KOTA MAKASSAR
Oleh:
SADDAM MUSMA
NIM : P0804216007
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
0
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang lahir
untuk dilindungi. Bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga
dibandingkan dengan harta benda yang lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah
Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat,
martabat, dan hakhak sebagai manusia yang diakui negara serta harus dijunjung
tinggi.1
Anak merupakan aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, anak
berperan sangat strategis sebagai succesor suatu bangsa. Dalam konteks ini, anak
adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh
intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang, dan berpartisipasi, secara
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan
1Irma Setyowati Sumitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara.
2Irma Setyowati Sumitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara.
1
anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan
penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak
memelihara hak asasi anak sesuai dengan kewajiban yang telah dibebankan oleh
tanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam
anak mulai tercatat semenjak tahun 1920-an, seusai Perang Dunia I dimana dalam
perang tersebut pihak yang paling banyak menjadi korban adalah perempuan dan
anak dimana pada masa itu perempuan dan anak-anak harus berlari, bersembunyi
terancam dan tertekan baik secara fisik maupun psikis ketika perang. Akibat dari
perang tersebut muncullah keprihatinan terhadap nasib anak melalui berbagai macam
Salah satu topik yang sering diperbincangkan dan penting untuk dilindungi
adalah mengenai hak-hak anak, terutama anak jalanan. Kementerian Sosial Republik
2
Indonesia menyatakan bahwa anak jalanan merupakan anak yang berumur di bawah
kehidupannya sehari-hari. Anak jalanan juga mempunyai hak-hak seperti anak yang
lain yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara serta memerlukan perhatian
terhadap hak-hak anak masih jauh dari harapan. Kondisi anak jalanan yang harus
diperoleh anak. Anak jalanan justru harus berada di jalanan ketika seharusnya
Anak jalanan termasuk dalam kategori anak terlantar atau anak tidak mampu
yang selayaknya mendapat pengasuhan dari negara. Sebagian besar anak jalanan
memang merupakan korban dari penelantaran orang tuanya. Langkah awal yang
harus disadari semua pihak dalam menghadapi anak jalanan bahwa anak jalanan
bagaimanapun kondisinya merupakan anak yang haknya dilindungi oleh hukum dan
negara.
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, Artinya pemerintah mempunyai
anak jalanan. Kemudian perlindungan spesifik hak anak sebagai bagian dari Hak
Asasi Manusia masuk dalam Pasal 28 B ayat (2) bahwa “ setiap anak berhak atas
mencantumkan tentang hak anak serta pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara dalam hal memberikan
Sebagai negara dan bangsa yang sadar akan masa depan, maka keputusan
perlindungan anak secara memadai. Dengan mengikatkan diri dalam Konvensi Hak-
melindungi, dan mewujudkan hak-hak anak. Selain itu, Pada 22 Oktober 2002,
tidak mengatur secara jelas hak-hak anak dan kurang memadai dalam memberikan
anak.8
anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban
penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau
mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran”. 9
Salah satu poin yang disebutkan dalam Pasal 59 bahwa pemerintah dan
8Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak DiIndonesia.
Bandung: Refika Aditama
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
9Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
5
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Perlindungan terhadap anak
dilakukan baik anak yang berkonflik dengan hukum maupun anak korban tindak
pidana. 10
Bentuk perlindungan khusus bagi anak yang berkonflik hukum yang dimaksud
bahwa perlindungan khusus bagi anak dilaksanakan melalui : a) perlakuan atas anak
secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b) penyediaan petugas
pendamping khusus anak sejak dini; c) penyediaan sarana dan prasarana khusus; d)
penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e)
dengan orang tua atau keluarga; dan g) perlindungan dari pemberitaan identitas
yang tinggal dan mencari nafkah di jalan di kota-kota besar di Indonesia pada tahun
1999. Namun mereka sendiri memperkirakan bahwa anak jalanan berjumlah jauh di
atas 50.000 anak. Banyak pihak yang juga menyakini bahwa jumlah anak jalanan
perkiraan mengenai jumlah anak jalanan yang ada berkisar antara 50.000-170.000
anak. Tahun 2010, jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai 200.000 anak dan
mengungkapkan jumlah anak jalanan sudah mencapai 4,1 juta (jawa pos, 2017). Ini
Mengenai anak terlantar banyak hal yang sebenarnya dapat diatasi seperti
adanya panti-panti yang khusus menangani masalah anak terlantar tetapi karena
kurangnya tenaga pelaksana dan minimnya dana yang diperoleh untuk mendukung
dengan baik. Tetapi sekarang semakin banyak yayasan - yayasan serta lembaga
swadaya masyarakat yang peduli terhadap anak melakukan berbagai kegiatan seperti
