Indonesia lebih memberikan perlindungan hukum bagi anak korban

perundungan sebagai bentuk tanggung jawab ratifikasi Konvensi Hak Anak.

2. Warga Negara Indonesia lebih memahami adanya perlindungan hukum bagi anak,
Lebih memahami adanya perlindungan hukum bagi pejabat Indonesia, khususnya pejabat
khususnya terhadap tindakan perundungan.
RI di luar negeri

3. Anak Indonesia lebih terlindungi dari perundungan.


Terhindar dari penyadapan
Kegunaan secara teori:

1. Sebagai syarat untuk menempuh Sarjana Hukum (S1) di Fakultas Hukum Atma Jaya.
Lebih memerhatikan perlindungan hukum bagi WNI di luar negeri

2. Meningkatkan pemahaman tentang praktek perjanjian internasional oleh Indonesia,

khususnya dalam meratifikasi Konvensi Hak Anak.

3. Meningkatkan pemahaman tentang pentingnya perlindungan hukum bagi anak dari


Meningkatkan pemahaman tentang pentingnya perlindunhgan hukum
tindakan perundungan.
7

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian

yang didasarkan terhadap asas, sistematika, taraf sinkronisasi, sejarah, dan

perbandingan hukum.11 Metode penelitian hukum normatif juga mengadakan

penelusuran terhadap suatu aturan hukum yang terdapat di dalam hukum positif dengan

cara melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan.


12
Penelitian normatif yang penulis gunakan adalah melalui pencarian data

kepustakaan, yaitu berupa kepustakaan atau yang disebut dengan library research.

2. Data Penelitian

Sedangkan data yang digunakan oleh penulis adalah data sekunder. Data sekunder

merupakan data yang diperoleh langsung melalui dokumen-dokumen resmi, buku-

buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya. 13 Ciri-

cirinya antara lain dalam keadaan siap dan dapat dipergunakan dengan segera, dibentuk

dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu sehingga peneliti tidak mempunyai

pengawasan terhadap pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa,

11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , Edisi Kedelapan, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2018, Hlm. 58.
12
Ibid.
13
Ibid, Hlm. 59.
8

maupun konstruksi data, dan tidak terbatas oleh waktu maupun tempat. Berikut ini

adalah data sekunder yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah melalui peraturan perundang-

perundangan berbentuk Keputusan Presiden dan traktat atau perjanjian internasional

yang berbentuk konvensi. Keputusan Presidennya adalah berupa Keputusan Presiden

Nomor 36 Tahun 1990 dan traktat atau perjanjian internasionalnya adalah berupa

Konvensi Hak Anak PBB 1989 dan Konvensi Wina 1969 / 1986.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah melalui laporan hasil

penelitian dan buku yang menunjang judul dan permasalahan dalam penulisan hukum

ini. Laporan hasil penelitian adalah berupa penelitian yang dilakukan dengan

melakukan riset dari kasus perundungan yang terjadi belakangan ini, yaitu kasus

perundungan yang dilakukan terhadap Audrey. Sedangkan buku yang digunakan dalam

penulisan ini adalah buku yang berjudul Hukum Internasional, Hukum Internasional,

Buku Why Children‘s Bully, Buku Mengatasi Kekerasan di Sekolah, Aspek

Perlindungan Anak, Buku Kekerasan Anak, Hukum Perlindungan Anak, dan lain

sebagainya.
9

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yang penulis gunakan adalah menggunakan bahan yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun

sekunder, yaitu melalui kamus. Kamus yang penulis gunakan adalah Indonesia-

Inggris/Inggris ke Indonesia dan ensiklopedia.

3. Metode Analisis Data

Mengenai metode analisis, penulis menggunakan metode penelitian deduktif.

Penarikan kesimpulan deduktif adalah penarikan kesimpulan yang dimulai dari hal-hal

yang berlaku umum untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Artinya, cara

menganalisis kesimpulannya dilakukan dengan cara menguraikan kesimpulan umum

menjadi contoh-contoh konkrit atau fakta-fakta untuk menjelaskan kesimpulan

tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini memiliki tahapan-tahapan yang sama dengan

metode lain. Tahapan tersebut antara lain tahapan spekulasi, tahapan observasi dan

klasifikasi, dan tahapan perumusan hipotesis. pendekatan yang menggunakan logika

untuk menarik satu atau lebih kesimpulan (conclusion) berdasarkan seperangkat premis

yang diberikan. Dalam penarikan kesimpulan deduktif inilah, peneliti biasanya

menarik lebih dari satu kesimpulan. Penarikan kesimpulan deduktif biasanya sering

digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan dari sesuatu yang umum ke sesuatu

yang khusus (going from the general to the specific).14

14
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif (Teori dan Praktik), Edisi Revisi, Jakarta: Bumi
Aksara, 217, Hlm. 44.
10

F. Sistematika Penulisan

Penulisan hukum ini terbagi menjadi empat bab yang akan diuraikan secara singkat,

antara lain:

1. BAB I: PENDAHULUAN

Bagian ini terdiri atas enam sub bab, yang terdiri atas Latar Belakang,

Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan Hukum, Kegunaan Penulisan Hukum, Metode

Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

2. BAB II: KONVENSI HAK ANAK SEBAGAI PERJANJIAN

INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DARI

PERUNDUNGAN

Bagian ini menjelaskan tentang hal mengenai ruang lingkup Konvensi Hak

Anak PBB 1989 sebagai perjanjian internasional, terutama perjanjian mengenai

perlindungan anak, khususnya anak korban kekerasan perundungan. Pada awal bagian

ini akan dijelaskan mengenai perjanjian internasional berdasarkan Hukum

Internasional. Setelah itu akan dijelaskan pula mengenai hal yang berkaitan dengan

Konvensi Hak Anak PBB 1989, seperti sejarah pembentukan Konvensi Hak Anak PBB

1989, dan isi Konvensi Hak Anak PBB 1989.


11

3. BAB III: TANGGUNG JAWAB INDONESIA PASCA MERATIFIKASI

KONVENSI HAK ANAK PBB 1989 TERKAIT PERLINDUNGAN ANAK DARI

PERUNDUNGAN

Bagian ini menjelaskan mengenai bagaimana tanggung jawab Indonesia dalam

memberikan perlindungan kepada anak korban kekerasan perundungan, bila dilihat

dari Konvensi Hak Anak PBB 1989, terutama setelah Indonesia meratifikasi Konvensi

Hak Anak PBB 1989. Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai pengaturan

perlindungan anak dari perundungan berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB 1989,

urgensi Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB 1989, tanggung jawab

Indonesia pasca meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB 1989 terkait perlindungan anak

korban perundungan.

4. BAB IV PENUTUP

Bagian ini berisi kesimpulan dan saran.


12
Teori:
1.Perjanjian Internasional (Dari Konvensi Wina)
2.Hubungan Diplomatik dan Konsuler (Hubungan antar dua negara, yaitu Kuba dan AS)
3.Perlindungan Data (Dan harus yang dibahas adalah
kebocoran data, karena yang difokuskan adalah kebocoran data mengenai Kuba dan AS)

BAB II
Mau nulis tentang AS dan Kuba silahkan

KONVENSI HAK ANAK PBB 1989 SEBAGAI PERJANJIAN

INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DARI

PERUNDUNGAN
Contoh:"Penggunaan Montessori Dalam
Tahap Tumbuh Kembang dan Tipe Kepribadian Anak" Kerangka Teori dan
A. Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Internasional Kerangka Konseptual

Kerangka Teori 1. Pengertian - Pengertian Perjanjian Internasional


1. Montessori
a. Sejarah Montessori Berikut ini beberapa pengertian mengenai perjanjian internasional:
b. Metode Montessori
c.Permainan dalam Montessori Kerangka teori = Pembahasan dari suatu variabel dalam
a. Pengertian Secara umum rangka menunjang suatu penelitian
2. Tahap Tumbuh Kembang Anak
Tipe kepribadian
a. Menurut Jeane Piaget
Secara
1)Sensorik (0 - 2 tahun) Perjanjian internasional adalah sumber hukum internasional yang utamanya
2) Pra operasional (3-7 tahun)
ENFP, INFJ Secara karakter
3) Operasional konkrit (7 - 11 tahun)
terdiri atas instrumen – instrumen yang yuridik serta dapat menampung kehendak dan
4) Operasional formil (Di atas 11 tahun)
1) Koleris
b. Secara umum
persetujuan negara atau subjek hukum internasional yang lainnya untuk mencapai
1) Infant (0-2 tahun)
2) Anak Usia Dini (3-6 tahun)
Keras kepala, saklek,
3) Anak Usia menengah
tujuan bersama. Persetujuan bersama tersebut dirumuskan dalam perjanjian tersebut
(6 - 12 tahun)
tegas, minim demokrasi
4) Anak usia remaja (13-18 tahun)
merupakan
5) Dewasa (18 - 60 tahun)
dasar dari hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara – negara
tanpa kompromi, cemas
6) Lansia (Di atas 60 tahun)
atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini. 15 akan ketidakberesan, to the
point
3.Mellow/Melankolis
Gampang sedih, pendiam, perasa 2. Sanguinis
4.Plegmatis Lucu, mampu menghibur,
Pendamai, polos dan lugu, naif, dsb. penyayang

15
Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, Edisi keenam,
2018, Hlm. 8.
13

b. Menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mengenai Penggunaan Istilah dalam

Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan yang dibuat negara dalam

bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal

atau dua maupun lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan

kepadanya.16

c. Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 Tentang

Hubungan Luar Negeri

Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun

yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah

Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek

hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah

Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.17

d. Menurut Oppenheimer Lauterpact

Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian antar negara yang

menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang mengadakannya.18

16
Konvensi Wina 1969
17
UU Nomor 37 Tahun 1999.
18
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Pengantar Hukum
Internasional, 2017, Hlm. 117-118.
14

Berdasarkan pendapat – pendapat di atas, dapat diketahui bahwa yang

dimaksud dengan perjanjian internasional adalah salah satu sumber hukum

internasional yang mengikat antar negara untuk mencapai tujuan bersama dalam

bentuk tertulis serta dapat menimbulkan hak maupun kewajiban di antara negara –

negara yang mengadakan perjanjian ini.

2. Jenis Perjanjian Internasional

Praktek pembuatan perjanjian internasional di antara negara – negara selama ini

telah melahirkan berbagai bentuk terminologi perjanjian internasional yang kadangkala

berbeda pemakaiannya menurut negara, wilayah, maupun jenis perangkat

internasionalnya.19 Terminologi yang digunakan atas perangkat internasional tersebut

umumnya tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya. Suatu

terminologi perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur

dan dengan memperhatikan keinginan para pihak pada perjanjian tersebut dan dampak

politisnya terhadap mereka. Walaupun judul suatu perjanjian internasional dapat

beragam, namun apabila ditelaah lebih lanjut, pengelompokkan suatu perjanjian dalam

judul tertentu dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesamaan materi yang diatur.

Selain itu, penggunaan judul tertentu pada perjanjian internasional juga dilakukan

untuk menunjukkan hubungan antara perjanjian internasional tersebut dengan

perjanjian – perjanjian internasional lainnya yang telah dibuat sebelumnya. Konvensi

19
Ibid.
15

Wina tahun 1969 mengenai Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai

Hukum Perjanjian Antara Negara dan Organisasi Internasional atau Antara Organisasi

– Organisasi Internasional tidak melakukan pembedaan atas berbagai bentuk

perjanjian internasional. Selain itu, Pasal 102 Piagam PBB hanya membedakan

perjanjian internasional menurut terminologi treaty dan international agreement

mencakup beragam perangkat internasional, termasuk di dalamnya komitmen –

komitmen yang diberikan oleh suatu negara secara unilateral dalam pelaksanaan

perjanjian internasional.20 Penamaan dalam perjanjian internasional tersebut antara lain

sebagai berikut:

a. Treaties atau traktat / perjanjian internasional

Terminologi treaty dapat digunakan menurut pengertian umum atau menurut

pengertian khusus. Yang dimaksudkan dengan pengertian umum ialah bahwa treaty

mencakup segala bentuk persetujuan internasional. Sedangkan dalam arti khusus,

treaty merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urutan

perjanjian. Dalam pengertian ini, perjanjian internasional mencakup seluruh perangkat

/ instrumen yang dibuat oleh subjek hukum internasional yang dibuat oleh subjek

hukum internasional dan memiliki kekuatan yang mengikat menurut hukum

internasional.21

20
Ibid., Hlm. 119.
21
Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Keduapuluh, Jakarta: Bhatara, 2016,
Hlm. 60.
16

Menurut pengertian khusus, terminologi treaty dalam Bahasa Indonesia lebih

dikenal dengan istilah traktat. Hingga saat ini, tidak terdapat pengaturan yang konsisten

atas penggunaan terminologi traktat tersebut. Pada umumnya, traktat digunakan untuk

suatu perjanjian yang materinya merupakan hal – hal yang sangat prinsipil. Umumnya

perjanjian tersebut memerlukan adanya pengesahan atau ratifikasi. Jenis – jenis

perjanjian yang termasuk kategori traktat di antaranya perjanjian yang mengatur

masalah perdamaian, perbatasan negara, delimitasi, ekstradisi, dan persahabatan.

