Anda di halaman 1dari 70

PROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN ANAK JALANAN DI

KOTA MAKASSAR

Oleh:

SADDAM MUSMA

NIM : P0804216007

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

0
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang lahir

untuk dilindungi. Bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga

dibandingkan dengan harta benda yang lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah

Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat,

martabat, dan hakhak sebagai manusia yang diakui negara serta harus dijunjung

tinggi.1

Anak merupakan aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, anak

berperan sangat strategis sebagai succesor suatu bangsa. Dalam konteks ini, anak

adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh

masyarakat internasional untuk melahirkan sebuah konvensi hak-hak anak yang

intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan

perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. 2

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa

perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan

hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang, dan berpartisipasi, secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan

sebagai segala upaya yang bertujuan mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan

1Irma Setyowati Sumitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara.

2Irma Setyowati Sumitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara.

1
anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan

penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak

secara wajar baik fisik, mental, dan sosialnya. 3

Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab menjaga dan

memelihara hak asasi anak sesuai dengan kewajiban yang telah dibebankan oleh

hukum. Demikian halnya dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara

sebagai organisasi kekuasaan yang diwakili oleh pemerintah juga mempunyai

tanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam

menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal dan terarah.4

Negara sebagai tempat berlindung bagi warganya harus menjamin dan

memberikan regulasi jaminan perlindungan bagi anak. Kepedulian terhadap persoalan

anak mulai tercatat semenjak tahun 1920-an, seusai Perang Dunia I dimana dalam

perang tersebut pihak yang paling banyak menjadi korban adalah perempuan dan

anak dimana pada masa itu perempuan dan anak-anak harus berlari, bersembunyi

terancam dan tertekan baik secara fisik maupun psikis ketika perang. Akibat dari

perang tersebut muncullah keprihatinan terhadap nasib anak melalui berbagai macam

aksi yang mendesak dunia memperhatikan anak secara serius. 5

Salah satu topik yang sering diperbincangkan dan penting untuk dilindungi

adalah mengenai hak-hak anak, terutama anak jalanan. Kementerian Sosial Republik

3Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


4Maulana Hassan Wadong. 2000. Advokasi dan Hukum perlindunganAnak. Jakarta: Grasindo
5Marlina. 2012. Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative
Justice). Bandung: Refika Aditama

2
Indonesia menyatakan bahwa anak jalanan merupakan anak yang berumur di bawah

18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan

melakukan serangkaian kegiatan guna memperoleh uang demi mempertahankan

kehidupannya sehari-hari. Anak jalanan juga mempunyai hak-hak seperti anak yang

lain yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara serta memerlukan perhatian

khusus oleh semua elemen masyarakat. 6

Fenomena anak jalanan merupakan gambaran nyata bahwa pemenuhan

terhadap hak-hak anak masih jauh dari harapan. Kondisi anak jalanan yang harus

bekerja di jalan secara tidak langsung menghilangkan hak-hak yang seharusnya

diperoleh anak. Anak jalanan justru harus berada di jalanan ketika seharusnya

bersekolah, mendapat pendidikan, bermain dengan teman-teman seusianya dan

melakukan hal-hal lain yang dapat menunjang pertumbuhannya sebagai manusia.

Anak jalanan termasuk dalam kategori anak terlantar atau anak tidak mampu

yang selayaknya mendapat pengasuhan dari negara. Sebagian besar anak jalanan

memang merupakan korban dari penelantaran orang tuanya. Langkah awal yang

harus disadari semua pihak dalam menghadapi anak jalanan bahwa anak jalanan

bagaimanapun kondisinya merupakan anak yang haknya dilindungi oleh hukum dan

negara.

Negara Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan

dengan memiliki banyak peraturan yang secara tegas memberikan upaya

perlindungan bagi anak khususnya anak jalanan. Berdasarkan Pasal 34 Undang-

6Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


3
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 disebutkan bahwa “Fakir

miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, Artinya pemerintah mempunyai

tanggungjawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk

anak jalanan. Kemudian perlindungan spesifik hak anak sebagai bagian dari Hak

Asasi Manusia masuk dalam Pasal 28 B ayat (2) bahwa “ setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta memperoleh perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.7

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah

mencantumkan tentang hak anak serta pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab

orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara dalam hal memberikan

perlindungan hukum terhadap anak. Meskipun demikian, dipandang masih sangat

diperlukan suatu undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai

perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan

tanggung jawab tersebut.

Sebagai negara dan bangsa yang sadar akan masa depan, maka keputusan

Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak . Bukan untuk menambah

jumlah instrumen internasional menyangkut hak asasi manusia yang diratifikasi,

melainkan suatu kesadaran, dalam rangka mengupayakan pemenuhan hak dan

perlindungan anak secara memadai. Dengan mengikatkan diri dalam Konvensi Hak-

Hak Anak, Indonesia turut serta bersama bangsa-bangsa di dunia mengatur,

melindungi, dan mewujudkan hak-hak anak. Selain itu, Pada 22 Oktober 2002,

Pemerintah Indonesia kembali melakukan langkah strategis, maju, dan bersejarah,

7Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


4
yaitu dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yang populer dengan sebutan Undang-Undang Perlindungan

Anak. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak menandai sejarah baru

perlindungan anak di Indonesia, karena UndangUndang tersebut mengatur banyak hal

yang tidak pernah diatur Undang-undang sebelumnya. Undang-Undang sebelumnya

tidak mengatur secara jelas hak-hak anak dan kurang memadai dalam memberikan

perlindungan anak. Undang-Undang Perlindungan Anak ini secara tidak langsung

mengakomodir prinsip-prinsip hak anak sebagaimana diatur dalam konvensi hak

anak.8

Dalam Pasal 59 disebutkan bahwa “Pemerintah dan lembaga negara lainnya

berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada

anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari

kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau

seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan

narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban

penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau

mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan

penelantaran”. 9

Salah satu poin yang disebutkan dalam Pasal 59 bahwa pemerintah dan

lembaga negara lainnya berkewajiban dalam memberikan perlindungan khusus

8Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak DiIndonesia.
Bandung: Refika Aditama
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
9Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
5
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Perlindungan terhadap anak

dilakukan baik anak yang berkonflik dengan hukum maupun anak korban tindak

pidana. 10

Bentuk perlindungan khusus bagi anak yang berkonflik hukum yang dimaksud

dalam Pasal 59 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 yang menyatakann

bahwa perlindungan khusus bagi anak dilaksanakan melalui : a) perlakuan atas anak

secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b) penyediaan petugas

pendamping khusus anak sejak dini; c) penyediaan sarana dan prasarana khusus; d)

penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e)

pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang

berhadapan dengan hukum; f) pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan

dengan orang tua atau keluarga; dan g) perlindungan dari pemberitaan identitas

melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. 11

Kementerian sosial memperkirakan setidaknya terdapat sekitar 50.000 anak

yang tinggal dan mencari nafkah di jalan di kota-kota besar di Indonesia pada tahun

1999. Namun mereka sendiri memperkirakan bahwa anak jalanan berjumlah jauh di

atas 50.000 anak. Banyak pihak yang juga menyakini bahwa jumlah anak jalanan

yang sesungguhnya di atas data yang disebutkan kementerian sosial. Berbagai

perkiraan mengenai jumlah anak jalanan yang ada berkisar antara 50.000-170.000

anak. Tahun 2010, jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai 200.000 anak dan

10Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


11Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
6
pada tahun 2012 meningkat menjadi 230.000 anak. Lalu pada Tahun 2016, Kemensos

mengungkapkan jumlah anak jalanan sudah mencapai 4,1 juta (jawa pos, 2017). Ini

berarti jumlah anak jalanan semakin meningkat dari tahun ke tahun.12

Mengenai anak terlantar banyak hal yang sebenarnya dapat diatasi seperti

adanya panti-panti yang khusus menangani masalah anak terlantar tetapi karena

kurangnya tenaga pelaksana dan minimnya dana yang diperoleh untuk mendukung

pelaksanaan kegiatan tersebut maka kelihatannya panti-panti tadi tidak berfungsi

dengan baik. Tetapi sekarang semakin banyak yayasan - yayasan serta lembaga

swadaya masyarakat yang peduli terhadap anak melakukan berbagai kegiatan seperti

belajar bersama dengan menggunakan fasilitas yang tersedia seperti perpustakaan

keliling yang bertujuan untuk menjadikan anak-anak terlantar menjadi orang yang

berguna dan lebih baik lagi.

Pemerintah dalam hal ini telah mengeluarkan kebijakan tentang bagaimana

mengurangi jumlah pengemis dan geladangan. Pemerintah pusat bekerja sama

dengan pemerintah daerah telah lama mengeluarkan beberapa kebijakan yang

dituangkan dalam peraturan peraturan daerah , khusus di Kota Makassar diatur dalam

undang-undang no 2 tahun 2008 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan,

Pengemis dan Pengamen Di Kota Makassar. Pemerintah daerah dalam peraturan

daerah tersebut sendiri telah mencanagkan beberapa program pembinaan dan

pengalokasian anak Anak jalanan. Namun apa yang terjadi saat ini, masih banyak

masyarakat miskin tersebut yang seharusnya mendapat perhatian pemerintah hingga

12Departemen Sosial RI. 2001. Intervensi Psikososial. Jakarta: Departemen Sosial. Hlm. 20

7
saat ini banyak kita temukan di jalan-jalan ibu kota Makassar. Untuk wilayah kotaKota

Makassar, berdasarkan data jumlah anak jalanan serta gelandangan berjumlah sekitar

42.986 orang (teropongsenayan.com, 2016). Hal ini didukung oleh Data dari Dinas

Sosial Kota Makassar, bahwa pada tahun 2016Dinsos tercatat mengamankan 798

orang dari sejumlah titik jalan di Makassar dengan berbagai persoalannya.Kota

Makassar tidak akan pernah bersih dari pengemis, anak jalanan (anjal), gepeng dan

gelandangan. Padahal, Dinas Sosial Kota Makassar terus memaksimalkan penertiban.

Pengamatan langsung di lapangan, terlihat aktifitas anak jalanan dan pengemis paling

nampak di Jalan Pengayoman persis diperempatan jalan, termasuk mendatangi

warung kopi di kawasan Boulevard. Mereka ada yang menggendong bocah untuk

mendapatkan belas kasihan dari pengguna jalan.13

Pergeseran nilai dan sikap anak–anak dan remaja telah terjadi dan seakan –

akan sulit dibendung. Hal ini disebabkan karena derasnya arus informasi yang cepat

tanpa batas dan juga masalah lingkungan keluarga dan masyarakat yang komitmennya

sudah mengalami penurunan terhadap penerapan nilai dan norma. Sebagai contoh

jumlah anak jalanan semakin meningkat dari tahun ke tahun, banyak hal yang menjadi

faktor pendorong ataupun penarik bagi seorang untuk terjun dan bergabung menjadi

gelandangan, salah satunya adalah masalah kemiskinan. Belum lagi masalah

masyarakat yag tergolong msikin dan mencari nafkah di jalanan.

Fenomena merebaknya masyarakat miskin sebenarnya telah lama menjadi

masalah tersendiri bagi pemerintah maupun masyarakat para pengguna jalanan.

Hampir di setiap jalan kita selalu melihat dan menyaksikan anak jalanan,

13undang-undangno 2 tahun 2008 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan
Pengamen Di Kota Makassar
8
gelandangan, dan pengamen yang memberikan citra buruk, selalu merusak keindahan

Kota Makassar dan sebagainya. Perkembangan permasalahan Kesejahteraan Sosial

di Kota Makassar cenderung meningkat ditandai dengan munculnya berbagai

fenomena sosial yang spesifik baik bersumber dari dalam masyarakat maupun akibat

pengaruh globalisasi, industrialisasi dan derasnya arus informasi dan urbanisasi,

sementara masalah sosial menjadi konvensional masih berlanjut termasuk

keberadaan anak jalanan, serta adanya pelaku eksploitasi, merupakan beban bagi

Pemerintah Kota Makassar.