keliling yang bertujuan untuk menjadikan anak-anak terlantar menjadi orang yang
dituangkan dalam peraturan peraturan daerah , khusus di Kota Makassar diatur dalam
pengalokasian anak Anak jalanan. Namun apa yang terjadi saat ini, masih banyak
12Departemen Sosial RI. 2001. Intervensi Psikososial. Jakarta: Departemen Sosial. Hlm. 20
7
saat ini banyak kita temukan di jalan-jalan ibu kota Makassar. Untuk wilayah kotaKota
Makassar, berdasarkan data jumlah anak jalanan serta gelandangan berjumlah sekitar
42.986 orang (teropongsenayan.com, 2016). Hal ini didukung oleh Data dari Dinas
Sosial Kota Makassar, bahwa pada tahun 2016Dinsos tercatat mengamankan 798
Makassar tidak akan pernah bersih dari pengemis, anak jalanan (anjal), gepeng dan
Pengamatan langsung di lapangan, terlihat aktifitas anak jalanan dan pengemis paling
warung kopi di kawasan Boulevard. Mereka ada yang menggendong bocah untuk
Pergeseran nilai dan sikap anak–anak dan remaja telah terjadi dan seakan –
akan sulit dibendung. Hal ini disebabkan karena derasnya arus informasi yang cepat
tanpa batas dan juga masalah lingkungan keluarga dan masyarakat yang komitmennya
sudah mengalami penurunan terhadap penerapan nilai dan norma. Sebagai contoh
jumlah anak jalanan semakin meningkat dari tahun ke tahun, banyak hal yang menjadi
faktor pendorong ataupun penarik bagi seorang untuk terjun dan bergabung menjadi
Hampir di setiap jalan kita selalu melihat dan menyaksikan anak jalanan,
13undang-undangno 2 tahun 2008 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan
Pengamen Di Kota Makassar
8
gelandangan, dan pengamen yang memberikan citra buruk, selalu merusak keindahan
fenomena sosial yang spesifik baik bersumber dari dalam masyarakat maupun akibat
keberadaan anak jalanan, serta adanya pelaku eksploitasi, merupakan beban bagi
perlu ada kajian yang mendalam tentang Implementasi yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Daerah yang terkait dengan anak Jalanan Di Kota Makassar olehnya
itu penulis mengambil judul “implementasi program perlindungan bagi anak jalanan
di Kota Makassar”.
Makassar?
9
1.3. Tujuan penelitian
Makassar.
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan studi dan menjadi salah
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
semua pihak terkait khususnya pemerintah kota makassar sebagai dasar untuk
dihadapi.
3. Kegunaan metodologis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi
penelitian berikutnya.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
judul, fokus penulisan. Konsep-konsep ini menjadi landasan atau kerangka berpikir
dalam perumusan pelaksanaan studi, kajian, dan peneliatian yang akan dilaksanakan.
Sabatier (1979) sebagaiamana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008:
Dari pandangan kedua ahli diatas dapat dikatakan bahwa suatu proses
program yang telah ditetapkan serta menimbulkan ketaatan pada diri kelompok
dan social yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi
segala pihak yang terlibat, sekalipun dalam hal ini dampak yang diharapkan
Andi Syamsu Alam (2012) melihat suatu kebijakan memiliki sasaran yang
diinginkan yaitu efisien, efektif, kebersamaan keadilan dan berbagai nilai lainnya.
sama dengan pihak rakyat dikuasai dan diatur dan atau secara sepihak oleh
Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari
tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil
proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau
kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai
dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi
kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir
Van Meter dan Van Horn (Budi Winarno, 2002;102) membatasi implementasi
Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari
tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil
proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau
kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai
kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir
Nurdin dan Usman, 2004). Adapun Schubert (dalam Nurdin dan Usman, 2002:70)
variable, yaitu :
imlpementasi.
c). Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor.
15
aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek dari stuktur organisasi adalah
a). Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar dan sasaran kebijakan
manusia.
e). Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumberdaya
21Subarsono (2008;89)
16
mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini public yang ada di
e). Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang penting, yaitu respon
Perlindungan Anak,dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang
Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi
muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai
ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan. Oleh karena itu, agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab
tersebut maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia,
22(subarsono;2006;99)
17
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa
diskriminasi. 23
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam
bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat dipandang dari sisi
menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.