Contoh perjanjian yang berbentuk traktat antara lain sebagai berikut Perjanjian

Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara 24 Februari 1976 (Treaty of Amity and

Cooperation in Southeast Asia), Test Ban Treaty 5 Agustus 1963, Non Proliferation

Treaty 1 Juli 1968 dimana Indonesia telah menjadi pihak, Southeast Asia Nuclear

Weapon – Free Zone yang ditandatangani tanggal 15 Desember 1995 dan mulai berlaku

tanggal 27 Maret 1997, Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan Malaysia tanggal 7

Juni 1974, Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan Filipina tanggal 10 Februari 1976,

Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan Thailand tanggal 29 Juni 1976, Perjanjian

Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas Dasar Laut tertentu dengan

Australia tanggal 16 Maret 1997, Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah

dengan Malaysia tanggal 17 Maret 1970, Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut

Wilayah dengan Singapura tanggal 25 Mei 1973, Perjanjian Penetapan Garis Batas

Laut Wilayah dengan Australia tanggal 22 April 1992, juga dengan Australia tentang
17

Saling Membantu dalam Masalah Kriminal (bagian dari ekstradisi minus penyerahan

orang) tanggal 27 Oktober 1995.22

b. Convention atau Konvensi

Dalam pengertian umum, terminologi convention juga mencakup pengertian

perjanjian internasional secara umum. Dalam kaitan ini, Pasal 38 Statuta Mahkamah

Internasional menggunakan istilah international conventions sebagai salah satu sumber

hukum internasional. Dengan demikian, menurut pengertian umum, terminologi

convention dapat disamakan dengan pengertian terminologi treaty. Dalam praktek

internasional, kedua istilah ini menduduki tempat paling tinggi dalam urutan perjanjian

internasional. 23

Sedangkan dalam pengertian khusus, terminologi convention dikenal dengan istilah

Bahasa Indonesia sebagai konvensi. Menurut pengertian ini, istilah konvensi

digunakan untuk perjanjian – perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak

negara pihak. Konvensi umumnya memberikan kesempatan kepada masyarakat

internasional untuk berpartisipasi secara luas. Konvensi biasanya bersifat law making

yang artinya merumuskan kaidah – kaidah hukum bagi masyarakat internasional. 24

Perangkat – perangkat internasional yang dirundingkan atas prakarsa atau naungan

organisasi internasional umumnya juga menggunakan istilah konvensi. Sebagai

22
Ibid.
23
Ibid., Hlm. 61.
24
Ibid.
18

contoh, dapat dikemukakan Konvensi – Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan

Korban Perang, Konvensi – Konvensi Wina 1961 dan 1963 mengenai Hubungan

Diplomatik dan Hubungan Konsuler, Konvensi tentang Hukum Perjanjian 1969,

Konvensi – Konvensi Jenewa 1958 mengenai Hukum Laut, dan Konvensi PBB

mengenai Hukum Laut 1982.

c. Agreement atau Persetujuan

Terminologi agreement juga memiliki pengertian umum dan pengertian khusus.

Dalam pengertian umum, Konvensi Wina 1969 menggunakan terminologi persetujuan

dalam artian luas. Selain memasukkan definisi traktat sebagai persetujuan

internasional, konvensi juga menggunakan terminologi persetujuan internasional bagi

perangkat internasional yang tidak memenuhi definisi traktat. Dengan demikian, maka

pengertian agreement secara umum mencakup seluruh jenis perangkat internasional

dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari traktat dan konvensi. 25

Sedangkan dalam pengertian khusus, terminologi agreement dalam Bahasa

Indonesia lebih dikenal dengan istilah persetujuan. Menurut pengertian ini, persetujuan

pada umumnya mengatur materi yang memiliki cakupan lebih kecil dibandingkan

materi yang diatur pada traktat.26 Saat ini terdapat kecenderungan untuk menggunakan

istilah persetujuan bagi perjanjian bilateral dan secara terbatas pada perjanjian

multilateral. Terminologi persetujuan pada umumnya juga digunakan pada perjanjian

25
Ibid., Hlm. 62.
26
Ibid.
19

yang mengatur materi kerjasama di bidang ekonomi, kebudayaan, teknik, dan ilmu

pengetahuan. Dalam bidang yang erat kaitannya dengan keuangan, persetujuan juga

digunakan pada perjanjian yang menyangkut masalah pencegahan pajak berganda,

perlindungan investasi / penanaman modal atau bantuan keuangan.

d. Charter atau Piagam

Charter pada umumnya digunakan untuk perangkat internasional seperti dalam

pembentukan suatu organisasi internasional seperti dalam pembentukan suatu

organisasi internasional. Penggunaan istilah ini berasal dari Magna Charta yang dibuat

pada tahun 1215. Contoh umum perangkat internasional tersebut adalah Piagam PBB

tahun 1945.27

e. Protocol atau Protokol

Terminologi protokol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya lebih

sempit dibandingkan traktat dan konvensi. Penggunaan protokol memiliki berbagai

macam keragaman.28 Keragaman pertama adalah Protocol of Signature. Protocol of

Signature adalah perangkat tambahan suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh

pihak – pihak yang sama pada perjanjian. Protokol perjanjian ini pada umumnya

berisikan hal – hal yang berkaitan dengan penafsiran pasal – pasal tertentu pada

perjanjian dan hal – hal yang berkaitan dengan pengaturan teknik pelaksanaan

27
Sri Setianingsih, Hukum Internasional, Jakarta: Universitas Terbuka, 2018, Hlm. 30.
28
Ibid.
20

perjanjian. Pengesahan perjanjian tersebut ipso de facto juga mencakup pengesahan

protokol tersebut. Keragaman kedua adalah Optional Protocol. Optional Protocol

adalah protokol yang memberikan tambahan berupa hak dan kewajiban selain yang

diatur dalam perjanjian internasional. Protokol tambahan tersebut pada umumnya

memiliki karakter khusus dan memerlukan proses pengesahan yang terpisah dari

perjanjian induknya. Protokol tambahan dimaksud juga untuk memberikan kesempatan

kepada beberapa pihak pada perjanjian untuk membentuk pengaturan lebih jauh dari

perjanjian induk dan tanpa memerlukan persetujuan seluruh negara pihak. Dengan

demikian, maka protokol ini menciptakan two tier system pada perjanjian internasional.

Contoh dari perjanjian ini adalah Protokol Tambahan Kovenan Internasional menganai

Hak – Hak Sipil dan Politik 1966. Protokol ketiga adalah Protocol based on

Framework Treaty. Protocol based on Framework Treaty adalah perangkat yang

mengatur kewajiban – kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian induknya.

Protokol tersebut pada umumnya digunakan untuk menjamin proses pembuatan

perjanjian yang berlangsung lebih cepat dan sederhana, serta telah digunakan,

khususnya pada hukum lingkungan. Contoh protokol ini adalah The Montreal Protocol

on Substances that Deplete the Ozone Layer yang didasari oleh Pasal 2 maupun Pasal

8 Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer. Keragaman keempat

adalah protokol untuk mengubah beberapa perjanjian internasional, seperti Protocol of

1946 amending the Agreements, Conventions, and Protocol of Narcotic Drugs.

Keragamaan kelima adalah protokol yang merupakan pelengkap perjanjian


21

sebelumnya, seperti Protocol of 1967 relating to the Status of Refugees yang

merupakan pelengkap dari Convention 1951 relating to the Status of Refugees.

f. Declaration atau Deklarasi

Deklarasi juga merupakan suatu perjanjian dan berisikan ketentuan umum dimana

pihak – pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk melakukan kebijaksanaan –

kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang. Bedanya dengan perjanjian atau

konvensi adalah deklarasi isinya ringkas dan padat serta mengesampingkan ketentuan

– ketentuan yang hanya bersifat formal, seperti surat kuasa, ratifikasi, dan lain

sebagainya.29

Di dalam keenam deklarasi yang dibuat oleh ASEAN sampai sekarang ini, seperti

Declaration of ASEAN Concord 1976 dan Declaration of Zone of Peace, Freedom, and

Neutrality 1971, tidak ada satupun yang berisikan ketentuan mengenai cara – cara

berlakunya, yaitu apakah deklarasi harus diratifikasi atau tidak. Semua deklarasi yang

dibuat ASEAN tersebut hanya berisi prinsip – prinsip dan pernyataan – pernyataan

umum mengenai kebijaksanaan yang akan diambil oleh negara - negara ASEAN di

masa yang akan datang.30 Namun demikian, sesuai dengan praktek dan hukum

kebiasaan, deklarasi dalam hukum internasional mempunyai ikatan hukum seperti

perjanjian – perjanjian lainnya. Hanya saja harus dibedakan deklarasi yang dihasilkan

oleh Majelis Umum PBB, seperti Universal Declaration of Human Rights 1948, The

29
Ali Sastroamidjojo, loc. cit.
30
Ibid.
22

Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-

operation among States in accordance 1976, hanya merupakan himbauan kepada

negara – negara anggota tanpa mempunyai ikatan hukum.

g. Final Act

Final Act adalah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu

konferensi dan yang juga menyebutkan perjanjian – perjanjian atau konvensi –

konvensi yang dihasilkan oleh konferensi tersebut dengan kadang – kadang disertai

anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap perlu. Penandatanganan Final Act ini

sama sekali tidak berarti penerimaan terhadap perjanjian – perjanjian atau konvensi –

konvensi yang dihasilkan tetapi hanya semacam kesaksian berakhirnya suatu tahap

proses pembuatan perjanjian. Penandatanganan dalam arti salah satu tahap ratifikasi

dilakukan kemudian pada lain kesempatan. Contoh dari Final Act adalah Final Act

General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994, Final Act Embodying the

Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiating 1984.31

h. Agreed Minutes dan Summary Records

Agreed Minutes dan Summary Records adalah catatan mengenai hasil perundingan

yang telah disepakati oleh pihak – pihak dalam perjanjian. Catatan ini selanjutnya akan

digunakan sebagai rujukan dalam perundingan – perundingan selanjutnya.32

31
Indien Winarwati, Hukum Internasional, Surabaya: Setara Press, 2017, Hlm. 45.
32
Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (Dari Konsepsi Sampai Aplikasi), Bandung: Pustaka Setia,
2017, Hlm. 37.
23

i. Memorandum of Understanding

Memorandum of Understanding adalah perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis

operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis.

Memorandum of Understanding dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya

perjanjian induk. Jenis perjanjian ini pada umumnya dapat segera berlaku setelah

penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan.33

j. Arrangement

Arrangement adalah suatu perjanjian yang mengatur mengenai pelaksanaan teknik

operasional suatu perjanjian induk.34 Dalam kaitan ini, Arrangement juga dapat dipakai

untuk melaksanakan proyek – proyek jangka pendek yang betul – betul bersifat teknis

misalnya Arrangement Studi Kelayakan Proyeksi Tenaga Uap di Aceh yang

ditandatangani pada tanggal 19 Februari 1979 antara Departemen Pertambangan RI

dengan President the Canadian International Development Agency.35 Kadang –

kadang juga dipakai istilah Special Agreement untuk pelaksanaan kegiatan – kegiatan

yang terdapat dalam persetujuan kerjasama teknis. Sebagaimana diketahui persetujuan

– persetujuan kerjasama tersebut hanya menyebutkan bidang – bidang kerjasama saja,

sedangkan pelaksanaan tiap – tiap bidang serta hak – hak dan kewajiban – kewajiban

pihak – pihak akan diatur oleh Special Agreement.

33
Ibid.
34
Ibid., Hlm. 38.
35
Ibid.
24

k. Exchanges of Notes

Exchanges of Notes adalah perjanjian internasional bersifat umum yang memiliki

banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan

mempertukarkan dua dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada

masing – masing dokumen. Dalam prosedur umum, negara penerima mengulangi

secara utuh isi surat yang diberikan oleh negara pengusul perjanjian tersebut dan

selanjutnya menerima usulan perjanjian tersebut. Biasanya nota yang dipertukarkan

tersebut berisikan kesepakatan – kesepakatan yang telah dicapai dengan tanggal yang

sama dan mulai berlaku pada tanggal tersebut, kecuali bilamana pihak – pihak

menentukan lain.36

Pertukaran nota atau surat juga sering digunakan untuk penjelasan pasal – pasal

tertentu dari suatu persetujuan atau perpanjangan suatu persetujuan.37 Untuk

menghindarkan kemungkinan dibuatnya banyak nota sehingga pertukaran nota tersebut

menjadi surat – menyurat, maka praktek sekarang ini menganjurkan agar dicapai

terlebih dahulu kesepakatan mengenai isi nota – nota tersebut sebelum dipertukarkan.