1. Berdasarkan fenomena permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka

perlu ada kajian yang mendalam tentang Implementasi yang telah dilakukan oleh

Pemerintah Daerah yang terkait dengan anak Jalanan Di Kota Makassar olehnya

itu penulis mengambil judul “implementasi program perlindungan bagi anak jalanan

di Kota Makassar”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis dapat mengemukakan

rumusan masalah data penelitian ini sebagai berikut:

2. Bagaimanakah implementasi program perlindungan bagi anak jalanan di Kota

Makassar?

3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi efektifitas program perlindungan bagi anak

jalanan di Kota Makassar?

9
1.3. Tujuan penelitian

1. Untuk menganalisis implementasi program perlindungan bagi anak jalanan di Kota

Makassar.

2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada efektifitas program

perlindungan bagi anak jalanan di Kota Makassar.

1.4. Manfaat Penulisan

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan studi dan menjadi salah

satu sumbangsih pemikiran ilmiah dalam melengkapi kajian-kajian yang mengarah

pada pengembangan ilmu pemerintahan, khususnya pada bidang sosiologi

pemerintahan, dan budaya pemerintahan.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi

semua pihak terkait khususnya pemerintah kota makassar sebagai dasar untuk

program pemeberdayaan masyarakat miskin kota berdasarkan fonemena yang

dihadapi.

3. Kegunaan metodologis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi

penelitian berikutnya.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini akan diuaraikan konsep-konsep yang disesuaikan berdasarkan topik,

judul, fokus penulisan. Konsep-konsep ini menjadi landasan atau kerangka berpikir

dalam perumusan pelaksanaan studi, kajian, dan peneliatian yang akan dilaksanakan.

2.2. Implementasi kebijakan

2.2.1. Konsep Implementasi

Pengertian implementasi seperti yang dikemukakan oleh Pranata Wastra dan

kawan-kawan (1991;256) adalah

“Aktivitas atau usaha-usaha yang dilakukan untuk semua rencana dari


kebijksanaan yang telah dirumuskan dan ditetapkan, dan dilengkapi segala
kebutuhan alat-alat yang diperlukan, siapa yang melaksanakan, dimana
tempat pelaksanaannya, kapan waktu pelaksanaannya, kapan waktu mulai
dan berakhirnya dan bagaimana cara yang harus dilaksanakan”. 14

Sementara Budi Winarno (2002), yang mengatakan bahwa implementasi

kebijakan dibatasi sebagai menjangkau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

individu-individu pemerintah dan individu-individu swasta (kelompok-kelompok)

yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam

keputusan-keputusan kebijaksanaan sebelumnya. 15

Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul

Sabatier (1979) sebagaiamana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008:

65), mengatakan bahwa, yaitu,

14Pranata Wastra dkk (1991:25)


15Budi Winarno (2002),
11
“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah
suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus
perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-
kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman
kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata
pada masyarakat atau kejadian-kejadian.16

Dari pandangan kedua ahli diatas dapat dikatakan bahwa suatu proses

implementasi kebijaksanaan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku

badan-badan adminstratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan suatu

program yang telah ditetapkan serta menimbulkan ketaatan pada diri kelompok

sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan poltik, ekonomi,

dan social yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi

segala pihak yang terlibat, sekalipun dalam hal ini dampak yang diharapkan

ataupun yang tidak diharapkan.

Andi Syamsu Alam (2012) melihat suatu kebijakan memiliki sasaran yang

diinginkan yaitu efisien, efektif, kebersamaan keadilan dan berbagai nilai lainnya.

Sedangkan pada lokus social, kebijakan berkaitan dengan permasalahan social

baik yang berkenaan dengan kesejahteraan sosial masyarakat maupun yang

berkenaan dengan ekonomi makro. Andi Syamsu Alam juga mengungkapkan

bahwa subtansi dari kebijakan pemerintah adalah melakukan pengambilan

keputusan untuk kemudian melakukan tindakan oleh pemerintah secara bersama-

sama dengan pihak rakyat dikuasai dan diatur dan atau secara sepihak oleh

pemerintah terhadap rakyat.17

16Solihin Abdul Wahab (2008: 65)


17 (Andi Syamsu Alam, 2012;4)
12
Van Meter dan Van Horn (Budi Winarno, 2002;102) membatasi implementasi

kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu (kelompok-

kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-

tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.18

Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari

tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil

kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu

proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau

kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai

dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi

kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir

(output), yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

Van Meter dan Van Horn (Budi Winarno, 2002;102) membatasi implementasi

kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu (kelompok-

kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-

tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.19

Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari

tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil

kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu

proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau

kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai

18(Budi Winarno, 2002;102)


19(Budi Winarno, 2002;102)
13
dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi

kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir

(output), yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

2.2.2. Teori-Teori Implementasi

Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau

penerapan.Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002),

mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam

Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah

perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai

aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam

Nurdin dan Usman, 2004). Adapun Schubert (dalam Nurdin dan Usman, 2002:70)

mengemukakan bahwa ”implementasi adalah sistem rekayasa.”20

Subarsono (2008;89), mengemukakan beberapa teori dari beberapa ahli

mengenai implementasi kebijakan, yaitu:

a. Teori George C. Edward

dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat

variable, yaitu :

a). Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan

agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang

menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada

kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi distorsi

imlpementasi.

20Nurdin dan Usman, 2002)


14
b). Sumberdaya, dimana meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan

secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan

sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan

efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia,

misalnya kompetensi implementor dan sumber daya financial.

c). Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor.

Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor

tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang

diinginkan oleh pembuat kebijakan. Edward III (1980;98) menyatakan

bahwa sikap dari pelaksana kadangkala menyebabkan masalah apabila

sikap atau cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan. Oleh

karena itu, untuk mengantisipasi dapat mempertimbangkan atau

memperhatikan aspek penempatan pegawai (pelaksana) dan insentif

d). Struktur Birokrasi, merupakan susunan komponen (unit-unit) kerja dalam

organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya

kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda

diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu struktur organisasi juga

menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian

laporan (Edward III, 1980;125) Struktur organisasi yang terlalu panjang

akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape,

yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan

15
aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek dari stuktur organisasi adalah

Standard Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi.21

a. Teori Donald S.Van Meter dan Carl E. Van Horn

Meter dan Horn (subarsono;2006;99) mengemukakan bahwa terdapat lima

variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni;

a). Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar dan sasaran kebijakan

harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.apabila standar dan

sasaran kebijakan kabur,

b). Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan

sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non

manusia.

c). Hubungan antar organisasi, yaitu dalam benyak program, implementor

sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain,

sehingga diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi

keberhasilan suatu program.

d). Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup stuktur birokrasi, norma-

norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang

semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.

e). Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumberdaya

ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi

kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan

dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni

21Subarsono (2008;89)
16
mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini public yang ada di

lingkungan, serta apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

e). Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang penting, yaitu respon

implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya

untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap

kebijakan, intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang

dimiliki oleh implementor.22

2.3. Anak jalanan

2.3.1. Pengertian Anak

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan

kedua. Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak,dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang

Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia

seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi

muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai

ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada

masa depan. Oleh karena itu, agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab

tersebut maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan

berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia,

perlu dilakukan upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan

22(subarsono;2006;99)

17
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa

diskriminasi. 23

Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam

bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat dipandang dari sisi

pandang sentralistis kehidupan. Seperti agama, hukum, dan sosiologis yang

menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.

Anak diletakkan dalam advokasi dan hukum perlindungan anak menjadi objek

dan subjek yang utama dari proses legitimasi, generalisasi dalam sistematika dari

sistem hukum positif yang mangatur tentang anak

Definisi anak sebagaimana diungkapkan diatas, dapat memberikan pemahaman

komprehensif. Namun, untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka

terdapat berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya definisi batasan

usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya:

a) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia

perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefinisikan

anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.

c) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefinisikan

anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia 8 (delapan) tahun,

tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. Namun dalam

perkembangannya Mahkamah Konstitusi melalui Keputusannya Nomor 1/PUU-

23Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)


18
VIII/2010 (LNRI Tahun 2012 No. 153) menyatakan frase 8 tahun dalam Pasal 1

angka 1, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 bertentangan

dengan UUD 1945 serta menilai untuk melindungi hak konstitusional anak, perlu

menetapkan batas umur bagi anak yaitu batas minimal usia anak yang bisa

dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 (dua belas) tahun karena secara

relatif sudah memiliki kecerdasan, emosional, mental dan intelektual yang stabil.

d) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan

bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah

kawin.

e) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan

usia bekerja 15 tahun.

f) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

memberlakukan wajib belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7

sampai 15 tahun.

g) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

mendefenisikan Anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Sementara itu, mengacu pada konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (convention

on the right of the child), maka definisi anak: “anak adalah setiap manusia di bawah

umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan

dicapai lebih awal”. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

19
Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 24

Hadi Supeno mengungkapkan bahwa semestinya setelah UndangUndang

Perlindungan Anak yang dalam strata hukum diketegorikan sebagai lex specialist,

semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus disesuaikan, termasuk kebijakan

yang dilahirkan serta berkaitan dengan pemenuhan hak anak.

2.3.2. Pengertian Anak Jalanan

Manakala menyebut anak jalanan, perhatian akan tertuju pada sosok-sosok

kumuh, dekil, liar, nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah,

pusat-pusat hiburan, keramaian atau terminal-terminal. Sosok anak jalanan hingga kini

merupakan manusia yang menempati kedudukan sangat hina di mata masyarakat

umum. Penampilannya yang jorok, ekonomi keluarganya yang miskin, lingkungan

pemukimannya di daerah-daerah kumu atau bahkan sama sekali tidak mempunyai

tempat tinggal tetap, perangainya yang liar dan sering melakukan kejahatan dan

kekhasan lain anak jalanan, menyebabkan pandangan masyarakat terhadapnya sangat

rendah.

Menurut Kementerian Sosial, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan

sebagian waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-

tempat umum lainnya. 25

24Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


25Departemen Sosial RI. 2001. Intervensi Psikososial. Jakarta: Departemen Sosial.

20
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2008 Tentang

Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis, dan Pengamen di Kota Makassar

mendefinisikan Anak Jalanan selanjutnya disebut Anjal adalah anak yang beraktifitas di

jalanan antara 4 – 8 jam perhari; 26

Anak jalanan atau sering disingkat anjal menjadi sebuah istilah umum yang

mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih

memiliki hubungan dengan keluarganya. Sampai saat ini belum ada pengertian anak

jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak.

2.3.3. Pengelompokan Anak Jalanan

Menurut penelitian Kementerian Sosial dan UNDP (United Nations Development

Programme) di Jakarta dan Surabaya, anak jalanan dikelompokkan dalam empat

kategori: 27

1. Anak jalanan yang hidup dijalanan, dengan kriteria:

a. Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya ;

b. Berada di jalanan selama 8-10 jam untuk “bekerja” (mengamen, mengemis,

memulung) dan sisanya menggelandang/ tidur;

c. Tidak lagi sekolah;

d. Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.

2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria:

26Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,
Gelandangan, Pengemis, dan Pengamen di Kota Makassar
27Bagong Suyanto dan Sri Sanituti Hariadi. 2002. Krisis dan Child Abuse,Surabaya:Airlangga

University Press

21
a. Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya;

b. Berada di jalanan selama 8-16 jam;

c. Mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orang tua/ saudara, umumnya

di daerah kumuh;

d. Tidak lagi sekolah;

e. Pekerjaan : penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir

sepatu, dll.

f. Rata-rata berusia di bawah 16 tahun.