Anak diletakkan dalam advokasi dan hukum perlindungan anak menjadi objek
dan subjek yang utama dari proses legitimasi, generalisasi dalam sistematika dari
komprehensif. Namun, untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka
terdapat berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya definisi batasan
anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia 8 (delapan) tahun,
tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. Namun dalam
angka 1, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 bertentangan
dengan UUD 1945 serta menilai untuk melindungi hak konstitusional anak, perlu
menetapkan batas umur bagi anak yaitu batas minimal usia anak yang bisa
relatif sudah memiliki kecerdasan, emosional, mental dan intelektual yang stabil.
bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah
kawin.
sampai 15 tahun.
Sementara itu, mengacu pada konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (convention
on the right of the child), maka definisi anak: “anak adalah setiap manusia di bawah
umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan
dicapai lebih awal”. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
19
Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18
Perlindungan Anak yang dalam strata hukum diketegorikan sebagai lex specialist,
semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus disesuaikan, termasuk kebijakan
kumuh, dekil, liar, nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah,
pusat-pusat hiburan, keramaian atau terminal-terminal. Sosok anak jalanan hingga kini
tempat tinggal tetap, perangainya yang liar dan sering melakukan kejahatan dan
rendah.
sebagian waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-
20
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
mendefinisikan Anak Jalanan selanjutnya disebut Anjal adalah anak yang beraktifitas di
Anak jalanan atau sering disingkat anjal menjadi sebuah istilah umum yang
mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih
memiliki hubungan dengan keluarganya. Sampai saat ini belum ada pengertian anak
kategori: 27
26Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,
Gelandangan, Pengemis, dan Pengamen di Kota Makassar
27Bagong Suyanto dan Sri Sanituti Hariadi. 2002. Krisis dan Child Abuse,Surabaya:Airlangga
University Press
21
a. Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya;
c. Mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orang tua/ saudara, umumnya
di daerah kumuh;
sepatu, dll.
c. Masih bersekolah;
22
2.4.1. Defenisi Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak adalah hak yang timbul pada anak
setiap kehidupannya dari negara. Dengan demikian hak tersebut menimbulkan suatu
kewajiban yang harus dipenuhi oleh Negara melalui perangkatnya yang bernama
Teknis Pelaksanaan Penyantunan dan pengentasan Anak Melalui Panti Asuhan, maka
fungsi dari perlindungan hukum adalah untuk menghindari anak dari keterlambatan,
perlakuan kejam, dan eksploitasi oleh orang tua. Fungsi ini juga diserahkan kepada
Hal diatas harus dibedakan dengan istilah perlindungan anak karena hal ini tidak
1) Perlindungan anak adalah segala daya dan upaya yang dilakukan secara sadar
oleh setiap orang maupun lembaga pemerintahan dan swasta yang bertujuan
28Irma Setyowati Sumitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara.
23
mental, dan sosial anak dan remaja yang sosial anak dan remaja yang sesuai
2) Perlindungan anak adalah segala daya upaya bersama yang dilakukan secara
jasmaniah anak berusia 0-21 tahun , tidak dan belum pernah menikah, sesuai
seoptimal mungkin.
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orang tua, keluarga,
31Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di
Indonesia. Bandung: Refika Aditama
32UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002
24
Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat
sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan
yang melindungi. Tidak ada keresahan pada anak karena perlindungan anak
masyarakat, pemerintah, dan negara. Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan
a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum
anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);
memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang secara
25
umum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24).
Kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orangtua dalam usaha perlindungan anak
Perlindungan Anak
bentuk konkritisasi dari pelaksanaan Konvensi Hak-Hak anak yang telah diratifikasi
Rights Of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak/KHA), maka sejak Tahun 1990
termaktub di dalam konvensi Hak-Hak Anak. Sementara itu, hak-hak anak secara
26
umum terdapat dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23
1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
orang tua.
4. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
bakatnya.
7. khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar
kepatutan.
9. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan
10. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
11. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
12. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
terakhir.
15. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
28
16. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
dewasa, Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, Membela diri dan memperoleh
keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam
18. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
19. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana
dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik hukum dan anak korban
masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana
29
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-
hak anak;
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
menghindari liberalisasi.
(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
Berikut beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan anak jalanan yang
pernah dilaksanakan
30
Tabel 1
Penelitian Terdahulu
31
keluarga, dan selain hidup di
lingkungan anak jalanan juga
bergaul dengan lingkungan balapan
motor.