Di Indonesia, pertukaran nota atau surat biasanya mengatur soal – soal pelaksanaan

persetujuan induk, pemberian hibah, penyediaan alat – alat teknik, peningkatan studi

di berbagai bidang, kegiatan survey dan lain – lainnya. Pertukaran nota atau surat ini

36
Ibid., Hlm. 39.
37
Ibid.
25

termasuk cara – cara yang sering juga dipakai Indonesia dalam hubungan –

hubungannya dengan negara lain.

l. Modus Vivendi

Modus Vivendi adalah suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud

akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci. Biasanya dibuat dengan cara

tidak resmi dan tidak melakukan pengesahan.38

m. Process – Verbal

Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam

pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hal – hal yang bersifat teknik adminstratif

atau perubahan – perubahan kecil dalam suatu persetujuan.39

n. Konstitusi

Konstitusi adalah ketentuan yang memuat ketentuan-ketentuan organik suatu

organisasi internasional. Penamaan ini lebih banyak digunakan pada organisasi

internasional yang bergerak di bidang pos dan telekomunikasi seperti Konstitusi

Perhimpunan Pos Sedunia (Universal Postal Union), Asia-Pacific Postal Union, Asia-

Pacific Telecommunity, Asian Oceanic Postal, dan Perhimpunan Telekomunikasi

International (International Telecommunication Union).40

38
Darwis Anatami, Selayang Pandang Tentang Hukum Internasional, Yogyakarta: Deepublish, 2018,
Hlm. 29
39
Ibid.
40
Wiwin Yulianingsih, Hukum Organisasi Internasional, Banten: Andi Offset, 2017, Hlm. 41.
26

o. Strategic Partnership

Strategic Partnership adalah kesepakatan politik yang tidak mengikat (bersifat

politis) dan mempunyai lingkup yang luas / lebih dari satu bidang. Kesepakatan ini

dilakukan pada tingkat kepala negara. Walaupun tidak mengikat, tetapi dapat dijadikan

referensi dalam penyusunan.41

p. Letter of Intent

Letter of Intent adalah nota kesepakatan yang tidak mengikat. Biasanya dilakukan

pada tahap penjajakan dalam menyusun perjanjian. Misalnya kedua belah pihak

bersepakat di kemudian hari akan melaksanakan kerjasama pertahanan dengan lingkup

tertentu.42

3. Proses Pembuatan Perjanjian Internasional

Dalam pembuatan perjanjian internasional, diperlukan beberapa proses yang di

antaranya adalah sebagai berikut:

a. Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969

Tahapan dalam pembuatan perjanjian internasional menurut Konvensi Wina

1969 antara lain adalah sebagai berikut:

41
Darwis Anatami, loc.cit.
42
Ibid.
27

1) Perundingan

Perundingan dilakukan oleh wakil – wakil negara yang diutus oleh negara –

negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil – wakil negara melakukan

perundingan tertentu terhadap masalah yang harus diselesaikan. Perundingan

dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, maupun duta besar. Perundingan

juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa full powers atau surat kuasa penuh.

Apabila perundingan mencapai kesepakatan, maka perundingan tersebut meningkat

setiap adanya penandatangan.43

2) Penandatanganan

Penandatangan merupakan hal yang telah disepakati oleh kedua belah pihak

biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri.

Setelah perjanjian ditandatangani, maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau

pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara – negara yang

menandatangani suatu perjanjian internasional tersebut. Khusus pada perundingan

yang sifatnya multilateral, penandatanganan teks perjanjian internasional dianggap sah

jika 2/3 suara peserta yang hadir dalam pemberian suara, kecuali jika ditentukan lain.44

Namun demikian, perjanjian belum dapat diberlakukan oleh masing-masing

negaranya. Hal ini dibuktikan oleh Pasal 12 Konvensi Wina yang mengatakan bahwa

persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk

43
Wiwin Yulianingsih, op. cit., Hlm. 43.
44
Ibid.
28

tandatangan wakil negara tersebut, bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya, bila

terbukti bahwa negara – negara yang telah berunding menyetujuinya demikian, dan

bila surat kuasa penuh wakil – wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan

dengan jelas waktu perundingan.45

3) Pengesahan atau ratifikasi

Pengesahan atau ratifikasi dilakukan apabila penandatangan perjanjian belum

menciptakan ikatan hukum bagi para pihaknya.46 Hal ini dibuktikan oleh Pasal 14

Konvensi Wina yang mengatakan bahwa persetujuan suatu negara diikat suatu

perjanjian yang dinyatakan dalam bentuk ratifikasi apabila perjanjian itu sendiri

mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam bentuk ratifikasi, bila terbukti

bahwa negara – negara yang ikut berunding setuju untuk mengadakan ratifikasi, bila

utusan – utusan negara menandatangani perjajian tersebut dengan syarat

meratifikasinya kemudian atau surat kuasa penuh delegasi itu sendiri menyatakan

bahwa ratifikasi diharuskan kemudian.47 Pengesahan atau ratifikasi dipelukan karena

perjanjian – perjanjian itu pada umumnya menyangkut kepentingan dan mengikat masa

depan negara dalam hal – hal tertentu dan karena itu harus disahkan oleh kekuasaan

negara tertinggi, menghindarkan kontroversi antara utusan – utusan yang berunding

dengan pemerintah yang mengutus mereka, perlu adanya waktu agar instansi – instansi

45
Ibid.
46
Edy Suryono, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Edisi keduapuluh satu,
Bandung: Remadja Karya, 2017, Hlm.46.
47
Budiono Kusumohadidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional, Konvensi Wina Tahun 1969
Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Edisi keduapuluh, Bandung: Binacipta, 2016, Hlm. 46.
29

yang bersangkutan dapat mempelajari naskah yang diterima, dan pengaruh rezim

parlementer yang mempunyai wewenang untuk mengawasi kegiatan – kegiatan yang

sifatnya eksekutif.48

b. Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional Menurut Undang – Undang Nomor 24

Tahun 2000

Tahapan dalam pembuatan perjanjian internasional menurut Pasal 6 ayat (1)

Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2000 antara lain sebagai berikut:49

1) Penjajakan

Penjajakan adalah tahap pertama yang dilakukan oleh kedua pihak yang

melaksanakan perundingan mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian

internasional. 50

2) Perundingan

Perundingan adalah tahap kedua untuk membahas mengenai substansi maupun

masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.51 Tahap

inilah merupakan upaya yang ditempuh oleh para pihak dari negara – negara untuk

mencapai kesepakatan atas materi yang masih belum dapat disetujui dalam tahap

pertama, yaitu pada tahap penjajakan. Tahap perundingan perumusan naskah ini

48
Edy Suryono, loc.cit.
49
UU Nomor 24 Tahun 2000
50
Edy Suryono, loc. cit.
51
Ibid.
30

jugalah berfungsi sebagai wahana memperjelas pemahaman setiap pihak tentang

ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional. Hal ini dilakukan setelah

para pihak mendapatkan persetujuan untuk mengadakan perundingan. Oleh karena itu,

masing-masing pihak akan menunjuk organ-organ yang berwenang untuk menghadiri

perundingan tersebut. Jika kepala negara tidak dapat menghadiri perundingan, maka

perundingan akan diwakili oleh Menteri Luar Negeri atau wakil diplomatiknya.

Apabila tidak, maka akan ditunjuk wakil-wakil berkuasa penuh dan mendapat surat

kuasa untuk mengadakan perundingan menandatangani atau menyetujui teks perjanjian

dalam konteks tersebut. Pada tahap perundingan inilah beberapa draft atau rancangan

perjanjian ditawarkan dan dibahas sehingga muncul usul, amandemen, pro maupun

kontra.52

3) Perumusan Naskah

Perumusan naskah adalah tahap ketiga untuk merumuskan rancangan suatu

perjanjian internasional.53 Rumusan naskah adalah hasil kesepakatan dalam

perundingan oleh para pihak atas materi perjanjian internasional. Pada tahapan ini

diberikan juga tanda paraf terhadap materi yang telah disetujui sehingga dihasilkan

puls Agreed Minutes, atau Minutes of Meeting, atau Records of Discussion, atau

Summary Records yang berisi hal - hal yang sudah disepakati, belum disepakati,

maupun agenda perundingan berikutnya.54 Apabila suatu perjanjian merupakan

52
Ibid.
53
Ibid, Hlm. 47.
54
Ibid.
31

perjanjian bilateral dari dua negara yang mempunyai bahasa yang sama, maka hal ini

tidak akan menimbulkan kesulitan. Masing-masing pihak pada perjanjian tersebut

membuat naskah di atas kertasnya sendiri dengan mendahulukan nama negaranya

setiap nama negara para pihak muncul. Begitu juga dengan letak tanda tangan, tanda

tangan harus diletakkan di sebelah kiri ataupun dibagian atas secara berurutan.

4) Penerimaan

Penerimaan adalah tahap keempat untuk menerima naskah perjanjian yang telah

dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan yang bersifat bilateral,

maka kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan bisa disebut penerimaan apabila

dilakukan dengan membubuhkan paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua

delegasi masing - masing. Akan tetapi, dalam perundingan yang bersifat multilateral,

maka kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan bisa dikatakan sebagai proses

penerimaan apabila merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas

perubahan perjanjian internasional. 55

5) Penandatanganan

Penandatanganan adalah tahap terakhir atau tahap kelima dalam perundingan

untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh

55
Damos Dumoli, Hukum Perjanjian Internasional (Teori dan Praktik di Indonesia), Yogyakarta:
Social Agency Putera, 2018, Hlm. 37.
32

pihak – pihak tertentu. Khusus pada perjanjian multilateral, penandatanganan

perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. 56

4. Pengikatan Perjanjian Internasional

Menurut Pasal 11 Konvensi Wina 1969, mengekspresikan persetujuan untuk terikat

dalam sebuah perjanjian berarti mengekspresikan persetujuan untuk terikat dengan

sebuah perjanjian. Persetujuan tersebut dinyatakan dalam bentuk:

a. Penandatanganan (Menurut Pasal 12 Konvensi Wina 1969)

Penandatangan dilakukan ketika kesepakatan negara untuk mengikatkan diri pada

perjanjian dinyatakan dengan penandatanganan oleh wakilnya jika perjanjian itu

menyatakan bahwa penandatanganan itu mempunyai pengaruh. Jika tidak ada, maka

akan disebutkan bahwa negara – negara perunding telah menyetujui sebelumnya bahwa

penandatanganan itu harus mempunyai pengaruh atau adanya kehendak dari negara

untuk memberikan bahwa pengaruh terhadap penandatanganan tersebut muncul dari

surat kuasa penuh dari wakilnya atau selama perundingan. Penandatanganan suatu

perjanjian oleh seorang wakil (Dengan catatan menunggu konfirmasi atau

pertimbangan lebih lanjut) ad referendum, dan jika nantinya diberikan konfirmasi oleh

negaranya, merupakan suatu penandatanganan yang penuh dari perjanjian.57

56
Ibid.
57
Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2018, Hlm. 71.
33

b. Pertukaran instrumen (Menurut Pasal 13 Konvensi Wina 1969)

Pertukaran instrumen dilakukan dengan cara persetujuan dari serikat untuk terikat

dengan suatu perjanjian yang dibentuk oleh Instrumen yang dipertukarkan antara

mereka dinyatakan oleh pertukaran ketika menyediakan instrumen pertukaran mereka

akan memiliki efek atau jika tidak ditetapkan bahwa Negara-negara itu sepakat bahwa

pertukaran instrumen harus memiliki efek.58

c. Ratifikasi (Menurut Pasal 14 Konvensi Wina 1969)

Persetujuan dari negara untuk terikat oleh suatu perjanjian dinyatakan oleh

ratifikasi ketika negara dari persetujuan untuk terikat oleh suatu ratifikasi perjanjian

dan dinyatakan dengan perjanjian yang memberikan persetujuan. Apabila tidak

ditetapkan bahwa perundingan serikat telah disepakati bahwa ratifikasi harus diminta,

maka wakil dari negara harus menandatangani perjanjian yang diratifikasi.59

d. Aksesi (Menurut Pasal 15 Konvensi Wina 1969)

Persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian dapat dinyatakan

dengan aksesi apabila perjanjian itu sendiri secara jelas menyatakan hal tersebut dan

jika terbukti bahwa negara – negara yang ikut berunding menginginkan yang

demikian.60

58
A. K. Syahmin, Hukum Internasional Publik: Dalam Kerangka Studi Analitis, Jakarta: Binacipta,
2017, Hlm. 35.
59
Ibid.
60
Ibid., Hlm. 37.
34

e. Cara lain yang dikehendaki oleh negara – negara

Cara lain yang dikehendaki oleh negara-negara adalah keterikatan secara otomatis

pada perjanjian internasional apabila dalam masa tertentu tidak menyampaikan

notifikasi tertulis untuk menolak keterikatannya pada suatu perjanjian internasional.61

B. Sejarah Pembentukan Konvensi Hak Anak PBB 1989

Gagasan mengenai hak anak bermula setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama.

Sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutana yang

dialami oleh kaum perempuan dan anak – anak, para aktivis perempuan dalam pawai

protes mereka dimana mereka membawa poster – poster yang meminta perhatian

publik atas nasib anak – anak yang menjadi korban perang. Salah seorang di antara

para aktivis perempuan tersebut adalah Eglatyne Jebb, kemudian mengembangkan

sepuluh butir pertanyaan tentang hak anak pada tahun 1923 dan diadopsi oleh Save the

Children Fund International Nation.62

Pada tahun 1924, untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara

internasional oleh Liga Bangsa – Bangsa (Sekarang Perserikatan Bangsa – Bangsa atau

PBB) dan deklarasi ini dikenal dengan Deklarasi Jenewa.63 Setelah berakhirnya Perang

Dunia Kedua, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal

61
D. Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya, Edisi Keenam, . Jakarta:
Diadit Media, 2017, Hlm. 31.
62
Ima Susilowati, dkk., Pengertian Konvensi Hak Anak, Jakarta: UNICEF INDONESIA, 2018, Hlm.
11.
63
Ibid.
35

mengenai Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember 1948. Peristiwa setiap tahun

yang diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia Sedunia ini menandai perkembangan

penting dalam sejarah hak asasi manusia. Beberapa hal yang menyangkut hak khusus

bagi anak – anak tercakup dalam deklarasi ini.