3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria:

a. Bertemu teratur setiap hari/ tinggal dan tidur dengan keluarganya;

b. Bekerja di jalanan selama 4-5 jam;

c. Masih bersekolah;

d. Pekerjaan: penjual koran, penyemir, pengamen, dll.

e. Usia rata-rata di bawah 14 tahun.

4. Anak jalanan berusia di atas 16 tahun, dengan kriteria:

a. Tidak lagi berhubungan/ berhubungan teratur dengan orang tuanya;

b. Berada di jalanan selama 8-24 jam;

c. Tidur di jalan atau di rumah orang tua;

d. Sudah tamat SD atau SLTP, namun tidak bersekolah lagi.

2.4. Perlindungan hukum

22
2.4.1. Defenisi Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak adalah hak yang timbul pada anak

(anak jalanan) untuk mendapatkan perlindungan(protection rights) yang hakiki dalam

setiap kehidupannya dari negara. Dengan demikian hak tersebut menimbulkan suatu

kewajiban yang harus dipenuhi oleh Negara melalui perangkatnya yang bernama

hukum agar terciptanya tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat

yang dapat melindungi hak-hak asasi dari anak. 28

Sesuai dengan yang dirumuskan Kementerian Sosial Indonesia dalam petunjuk

Teknis Pelaksanaan Penyantunan dan pengentasan Anak Melalui Panti Asuhan, maka

fungsi dari perlindungan hukum adalah untuk menghindari anak dari keterlambatan,

perlakuan kejam, dan eksploitasi oleh orang tua. Fungsi ini juga diserahkan kepada

keluarga dalam meningkatkan kemampuan keluarga dari kemungkinan perpisahan.29

Hal diatas harus dibedakan dengan istilah perlindungan anak karena hal ini tidak

menunjukkan dengan apa perlindungan itu akan ditegakkan. Sebagaimana pengertian

perlindungan anak itu sendiri yang tersebut di bawah ini: 30

1) Perlindungan anak adalah segala daya dan upaya yang dilakukan secara sadar

oleh setiap orang maupun lembaga pemerintahan dan swasta yang bertujuan

mengusahakan pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan fisik,

28Irma Setyowati Sumitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara.

29Departemen Sosial RI. 2001. Intervensi Psikososial. Jakarta: Departemen Sosial


30Marlina. 2012. Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative
Justice). Bandung: Refika Aditama

23
mental, dan sosial anak dan remaja yang sosial anak dan remaja yang sesuai

dengan kepentingan dan hak asasinya.

2) Perlindungan anak adalah segala daya upaya bersama yang dilakukan secara

sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta

untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan

jasmaniah anak berusia 0-21 tahun , tidak dan belum pernah menikah, sesuai

dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya

seoptimal mungkin.

Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan

dalam peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, usaha dari kegiatan yang

menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas

pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan, disamping karena

adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan

perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial.31

2.4.2. Tanggungjawab Perlindungan Anak

Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orang tua, keluarga,

masyarakat, pemerintah, maupun negara. Pasal 20 UndangUndang Nomor 23 Tahun

2002 menentukan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, dan orang tua

berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. 32

31Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di
Indonesia. Bandung: Refika Aditama
32UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002
24
Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat

sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan

kondisi tertentu. Setiap warga negara ikut bertanggungjawab terhadap

dilaksanakannya perlindungan anak demi kesejahteraan anak. Kebahagiaan anak

merupakan kebahagiaan bersama, kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan

yang melindungi. Tidak ada keresahan pada anak karena perlindungan anak

dilaksanakan dengan baik.

Kesejahteraan anak mempunyai pengaruh positif terhadap orang tua, keluarga,

masyarakat, pemerintah, dan negara. Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan

orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Koordinasi kerjasama

kegiatan perlindungan anak perlu dilakukan dalam rangka mencegah

ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak perlu dilakukan dalam rangka

mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan.

Kewajiban dan tanggungjawab negara dan pemerintah dalam usaha

perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu:

a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku,

agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum

anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);

b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan

perlindungan anak (Pasal 22);

c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan

memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang secara

25
umum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan

perlindungan anak (Pasal 23);

d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan

pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24).

Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak

dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan

anak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.

Kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orangtua dalam usaha perlindungan anak

diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, yaitu:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

2.5. Hak-hak Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002Tentang

Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan

bentuk konkritisasi dari pelaksanaan Konvensi Hak-Hak anak yang telah diratifikasi

oleh indonesia. Dengan peratifikasian Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan

keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The

Rights Of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak/KHA), maka sejak Tahun 1990

tersebut Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang

termaktub di dalam konvensi Hak-Hak Anak. Sementara itu, hak-hak anak secara

26
umum terdapat dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain: 33

1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi

secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan.

3. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan

orang tua.

4. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh

oleh orang tuanya sendiri.

5. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.

6. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan

bakatnya.

7. khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar

biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak

mendapatkan pendidikan khusus.

8. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

33UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002


27
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan

kepatutan.

9. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul

dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan

minat, bakat. Dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

10. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan

sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

11. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain

manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat

perlindungan dari perlakuan: Diskriminasi, Eksploitasi, baik ekonomi maupun

seksual, Penelantaran, Kekejaman, Kekerasan, Penganiayaan, Ketidakadilan,

Perlakuan salah lainnya.

12. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada

alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu

adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan

terakhir.

13. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: Penyalahgunaan

dalam kegiatan politik, Pelibatan dalam sengketa bersenjata, Pelibatan dalam

kerusuhan sosial, Pelibatan dalam pariwisata yang mengandung unsur

kekerasan, Dan pelibatan dalam peperangan.

14. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

15. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

28
16. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan

apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai

upaya terakhir.

17. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: Mendapatkan

perlakuan secara menusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang

dewasa, Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam

setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, Membela diri dan memperoleh

keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam

sidang tertutup untuk umum.

18. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang

berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

19. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak

mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Hak-hak anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak, juga dapat dilihat pada pasal 64, yakni:

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana

dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik hukum dan anak korban

tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan

masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:

29
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-

hak anak;

b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;

c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;

d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;

e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan

anak yang berhadapan dengan hukum;

f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan

g. orang tua, atau keluarga; dan

h. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk

menghindari liberalisasi.

(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. Upaya rehabilitasi, baik lembaga maupun di luar lembaga;


b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari liberalisasi;
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik,
mental maupun sosial; dan
d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.

2.6. Penelitian terdahulu

Berikut beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan anak jalanan yang

pernah dilaksanakan

30
Tabel 1
Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti Judul Tujuan Penelitian Hasil penelitian


Penelitian
Niken Irmawati Responsivitas Penelitian ini bertujuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
Pemerintah mengkaji bagaimana a) kemampuan mengenali kebutuhan
Kota Surakarta responsivitas anak masih terbatas, dimana
dalam Pemerintah Kota Pemerintah Kota Surakarta belum
perlindungan Surakarta terhadap memiliki data dasar tentang jumlah
anak menuju perlindungan anak kasus maupun penanganan
Solo Kota Dunia menuju Solo sebagai permasalahan anak secara lengkap
Kota Layak Anak (KLA) dan up to date. b) Kemampuan
dan mengetahui pemerintah menyusun agenda dan
kendala dan upaya prioritas pelayanan perlindungan anak
yang dihadapi sudah sesuai dengan kebutuhan anak,
Pemerintah Kota namun sesungguhnya kebutuhan-
Surakarta terhadap kebutuhan anak di Kota Surakarta
perlindungan anak tidak hanya mencakup kebutuhan
menuju Solo sebagai perlindungan atas ESKA, gizi buruk,
Kota Layak Anak anak putus sekolah, dan partisipasi
(KLA). anak.c) Pemerintah masih banyak
bertumpu pada lembaga-lembaga lain
yang peduli terhadap perlindungan
anak.
Diah Putri Konsep anak Penelitian ini Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Mahanani Jalanan (Studi bertujuan untuk dua diantara empat anak jalanan
Kasus Pada mendeskripsikan memiliki konsep diri positif yang
Anak Jalanan di dinamika konsep diri ditunjukan dengan rasa percaya diri,
Yogyakarta). dari anak-anak gambaran masa depan yang jelas,
jalanan di lampu optimis, dan terbuka. Selanjutnya
merah jalan Laksda sisanya memiliki konsep diri negatif,
Adi Sucipto. Subjek ditunjukan adanya individu yang
dalam penelitian ini tidak aman, tidak percaya diri, dan
adalah empat orang gambaran masa depan tidak jelas.
anak jalanan di lampu Faktor yang mempengaruhi
merah jalan Laksda pembentukan konsep diri pada anak
Adi Sucipto. jalanan ini adalah lingkungan,
pendidikan, dan fisik. Tiga anak
jalanan tersebut masih bersekolah
namun satu anak jalanan memilih
berhenti sekolah untuk mencari
kebebasan. Satu diantara anak
jalanan yang bersekolah memiliki
konsep diri negatif, ini karena meski
anak tersebut mendapat bimbingan
dari guru namun anak tersebut tidak
mendapatkan bimbingan dan
perhatian dari keluarga. Sedangkan
dua anak jalanan lainnya yang masih
bersekolah memiliki konsep diri
positif karena selain mendapat
bimbingan dari sekolah juga
mendapat perhatian, dukungan, dan
bimbingan dari keluarga. Kemudian
satu anak jalanan yang tidak
bersekolah memiliki konsep diri
negatif, karena anak tersebut tidak
mendapatkan bimbingan dari guru,

31
keluarga, dan selain hidup di
lingkungan anak jalanan juga
bergaul dengan lingkungan balapan
motor.
Rochatun, Isti. “Eksploitasi Tujuan penelitian ini Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Anak Jalanan adalah (1) untuk (1) Ada tiga hal yang melatar belakangi
Sebagai mengetahui eksploitasi terjadinya eksploitasi terhadap anak
Pengemis Di terhadap anak jalanan jalanan d kawasan Simpang Lima
Kawasan sebagai pengemis di Semarang yakni: Ekonomi keluarga
Simpang Lima kawasan Simpang yang rendah (kemiskinan), komunitas
Semarang Lima Semarang. (2) dan pengaruh lingkungan dan
mengetahui bentuk keretakan dan kekerasan kehidupan
eksploitasi terhadap rumah tangga orang tua. (2) Bentuk
anak jalanan di eksploitasi anak jalanan di kawasan
kawasan Simpang Simpang Lima Semarang adalah yang
Lima Semarang. (3) dilakukan oleh orang tua dan yang
mengetahui dampak dilakukan oleh preman. (3) Dampak
eksploitasi anak terjadinya eksploitasi terhadap anak
terhadap anak jalanan dapat meliputi bebrapa hal yakni:
dan masyarakat di bidang ekonomi, kesehatan, psikologis
kawasan Simpang dan pendidikan sedangkan danpak
Lima Semarang eksploitasi bagi masyarakat meliputi:
membuat resah pengguna jalan,
mengaggu ketertiban lalu lintas dan
membuat resah masyarakat.

2.7. Kerangka konseptual

Negara adalah suatu badan atau organisasi tertinggi yang mempunyai

wewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan untuk kepentingan orang banyak

serta mempunyai kewajiban-kewajiban untuk melindungi, mensejahterakan

masyarakatnya dan sebagainya. Dapat dikatakan menjadi suatu negara bila terdapat

wilayah, rakyat dan pemerintahan. Sebagaimana instusi politik lainya, Negara adalah

asosiasi hubungan manusia yang menguasai manusia lain.

Untuk memahami tentang implementasi kebijakan maka kita tidak bisa

melepaskan dari pertanyaan tentang kebijakan apa yang diimplementasikan.

Berhubung dalam penelitian ini membahas kebijakan dalam organisasi pemerintah

maka kebijakan yang dibahas adalah kebijakan pemerintah atau kebijakan publik.

Konsep kebijakan publik (public policy) menurut Affan Suhaiman (1998:24) adalah

Sebagai suatu proses yang mengandung berbagai pola aktivitas tertentu dan

32
merupakan seperangkat keputusan yang bersangkutan dengan tindakan untuk

mencapai tujuan dalam beberapa cara yang khusus. Dengan demikian, maka konsep

kebijakan publik berhubungan dengan tujuan dengan pola aktivitas pemerintah

mengenai sejumlah masalah serta mengandung tujuan.34

Kebijakan tersebut akhirnya disebut juga dengan kebijakan pemerintah/Negara

seperti yang didefinisikan oleh Ermaya Suradinata (1993:190) sebagai berikut

:Kebijakan negara/pemerintah adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan

atau lembaga dan pejabat pemerintah. Kebijakan Negara dalam pelaksanaannya

meliputi beberapa aspek, berpedoman pada ketentuan yang berlaku, berorientasi

kepada kepentingan umum dan masa depan serta strategi pemecahan masalah yang

terbaik.35

Sebuah kebijakan hendaknya tersusun dengan baik sehingga mudah terarah.

Kbijakan yang tersususn secara baik tentu memrlukan waktu untuk berkembang dan

seyognyanya tetap mempertahankan hal-hal seperti yang diutraakan oleh J.winanrdi

(1990:1200 sebagai berikut :36

a. Memungkinkan penafsiran terbuka dan penilaian.

b. Bersifat konsisten dan tidak boleh ada dua kebijakan yang saling bertentangan

dalam suatu organisasi.

c. Harus sesuai dengan keadaan yang berkembang.

d. Harus membantu penca[paian sasaran dan harus dibantu dengan fakta-fakta

yang obyektif.

e. Harus sesuai dengan kondisi-kondisi eksternal.

34menurut Affan Suhaiman (1998:24)


35Ermaya Suradinata (1993:190)
36J.winanrdi (1990:1200

33
Dengan demikian disamping kebijakan tersebut perlu tersusun dengan baik,

adapula beberapa faktor yang dapat turut memperbaiki kualitas suatu kebijakan adalah

seperti yang disampaikan oleh Bintoro Tjokroamidjojo (1991:116).37

a. Jangan didasarkan pada selera seketika (whims) tetapi harus melalui proses

yang rasional berdasarkan akal sehat.

b. Penyempurnaan informasi dan sistem informasi bagi analisa dan pembentukan

kebijakan.

c. Dikembangkan unified approach dalam perumusan kebijakan.

d. Peka terhadap kebutuhan obyektif masyarakat.

Pada dasarnya rumusan kebijakan memang harus bersifat obyektif baik sebagai

dasar analisisnya maupun kondisi kebutuhan masyarakat atau obyek yang akan

terkcna dapak kebijakan yang akan diambil serta dapat memudahkan penentu

kebijakan untuk mengadakan revisi atau perbaikan, jika ternyata pelaksanaannya tidak

sesuai dengan harapan obyektif tadi.

Dari beberapa proses kebijakan, implementasi kebijakan merupakan aspek yang

penting dari keseluruhan proses kebijakan. Implementasi kebijakan itu sendiri

mengandung beberapa makna, sebagaimana yang dirumuskan dalam kamus Webster

(dalam Wahab, 1997 :64) bahwa : "to Implement ( mengimplementasikan) berarti to

provide the means for cariying but": (menimbulkan dampak / akibat terhadap sesuatu).

Kalau pandangan ini kita ikuti, maka implementasi daripada kebijakan dapal dipandang

sebagai suatu proses untuk melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam

37Bintoro Tjokroamidjojo (1991:116).


34
bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif,

atau Dekrit Presiden).38

Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabaticr (1986 :4) memberikan penjelasan

mengenai makna implementasi yaitu Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah

suatu program berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi

ebijakasanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah

disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-

usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak

nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.39

Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu dengan arena-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu, J.A.M. Maarse

(dalam Sunggono, 1994:137) dengan demikian yang diperlukan dalam implementasi

tersebut adalah suatu tindakan yang sah atau implementasi suatu rencana peruntukan.

Dengan demikian pelaksanaan kebijakan dapat melibatkan penjabaran lebih lanjut dari

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan tersebut oleh pejabat atau instansi pelaksana

(Hamdi, 1999:5).Implementasi kebijakan publik pada umumnya diserahkan kepada

lembaga-lembaga pemerintahan dalam berbagai jenjangnya hingga jenjang

pemerintahan yang terendah. Dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah. 40

Oleh karena itu secara umum, terdapat beberapa keadaan yang perlu

dipertimbangkan dalam mengupayakan keberhasilan impiementasi kebijakan. Hal ini

38Wahab, 1997 :64


39Daniel
A. Mazmanian dan Paul A. Sabaticr (1986 :4)
40Sunggono, 1994:137

35
sebagaimana dikemukakan oleh Pressman dan Wildavsky (dalam Ilamdi, 1999:55)

sebagai berikut:41

a. Implementasi perlu didasarkan pada suatu teori yang tepat dalam

menghubungkan perubahan dalam perilaku target dengan pencapaian tujuan

kebijakan.

b. Adanya penjelasan arah dan structural kebijakan

c. Adanya keterampilan teknis dan manajerial yang memadai di unit-unit kerja yang

melaksanakan kebijakan.

d. Adanya dukungan-dukungan yang tepat dari partisipasi terkail.

e. Hubungan dan konflik antara berbagai partisipan jangan sampai mengurangi

atau meniadakan pentingnya arti kebijakan yang dilaksanakan.

Dari beberapa pengertian diatas menunjukkan bahwa dalam implementasi suatu

kebijakan publik harus memperhatikan faktor-faktor dari dalam (intern) organisasi

pemerintah dan faktor dari luar (ekstern). Disamping memperhatikan faktor intern dan

ekstern organisasi maka ada beberapa model yang dikembangkan oleh Rippley dan

Franklin (1986 :89) yang antara lain menyatakan bahwa keberhasilan dari implementasi

kebijakan atau suatu program itu adalah ditujukan dari tiga faktor seperti :42

a. Perspektif kepatuhan (compliance} yang mengukur implementasi dari

kepatuhan street level bereau crats terhadap atasan mereka.

b. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya

persoalan

41 Ilamdi, 1999:55
42Rippley dan Franklin (1986 :89)
36
c. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan

semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.

Dengan demikian apabila suatu kebijakan publik memperhatikan faktor-faktor yang

mempengaruhi suatu implementasi kebijakan dengan memperhatikan prosedur-

prosedur yang ada, maka diharapkan akan menghasilkan kebijakan yang tepat pada

sasaran yang diinginkan.

Proses implementasi kebijakan public baru dapat dimulai apabila tujuan-tujuan

kebijakan public telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dandana telah

dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Suatu proses implementasi

dapat digambarkan secara sistematis seperti berikut ini :

Gambar 1
Proses implementasi kebijakan publik

Proses Dampak Dampak


Kebijakan
Pelaksanaan segara akhir
kebijakan kebijakan

Sumber : Bambang Sunggono (1994:139)

Dari skema tersebut terlihat bahwa proses implementasi dimulai dengan suatu

kebijakan yang harus dilaksanakan. Hasil proses implementasi terdiri dari hasil

kebijakan yang segera atau disebut sebagai “policy performance”. Secara konkrit antara

lain dapat kita lihat jumlah dan isi barang dan jasa yang dihasilkan pemerintah dalam

jangka waktu tertentu untuk menaikkan taraf kesejahteraan warga masyarakat,

Misalnya perubahan dalam taraf kesejahteraan warga masyarakat dapat dianggap

37
sebagai hasil akhir kebijakan yang disebut juga sebagai “policy outcome” atau “policy

impact”. Dengan sendirinya di dalam hasil akhir kebijakan termasuk juga hasilhasil

sampingan disamping “policy performance” yang diperoleh.

Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis implementasi kebijakan

tentang tentang implementasi pengololaan anak jalanan ini adalah teori yang

dikemukakan oleh George C. Edwards III. Dimana implementasi dapat dimulai dari

kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi

kebijakan dapat berhasil, menurut George C. Edwards III ada empat variabel dalam

kebijakan publik yaitu Komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), sikap

(dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure). Ke empat

faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang

lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuan kita adalah meningkatkan pemahaman

tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan pengertian dengan cara

membreakdown (diturunkan) melalui eksplanasi implementasi kedalam komponen

prinsip. Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi

interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga

dapat diketahui pengaruhnya terhadap implementasi.

Faktor –faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C.

Edwards III sebagai berikut :

38
a.Komunikasi

Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan

kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian

tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu

dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman

dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors

mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam

organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa

menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping

itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda

pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan

sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya.

Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus

mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para

aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya

mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor

kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan

tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para

implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.

b. Sumberdaya

Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten implementasi program

dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim. Jika personel yang bertanggungjawab

39
untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya.

Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi

yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan

sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang

menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan,

serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan

program seperti dana dan sarana prasarana.Sumberdaya manusia yang tidak

memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program

secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika

jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan

skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya

manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program.

Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi

energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini

membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-

teknik kelistrikan.Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan

kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara

menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa

yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada

peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat

tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan

informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi

langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di

40
tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan

kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang

ada.Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan

bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur

keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor.

Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi

seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil

program dapat berjalan.

c. Disposisi atau Sikap

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah

sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan

maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka

berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami

banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ;

kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah

penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana

mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami

kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan

yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari

implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat

dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat

mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

41
Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas

program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program,

memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik

demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan

insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total

dalam melaksanakan kebijakan/program.

d. Struktur Birokrasi

Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari

struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola

hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai

hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam

menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van Meter menunjukkan beberapa unsur yang

mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu:

1. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;

2. Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit

dan proses-proses dalam badan pelaksana;

3. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara

anggota legislatif dan eksekutif);

4. Vitalitas suatu organisasi;

5. Tingkat komunikasi “terbuka”, yaitu jaringan kerja komunikasi horizontal

maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif

tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi;

42
6. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat

keputusan atau pelaksana keputusan.

Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para

implementor mengetahui apa yang harus dilakukan , implementasi masih gagal apabila

struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan dalam

melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek membutuhkan kerjasama banyak

orang, serta pemborosan sumberdaya akan mempengaruhi hasil implementasi.

Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum

akan mempengaruhi sistem dalam birokrasi.

Pemerintah dalam hal ini adalah yang membuat dan melaksanakan peraturan

daerah merupakan pion penting dalam penyelengaraan pemerintahan. pelayanan dan

pengaturan berkenaan dengan nilai dasar yang dijelaskan pada konsep tetang

masarakat yaitu mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Yang pertama mengenai

tugas pengaturan, jika yang bertugas mengatur adalah pemerintah maka yang diatur

adalah yang-diperintah dalam hal ini masyarakat. Berarti pemerintah memiliki hak

untuk mengatur dan masyarakat memiliki kewajiban untuk diatur. hal ini terkait dengan

konsep implementasi kebijakan.