Pada tahun 1959, Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai

Hak Anak yang merupakan deklarasi internasional kedua. Lalu, pada tahun 1979 saat

dicanangkannya Tahun Anak Internasional, pemerintah Polandia mengajukan usul bagi

perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan

terhadap hak – hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal mula perumusan

Konvensi Hak Anak. Terakhir, pada tahun 1989, Konvensi Hak Anak diselesaikan

pada tahun itu juga dan naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis

Umum PBB pada tanggal 20 November 1989. Rancangan inilah yang kita kenal

sebagai Konvensi Hak Anak PBB 1989. Konvensi Hak Anak PBB 1989 mulai

diberlakukan sebagai hukum internasional pada tanggal 2 September 1990.64

Konvensi Hak-Hak Anak PBB 1989 merupakan sebuah konvensi internasional

yang mengatur mengenai hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada anak.65

Negara yang meratifikasi konvensi internasional ini memiliki keterikatan untuk

menjalankan sesuai dengan hukum dan prinsip internasional, khususnya mengenai

perlindungan anak. 66 Pelaksanaan konvensi Hak Anak PBB 1989 diawasi oleh Komite

64
Ibid., Hlm 12-13.
65
Hadi Setia Tunggal, Konvensi Hak-Hak Anak, Jakarta:Harvarindo, 2018, Hlm.65.
66
Ibid.
36

Kovensi Hak Anak PBB 1989. Anggotanya terdiri dari berbagai negara dari seluruh

dunia.

C. Isi Konvensi Hak Anak PBB 1989

Konvensi Hak Anak PBB 1989 merupakan instrument internasional di bidang Hak

Asasi Manusia dengan cakupan hak yang paling komprehensif. Terdiri atas 54 Pasal,

Konvensi Hak Anak PBB 1989 hingga saat ini dikenal sebagai satu – satunya konvensi

di bidang Hak Asasi Manusia yang mencakup baik hak sipil dan politik, maupun

ekonomi, sosial, dan budaya sekaligus.

Berdasarkan strukturnya, Konvensi Hak Anak PBB 1989 terbagi atas empat bagian.

Bagian pertama adalah bagian preambule atau bagian mukadimah. Bagian mukadimah

berisi konteks dalam Konvensi Hak Anak PBB 1989. Bagian kedua adalah bagian satu

yang terdiri atas Pasal 1 – Pasal 41 yang mengatur hak bagi semua anak. Bagian ketiga

adalah bagian dua yang terdiri atas Pasal 42 – Pasal 45 mengatur mengenai masalah

pemantauan dan pelaksanaan dari Konvensi Hak Asasi Manusia. Bagian terakhir

adalah bagian tiga yang terdiri atas Pasal 46 – Pasal 54 yang mengatur mengenai

masalah pemberlakuan konvensi.

Berdasarkan isinya, Konvensi Hak Anak PBB 1989 terbagi atas lima bagian.67

Bagian pertama adalah kategorisasi berdasarkan konvensi induk hak asasi manusia

yang dikatakan bahwa Konvensi Hak Anak PBB 1989 mengandung hak – hak sipil dan

67
Ibid.,Hlm. 66.
37

politik serta hak – hak ekonomi, sosial, dan budaya. Bagian kedua adalah ditinjau dari

sisi yang berkewajiban melaksanakan Konvensi Hak Anak PBB 1989, yaitu negara dan

yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak anak (orang dewasa pada umumnya)

dan terdapat tiga kata kunci yang bisa dipakai sebagai jembatan untuk memahami isi

Konvensi Hak Anak yaitu memenuhi, melindungi, dan menghargai. Bagian ketiga

adalah mengenai cara pembagian yang sudah sangat populer dan dibuat berdasarkan

cakupan hak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak PBB 1989. Hak – hak

tersebut adalah hak atas kelangsungan hidup, hak atas berkembang, hak atas

perlindungan, serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Bagian

keempat adalah cara pembagian yang dirumuskan oleh Komite Hak Anak PBB yang

mengelompokkan Konvensi Hak Anak PBB 1989 menjadi delapan kategori ( Langkah

– langkah implementasi umum, definisi anak, prinsip – prinsip umum, hak sipil dan

kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dan

kesejahteraan dasar, pendidikan, waktu luang, dan kegiatan budaya, serta langkah –

langkah perlindungan khusus berkaitan dengan hak anak untuk mendapatkan

perlindungan khusus). Bagian kelima adalah kategori substantif hak anak pada kategori

terakhir (4 – 8) dan tiga kelompok yang pertama (1 – 3 ) bersifat lintas kategori. Cara

pembagiannya lebih banyak digunakan, terutama oleh yang mengkhususkan diri pada
38

Konvensi Hak Anak PBB 1989 karena pembagian ini sekaligus memberikan kerangka

kerja yang sangat komprehensif melingkupi cara – cara pembagian sebelumnya.68

Intinya, di dalam Konvensi Hak Anak PBB 1989 inilah terdapat banyak hak yang

harus dimiliki oleh anak.69 Hak pertama adalah memperoleh nama dan kebangsaan

serta dipelihara oleh kedua orang tuanya. Hak kedua adalah berhak mempertahankan

identitas termasuk soal kewarganegaraan, nama diri, dan hubungan keluarga. Hak

ketiga adalah bebas menyatakan pendapat, baik secara lisan, tertulis maupun

cetakan, dalam bentuk seni atau media lain sesuai pilihan anak yang bersangkutan.

Hak keempat adalah berhak memperoleh informasi yang tepat dari berbagai sumber

nasional dan internasional. Hak kelima adalah berhak mempunyai kemerdekaan

berpikir, hati nurani, dan beragama. Hak keenam adalah berhak mempunyai

kemerdekaan berserikat dan kemerdekaan berkumpul dengan damai. Hak ketujuh

adalah berhak melindungi kehidupan pribadi. Hak kedelapan adalah berhak untuk

tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam, atau hukuman yang tidak manusiawi

atau menurunkan martabat. Hak kesembilan adalah berhak memperoleh bimbingan

orangtua atau anggota keluarga besar atau masyarakat sebagaimana ditentukan

oleh adat istiadat setempat. Hak kesepuluh adalah berhak memperoleh perawatan dari

orangtua. Hak kesebelas adalah berhak untuk tidak dipisahkan dari orangtua. Hak

keduabelas adalah berhak bersatu kembali dengan keluarga. Hak ketigabelas adalah

68
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Edisi Keempat, Bandung: Nuansa Cendekia, 2018, Hlm.
36.
69
Ibid.
39

berhak mendapat dukungan dari lingkungan keluarga. Hak keempat belas adalah

berhak mengalami perlakuan adopsi, yang dapat menjamin kepentingan terbaik

anak. Hak kelima belas adalah berhak memperoleh perlindungan dari Negara atas

tindakan penyerahan secara gelap ke luar negeri sehingga tidak dapat kembali ke

Indonesia. Hak keenam belas adalah berhak untuk tidak disalahgunakan dan

ditelantarkan oleh Negara. Hak ketujuh belas adalah berhak memperoleh peninjauan

kembali secara periodik penempatan eksistensi diri. Hak kedelapan belas adalah

berhak memperoleh kelangsungan hidup dan pengembangan dari Negara. Hak

kesembilan belas adalah berhak memperoleh kenikmatan hidup penuh dan

layak, seandainya anak dalam keadaan cacat fisik atau mental. Hak kedua puluh adalah

berhak memperoleh jaminan kesehatan dan pelayanan kesehatan. Hak keduapuluh satu

adalah berhak mendapat jaminan sosial dan pelayanan perawatan serta berbagai

fasilitas dari Negara. Hak keduapuluh dua adalah berhak meningkatkan kualitas

hidup layak dan pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Hak

keduapuluh tiga adalah berhak memperoleh pendidikan secara bertahap dan

mempunyai kesempatan dari Negara. Hak keduapuluh empat adalah berhak

mengenyam terealisasinya tujuan pendidikan yang diwujudkan Negara. Hak

keduapuluh lima adalah berhak memperoleh fasilitas yang sama dari Negara

dalam memanfaatkan waktu luang, kegiatan rekreasi dan budaya. Hak keduapuluh

enam adalah anak pengungsian berhak memperoleh perlindungan. Hak keduapuluh

tujuh adalah anak konflik bersenjata berhak memperoleh perlindungan. Hak

keduapuluh delapan adalah hak setiap anak untuk diperlakukan dengan baik.
40

Apabila ia melanggar hukum, maka penghukumannya sesuai dengan martabat dan nilai

anak. Hak keduapuluh sembilan adalah anak berhak mendapat kemerdekaan,

diperlakukan manusiawi serta harus dihormati martabat kemanusiaannya. Hak ketiga

puluh adalah tidak seorang anakpun menjalani siksaan atau perlakuan kejam,

perlakuan yang tidak manusiawi atau menurunkan martabat. Hak ketigapuluh satu

adalah negara akan mengambil langkah-langkah yang layak untuk meningkatkan

pemulihan rohani dan jasmani serta penyatuan kembali ke dalam masyarakat

atas eksistensi anak yang menjadi korban konflik hukum. Hak ketigapuluh dua adalah

anak dilindungi Negara dari eksploitasi ekonomi dan terhadap pekerjaan yang

berbahaya atau menggangu pendidikan, merugikan kesehatan anak, perkembangan

fisik, mental dan spirtual, moral. Hak ketigapuluh tiga adalah anak berhak

dilindungi Negara dari segala bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan

seksual. Hak ketigapuluh empat adalah negara akan melindungi anak dari semua

bentuk lain eksploitasi yang merugikan bagi setiap aspek dari kesejahteraan anak. Hak

ketigapuluh lima adalah anak dilindungi Negara dari pemakaian narkoba, dan

zat - zat psikotropika lainnya. Hak ketigapuluh enam adalah negara akan mengambil

langkah yang layak, baik secara nasional, bilateral dan multilateral untuk mencegah

penculikan, penjualan, atau jual - beli anak untuk tujuan atau dalam bentuk apapun..

Hak ketigapuluh tujuh adalah anak dari kalangan minoritas berhak untuk

mengakui dan menikmati hidupnya.


41

Dari ketigapuluh tujuh hak anak tersebut, terdapat prinsip hak anak yang terdiri

atas sepuluh prinsip.70 Prinsip pertama menyatakan bahwa setiap anak harus menikmati

sema hak yang tercantum di dalam deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan, dan

tanpa diskriminasi. Prinsip kedua menyatakan bahwa setiap anak harus menikmati

perlindungan khusus, harus diberikan kesempatan dan fasilitas oleh hukum atau oleh

peralatan lain sehingga mereka mampu berkembang, secara fisik, mental, moral,

spiritual, dan sosial dalam cara yang sehat serta normal. Prinsip ketiga menyatakan

bahwa setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan indentitas kebangsaan.

Prinsip keempat menyatakan bahwa setiap anak harus menikmati manfaat dari adanya

jaminan sosial. Prinsip kelima menyatakan bahwa setiap anak, baik secara fisik,

mental, maupun sosial, mengalami kecacatan, harus diberikan perlakuan khusus,

pendidikan, dan pemeliharaan sesuai dengan kondisinya. Prinsip keenam menyatakan

bahwa setiap anak bagi perkembangan pribadinya secara penuh dan seimbang

memerlukan kasih sayang dan pengertian. Prinsip ketujuh menyatakan bahwa setiap

anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan atas dasar hak wajib belajar.

Prinsip kedelapan menyatakan bahwa setiap anak dalam situasi apapun harus

menerima perlindungan dan bantuan yang pertama. Prinsip kesembilan menyatakan

bahwa setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk keterlantaran, tindakan

kekerasan, dan eksploitasi.71 Prinsip kesepuluh atau terakhir menyatakan bahwa setiap

70
Ibid, Hlm. 34.
71
Ibid.
42

anak harus dilindungi dari setiap praktik diskriminasi berdasarkan rasial, agama, dan

bentuk-bentuk lainnya.

D. Pengaturan Perlindungan Anak dari Perundungan Berdasarkan Konvensi

Hak Anak PBB 1989

1. Pengertian Anak Menurut Pasal 1 Konvensi Hak Anak PBB 1989

Menurut Pasal 1 Konvensi Hak Anak PBB 1989, anak adalah manusia yang

umurnya belum mencapai delapan belas tahun, kecuali berdasarkan undang – undang

yang berlaku untuk anak – anak sehingga kedewasaan telah dicapai dengan cepat.72

Maksud dari pernyataan Pasal 1 Konvensi Hak Anak PBB 1989 tersebut adalah pasal

tersebut juga mengakui kemungkinan adanya perbedaan atau variasi dalam penentuan

batas usia kedewasaan di dalam perundangan nasional dari tiap – tiap negara peserta.