Dalam aturan peraturan daerah Kota Makassar no 2 tahun 2008 tentang

pembinaan anak jalanan, pengemis, gelandangan, dan pengamen, Pemerintah Daerah

yang dimaksud penulis dalam melaksanakan peraturan daerah tersebut adalah

aparatur yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan perda. Penjelasan mengenai

peraturan daerah no 2 tahun 2008 di kota Makassar mengenai konsep pembinaan

43
adalah segala upaya atau kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau

masyarakat untuk mengatasi masalah anak jalanan, gelandangan pengemis,

pengamen dan keluarganya supaya dapat hidup dan mencari nafkah dengan tetap

mengutamakan hak-hak dasarbagi kemanusiaan.43

Tujuan utama penyelengaraan pemerintah daerah adalah menciptakan

kesejahteraan masyarakat, maka dari itu pemerintah Kota Makassar melalui Peraturan

Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2008 tentang pembinaan anak jalanan

menegaskan ada beberapa pembinaan dalam mengurangi pertumbuhan jumlah rakyat

miskin kota yang di kelompokan sebagai anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan

pengamen yang berada di Kota Makassar. Sekarang yang dilakukan oleh Pemerintah

Kota Makassar, yaitu: 44

a. Program pembinaan. Program pembinaan yang dimakasud ada bebarapa di

dalamnya yaitu pembinaan pencegahan, pembinaan lanjutan, serta rehabilitasi

sosial.

b. Pengurangan terhadap prilaku eksploitasi dimana Pemerintah Kota Makassar

sebagai barometer dari pelaksanaan suatu kebijakan harus menindak tegas

pihak-pihak yang sengaja mengeksploitasi kegiatan dari anak jalanan.

c. Melakukan pemberdayaan yaitu proses penguatan keluarga yang dilakuan

secara terencana dan terarah sesuai dengan keterampilan yang dimiliki tiap

individu yang dibina.

43undang-undang Nomor 2 tahun 2008 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,Gelandangan, Pengemis


dan Pengamen Di Kota Makassar

44undang-undang Nomor 2 tahun 2008 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,Gelandangan, Pengemis


dan Pengamen Di Kota Makassar

44
d. Bimbingan lanjut yaitu salah satu cara pembinaan yang dilakukan melalui

kegiatan monitoring evaluasi dari program pemberdayaan sebelumnya.

e. Partisipasi Masyarakat disini yang dimaksud adalah tingkah laku masyarakat

yang tidak memberikan kebiasaan kepada anak jalanan untuk senangtiasa

memintaminta.

Selanjutnya ketika kita berbicara tentang bagaimana implementasi suatu

kebijakan dapat berjalan efektif tentu dipengaruhi oleh bebrapa faktor. Di dalam teori

Edward III, mengungkap kan 4 faktor utama dalam mempengaruhi suatu kebijakan

public, yaitu : (1) Sumber daya manusia, (2) anggaran, (3) disposisi, (4) struktur

birokrasi.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka kerrangka konseptual dari penelitian ini

adalah:

45
Gambar 2.
Kerangka Konseptual

Perda No.2 Tahun 2008


Tentang Pembinaan Anak Jalanan,
Gelandangan, Pengemis dan Pengamen Di
Kota Makassar.

DINAS SOSIAL KOTA


MAKASSAR

PEMBINAAN ANAK
JALANAN
 Program pembinaan Faktor yang mempengaruhi
 mengurangi Kebijakan
eksploitasi  Sumber daya manusia
 melakukan  anggaran
pemberdayaan  disposisi
terhadap anak  struktur birokrasi
jalanan
 bimbingan lanjutan
 partisipasi
masyarakat

46
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Dalam memperoleh data dan informasi yang dapat

dipertanggungjawabkan, maka Penulis akan mengadakan penelitian di beberapa

instansi yaitu, Dinas Sosial Kota Makassar, Lembaga Perlindungan Anak di Kota

Makassar, dan Panti Sosial. Alasan dipilihnya tempat tersebut sebagai lokasi penelitian

adalah karena dari instansi tersebut penulis dapat mencari data dan informasi yang

relevan dengan judul penelitian

3.2. Jenis dan Sumber Data

Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu

data primer dan data sekunder.

3.2.1. Data Primer


Data yang diperoleh dengan mengadakan wawancara kepada Dinas Sosial

Kota Makassar, Lembaga Perlindungan Anak di Kota Makassar, Panti Sosial

yang banyak berhubungan dengan Jalanan di Kota Makassar

3.2.2. Data Sekunder


Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan berupa literature dan

dokumen-dokumen, buku, serta peraturan perundang-perundangan dan bahan

tulis yang berkaitan erat dengan objek yang akan dibahas.

47
3.3. Objek dan Informan Penelitian

Objek penelitian yang akan diteliti adalah Dinas Sosial Kota Makassar dan

lembaga perlindungan anak yang berada di Kota makassar. Pemilihan kedua

objek ini atas pertimbangan bahwa objek tersebut merupakan lembaga yang

bertanggung jawab dalam hal berhasil tidaknya pembinaan anak jalanan yang ada

di Kota Makassar. Adapun informan yang akan di rencanakan adalah sebagai

berikut:

1. Kepala Dinas Sosial Kota Makassar = 1 orang

2. Staff/ Pegawai Dinas Sosial Kota Makassar = 5 orang

3. Pengurus Lembaga Perlindungan anak jalanan = 3 orang

4. Anggota DPRD Kota Makassar= 1 orang

5. Anak jalanan= 5 orang

6. Tokoh masyarakat = 3 orang

3.4.Teknik Pengumpulan Data

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian diarahkan pada

pengumpulan data yang lebih banyak bergantung kepada peneliti sendiri sebagai

pengumpul data.

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini meliputi:

3.4.1. Wawancara

Peneliti melakukan wawancara secara mendalam dengan informan kunci untuk

mendapatkan informasi yang dianggap penting yang berkaitan dengan

48
permasalahan yang diteliti baik dari sisi akitivitas (activity) maupun orang-orang

(octors). Pemberian pertanyaan kepada informan dilakukan secara terbuka dan

fleksibel dengan tidak menggunakan pedoman wawancara secara terstruktur dalam

rangka menyerap informasi mengenai persepsi, pola maupun pendapat-pendapat

dari informan tersebut.

3.4.2. Observasi

Proses pengamatan dilakukan secara langsung di lokasi penelitian untuk melihat

kenyataan dan fakta sosial di sehingga dapat dicocokkan antara hasil wawancara

atau informasi dari informan dengan fakta yang ada lapangan baik daria aspek

activity maupun actors.

3.5.Teknik Analisis Data

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka penelitian yang

dilakukan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan menyajikan hasil

temuan dan kesimpulan analisis dengan menggunakan desain studi kasus. Setelah

terkumpulnya data kemudian dilakukan penyederhanaan data selanjutnya melakukan

analisis data secara kualitatif.

Dalam melakukan analisis data peneliti mengacu pada beberapa tahapan

yang dijelaskan Miles dan Huberman (1992) yang terdiri dari beberapa tahapan

antara lain:

49
1. Reduksi data ‘data reduction’ yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, tranformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di

lapangan selama meneliti tujuan diadakan transkrip data (transformasi data) untuk

memilih informasi mana yang dianggap sesuai dengan masalah yang menjadi pusat

penelitian dilapangan.

2. Uji Confirmability, Uji confirmability berarti menguji hasil penelitian. Bila hasil

penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian

tersebut telah memenuhi standar confirmability-nya.

3. Pada tahap akhir adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi ‘conclution drawing/

verification’, yang mencari arti pola-pola penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur

sebab akibat dan proposisi. penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan

melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan di lapangan

sehingga data-data di uji validitasnya.

3.6. Definisi Operasional

Untuk memberikan suatu pemahaman agar memudahkan penelitian ini

maka penulis memberikan beberapa batasan penelitian, dan fokus penelitian ini

yang dioperasionalkan melaui beberapa indikator sebagai berikut:

1) Implemementasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penerapan

aturan yang lebih difokuskan lagi sebagai kebijakan pemerintah.

Implementasi juga bertujuan untuk mencapai dan mangukur sampai sejauh

mana tingkat keberhasilan aturan atau program pemerintah tersebut berjalan

dalam hal ini kebijakan pemerintah.

50
2) Kebijakan adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah mutlak

dan wajib dijalankan dengan persetujuan sebagai aturan atau landasan

hukum.

Kebijakan pemerintah daerah adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh

pemerintah daerah untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan wajib

dilaksanakan.

3) kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang disesuaikan oleh seseorang,

kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang

memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap

kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka

mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud

tertentu

4) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

kebijakan Pemerintah Daerah No. 2 tahun 2008 mengenai pembinaan anak

jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen di Kota Makassar

5) Defenisi anak jalanan. Pada mulanya ada dua kategori anak jalanan, yaitu

children on the street dan children of the street. Namun pada

perkembangannya ada penambahan kategori, yaitu children in the street

atau sering disebut juga children from families of the street. Pengertian untuk

children on the street adalah

anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih

mempunyai hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan

dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan

51
sentiasa pulang ke rumah setiap hari, dan anak-anak yang melakukan

kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mengekalkan

hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan

jadwal yang tidak rutin. Children of the street adalah anak-anak yang

menghabiskan semua atau sebahagian besar waktunya di jalanan dan tidak

mempunyai hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan ibu bapa atau

keluarganya. Children in the street atau children from the families of the street

adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang

berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan

6) Gelandangan adalah seseorang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai

norma kehidupan yang layak dalam masyarakat, tidak mempunyai mata

pencaharian dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap; Istilah gelandangan

berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak

pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 : 179). Pada

umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan

mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh

tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak

mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan

tidak tetap, terutamanya di sektor informal.

7) Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan

memintaminta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk

mengharap belas kasihan orang lain. Weinberg (1970) menggambarkan

bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang

52
miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian

stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg

(1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru

menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat pada umumnya.

8) Pengamen adalah seseorang atau kelompok orang yg melakukan apresiasi

seni melalui suatu proses latihan dengan menampilkan karya seni, yang

dapat didengar dan dinikmati oleh orang lain, sehingga orang lain merasa

terhibur yang kemudian orang lain memberikan jasa atau imbalan atas

kegiatannya itu secara

ikhlas;

9) Pembinaan adalah kegiatan yang dilaksanakan secara terencana dan

terorganisir dengan maksud menekan, meniadakan, mengurangi, dan

mencegah meluasnya anak jalanan untuk mewujudkan ketertiban di tempat

umum. Adapun bentuk pembinaan yang dilakukan sesuai dengan peraturan

yang berlaku yaitu:

a) Program pembinaan. Program pembinaan yang dimakasud ada bebarapa

di dalamnya yaitu pembinaan pencegahan, pembinaan lanjutan, serta

rehabilitasi sosial.

b) Pengurangan terhadap prilaku eksploitasi dimana Pemerintah Kota

Makassar sebagai barometer dari pelaksanaan suatu kebijakan harus

menindak tegas pihak-pihak yang sengaja mengeksploitasi kegiatan dari

anak jalanan.

c) Melakukan pemberdayaan terhadap anak jalanan yaitu proses penguatan

keluarga yang dilakuan secara terencana dan terarah sesuai dengan


53
keterampilan yang dimiliki tiap individu yang dibina.

d) Bimbingan lanjut yaitu salah satu cara pembinaan yang dilakukan melalui

kegiatan monitoring evaluasi dari program pemberdayaan sebelumnya.

e) Partisipasi Masyarakat disini yang dimaksud adalah tingkah laku

masyarakat yang tidak memberikan kebiasaan kepada anak jalanan,

gelandangan, pengemis, dan pengamen untuk senangtiasa meminta-

minta.

10) Dalam implementasi suatu kebijakan ada faktor-faktor yang mempengaruhi

berhasi tidaknya kebijakan itu terlaksana. Fakto-faktor yang dimaksud ada

yang bersifat mendukung dan ada yang bersifat penghambat.

54
DAFTAR PUSTAKA

Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN) 2000. Modul Pelatihan Dan


Pimpinan Rumah Singgah. Jakarta : Direktorat Kesejahteraan
Anak, Keluarga Anak Terlantar dan Lanjut Usia, Deputi Bidang Peningkatan
Kesejahteraan Sosial

Bagong Suyanto dan Sri Sanituti Hariadi. 2002. Krisis dan Child Abuse,
Surabaya:Airlangga University Press

Barda Nawawi Arief. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan


Pengembangan Hukum Pidana. Bandung:Citra Aditya Bakti.