Misalnya untuk bekerja, mengikuti pemilihan umum, untuk mengonsumsi minuman

beralkohol, untuk bertanggung jawab kriminal atau untuk bisa dijatuhi hukuman mati,

dan lain sebagainya.73 Idealnya, negara peserta memperlakukan standar terendah yang

ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak PBB 1989 sebagai standar terendah dan demi

sedikit mulai menyesuaikan batasan umur anak yang terdapat dalam perundangan

nasional supaya sesuai dengan standar dalam Konvensi Hak Anak PBB 1989.74

72
Irma Setyowati, Aspek Perlindungan Anak, , Edisi kedelapan belas, Jakarta: Bhumi Aksara, 2018,
Hlm. 40.
73
Ibid, Hlm. 41.
74
Chandra Gautama, Konvensi Hak Anak: Panduan Bagi Jurnalis, Edisi ketujuh, Jakarta: LSPP, 2018,
Hlm. 56.
43

2. Pengertian Perlindungan Anak Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB 1989

Menurut Konvensi Hak Anak PBB 1989, perlindungan anak adalah perlindungan

yang diberikan kepada anak mengingat anak merupakan individu yang belum matang

secara fisik, mental, dan sosial, dari berbagai tindakan kejahatan.75 Perlindungan

kepada anak terdiri atas perlindungan umum dan perlindungan khusus.76 Perlindungan

umum meliputi perlindungan kepada anak dari keadaan darurat atau membahayakan,

kesewenang – wenangan hukum, eksploitasi dan tindakan kekerasan serta

penelantaran, dan diskriminasi. Sedangkan perlindungan khusus adalah perlindungan

yang dikategorikan oleh Komite Hak Anak PBB yang meliputi anak yang beradan

dalam situasi darurat dalam arti pengungsi anak dan anak yang berada dalam situasi

konflik bersenjata, anak yang mengalami masalah dengan hukum, anak yang

mengalami situasi eksploitasi (ekonomi, penyalahgunaan obat, substans, eksploitasi

seksual, penjualan dan perdagangan anak dan yang mengalami bentuk eksploitasi

lainnya), dan anak yang berasal dari kelompok minoritas dan masyarakat adat.

3. Pengertian Perundungan

Berikut ini beberapa pengertian mengenai perundungan:

75
Konvensi Hak Anak PBB 1989.
76
Ibid.
44

a. Menurut istilah

Perundungan adalah kegiatan yang dilakukan dengan cara mengganggu,

mengusik terus menerus, menyusahkan, serta menyakiti orang lain secara verbal,

sosial, dan fisik berulang kali dan dari waktu ke waktu, seperti memanggil nama

seseorang dengan julukan, memukul, mendorong, menyebarkan rumor, mengancam,

atau merongrong seseorang. Beberapa definisi lainnya mengenai perundungan.77

b. Definisi Perundungan Menurut Kamus Inggris-Indonesia

Perundungan adalah kegiatan yang dilakukan dengan cara menggertak. 78

c. Definisi Perundungan Menurut Yayasan Sejiwa

Perundungan adalah penyalahgunaan kekuasaan yang berkelanjutan dalam suatu

hubungan,baik melalui tindakan verbal,fisik,dan atau sosial yang dilakukan secara

berulang yang mengakibatkan kerugian fisik dan atau psikologis.Tindakan ini dapat

melibatkan individu atau kelompok yang menyalahgunakan kekuasaan mereka pada

satu atau lebih orang lain. 79

d. Definsi Perundungan Menurut Dan Olweus

Perundungan dapat dilihat apabila seseorang yang menjadi korban terkena aksi

negatif oleh satu orang atau lebih, dan kesulitan untuk membela dirinya.80 Hal ini

77
Robert Pereira, Why’s children Bully, Jakarta: Grasindo, 2018, Hlm.3.
78
Tamer, Kamus Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris, Inggris: Tamer Press, 2017, Hlm.5.
79
Yayasan Sejiwa,Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan di Lingkungan,Jakarta:Grasindo,2017,Hlm.3.
80
Ibid, Hlm 4.
45

dibuktikan dengan tiga unsur atau definisi dari perundungan, antara lain sebagai

berikut:

1) Perundungan adalah kegiatan yang bersifat menyerang dengan perilaku aksi

negatif dan tidak diinginkan dengan tujuan menyakiti target. Target tersebut adalah

korban.81

2) Perundungan adalah pola perilaku yang dilakukan dengan cara berulang kali

atau ada kondisi terancam agresi selanjutnya.

3) Perundungan adalah kegiatan yang terkait dengan adanya ketidakseimbangan

kekuata atau kekuasaan pelaku yang melakukan perundungan dan korban

perundungan, sehingga korban perundungan mengalami kesulitan untuk membela

dirinya.

Dari definisi – definisi tersebut, perundungan dibagi atas enam macam.

Perundungan jenis pertama adalah perundungan secara verbal. Perundungan secara

verbal adalah yang dilakukan dengan cara mengejek, menghina, mengolok-olok,

ancaman kekerasan, penghinaan ras dan lain-lain. Perundungan ini biasanya sering

dilakukan oleh pelaku perundungan tanpa menyadari dan tanpa memahami bahwa hal

tersebut merupakan hal yang salah untuk dilakukan. Kata-kata yang biasa digunakan

oleh pelaku perundungan dalam perundungan secara verbal ini adalah kata-kata kasar

yang sifatnya merendahkan korban perundungan sehingga membuat korban

81
Ibid.
46

perundungan merasa rendah diri dan tidak memiliki kepercayaan diri.82 Pelaku yang

melakukan perundungan secara fisik biasanya mengejek korban perundungan secara

berlebihan dengan mengatakan hal-hal yang meremehkan dan menggunakan banyak

sarkasme dengan maksud untuk menyakiti perasaan korban perundungan dengan cara

memperlakukannya di depan orang lain.83

Perundungan jenis kedua adalah perundungan secara fisik. 84 Bentuk perundungan

kedua adalah perundungan fisik yang dilakukan dengan cara menonjok, menampar,

memukul, mendorong atau melakukan sesuatu yang melibatkan fisik.

Perundungan jenis ketiga adalah perundungan dunia maya. Perundungan dunia

maya adalah perundungan dunia maya yang dilakukan dengan cara memberikan

ancaman, pelecehan, intimidasi, mempermalukan, menghina yang dilakukan seseorang

terhadap orang lainnya dengan menggunakan perantara media elektronik, baik di

internet ataupun lewat telepon.Perundungan terhadap anak usia di bawah usia 18 tahun

melalui dunia maya terjadi seiring dengan majunya teknologi,seperti telepon genggam,

SMS, e-mail,Instagram,WebApps, Whatsapp, Facebook, Line,Twitter, AskFM, Path,

Pinterest, dan berbagai macam aplikasi serta situs media sosial. 85

82 82
Zainal Aqib dan Ahmad Amrullah, Ensiklopedia Pendidikan dan Guru, Banten: Andi Publisher,
2017, Hlm. 15.
83
Robert Pereira, Op. Cit., Hlm. 8.
84
Ibid.
85
Zainal Aqib dan Ahmad Amrullah, op. cit., Hlm. 16.
47

86
Perundungan jenis keempat adalah perundungan secara emosi. Perundungan

secara emosi adalah perundungan yang dilakukan dengan cara melibatkan emosi dan

lebih halus dibandingkan perundungan secara verbal. Biasanya pelaku perundungan

melakukan perundungan secara verbal kepada korban perundungan supaya korban

perundungan merasa terisolasi atau terpisahkan, menyendiri, dan berujung kepada

depresi. 87

Perundungan jenis kelima adalah perundungan secara relasional atau hubungan


88
pertemanan. Perundungan secara relasional atau hubungan pertemananan adalah

perundungan yang melibatkan banyak pelaku perundungan. Perundungan ini biasanya

sulit terdeteksi apabila dilihat dari luar. Perundungan secara relasional ini pada

pasalnya dilakukan dengan cara melemahkan harga diri korban perundungan, yaitu

mengabaikan, mengucilkan, menghindarkan korban perundungan, memandang sinis,

menertawakan dalam arti mengejek, dan menggerakkan bahasa tubuh yang

mengisyaratkan bahwa pelaku perundungan merendahkan korban perundungan.

Perundungan jenis keenam atau terakhir adalah perundungan secara psikologis.

Perundungan secara psikologis merupakan perundungan yang dilakukan dengan cara

menghardik, memperlihatkan buku, gambar, dan konten-konten pornografi kepada

korban perundungan. Biasanya korban perundungan secara psikologis akan

menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika

86
.Ibid.,Hlm.17 -18
87
Ibid., Hlm.9-11.
88
Ibid.
48

didekati oleh siapapun termasuk pelaku perundungan, takut ke luar rumah, dan takut

jika bertemu orang lain.

4. Akibat Perundungan Bagi Anak

Terdapat beberapa akibat yang ditimbulkan dengan adanya perundungan bagi anak,

baik akibat yang ditimbulkan oleh pelaku (terutama pelaku sesama anak) maupun anak

korban perundungan.89 Bagi pelaku, akibat yang ditimbulkan oleh dilakukannya

perundungan antara lain memiliki watak keras dan merasa memiliki kekuasaan.90

Yang dimaksud oleh memiliki watak yang keras adalah pelaku perundungan memiliki

tingkat kepercayaan diri yang terlampau tinggi dan merasa harga dirinya tinggi pula

sehingga menyebabkan pelaku perundungan berwatak keras, tidak memiliki empati

dan emosi yang tidak terkontrol. Pelaku perundungan pun mempunyai keinginan untuk

mendominasi dalam segala hal sehingga menghalalkan segala cara agar itu dapat

diwujudkan. Sedangkan yang dimaksud oleh memiliki kekuasaan adalah apabila

pelaku perundungan terus didiamkan tanpa intervensi dari pihak tertentu, dapat

menyebabkan tebentuknya perilaku lainnya.

Mengenai akibat yang ditimbulkan dengan adanya perundungan terhadap korban,

terdapat lima akibat yang ditimbulkan dengan adanya perundungan. 91 Akibat pertama

adalah merasakan kecemasan.92 Korban perundungan akan selalu merasa takut dan

89
Andri Priyatna, Let’s End Bullying, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019, Hlm. 41.
90
Ibid.
91
Ibid, Hlm. 42.
92
Ibid.
49

cemas sehingga mempengaruhi konsentrasi dalam belajar di sekolah. Bahkan dalam

jangka panjang, hal ini dapat juga mempengaruhi kepercayaan diri seorang anak

korban perundungan sehingga akan menuntun anak korban perundungan menghindari

sekolah dan memunculkan perilaku menarik diri dari lingkup pergaulan. Akibat kedua

adalah mudah depresi dan marah. Perundungan yang dilakukan terus menerus

membuat korban merasa marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku ataupun

orang-orang di sekitarnya, seperti keluarga ataupun teman-temannya. Ia akan merasa

dirinya sendiri dan orang lain tidak ada yang menolongnya. Padahal sebetulnya

mungkin orang lain tidak tahu dengan apa yang sedang dialaminya. Akibat ketiga

adalah prestasi yang menurun, baik akademis maupun non akademis. Korban

perundungan menghindari dan takut untuk bersekolah sehingga prestasi akademik

maupun nonakademisnya akan menurun. Akibat keempat adalah bunuh diri. Dalam hal

ini, korban perundungan mungkin akan melakukan jalan yang menurut ia dapat

menyelesaikan masalahnnya. Akibat kelima adalah balas dendam. Selain bunuh diri,

tindakan ekstrim lainnya yang dapat dilakukan oleh korban perundungan adalah

dengan melakukan balas dendam pada pelaku perundungan yang tentu saja sikap balas

dendam ini dilakukan korban dalam bentuk yang ekstrim.


50

BAB III

TANGGUNG JAWAB INDONESIA PASCA MERATIFIKASI

KONVENSI HAK ANAK PBB 1989 TERKAIT PERLINDUNGAN

ANAK DARI PERUNDUNGAN

A. Tanggung Jawab Indonesia Sebagai Negara Peserta Terhadap Perlindungan


Anak Korban Perundungan Sesuai Konvensi Hak Anak PBB 1989
Sebagai perjanjian internasional, Konvensi Hak Anak PBB 1989 merupakan sumber

hukum internasional dalam bentuk tertulis yang terdiri atas instrument yuridik serta

dapat menampung kehendak dan persetujuan dua negara atau lebih untuk mencapai

tujuan bersama, yaitu untuk memberikan perlindungan kepada anak dan memenuhi hak

anak.93 Dari Konvensi Hak Anak PBB 1989 itulah terdapat definisi bahwa anak

merupakan manusia yang belum berusia 18 tahun (kecuali berdasarkan undang –

undang yang berlaku untuk anak – anak sehingga kedewasaan telah dicapai dengan

cepat) serta belum matang secara fisik, mental, dan sosial, dari berbagai tindakan

kejahatan sehingga mereka masih membutuhkan perlindungan, baik perlindungan yang

bersifat umum (perlindungan anak dari keadaan darurat atau membahayakan,

kesewenang – wenangan hukum, eksploitasi, tindakan kekerasan serta penelantaran,

dan diskriminasi) maupun perlindungan yang bersifat khusus (perlindungan anak yang

berada dalam situasi darurat dalam arti pengungsi anak dan anak yang berada dalam

93
Remaja Aulia, Aku Anak – Anak Dunia (Beserta Hak – Hak Anak), Jakarta: UNICEF Indonesia,
2017, Hlm.5.
51

situasi konflik bersenjata, anak yang mengalami masalah dengan hukum, anak yang

mengalami masalah eksploitasi {eksploitasi ekonomi, eksploitasi penyalahgunaan

obat, eksploitasi substansi, eksploitasi seksual, penjualan anak, dan eksploitasi anak

lainnya}, dan anak yang berasal dari kelompok minoritas dan masyarakat adat) .94 Oleh

karena itu, baik negara (sebagai peratifikasi maupun penandatangan Konvensi Hak

Anak PBB 1989) maupun individu (masyarakat) sebagai subyek hukum internasional

wajib bertanggung jawab dalam mengambil langkah – langkah, seperti langkah

administratif, legislatif, sosial, pendidikan, serta langkah lainnya dalam menjamin

perlindungan kepada anak dalam mencapai tujuan untuk melindungi anak.95 Selain itu,

negara maupun individu (masyarakat) sebagai subyek hukum internasional juga wajib

bertanggung jawab atas pemenuhan hak anak, seperti hak atas kelangsungan hidup, hak

untuk berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat, hak atas berkembang, dan hak

untuk memiliki pandangan sendiri dan menyatakan pendapat – pendapat tersebut

secara bebas dan dihargai sesuai dengan usia/kematangan anak tanpa bentuk

diskriminasi.96

Salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB 1989 adalah

Indonesia. Indonesia meratifikasi melalui Konvensi Hak Anak PBB melalui Keputusan

Presiden Nomor 36 Tahun 1990 untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu perlindungan

94
Harrys Pratama Teguh, Teori dan Praktek Perlindungan Anak dalam Hukum Pidana, Jakarta: Andi
Publisher, 2019, Hlm. 20.
95
Ibid.
96
Ibid., Hlm. 21 – 22.
52

anak. Pada Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 inilah dijelaskan bahwa anak

sebagai sumber potensi harus diberikan pembinaan dan pengembangan diri supaya

dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan dalam

pengembangannya ini, diperlukan kerja sama negara maupun internasional,

masyarakat, maupun keluarga untuk memenuhi haknya (seperti penghargaan terhadap

pendapat dan aktivitasnya). 97 Yang paling utamanya lagi, anak harus dilindungi dari

kekerasan. Salah satu bentuk kekerasan tersebut adalah kekerasan perundungan.