Badan Pusat Statistik. 2017. Makassar dalam angka tahun 2017. BPS

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Sosial RI. 2001. Intervensi Psikososial. Jakarta: Departemen Sosial. Hlm.
20

Hadi Supeno. 2010. Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal


Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Irma Setyowati Sumitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta:


Bumi Aksara.
Kartini Kartono. 1992. Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali Pers.

Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Anak Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama

Marlina. 2012. Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan


Konsep Diversi dan Restorative Justice). Bandung: Refika Aditama

Maulana Hassan Wadong. 2000. Advokasi dan Hukum perlindungan


Anak. Jakarta: Grasindo

55
Romli Atmasasmita. 1983. Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja. Bandung: Armico

Satjipto Rahardjo. 2012. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti

SoerjonoSoekanto. 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.


Jakarta: Raja Grafindo Persada

Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made
Martini Tinduk. 2003. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile
Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia

Sudarsono. 1991. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta

Syamsu Alam, Andi. 2012. Studi Analisa Kebijakan. Bandung: Refika Aditama

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008Tentang Pembinaan Anak Jalanan,Gelandangan,

Pengemis dan Pengamen Di Kota Makassar

56
LAMPIRAN

PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG

BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH KOTA MAKASSAR TAHUN 2008


LEMBARAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 2 TAHUN 2008

1
PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR
Nomor 2 Tahun 2008
TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, PENGEMIS DAN
PENGAMEN DI KOTA MAKASSAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA MAKASSAR,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjunjung tinggi nilainilai keadilan, ketertiban dan
kemanfaatan sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun
1945, maka dipandang perlu dilakukan pembinaan terhadap anak jalanan,gelandangan,
pengemis dan pengamenagar mereka dapat menjadi warga Kota Makassar yang lebih
bermartabat;
b. bahwa mengingat keberadaan anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen
cenderung membahayakan dirinya sendiri dan/atau orang lain danketentraman di tempat
umum sertamemungkinkan mereka menjadi sasaran eksploitasi dan tindak kekerasan,
sehinggaperlu segera dilakukan penanganan secara konfrehensif, terpadu dan
berkesinambungan;
c. bahwa pengaturan pembinaan anak Jalanan, gelandangan, pengemis dan
pengamen yang ada tidak memadai lagi sehingga dipandang perlu membentuk Peraturan
Daerah; Pembinaan
Paragraf Satu Pembinaan Pencegahan Pasal 6

(1) Pembinaan Pencegahan dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat untuk


mencegah berkembangnya dan meluasnya jumlah penyebaran dan kompleksitas
permasalahan penyebab adanya anak di jalanan, gelandangan, pengemis dan
pengamen; (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini meliputi : a.
pendataan;
b. pemantauan, pengendalian dan pengawasan;
c. sosialisasi;
d. kampanye.
(3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan
(2) pasal ini dilakukan oleh perseorangan, keluarga, kelompok organisasi
kemasyarakatan, organisasi sosial dan instansi terkait;
(4) Tata cara melakukan kerja sama dengan stake holder dan/atau pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini, pasal 21 ayat (5) dan pasal 32 ayat (7)
Peraturan Daerah ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.

57
Pasal 7

(1) Pendataan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) huruf a Peraturan Daerah
ini dilakukan untuk memperoleh data yang benar tentang klasifikasi antara anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen;(2) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pasal ini dilakukan oleh para pihak yang terlibat untuk pelaksanaan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 6 ayat
(2) huruf a Peraturan Daerah ini dengan menyiapkan instrument pendataan yang
memuat tentang nama, alamat, daftar keluarga, kondisi tempat tinggal, latar belakang
kehidupan sosial ekonomi, asal daerah, pekerjaan, status keluarga dan permasalahan
pokok yang dihadapi;
(3) Pihak yang dimaksud ayat (2) pasal ini adalah Dinas Sosial dan/atau bekerja sama
dengan instansi terkait serta lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pasal 8
(1) Pemantauan, pengendalian dan pengawasan terhadap sumber - sumber atau
penyebab munculnya anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen sebagaimana
dimaksud dalam pada Pasal 6 ayat (2) huruf b Peraturan Daerah ini dilakukan dengan
cara :
a. melakukan patroli di tempat umum yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Makassar;
b. memberikan informasi tentang keberadaan anak jalanan, gelandangan pengemis dan
pengamen yang melakukan aktifitas di tempat umum, secara perseorangan, keluarga
maupun secara berkelompok.

(2) Pemantauan, pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini dilakukan oleh Dinas Sosial dan/atau bekerja sama dengan instansi terkait serta
unsure masyarakat.
Pasal 9

(1) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) huruf c Peraturan Daerah ini
yang dilakukan oleh instansi terkait, meliputi : a. sosialisasi secara langsung;
b. sosialisasi secara tidak langsung.
(2) Sosialisasi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini
dilakukan oleh Dinas Sosial dan instansi terkait dan dapat bekerja sama dengan
kelompok, organisasi sosial (Orsos) melalui kegiatan interaktif dan ceramah;
(3) Sosialisasi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b pasal
ini dapat melalui media cetak maupun media elektronik; (4) Sosialisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), (2),dan
(3) pasal ini ditujukan kepada perseorangan, keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat,
organisasi sosial (Orsos) dan instansi terkait.
Pasal 10

(1) Kampanye sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) huruf d Peraturan Daerah
ini untuk mengajak dan mempengaruhi seseorang atau kelompok untuk ikut
melaksanakan kegiatan pembinaan dan pengendalian terhadap anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen;
(2) Kampanye dilakukan melalui kegiatan yang mengikutsertakan kelompok-kelompok
masyarakat tertentu baik dalam bentuk pertunjukan, pertandingan, lomba, orasi,
pemasangan rambu-rambu tentang larangan memberi uang di jalanan;

58
(3) Kegiatan kampanye dapat dilakukan bekerja sama dengan stakeholder yang memiliki
kepedulian yang tidak mengikat;
(4) Tata cara melakukan kerja sama dengan stake holder dan/atau pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini, pasal 21 ayat (5) dan pasal 32 ayat (7)
Peraturan Daerah ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
Paragraf Dua Pembinaan Lanjutan Pasal 11

(1) Pembinaan lanjutan dilakukan terhadap anak jalanan, gelandangan pengemis dan
pengamen sebagai upaya meminimalkan atau membebaskan tempat - tempat umum
dari anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen.
(2) Pembinaan Lanjutan dilakukan dengan cara :
a. Perlindungan;
b. Pengendalian Sewaktu-waktu;
c. Penampungan Sementara;
d. Pendekatan Awal;
e. Pengungkapan dan Pemahaman Masalah (assesment);
f. Pendampingan Sosial;
g. Rujukan.
Pasal 12

(1) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) huruf a Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk menghalangi anak jalanan, gelandangan, pengemis dan
pengamen untuk tidak turun di jalanan dengan cara melakukan posko yang berbasis di
jalanan (in the street) dan tempat umum pada titik-titik rawan dimana anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen sering melakukan aktifitasnya;
(2) Pelaksanaan posko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan oleh
Dinas Sosial bekerja sama dengan unsur Satuan Polisi Pamong Praja, unsur POLRI dan
atau unsur instansi terkait, unsur mahasiswa, lembaga social masyarakat (LSM);
(3) Pelaksanaan posko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini dilakukan
kegiatan kampanye dan kegiatan sosialisasi;
(4) Pelaksanaan Posko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini tidak dilakukan
tindakan penangkapan akan tetapi dilakukan tindakan pengungkapan masalah
berdasarkan situasi dan kondisi pada saat dilakukan kegiatan posko tersebut.
Pasal 13

(1) Pengendalian sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) huruf b
Peraturan Daerah ini dilakukan oleh tim terpadu terdiri dari Dinas Sosial, unsur Satpol PP
dan
dapat dengan unsur POLRI;
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah kegiatan yang
dilakukan secara koordinatif dengan instansi terkait terhadap anak Jalanan, gelandangan,
pengemis dan pengamen serta kelompok atau perorangan yang mengatasnamakan
lembaga sosial dan/atau panti asuhan yang melakukan aktivitas di tempat umum;
(3) Pengendalian sewaktu-waktu dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap anak
jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen serta kelompok atau perorangan yang
mengatasnamakan lembaga sosial dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia,
perlindungan anak dan tujuan pembinaan.

59
Pasal 14

(1) Penampungan sementara sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) huruf c
Peraturan Daerah ini dilakukan pembinaan yang dilakukan dengan sistem panti social
pemerintah dalam waktu maksimal 10 hari, bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan sebagai pemilik panti sosial pemerintah yang dimaksud;
(2) Penampungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pasal ini dilakukan dalam rangka pembinaan yang meliputi bimbingan sosial,
bimbingan mental spiritual, bimbingan hukum dan permainan adaptasi social (outbound);
(3) Selama dalam penampungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal
ini, Dinas Sosial bersama unsur instansi terkait yang tergabung dalam tim pokja
melindungi dan menjamin hak asasi anak yang bersangkutan, perlindungan anak dan
tujuan pembinaan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 15
(1) Pendekatan awal melalui identifikasi dan seleksi terhadap anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2)
huruf d Peraturan Daerah ini dilakukan untuk menyeleksi berdasarkan indikator yang
meliputi identitas diri, latar belakang pendidikan, status sosial dan permasalahan
lingkungan sosial anak yang bersangkutan;
(2) Identifikasi dan seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini digunakan
sebagai landasan untuk menentukan tahapan proses pembinaan selanjutnya. Pasal 16
(1) Pengungkapan dan pemahaman masalah (assesment) sebagaimana dimaksud pada
Pasal 11 ayat (2) huruf e Peraturan Daerah ini, dilakukan untuk memahami dan
mendalami masalah yang dihadapi dan untuk pemenuhan kebutuhan anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen;
(2) Masalah dan kebutuhan sebagaimana dimaksud pasal ini di bahas untuk selanjutnya
dilakukan pembinaan sesuai potensi dan bakatnya masing-masing;
(3) Pengungkapan dan pemahaman masalah (assesment) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pasal ini, dijadikan sebagai file permanen bagi setiap anak jalanan, gelandangan,
pengemis dan pengamen. File tersebut akan digunakan untuk pemantauan dan
pembinaan selanjutnya;
(4) Pengungkapan dan pemahaman masalah (assesment) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) pasal ini dilakukan dengan studi kasus berdasarkan data yang diperoleh dan
temu bahas (case conference).