Tanggung jawab atas perlindungan anak dari perundungan wajib dilakukan oleh negara

karena perundungan merupakan salah satu bentuk kekerasan kepada anak baik secara

verbal (mengejek, menghina, mengolok – olok, ancaman kekerasan, penghinaan ras,

dan lain – lain sehingga perundungan jenis ini biasanya sering dilakukan oleh pelaku

perundungan tanpa menyadari dan tanpa memahami bahwa hal tersebut merupakan

hal yang salah untuk dilakukan dan kata – kata yang biasa digunakan oleh pelaku

perundungan jenis ini adalah kata – kata kasar yang sifatnya merendahkan korban

perundungan sehingga korban merasa rendah diri dan tidak memiliki kepercayaan diri),

fisik (Menonjok, menampar, memukul, mendorong, atau melakukan sesuatu yang

melibatkan fisik), dunia maya (Perundungan yang dilakukan dengan cara memberikan

ancaman, pelecehan, intimidasi, mempermalukan, melakukan penghinaan terhadap

orang lain melalui media elektronik), emosi (Perundungan yang dilakukan dengan cara

melibatkan emosi sehingga membuat korban merasa terisolasi atau dipisahkan,

97
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
53

menyendiri, dan berujung pada depresi), relasional atau hubungan pertemanan

(Perundungan yang melibatkan banyak pelaku perundungan dengan cara melemahkan

harga diri korban, seperti mengabaikan, mengucilkan, menghindarkan korban,

memandang sinis, menertawakan dalam arti mengejek, dan menggerakkan bahasa

tubuh yang mengisyaratkan bahwa pelaku merendahkan korban), dan psikologis

(Perundungan yang dilakukan dengan cara menghardik, memperlihatkan buku,

gambar, dan konten – konten pornografi kepada korban sehingga korban menunjukkan

gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, dan menangis jika didekati

oleh siapapun, termasuk korban perundungan, takut keluar rumah, dan takut bertemu

dengan orang lain).98

Tanggung jawab Indonesia dalam perlindungan anak dari kekerasan perundungan

pasca meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB 1989 antara lain sebagai berikut:

1) Indonesia wajib bertanggung jawab untuk menjadikan hal yang menyangkut

masalah anak sebagai pertimbangan yang harus diutamakan, terutama mengenai

masalah kekerasan perundungan ini karena kekerasan perundungan merupakan

kekerasan yang sangat berdampak buruk bagi perkembangan mental dan fisik anak itu

sendiri. Dalam masalah ini, Indonesia harus melibatkan lembaga, khususnya lembaga

pemerintahan (Seperti KPAI/KPAD/KPAID, Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia, Kementerian Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak), Dewan

98
Zainal Aqib, Loc. Cit.
54

Perwakilan Rakyat Komisi VIII (yang berkaitan dengan anak, sosial, dan agama), dan

Pengadilan Negeri di wilayah kota/kabupaten tertentu (apabila jalur damai/mediasi

tidak dapat digunakan atau upaya terakhir sehingga harus dibawa ke jalur hukum)

dalam penyelesaian kasus/masalah perundungan dengan menjelaskan bagaimana

kronologis terjadinya perundungan tersebut beserta siapa pelaku yang terlibat (baik

pelaku yang sudah dewasa maupun pelaku yang masih dibawah umur/sesama anak -

anak) dan anak yang menjadi korban.99

Dasar Hukum: Pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak Anak PBB 1989 yang berbunyi,

Dalam semua tindakan yang menyangkut anak, baik yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga pengadilan, lembaga
pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus dijadikan
pertimbangan utama.100

2) Indonesia wajib bertanggung jawab dalam penjaminan perlindungan anak dari

kekerasan perundungan, baik perundungan secara fisik, verbal, emosi, media sosial,

maupun hubungan relasional atau pertemanan yang dapat memicu psikologis anak

menjadi lemah serta membuatnya takut pada lingkungan dan orang sekitar, terutama

pelaku perundungan. Dalam hal penjaminan ini, Indonesia juga wajib memperhatikan

bagaimana hak dan kewajiban orang tua/wali/orang yang bertanggungjawab atas anak

korban perundungan tersebut, baik melalui langkah legislatif maupun langkah

99
Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Kementerian Hukum dan HAM RI, Aspek Hukum
Perlindungan Terhadap Anak, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Kementerian Hukum
dan HAM RI, 2019, Hlm. 15.
100
Konvensi Hak Anak PBB 1989
55

administratif.101 Pada langkah legislatif, Indonesia melibatkan lembaga pembentuk

perundang – undangan untuk membuat undang – undang yang memberikan efek jera

kepada pelaku pelanggaran anak yang dijamin dalam Konvensi Hak Anak PBB dan

dalam hal ini pelaku kekerasan perundungan.102 Salah satu contoh produk perundang –

undangan anak Indonesia yang sudah berlaku adalah UU Nomor 35 Tahun 2014.103

Pada langkah adminstratif, Indonesia wajib bertanggung jawab untuk melibatkan

lembaga/instansi perlindungan anak, seperti KPAI/KPAD/KPAID, P2TP2A, Komnas

Anak maupun lembaga/instansi lainnya yang terkait dengan perlindungan anak, dalam

pemberian prasyarat, prosedur, teknis, maupun materi yang terkait dengan pelayanan

ramah anak kepada anak korban perundungan.104

Dasar Hukum: Pasal 3 ayat (2) Konvensi Hak Anak PBB 1989 yang berbunyi,

Negara-negara pihak berupaya untuk menjamin adanya perlindungan dan


pemeliharaan sedemikian rupa yang diperlukan untuk kesejahteraan anak, dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua anak, walinya yang sah, atau orang lain
yang secara hukum bertanggungjawab atas anak yang bersangkutan, dan untuk tujuan
ini harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang diperlukan. 105

3) Indonesia wajib mengambil langkah untuk melindungi dan mencegah anak dari

kekerasan perundungan dengan mengambil langkah tambahan selain langkah legislatif

dan langkah administratif.106 Langkah lain tersebut adalah langkah sosial dan langkah

101
Harrys Pratam Teguh, Loc. Cit.
102
Interparlementary Union (DPR), Perlindungan Anak: Buku Panduan Bagi Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2018, Hlm.15.
103
Ibid.
104
Hadi Suyono, Op. Cit., Hlm. 20.
105
Konvensi Hak Anak PBB 1989
106
Suhasril, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2018,
Hlm. 65.
56

pendidikan.107 Langkah sosial dilakukan dengan cara melibatkan lembaga sosial

(dalam hal ini lembaga yang berkaitan hak asasi manusia/perlindungan anak) dalam

peningkatan pelayanan. Hal ini bisa dilihat dari contoh KPAI/KPAD/KPAID dalam

melindungi anak dari kekerasan perundungan. KPAI/KPAD/KPAID mengadakan

wawancara kepada orang tua/wali dari anak korban perundungan dan menyuruh orang

tua/wali untuk menceritakan kejadian perundungan yang dialami oleh anaknya. Setelah

melakukan wawancara kepada orang tua/wali, maka KPAI/KPAD/KPAID mengajak

anak korban perundungan untuk diassesement oleh dan diberikan kesempatan kepada

untuk berpendapat dan bercerita mengenai kejadian perundungan yang dialami korban.

Langkah kedua adalah langkah pendidikan.108 Langkah pendidikan dilakukan dengan

cara menjalin kerja sama antara pendidik (dalam hal ini guru) dengan peserta didik

beserta orang tua/wali dalam rangka pencegahan terjadinya tindakan perundungan

antara warga dalam lingkungan pendidikan (guru, sesama peserta didik, dan pengelola

sekolah) kepada peserta didik, seperti membuat peraturan tegas mengenai larangan

untuk melakukan perundungan beserta sanksinya apabila melakukan perundungan,

peningkatan tanggung jawab guru maupun kepala sekolah dalam menjaga ketahanan

sekolah, peningkatan profesionalisme guru/tenaga Bimbingan Konseling, dan

mengajak peserta didik untuk melakukan organisasi maupun ekstrakurikuler yang

positif. Selain memupuk kerja sama antara pendidik dengan anak didik maupun orang

tua/walinya, langkah pendidikan dilakukan dengan pemberian pendidikan formal

107
Ibid.
108
Ibid., Hlm. 66.
57

maupun informal yang berkaitan dengan pencegahan kekerasan perundungan, seperti

menegakkan pendidikan agama dan karakter, melakukan sosialisasi bahaya

perundungan, seperti melakukan seminar mengenai perundungan dan akibatnya.109

Dasar Hukum: Pasal 19 ayat (1) Konvensi Hak Anak PBB 1989 yang berbunyi,

Negara pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan


pendidikan yang layak guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau
mental, penganiayaan, penelantaran, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk
penganiayaan seksual sementara mereka ada dalam pemeliharaan orangtua, walinya
yang sah, atau setiap orang lain yang memelihara anak tersebut.110

4) Indonesia harus lebih peka serta menjamin bahwa tidak ada satupun anak yang

boleh menjadi sasaran perundungan karena perundungan hanya dapat merendahkan

serta hilangnya martabat seorang anak. Bentuk kehilangan tersebut antara lain

timbulnya kecemasan, penurunan prestasi pada anak (baik akademik maupun non

akademik), rasa sakit hati, serta pembalasan dendam antara anak sebagai korban

perundungan dengan pelaku perundungan, terutama pada saat anak beranjak

dewasa. Dalam hal ini, Indonesia bertanggung jawab dengan melibatkan

pemerintah maupun swasta dengan mendirikan lembaga perlindungan anak/hak

asasi manusia, terutama lembaga yang menangani dan menyelesaikan masalah

perundungan, antara lain, P2TP2A, KPAD/KPAID, yayasan perlindungan anak,

lembaga perlindungan anak dan wanita, lembaga yang menangani permasalahan

perundungan, dan lain sebagainya. Selain itu, Indonesia melibatkan lembaga sosial,

109
Donny Reno Astuti, Meredam Bullying, Jakarta: Grasindo, 2019, Hlm. 25.
110
Konvensi Hak Anak PBB 1989.
58

lembaga masyarakat, maupun lembaga pendidikan untuk bersama-sama dalam

mencegah terjadinya kekerasan perundungan yang diberikan kepada anak, seperti

membuat seminar tentang bahaya perundungan, pembuatan poster yang mengajak

kita untuk tidak melakukan perundungan.111

Dasar Hukum: Pasal 37 butir a Konvensi Hak Anak PBB 1989 yang berbunyi,

Negara-negara pihak harus menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat
menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi atau merendahkan martabat.112

5) Indonesia sebagai harus mengambil langkah untuk memulihkan fisik dan jiwa

kepada anak korban perundungan yang memupuk kesehatan, harga diri, serta

menghargai martabat anak. Dalam hal ini, Indonesia wajib melibatkan individu,

lembaga sosial, maupun lembaga medis, seperti rumah sakit/puskesmas/klinik

dalam rangka pemulihan fisik maupun psikologis dari anak korban perundungan.

Hal ini sudah dibuktikan dalam permen No. 10 Tahun 2010 diuraikan tentang

program yang akan dilakukan berkaitan dengan pencegahan dan penanganan

kekerasan terhadap anak. Program – program yang direncanakan adalah: 1.

Program Pencegahan dan Partisipasi, 2. Program Rehabilitasi Kesehatan, 3.

Program Rehabilitasi Sosial, Pemulangan, dan Reintegrasi Sosial, 4. Program

Pengembangan Norma dan Penegakan Hukum, 5. Program Koordinasi dan

111
Yayasan Sejiwa, Bullying: Sejiwa, Jakarta: Grasindo, 2019, Hlm. 33.
112
Konvensi Hak Anak PBB 1989
59

Kejasama.113 Dalam hal pemulihan fisik kepada anak korban perundungan, negara

melibatkan masyarakat maupun lembaga sosial (KPAI/KPAD/KPAID), maupun

tim forensik untuk memeriksa visum ataupun luka sebagai pembuktian terjadinya

tindakan kekerasan perundungan, terutama jika perundungan merupakan jenis

perundungan fisik.114 Apabila terdapat bukti visum atau luka, maka negara harus

melibatkan lembaga medis, seperti rumah sakit/puskemas/poliklinik dalam

pengobatan atau bagi anak korban perundungan. Selain diberikan kepada korban

perundungan secara fisik, pemulihan fisik juga dapat diberikan kepada anak yang

mengalami perundungan secara verbal apabila perundungan secara mental

melemahkan fisiknya, seperti mengalami penyakit jantung, merasa pusing dan

mual, mengalami demam tinggi dan lain sebagainya.115 Dalam hal ini, negara

melibatkan lembaga medis, seperti rumah sakit/puskesmas/poliklinik, untuk

memberikan pengobatan hingga anak korban perundungan mental ini pulih dari

penyakitnya. Dalam hal pemulihan jiwa kepada anak korban perundungan, negara

melibatkan masyarakat maupun keluarga, lembaga sosial (KPAI/KPAD/KPAID,

P2TP2A, dan lain sebagainya), maupun lembaga pendidikan

(Sekolah/pesantren/madrasah, kursus, dan lain sebagainya) untuk memberikan

bantuan dengan melakukan penanganan psikologis kepada anak korban

113
Beniharmoni Harefa, Perlindungan Hukum Bagi Anak, Yogyakarta: Gentra Press, 2016, Hlm. 38.
114
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2019, Hlm. 45.
115
Ibid.
60

perundungan, baik melalui kesaksian atau cerita dari anak sebagai korban

perundungan maupun orang tua korban serta pemeriksaan tes psikologi kepada

anak sebagai korban perundungan.116

Dasar Hukum: Pasal 39 Konvensi Hak Anak PBB 1989 yang berbunyi,

Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah-langkah yang layak untuk


meningkatkan pemulihan rohani dan jasmani dan penyatuan kembali dalam
masyarakat kepada seorang anak yang menjadi korban dari setiap bentuk
penelantaran, eksploitasi, atau penganiayaan, penyiksaan atau bentuk perlakuan
atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat atau
konflik bersenjata. Pemulihan dan reintegrasi seperti yang disebutkan di atas harus
dilakukan dalam suatu lingkungan yang memupuk kesehatan, harga diri dan
martabat anak yang bersangkutan.117

Pada paragraf ini, penulis akan mengulas mengenai salah satu contoh kasus yang

berkaitan dengan tanggung jawab Indonesia terhadap perlindungan anak dari

perundungan. Kasus perundungan ini terjadi di Pontianak, Kalimantan Barat, yang

melibatkan dua belas orang siswi SMA sebagai pelaku perundungan serta salah satu

siswi SMP berusia 14 tahun sebagai korban perundungan yang bernama Audrey.

Kasus ini bermula dari percekcokan akibat saling ejek antara Audrey dengan siswa

SMA di media sosial, padahal sebenarnya yang menjadi sasaran bukanlah Audrey,

melainkan kakak sepupunya. Dalam hal ini, salah satu pelajar berinisial Ec alias

NNA yang berusia 17 tahun mengakui bahwa perkelahiannya dengan Audrey

dimulai karena kekesalan terhadap Audrey yang juga sering merundung diri Ec di

116
Abdul Malik Raharusun, dkk., Perlindungan Perempuan dan Anak Berbaris Kearifan Lokal, Jakarta:
Agupena, 2019, Hlm. 35.
117
Konvensi Hak Anak PBB 1989
61

sosial media. Perkelahian dan kekesalan pelaku terhadap Audrey tersebut dipicu

oleh adanya permasalahan mengenai pacar laki – laki dan sepupu Audrey adalah

mantan pacar dari pelaku perundungan tersebut. Karena permasalahan tersebut

itulah, pelaku akhirnya merencanakan penjemputan dan penganiayaan terhadap

Audrey.

Kejadian perundungan tersebut terjadi pada tanggal 29 Maret 2019. Pada saat

itu, Ec dan Audrey membuat perjanjian bahwa mereka akan bertemu pada hari

Sabtu, pada tanggal 30 Maret 2019, untuk menyelesaikan permasalahan antara

mereka yang diawali dengan sikap saling ejek di media sosial. Namun, rupanya

Audrey meminta pertemuan tersebut dilaksanakan pada hari Jumat, 29 Maret 2019.

Pertemuan antara mereka tersebut dilakukan di pinggir tepi Kapuas. Dan pada

pertemuan tersebutlah adu mulut dan baku hantam dimulai. Mereka melakukan

perundungan fisik, seperti mencekik leher Audrey, menyiram air kepada Audrey,

membenturkan kepala, dan menendang Audrey. Wajah korban korban ditendang

dengan sandal gunung sehingga terjadi pendarahan dalam hidung korban serta di

kepala ada benjolan dan luka yang mendalam. Akibat dari perundungan tersebut,

Audrey mengalami trauma serta sakit fisik sehingga menjalani perawatan intensif

di Rumah Sakit Mitra Medika, Pontianak.

Perundungan tersebut berlanjut hingga ke lokasi lainnya, yaitu Taman Akcaya

yang jaraknya sekitar 500 meter dari tepi Kapuas. Di Taman Akcaya tersebut,
62

Audrey melakukan perkelahian kembali dengan Ar. Setelah Ar berkelahi dengan

Audrey, Ll datang ke Taman Akcaya dan melakukan aktivitas yang sama dengan

Ar, yaitu melakukan perkelahian dengan Audrey.

Pada hari Jumat tanggal 5 April 2019, Ibunda Audrey yang bernama Ummi

Kaltsum, membuat laporan mengenai kasus perundungan tersebut ke Polisi Sektor

Pontianak. Padahal sebelumnya Audrey tidak mau melaporkan masalah ini kepada

orang tuanya dengan alasan bahwa pelaku akan bertindak semakin kejam terhadap

Audrey. Kemudian pada hari Senin tanggal 8 April, kasus perundungan tersebut

kemudian dilimpahkan ke Polresta Pontianak. Dari laporan orang tersebut,

dijelaskan bahwa Audrey sempat dijemput di rumah oleh temannya yang berinisial

DE dan diantar ke rumah sepupunya yang berinisial PP. Setelah itu, Audrey dan

sepupunya (PP) pergi naik motor dan mengaku dibuntuti oleh empat orang

perempuan dan mereka dicegat oleh seseorang yang berinisial TR. Dan setelah itu,

TR melakukan perundungan bersama EC dan LL.

Keesokan harinya pada tanggal 9 April 2019, kasus perundungan yang

dilakukan terhadap Audrey tersebut menjadi viral melalui tagar #justiceforaudrey

di Twitter dan tagar tersebut menduduki posisi pertama di Indonesia maupun di

dunia. Salah satu pengguna yang menceritakan terjadinya perundungan yang

dilakukan terhadap Audrey adalah @syarifahmelinda dan cuitan Twitter tersebut

diretweet oleh lebih dari 9.400 pengguna Twitter. Isi dari twitter tersebut adalah,
63

“Nasib kurang beruntung dialami oleh Ay (14), siswi SMPN 17 Pontianak yang

menjadi korban penganiayaan dan pengeroyokan 12 orang pelajar berbagai SMA

di Kota Pontianak.” Lalu, pada tanggal 10 April 2019 pukul 12.20 WIB, perkara

yang memicu petisi viral ‘Justice For Audrey’ sudah ditingkatkan ke penyidikan

dan polisi meminta hasil visum sebagai pembuktian adanya kekerasan perundungan

pada pihak Rumah Sakit.

Dua jam kemudian pada pukul 14.33 WIB, polisi menyatakan bahwa terdapat

empat orang yang sedang diperiksa di Polresta Pontianak terkait dengan dugaan

kekerasan perundungan terhadap Audrey dan mereka yang diperiksa berstastus

sebagai saksi. Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah

Kalimantan Barat, untuk mengetahui terduga pelaku masih dilakukan pemrosesan

dan di-BAP oleh Polresta Pontianak. Menurut beliau juga, yang beredar luas adalah

pelaku yang terdiri atas tiga orang, tetapi bisa saja bertambah.

Pada pukul 15.11 WIB, polisi memaparkan hasil visum sebagai bukti kekerasan

perundungan terhadap Audrey. Visum tersebut dilakukan sepekan setelah dugaan

pengeroyokan terjadi di rumah sakit tempat Audrey dirawat. Kepala Polresta

Pontianak, Muhammad Anwar Nasir, membacakan hasil visum tersebut dari rumah

sakit. Hasil dari visum tersebut adalah ditemukan benjolan maupun pembengkakan

di kepala Audrey. Selain itu, ditemukan pula luka memar di mata, tetapi penglihatan
64

Audrey masih normal. Berdasarkan hasil visum itupun juga alat kelamin, selaput

dara atau hymen, intact dan tampak luka robek atau memar di alat kelamin.

Pada pukul 19.30, polisi menetapkan tiga orang tersangka kasus perundungan

terhadap Audrey, yaitu Ar, Ec, dan Ll. Mereka dijerat degan Pasal 76C juncto Pasal

80 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 mengenai Perlindungan Anak tentang

kekerasan terhadap anak dan memberikan ancaman hukuman maksimal, yaitu 3,5

tahun penjara. Setelah itu, pada pukul 22.01 WIB, tujuh dari 12 siswi SMA yang

terkait kasus dugaan kekerasan terhadap A memberikan klarifikasi. Ketujuh pelajar

tersebut didampingi Komisioner KPPAD Pontianak, Ali R Rosyad dan sejumlah

keluarga. Mereka secara bergantian menyampaikan permintaan maaf kepada

Audrey. Di antara mereka ada yang mengaku tidak berada di dua lokasi kejadian di

Aneka Pavilion di Jalan Sulawesi dan Taman Akcaya di Sutan Syahrir. Ketiga

tersangka perundungan terhadap Audrey menyampaikan permohonan maaf kepada

korban, pihak keluarga, serta masyarakat.118

Pada paragraf ini, penulis akan menyampaikan beberapa analisis dari kasus

perundungan yang diberikan kepada Audrey berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB

1989. Dari analisis tersebutlah, penulis menjelaskan beberapa tanggung jawab

yang sudah dilakukan oleh Indonesia dengan melibatkan lembaga/pihak tertentu,

118
Ila Sean, Begini Kronologi Kasus Perundungan Audrey,
https://covesia.com/news/baca/730393/begini-kronologi-kasus-perundungan-audrey (Diakses Rabu, 22
Mei 2019)
65

maupun yang belum dilakukan sehingga tanggung jawab tersebut harus dilakukan

oleh Indonesia sebagai subyek hukum internasional berbentuk negara. Terdapat

beberapa tanggung jawab yang wajib dilakukan oleh negara terkait kasus

perlindungan Audrey dari kekerasan perundungan yang dilakukan oleh sejumlah

siswi SMA di Pontianak. Tanggung jawab pertama adalah Indonesia harus

menjadikan hal yang menyangkut anak, terutama mengenai perlindungan Audrey

dari kekerasan perundungan ini menjadi pertimbangan yang harus diutamakan

mengingat Audrey masih berusia 14 tahun sehingga dia masih dikategorikan

sebagai anak menurut Konvensi Hak Anak PBB 1989. Dalam hal ini, Indonesia

sebagai subyek Hukum Internasional harus melibatkan lembaga pemerintahan

(Kementerian Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum

dan HAM wilayah Kalimantan Barat, maupun KPPAD /P2TP2A di Provinsi

Kalimantan Barat) maupun lembaga pengadilan (apabila jalur damai/permintaan

maaf tidak menimbulkan penyelesaian), untuk menyelesaikan perkara perundungan

yang ditujukan kepada Audrey. Hal ini sudah dibuktikan dengan adanya kerjasama

Komisioner KPPAD Pontianak sebagai lembaga pemerintahan untuk memberikan

pendampingan kepada Audrey serta memberikan klarifikasi terhadap pelaku

perundungan mengenai kronologis terjadinya kekerasan perundungan yang

dilakukan oleh mereka terhadap Audrey.


66

Tanggung jawab kedua yang wajib dilakukan negara terkait kasus perundungan

yang ditujukan kepada Audrey adalah memperhatikan hak dan kewajiban orang tua

Audrey dan untuk tujuannya, negara harus mengambil langkah legislatif maupun

administratif. Hal ini sudah dibuktikan dengan melihat bagaimana tanggung jawab

ibunya (Ummi Kaltsum) berusaha untuk melapor permasalahan tersebut kepada

polisi demi perlindungan anaknya dari perundungan, serta untuk tujuan ini, negara

mengambil langkah legislatif, seperti menjatuhkan hukuman pidana yang

bertentangan dengan Konvensi Hak Anak PBB 1989. Hal ini dibuktikan dengan

penjatuhan Pasal 76C juncto Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 mengenai

Perlindungan Anak tentang kekerasan terhadap anak dan memberikan ancaman

hukuman maksimal, yaitu 3,5 tahun penjara, karena kekerasan perundungan sudah

bertentangan dengan Konvensi Hak Anak PBB 1989. Selain itu, negara juga wajib

mengambil langkah administratif, yaitu pemberian prasyarat, prosedur, teknis,

maupun materi yang terkait dengan pelayanan ramah anak.