Pasal 17

(1) Pendampingan Sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) huruf f
Peraturan Daerah ini dilakukan melalui bimbingan individual terhadap anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen serta keluarganya secara rutin dan
berkesinambungan;
(2) Pendampingan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dapat dilakukan
oleh pekerja sosial pemerintah maupun pekerja sosial swasta dan/atau lembaga social
masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap penerima pelayanan.
Pasal 18
Rujukan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) huruf g Peraturan Daerah ini
meliputi pelayanan kesehatan secara gratis, memfasilitasi untuk mengikuti pendidikan
formal dan non formal, pengembalian bersyarat, pembinaan rehabilitasi sosial melalui
sistem dalam panti, rumah sakit jiwa bagi penyandang psikotik, rumah sakit kusta,

60
pendampingan hukum, perlindungan khusus serta di proses secara hukum sesuai
perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf Tiga Usaha Rehabilitasi Sosial

Pasal 19
(1) Untuk memantapkan taraf kesejahteraan sosial penerima pelayanan agar mereka
mampu melakukan kembali fungsi sosialnya dalam tata kehidupan bermasyarakat
maka harus diadakan rehabilitasi sosial;
(2) Sasaran usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini
adalah :
- Anak Jalanan Usia Produktif;
- Anak Jalanan Usia Balita;
- Anak Jalanan Usia Sekolah;
- Gelandangan Psikotik;
- Gelandangan Usia Lanjut;
- Pengemis Usia Produktif;
- Pengemis Usia Lanjut;
- Pengemis Eks Kusta
- Pengemis yang mengatasnamakan Lembaga Sosial atau Panti Asuhan; - Pengamen
yang beraktifitas di jalanan.
(3) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini
dilakukan melalui sistem panti dan/atau luar panti.
Pasal 20

Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan
Daerah ini bagi anak jalanan usia produktif, dengan jenis kegiatan, yaitu : a. Bimbingan
Mental Spiritual;
b. Bimbingan Fisik;
c. Bimbingan Sosial;
d. Bimbingan dan Pelatihan Keterampilan;
e. Bantuan Stimulans Peralatan Kerja;
f. Penempatan.
Pasal 21

(1) Bimbingan mental spiritual sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf a Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk membentuk sikap dan perilaku seseorang maupun kelompok
sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat yang meliputi bimbingan keagamaan,
bimbingan budi pekerti dan bimbingan norma-norma kehidupan;
(2) Bimbingan fisik sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf b Peraturan Daerah ini
meliputi kegiatan olah raga dan pemeriksaan kesehatan;
(3) Bimbingan sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf c Peraturan Daerah
ini sebagai upaya untuk memberikan motivasi dan menumbuh kembangkan kesadaran
dan tanggung jawab sosial dalam membantu memecahkan permasalahan sosial baik
perorangan maupun secara berkelompok;
(4) Bimbingan dan pelatihan keterampilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf
d Peraturan Daerah ini disesuaikan dengan kemampuan bakat individu dengan

61
kebutuhan pasar kerja sebagai upaya dan bekal yang dapat digunakan untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak serta menciptakan kemandirian individu;
(5) Bimbingan dan pelatihan keterampilan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
pasal ini dilakukan di dalam panti rehabilitasi sosial dan/atau dilaksanakan dalam bentuk
kerja sama (kemitraan) dengan instansi terkait dan/atau stake holder;
(6) Bantuan stimulans peralatan kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf e
Peraturan Daerah ini sebagai motivasi untuk mengembangkan usaha yang dimiliki sesuai
dengan jenis keterampilan yang diperoleh;
(7) Penempatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf f Peraturan Daerah ini
dilakukan untuk memfasilitasi penerima pelayanan yang memiliki keterampilan untuk
meperoleh kesempatan kerja yang dapat menciptakan penghasilan pada tempat yang
layak agar dapat hidup mandiri dan/atau kembali ke keluarga dan masyarakat. Pasal 22
(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan
Daerah ini bagi anak jalanan usia balita, dilakukan melalui pendekatan pembinaan dalam
keluarga berupa pendampingan dan pemberian makanan tambahan;
(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini melakukan kegiatan
Pendidikan Pra Sekolah yang mencakup permainan anak, pengembangan bakat dan
minat; (3) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini dilaksanakan
oleh pekerja sosial profesional, pekerja sosial masyarakat, anggota lembaga sosial
masyarakat dan anggota karang taruna yang telah mengikuti bimbingan dan pelatihan
pendampingan. Pasal 23
Jenis usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada pada Pasal 19 ayat (2)
Peraturan Daerah ini bagi anak jalanan usia sekolah, meliputi :
a. Bimbingan Mental Spiritual;
b. Bimbingan Fisik;
c. Bimbingan Sosial;
d. Bimbingan Pra Sekolah;
e. Bantuan Stimulans Beasiswa dan Peralatan Sekolah;
f. Penempatan.
Pasal 24

(1) Bimbingan mental spiritual sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf a Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk membentuk sikap dan perilaku anak, agar berkeinginan
sekolah atau kembali ke bangku sekolah formal melalui bimbingan keagamaan,
bimbingan budi pekerti dilakukan oleh Pendamping;
(2) Bimbingan fisik sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf b Peraturan Daerah ini
meliputi kegiatan olah raga dan pemeriksaan kesehatan;
(3) Bimbingan sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf c Peraturan Daerah
ini sebagai upaya untuk memberikan motivasi dan menumbuh kembangkan kesadaran
dan kemandirian untuk membantu memecahkan permasalahannya sendiri;
(4) Bimbingan Pra Sekolah sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf d Peraturan
Daerah ini dilakukan pendalaman terhadap kemampuan individu sebagai upaya untuk
mempersiapkan penerima pelayanan memasuki dunia pendidikan formal yang lebih
terarah, terbina dan pengenalan kondisi situasi sekolah serta memberikan pemahaman
dan pengertian pada matapelajaran sekolah sesuai dengan strata sekolah yang dilakukan
oleh instansi terkait, pendamping dan stakeholder;
(5) Bantuan stimulans beasiswa dan peralatan sekolah sebagaimana dimaksud pada
Pasal 23 huruf e Peraturan Daerah ini sebagai motivasi belajar dan meringankan beban
keluarga penerima pelayanan;
62
(6) Bantuan stimulans sebagaimana dimaksud ayat (5) pasal ini akan dilaksanakan
dalam bentuk kerja sama (kemitraan) dengan dinas terkait dan/atau stake holder;
(7) Penempatan sebagaimana dimaksud Pasal pada 23 huruf f Peraturan Daerah ini
meliputi kegiatan pengembalian ke keluarga dan/atau difasilitasi untuk memperoleh
kesempatan mengikuti pendidikan formal dan non formal sebagai berikut:
a. pendidikan formal dilakukan berdasarkan strata sekolah dengan pertimbangan usia
anak dan lokasi sekolah yang dekat dengan alamat rumah;
b. pendidikan non formal dimaksudkan untuk memfasilitasi anak putus sekolah dengan
mempertimbangkan usia anak yang akan dirujuk untuk memasuki program paket A,B dan
C. Pasal 25
(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat
(2) Peraturan Daerah ini bagi gelandangan psikotik dimaksudkan untuk
mengembalikan fungsi sosialnya dengan merujuk ke rumah sakit jiwa,
dikembalikan kepada keluarga atau ke daerah asal yang dilaksanakan
dalam bentuk kerja sama (kemitraan) dengan instansi terkait dan atau stake
holder.
(2) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini
sebagai berikut:
a. merujuk kerumah sakit jiwa dalam upaya penyembuhan;
b. mengembalikan kepada pihak keluarga atau ke daerah asal yang telah
dinyatakan sehat dari rumah sakit bersangkutan. Pasal 26
(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan
Daerah ini bagi gelandangan usia lanjut dan pengemis usia lanjut dimaksudkan untuk
memperoleh penghidupan dan kehidupan yang layak;
(2) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini dilakukan
melalui upaya :
a. pembinaan keluarga;
b. rujukan.
(3) Pembinaan keluarga sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf a Pasal ini dilakukan
melalui bimbingan dan motivasi agar tumbuh kesadaran dan percaya diri untuk tidak
melakukan kegiatan sebagai gelandangan dan pengemis;
(4) Rujukan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b Pasal ini adalah ke panti jompo;
(5) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud ayat (1), (2), (3) dan (4) pasal ini
dilakukan oleh Dinas Sosial, instansi terkait dan panti jompo. Pasal 27
(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat
(2) Peraturan Daerah ini bagi pengemis usia produktif dilakukan untuk
memperoleh penghidupan dan kehidupan yang layak dan bermartabat.
(2) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini
dilakukan melalui upaya :
a. Bimbingan Mental Spiritual;
b. Bimbingan Sosial;
c. Pelatihan Keterampilan dan Kewirausahaan;
d. Bantuan Stimulans Peralatan Kerja dan/atau Modal Usaha;
e. Pengembalian dan atau Pemulangan ke Daerah Asal.
Pasal 28

(1) Bimbingan mental spiritual sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (2) huruf a
Peraturan Daerah ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, sikap dan perilaku bagi
pengemis usia produktif agar tidak melakukan aktifitas mengemis di tempat umum; (2)

63
Bimbingan sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (2) huruf b Peraturan
Daerah ini sebagai upaya untuk memberikan motivasi dan menumbuhkembangkan
kesadaran dan kemandirian untuk membantu memecahkan permasalahannya sendiri; (3)
Pelatihan keterampilan dan kewirausahaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat
(2) huruf c Peraturan Daerah ini dilakukan untuk memberikan pengetahuan dan
keterampilan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sosial dimana berdomisili;
(4) Bantuan stimulans peralatan kerja dan atau modal usaha sebagaimana dimaksud
pada Pasal 27 ayat (2) huruf d Peraturan Daerah ini diberikan kepada pengemis usia
produktif yang telah mengikuti kegiatan pelatihan dan disesuaikan dengan keterampilan
yang dimiliki untuk menumbuhkembangkan kemandirian usaha sehingga dapat hidup
secara layak dan bermartabat;
(5) Bantuan stimulans modal usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (2)
huruf d Peraturan Daerah ini diberikan kepada pengemis usia produktif berupa modal
usaha yang disesuaikan dengan jenis usaha ekonomis produktif dan keterampilan yang
dimiliki; (6) Pengembalian dan atau pemulangan ke daerah asal sebagaimana dimaksud
pada Pasal 27 ayat (2) huruf e Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai upaya untuk
dapat kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat yang dilaksanakan oleh petugas
Dinas Sosial dan atau Satpol PP.
Pasal 29

(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan
Daerah ini bagi pengemis eks kusta dilakukan agar yang bersangkutan memperoleh
penghidupan dan kehidupan yang layak;
(2) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan
melalui upaya :
a. bimbingan mental spiritual;
b. bimbingan sosial ;
c. bimbingan hukum;
d.pelatihan keterampilan dan kewirausahaan untuk keluarga;
e. bantuan stimulans untuk keluarga;
f. pengembalian dan/atau pemulangan ke daerah asal. Pasal 30
(1) Bimbingan mental spiritual sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 ayat (2) huruf a
Peraturan Daerah ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, sikap dan perilaku
bagi eks kusta agar tidak melakukan aktifitas mengemis di tempat umum;
(2) Bimbingan sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 ayat (2) huruf b Peraturan
Daerah ini sebagai upaya untuk memberikan motivasi kepada penerima pelayanan
agar tidak melakukan aktifitas mengemis di tempat umum;
(3) Bimbingan hukum sebagaimana dimaksud pada pasal 29 ayat (2) huruf c Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran hukum dan dapat mengetahui
bahwa keberadaan mereka mengemis di tempat umum mengganggu ketertiban
umum;
(4) Pelatihan keterampilan dan kewirausahaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 29
ayat (2) huruf d Peraturan Daerah ini dilakukan untuk memberi pengetahuan dan
keterampilan sesuai kemampuan yang mereka miliki kepada keluarga eks kusta yang
memiliki anggota keluarga usia produktif;
(5) Bantuan stimulans sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 ayat (2) huruf e Peraturan
Daerah ini diberikan kepada keluarga eks kusta yang telah mengikuti kegiatan pelatihan,
dilakukan untuk menumbuhkan keinginan berusaha agar dapat menciptakan kemandirian
usaha sehingga dapat hidup secara layak;

64
(6) Pengembalian (pemulangan) ke daerah asal sebagaimana dimaksud pada Pasal 29
ayat (2) huruf f Peraturan Daerah ini sebagai upaya untuk dapat kembali ke
lingkungan keluarga dan masyarakat;
(7) Pengembalian (pemulangan) ke daerah asal sebagaimana dimaksud ayat (6) pasal ini
dilakukan oleh petugas Dinas Sosial dan Satpol PP;
(8) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pasal ini dilakukan oleh Dinas
Sosial, instansi terkait dan lintas daerah.
Pasal 31

(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan
Daerah ini bagi pengamen yang melakukan aktifitas di jalanan dimaksudkan untuk
memberikan peluang dan kesempatan untuk memperoleh aktifitas yang bersifat produktif
dan penyaluran bakat seni,
sehingga tercipta keteraturan dan kedisiplinan hidup; (2)
Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pasal ini, dilakukan upaya berupa :
a. Bimbingan Mental Spiritual;
b. Bimbingan Sosial ;
c. Bimbingan Hukum;
d. Pelatihan Keterampilan dan Kewirausahaan;
e. Bantuan Stimulans;
f. Pendidikan Non Formal (Paket A,B,C);
g. Pembinaan Pola Kemitraan Usaha;
h. Pelatihan Pengembangan Bakat Seni.
Pasal 32