Tanggung jawab ketiga yang wajib dilakukan oleh negara terkait kasus

perundungan terhadap Audrey adalah tidak hanya mengambil langkah administratif

maupun legislatif. Negara harus mengambil langkah sosial maupun langkah

langkah pendidikan, karena Audrey masih berada di bawah pengawasan orang

tuanya. Mengenai langkah sosial, hal ini sudah dibuktikan dengan bagaimana

KPAID Kalimantan Barat mempertemukan Ibu Ummi Kaltsum mengenai


67

pengaduannya kronologis terjadinya perundungan setelah Ibu Ummi Kaltsum

melaporkan masalah ini kepada kepolisian. Pada langkah pendidikan, negara juga

harus memberikan pendidikan baik formal maupun informal, seperti pendidikan

agama, pendidikan karakter di awal usia, maupun materi mengenai kenakalan

remaja (perundungan) dan memberikan seminar mengenai bahaya perundungan.

Tanggung jawab keempat yang wajib dilakukan oleh negara terkait kasus

perundungan terhadap Audrey adalah menjamin bahwa tidak ada satupun anak,

khususnya Audrey, berhak untuk mengalami kekerasan perundungan yang

merendahkan martabat. Hal ini dapat dibuktikan dengan bagaimana Audrey merasa

mengalami tekanan psikologis yang berat saat mengalami perundungan dimana dia

disiram, ditendang, dan dicekek. Dalam hal ini, negara juga wajib melibatkan

Yayasan Sejiwa untuk menangani kasus ini.

Tanggung terakhir yang wajib dilakukan oleh negara terkait kasus perundungan

terhadap Audrey adalah memberikan pemulihan fisik maupun psikologis. Hal ini

sudah dibuktikan dengan bagaimana Rumah Sakit Mitra Medika Pontianak

memberikan penyembuhan terhadap Audrey dari kekerasan perundungan dan

memberikan bukti visum kepada polisi sebagai pembuktian tindakan kekerasan

perundungan.
68

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menjawab pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah,

maka penulis menyimpulkan bagaimana tanggung jawab Indonesia sebagai negara

pesesrta terhadap perlindungan anak korban perundungan pasca meratifikasi Konvensi

Hak Anak PBB 1989.Tanggung jawab pertama adalah Indonesia wajib bertanggung

jawab untuk menjadikan hal yang menyangkut masalah anak sebagai pertimbangan

yang harus diutamakan, terutama mengenai masalah kekerasan perundungan, dengan

melibatkan lembaga (Pasal 3 ayat {1} Konvensi Hak Anak PBB 1989). Tanggung

jawab kedua adalah Indonesia wajib bertanggung jawab dalam penjaminan

perlindungan anak dari kekerasan perundungan, baik perundungan secara fisik, verbal,

emosi, media sosial, maupun hubungan relasional atau pertemanan yang dapat memicu

psikologis anak menjadi lemah serta membuatnya takut pada lingkungan dan orang

sekitar, terutama pelaku perundungan dan dalam penjaminan ini, Indonesia juga wajib

memperhatikan bagaimana hak dan kewajiban orang tua/wali/orang yang

bertanggungjawab atas anak korban perundungan tersebut, baik melalui langkah

legislatif maupun langkah administratif (Pasal 3 ayat {2} Konvensi Hak Anak PBB

1989). Tanggung jawab ketiga adalah Indonesia wajib mengambil langkah untuk

melindungi dan mencegah anak dari kekerasan perundungan dengan mengambil


69

langkah tambahan selain langkah legislatif dan langkah administratif, seperti langkah

sosial dan pendidikan (Pasal 19 ayat {1} Konvensi Hak Anak PBB 1989). Tanggung

jawab keempat adalah Indonesia harus menjamin bahwa tidak ada satupun anak

yang boleh menjadi sasaran perundungan karena perundungan hanya dapat

merendahkan serta hilangnya martabat seorang anak (Pasal 37 Konvensi Hak Anak

PBB 1989). Tanggung jawab terakhir adalah Indonesia sebagai harus mengambil

langkah untuk memulihkan fisik dan jiwa kepada anak korban perundungan yang

memupuk kesehatan, harga diri, serta menghargai martabat anak (Pasal 39

Konvensi Hak Anak PBB 1989).

B. Saran

Setelah penulis memberikan kesimpulan dari jawaban atas permasalahan yang

dirumuskan di atas, maka penulis akan menuliskan beberapa saran yang sesuai dengan

rumusan permasalahan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Saran tersebut adalah

Indonesia sebagai subyek Hukum Internasional harus lebih meningkatkan kembali

kerja sama negara, baik kerja sama nasional maupun internasional supaya tujuan

Indonesia dalam melindungi anak dari perundungan tercapai,. Dalam hal ini, Indonesia

dapat melakukan kerja sama dalam hal pendidikan, sosial, pelayanan medis/kesehatan,

seperti meningkatkan kembali pendidikan yang mengutamakan pengajaran

moral/karakter, pengadaan kegiatan seminar yang menyangkut anak (terutama

kekerasan perundungan), meningkatkan pelayanan yang canggih, aman, serta ramah


70

anak untuk berkonsultasi mengenai masalah perundungan, melibatkan lembaga yang

menampung masalah perundungan (untuk bekerja sama dalam menelaah lebih jauh

bagaimana kasus perundungan yang dialami anak, meningkatkan kerja sama yang

hangat antara guru dan siswa maupun orang tua siswa dalam mencegah dan

menanggulangi kekerasan perundungan dalam dunia pendidikan, meningkatkan

ketahanan sekolah, meningkatkan pelayanan guru Bimbingan Konseling maupun

psikolog sekolah kepada peserta didik, meningkatkan pelayanan dan kerjasama

dokter/ahli forensik dalam memeriksa visum/mengautopsi apabila perundungan

dilakukan secara fisik, meningkatkan pelayanan dokter umum dalam memberikan

pemulihan fisik kepada anak korban perundungan apabila perundungan melemahkan

kesehatan korban secara fisik, dan meningkatkan pelayanan psikologis, seperti

melakukan konsultasi pada psikolog/psikiater maupun pemberian terapi kepada korban

perundungan untuk memulihkan psikologisnya.

2. Indonesia sebagai subyek hukum harus menegakkan ketegasan hukum dan aturan

yang berkaitan dengan kekerasan pada anak, khususnya dalam hal perundungan. Oleh

karena itu, Indonesia harus lebih tegas dalam menegakkan aturan serta memberikan

sanksi yang menghasilkan efek jera bagi pelaku perundungan. Lalu, Indonesia juga

wajib mengajak dunia pendidikan/sekolah, khususnya kepada Kepala Sekolah untuk

menegakkan aturan tegas yang berkaitan dengan perlindungan anak di dunia

pendidikan. Dalam hal ini, Indonesia dapat mengajak Kepala Sekolah untuk

memberikan sanksi yang tegas kepada warga sekolah yang melakukan perundungan.
71

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amrullah, Ahmad, Zainal Aqib, Ensiklopedia Pendidikan dan Guru, Banten: Andi
Publisher, 2017.

Anatami, Darwist, Selayang Pandang Tentang Hukum Internasional, Yogyakarta:


Deepublish, 2018.

Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Nasional, Bandung:
Mandar Maju, 2019.

Arya, Lutfi, Melawan Bullying, Mojokerto: Penerbit Sepilar, 2018.

Astuti, Donny Reno, Meredam Bullying, Jakarta: Grasindo, 2019.

Djamil, Nasir, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2019.

Dumoli, Damos, Hukum Perjanjian Internasional (Teori dan Praktik di Indonesia),


Yogyakarta: Social Agency Putera, 2018.

Gautama, Candra, Konvensi Hak Anak: Panduan Bagi Jurnalis, Edisi ketujuh, Jakarta:
LSPP, 2018.

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak, Bandung:


Refika Aditama, 2017.

Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif (Teori dan Praktik), Edisi Revisi,
Jakarta: Bumi Aksara, 2017.

Harefa, Benihamrnoni, Perlindungan Hukum Bagi Anak, Yogyakarta: Gentra Press,


2016.

Hassan, Maulana Wadong, Advokasi dan Perlindungan Anak, Edisi Keempat, Jakarta:
Grasindo, 2018.
72

Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Penerbit Salemba


Humanika, 2018.

Huraerah, Abu, Kekerasan Terhadap Anak, Edisi Keempat, Bandung: Nuansa


Cendekia, 2018.

Interparlementary Union (DPR), Perlindungan Anak: Buku Panduan Bagi Anggota


Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2018.

Johan, Maiyasyak, dkk., Perlindungan Hukum Pekerja Anak di Indonesia, Jakarta:


LAAI, 2018.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Pengantar


Hukum Internasional, 2017.

Kusumohadidjojo, Budiono, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional, Konvensi Wina


Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Edisi Keduapuluh, Bandung:
Binacipta, 2016.

Makarao, Mohammad Taufik, dkk., Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Rineka Cipta, 2019.

Mauna, Broer, Hukum Internasional (Dalam Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global), Edisi Kedelapan, Bandung: Penerbit Alumni, 2017.

Pereira, Robert, Why’s children Bully, Jakarta: Grasindo, 2018.

Prist, Darwan, Hukum Anak Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2018.

Priyatna, Andri, Let’s End Bullying, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019.

Raco, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Grasindo, 2019.

Raharusun, Abdul Malik, dkk., Perlindungan Perempuan dan Anak Berbaris Kearifan
Lokal, Jakarta: Agupena, 2019.

Remaja Aulia, Aku Anak – Anak Dunia (Beserta Hak – Hak Anak), Jakarta: UNICEF
Indonesia, 2017.
73

Saraswati, Rika, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2019.

Sastroamidjojo, Ali, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Keduapuluh, Jakarta:


Bhatara, 2016.

Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2018.

Setianingsih, Sri, Hukum Internasional, Jakarta: Universitas Terbuka, 2018.

Setyowati, Irma, Aspek Perlindungan Anak, , Edisi kedelapan belas, Jakarta: Bhumi
Aksara, 2018.

Siregar, Bismar, Hukum dan Hak - Hak Anak, Edisi revisi, Jakarta: Rajawali, 2018.

Soeaidy, Sholeh, Dasar Hukum Perlindungan Anak: Anak Cacat, Anak Terlantar, Anak
Kurang Mampu, Pengangkatan anak, Pengadilan anak, Pekerja anak, Jakarta:
Novindo Pustaka Mandiri, 2018.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum , Edisi Kedelapan, Jakarta: Penerbit


Universitas Indonesia, 2018.

Starke, J. G., Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika, 2018.

Sugijokanto, Suzie, Cegah Kekerasan Pada Anak, Jakarta: PT Elex Media


Komputindo, 2019.

Suhasril, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2018.

Supriyadi, Dedi, Hukum Internasional (Dari Konsepsi Sampai Aplikasi), Bandung:


Pustaka Setia, 2017.

Suraputra, D. Sidik, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya, Edisi


Keenam, Jakarta: Diadit Media, , 2017.

Suranto, Hanif, Konvensi Hak Anak, Edisi kesepuluh, Jakarta: LSPP, 2017.
74

Suryono, Edy, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Bandung:


Remadja Karya, 2017.

Susilowati, Ima, dkk., Pengertian Konvensi Hak Anak, Jakarta: UNICEF


INDONESIA, 2018.

Suyono, Hadi, Memahami Konvensi Hak – Hak Anak dan Undang – Undang
Perlindungan Anak, Edisi Kedua, Jakarta: KPAI, 2018.

Syahmin, A.K., Hukum Internasional Publik: Dalam Kerangka Studi Analitis, Jakarta:
Binacipta, 2017.

Tamer, Kamus Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris, Inggris: Tamer Press, 2017.

Tanamas, Zulchaina, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi


Hak Anak, Edisi Keenam, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2017.

Teguh, Harrys Pratama, Teori dan Praktek Perlindungan Anak dalam Hukum Pidana,
Jakarta: Andi Publisher, 2019.

Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Kementerian Hukum dan HAM RI,
Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Anak, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional dan Kementerian Hukum dan HAM RI, 2019.

Tim UNICEF, Convention on the Rights of the Child : Konvensi Hak-Hak Anak, Edisi
Keduapuluh lima, Jakarta: UNICEF Indonesia, 2017.

Tunggal, Hadi Setia, Konvensi Hak-Hak Anak, Jakarta: Harvarindo, 2018.

Tsani, Mohd. Burhan, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, Edisi
keenam, 2018.

Winarwati, Indien, Hukum Internasional, Surabaya: Setara Press, 2017.

Yayasan Sejiwa, Bullying: Sejiwa, Jakarta: Grasindo, 2019.

Yayasan Sejiwa, Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan di Lingkungan,


Jakarta:Grasindo, 2017.
75

Yulianingsih, Wiwin, Hukum Organisasi Internasional, Banten: Andi Offset, 2017.

B. Perundang – undangan
Konvensi Wina 1969

Konvensi Hak Anak PBB 1989

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990

UU Nomor 37 Tahun 1999

UU Nomor 24 Tahun 2000


C. Referensi Internet
Ila Sean, Begini Kasus Perundungan Audrey,
https://covesia.com/news/baca/730393/begini-kronologi-kasus-perundungan-audrey
(Diakses Rabu, 22 Mei 2019)

Anda mungkin juga menyukai