(1) Bimbingan mental spiritual sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2) huruf a
Peraturan Daerah ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, sikap dan perilaku bagi
pengamen agar tidak melakukan aktivitas di jalanan;
(2) Bimbingan sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2) huruf b Peraturan
Daerah ini sebagai upaya untuk memberikan motivasi kepada penerima pelayanan agar
tidak melakukan aktivitas di jalanan;
(3) Bimbingan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 ayat (2) huruf c Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran hukum dan dapat mengetahui
bahwa aktifitas mereka mengamen di jalanan, mengganggu ketertiban umum;
(4) Pelatihan keterampilan dan kewirausahaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 31
ayat (2) huruf d Peraturan Daerah ini dilakukan untuk memberi pengetahuan dan
keterampilan sesuai kemampuan yang mereka miliki;
(5) Bantuan stimulans sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2) huruf e Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk menumbuhkan keinginan berusaha agar dapat menciptakan
kemandirian usaha sehingga dapat hidup secara layak;
(6) Pendidikan non formal (Paket A,B,C) sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2)
huruf f Peraturan Daerah ini dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada pengamen
yang putus sekolah dan masih memiliki keinginan untuk memperoleh pendidikan formal;
(7) Pembinaan pola kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2)
huruf g Peraturan Daerah ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan kesempatan
bagi stakeholder baik secara individu, kelompok, lembaga, perusahaan dan masyarakat
untuk ikut berperan secara aktif dalam melaksanakan kegiatan pembinaan
pengembangan kewirausahaan dan bakat seni yang dimiliki pengamen;
65
(8) Pelatihan pengembangan bakat seni sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2)
huruf h Peraturan Daerah ini sebagai proses untuk melatih dan mengembangkan bakat
seni pengamen baik secara individu maupun kelompok dalam kegiatan klinik musik
dan/atau pertunjukan yang dapat dijadikan sebagai kompetisi untuk menambah wawasan,
kemampuan dan kualitas musik.
Pasal 33

(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan
Daerah ini bagi pengemis yang mengatasnamakan lembaga sosial atau panti asuhan
dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dan pengendalian kelembagaan yang
dilaksanakan berdasarkan standarisasi sistem pelayanan panti asuhan;
(2) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dilakukan
sebagai upaya, untuk :
a. Penyadaran Hukum;
b. Konfirmasi Kelembagaan;
c. Pembinaan Keluarga;
d. Pemulangan ke Daerah Asal.

Pasal 34

(1) Penyadaran hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (2) huruf a
Peraturan Daerah ini dilakukan oleh tim pokja bersama pengurus lembaga sosial atau
panti social untuk memberikan kesadaran hukum sehingga dapat memahami, mengerti
dan mengetahui bahwa aktifitas yang mereka lakukan merugikan dan meresahkan
masyarakat, dan/atau merupakan pelanggaran hukum berupa tindak penipuan yang
dapat di proses secara hukum berdasarkan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
(2) Konfirmasi kelembagaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (2) huruf b
Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh tim pokja bersama pengurus lembaga sosial
atau panti
asuhan yang merasa dirugikan untuk mengetahui keterlibatan lembaga sosial yang
merekomendasi aktivitas pengemis yang mengatas namakan lembaga sosial atau panti
asuhan;
(3) Pembinaan keluarga sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (2) huruf c
Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai upaya penguatan keluarga agar dapat terlibat
secara langsung untuk memberikan pembinaan dan pengarahan terhadap keluarganya
agar tidak lagi melakukan aktivitas mengemis yang mengatasnamakan lembaga sosial
atau panti asuhan;
(4) Pemulangan ke daerah asal sebagaimana dimaksud pada pasal 33 ayat (2) huruf d
Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai upaya untuk dapat kembali kelingkungan
keluarga, masyarakat dan daerah asal.
Bagian Ketiga
Eksploitasi Pasal 35

(1) Setiap orang dan/atau badan dengan alasan apapun di larang melakukan eksploitasi
dalam wilayah kota;

66
(2) Pelaku eksploitasi sebagai mana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dapat dilakukan
oleh kedua orang tua dan/atau orang lain. Untuk pelaku eksploitasi yang dilakukan
oleh kedua orang tua dapat dilakukan pembinaan dalam batas waktu tertentu,
sementara pelaku eksploitasi yang dilakukan oleh orang lain dilakukan pola
pengendalian melalui proses hukum sebagaimana ketentuan perundang-undangan
yang berlaku;
(3) Pemerintah Kota dan/atau anggota masyarakat berkewajiban melakukan usaha
pembinaan bagi pelaku eksploitasi atau yang dicurigai telah mengeksploitir anak
jalanan, gelandangan, pengemis, dan pengamen serta pengemis yang
mengatasnamakan lembaga sosial atau panti asuhan baik untuk tujuan ekonomi
maupun untuk dipekerjakan khususnya bagi anak dibawah umur;
(4) Bentuk usaha pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) pasal ini berupa
:
a. pembinaan dan penyuluhan yang berkaitan dengan undang-undang perlindungan
anak melalui perorangan maupun kelompok lewat media elektronik, rumah ibadah
maupun media cetak serta penyebar luasan informasi melalui brosur, pamplet, spanduk,
papan bicara dan dialog interaktif;
b. sosialisasi dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa
eksploitasi terhadap anak melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku;
c. melakukan pemantauan, pengamatan dan pengawasan sebagai upaya untuk
mengetahui pelaku eksploitasi atau yang dicurigai melakukan eksploitasi, selanjutnya
dilaporkan kepada
yang berwenang untuk ditindaklanjuti sesuai proses hukum yang berlaku;
Bagian Keempat
Pemberdayaan Pasal 36

(1) Pemberdayaan terhadap keluarga anak jalanan, keluarga gelandangan pengemis,


keluarga pengamen dan keluarga eks kusta dimaksudkan sebagai upaya untuk
melakukan kegiatan peningkatan kesejahteraan sosial;
(2) Keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah terdiri atas orang tua
kandung, saudara kandung, anak kandung, kakek dan nenek dan/atau walinya;
(3) Pemberdayaan keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah suatu
proses penguatan keluarga yang dilakukan secara terencana dan terarah melalui
kegiatan bimbingan dan pelatihan keterampilan;
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud ayat (3) pasal ini dilakukan oleh Dinas Sosial
dan/atau melibatkan lembaga sosial yang memiliki kegiatan usaha kesejahteraan sosial;
(5) Pemberdayaan keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan pendampingan yang dilaksanakan oleh Pekerja Sosial Profesional, Pekerja
Sosial Masyarakat (PSM), anggota lembaga sosial masyarakat yang telah mengikuti
bimbingan dan pelatihan pendampingan.

Pasal 37

Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 36 ayat (1) Peraturan


Daerah ini dilaksanakan melalui :
a. Pelatihan Keterampilan Berbasis Rumah Tangga;
b. Pelatihan Kewirausahaan;
c. Pemberian Bantuan Modal Usaha Ekonomis Produktif (UEP);

67
d. Pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE);
e. Pengembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Pasal 38
(1) Pelatihan keterampilan berbasis rumah tangga sebagaimana dimaksud pada pasal
37 huruf a Peraturan Daerah ini dilakukan untuk memberi pengetahuan dan keterampilan
yang disesuaikan dengan bakat dan minat serta lingkungan sosialnya, yang dilaksanakan
bekerja sama dengan lintas sektoral dan stake holder;
(2) Pelatihan kewirausahaan sebagaimana dimaksud pada pasal 37 huruf b Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk memberi pemahaman dan pengetahuan tentang prinsip-
prinsip usaha kecil dan menengah yang disesuaikan dengan keterampilan yang mereka
miliki dan berdasarkan kondisi lingkungan tempat mereka berdomisili sehingga mereka
dapat termotivasi untuk melakukan aktifitas usaha mandiri guna membantu penghasilan
keluarganya;
(3) Pemberian bantuan modal usaha ekonomis produktif (UEP) sebagaimana dimaksud
pada pasal 37 huruf c Peraturan Daerah ini dilakukan guna memberikan bantuan
stimulant berupa barang / bahan dagangan dan/atau modal usaha kecil sebagai modal
dasar dalam rangka membentuk dan memotivasi untuk menciptakan kemandirian
keluarga yang dilakukan secara perorangan;
(4) Pembentukan kelompok usaha bersama (KUBE) sebagaimana dimaksud pada pasal
37 huruf d Peraturan Daerah ini dimaksudkan untuk mengembangkan usaha ekonomis
produktif melalui pembinaan dalam bentuk pengelompokan keluarga yang memiliki jenis
usaha yang sama antara 5 sampai 10 keluarga;
(5) Pengembangan kelompok usaha bersama (KUBE) sebagaimana dimaksud pada
Pasal 37 huruf e Peraturan Daerah ini dimaksudkan untuk mengembangkan kelompok
usaha bersama yang berhasil melalui pendekatan pemberian modal usaha
pengembangan.
Bagian Kelima
Bimbingan Lanjut Pasal 39

(1) Bimbingan lanjut terhadap anak jalanan, gelandangan, pengemis, pengamen, eks
kusta dan keluarga yang telah mendapat pembinaan pencegahan, pembinaan lanjutan
dan usaha rehabilitasi sosial dilaksanakan untuk monitoring dan evaluasi hasil kinerja
secara terencana dan berkesinambungan;
(2) Bimbingan lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan melalui
kegiatan monitoring evaluasi dengan cara kunjungan rumah. Pasal 40
(1) Sasaran bimbingan lanjut, adalah :
- Anak Jalanan Usia Produktif;
- Anak Jalanan Usia Balita;
- Anak Jalanan Usia Sekolah;
- Gelandangan Psikotik;
- Gelandangan Usia Lanjut;
- Pengemis Usia Produktif;
- Pengemis Usia Lanjut;
- Pengemis Eks Kusta;
- Pengemis yang mengatasnamakan Lembaga Sosial atau Panti Asuhan; - Pengamen
yang beraktifitas di jalanan.
(2) Bimbingan lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini menjadi rujukan untuk
melakukan kegiatan pengembangan usaha dan pengembangan kemandirian.
Bagian Keenam

68
Partisipasi Masyarakat Pasal 41

(1) Masyarakat dapat berpartisipasi dalam melakukan pembinaan anak jalanan,


gelandangan, pengemis, eks kusta, pengamen dan keluarga;
(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan
dengan cara pembinaan pencegahan, pembinaan lanjutan dan rehabilitasi sosial;
(3) Partisipasi yang dilakukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
pasal ini berupa pembinaan terhadap anak jalanan, gelandangan, pengemis, eks kusta
dan pengamen serta pengemis yang mengatasnamakan lembaga sosial atau panti
asuhan untuk tidak melakukan kegiatan mengemis di tempat umum;
(4) Bentuk kegiatan dimaksud pada ayat (3) pasal ini adalah dengan cara tidak
membiasakan memberi uang atau barang kepada anak jalanan, gelandangan, pengemis,
eks kusta, pengamen yang beraktifitas di jalanan serta pengemis yang
mengatasnamakan lembaga sosial atau panti asuhan yang ada di tempat umum. Pasal
42
Masyarakat yang berkeinginan untuk berpartisipasi di dalam kegiatan pembinaan anak
jalanan, gelandangan, pengemis, eks kusta, pengamen serta pengemis yang
mengatasnamakan lembaga sosial atau panti asuhan dapat menyalurkan langsung
kepada panti sosial resmi yang ada dan/atau melalui rekening resmi Pemerintah.
BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 43

(1) Setiap pengguna jalan berhak dan berkewajiban untuk hidup damai, aman dan
tenteram tanpa ada tekanan;

69

Anda mungkin juga menyukai