Rochatun, Isti. “Eksploitasi Tujuan penelitian ini Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Anak Jalanan adalah (1) untuk (1) Ada tiga hal yang melatar belakangi
Sebagai mengetahui eksploitasi terjadinya eksploitasi terhadap anak
Pengemis Di terhadap anak jalanan jalanan d kawasan Simpang Lima
Kawasan sebagai pengemis di Semarang yakni: Ekonomi keluarga
Simpang Lima kawasan Simpang yang rendah (kemiskinan), komunitas
Semarang Lima Semarang. (2) dan pengaruh lingkungan dan
mengetahui bentuk keretakan dan kekerasan kehidupan
eksploitasi terhadap rumah tangga orang tua. (2) Bentuk
anak jalanan di eksploitasi anak jalanan di kawasan
kawasan Simpang Simpang Lima Semarang adalah yang
Lima Semarang. (3) dilakukan oleh orang tua dan yang
mengetahui dampak dilakukan oleh preman. (3) Dampak
eksploitasi anak terjadinya eksploitasi terhadap anak
terhadap anak jalanan dapat meliputi bebrapa hal yakni:
dan masyarakat di bidang ekonomi, kesehatan, psikologis
kawasan Simpang dan pendidikan sedangkan danpak
Lima Semarang eksploitasi bagi masyarakat meliputi:
membuat resah pengguna jalan,
mengaggu ketertiban lalu lintas dan
membuat resah masyarakat.
wewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan untuk kepentingan orang banyak
masyarakatnya dan sebagainya. Dapat dikatakan menjadi suatu negara bila terdapat
wilayah, rakyat dan pemerintahan. Sebagaimana instusi politik lainya, Negara adalah
maka kebijakan yang dibahas adalah kebijakan pemerintah atau kebijakan publik.
Konsep kebijakan publik (public policy) menurut Affan Suhaiman (1998:24) adalah
Sebagai suatu proses yang mengandung berbagai pola aktivitas tertentu dan
32
merupakan seperangkat keputusan yang bersangkutan dengan tindakan untuk
mencapai tujuan dalam beberapa cara yang khusus. Dengan demikian, maka konsep
kepada kepentingan umum dan masa depan serta strategi pemecahan masalah yang
terbaik.35
Kbijakan yang tersususn secara baik tentu memrlukan waktu untuk berkembang dan
b. Bersifat konsisten dan tidak boleh ada dua kebijakan yang saling bertentangan
yang obyektif.
33
Dengan demikian disamping kebijakan tersebut perlu tersusun dengan baik,
adapula beberapa faktor yang dapat turut memperbaiki kualitas suatu kebijakan adalah
a. Jangan didasarkan pada selera seketika (whims) tetapi harus melalui proses
kebijakan.
Pada dasarnya rumusan kebijakan memang harus bersifat obyektif baik sebagai
dasar analisisnya maupun kondisi kebutuhan masyarakat atau obyek yang akan
terkcna dapak kebijakan yang akan diambil serta dapat memudahkan penentu
kebijakan untuk mengadakan revisi atau perbaikan, jika ternyata pelaksanaannya tidak
provide the means for cariying but": (menimbulkan dampak / akibat terhadap sesuatu).
Kalau pandangan ini kita ikuti, maka implementasi daripada kebijakan dapal dipandang
mengenai makna implementasi yaitu Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah
tertentu dengan arena-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu, J.A.M. Maarse
tersebut adalah suatu tindakan yang sah atau implementasi suatu rencana peruntukan.
Dengan demikian pelaksanaan kebijakan dapat melibatkan penjabaran lebih lanjut dari
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan tersebut oleh pejabat atau instansi pelaksana
Oleh karena itu secara umum, terdapat beberapa keadaan yang perlu
35
sebagaimana dikemukakan oleh Pressman dan Wildavsky (dalam Ilamdi, 1999:55)
sebagai berikut:41
kebijakan.
c. Adanya keterampilan teknis dan manajerial yang memadai di unit-unit kerja yang
melaksanakan kebijakan.
pemerintah dan faktor dari luar (ekstern). Disamping memperhatikan faktor intern dan
ekstern organisasi maka ada beberapa model yang dikembangkan oleh Rippley dan
Franklin (1986 :89) yang antara lain menyatakan bahwa keberhasilan dari implementasi
kebijakan atau suatu program itu adalah ditujukan dari tiga faktor seperti :42
persoalan
41 Ilamdi, 1999:55
42Rippley dan Franklin (1986 :89)
36
c. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan
prosedur yang ada, maka diharapkan akan menghasilkan kebijakan yang tepat pada
Gambar 1
Proses implementasi kebijakan publik
Dari skema tersebut terlihat bahwa proses implementasi dimulai dengan suatu
kebijakan yang harus dilaksanakan. Hasil proses implementasi terdiri dari hasil
kebijakan yang segera atau disebut sebagai “policy performance”. Secara konkrit antara
lain dapat kita lihat jumlah dan isi barang dan jasa yang dihasilkan pemerintah dalam
37
sebagai hasil akhir kebijakan yang disebut juga sebagai “policy outcome” atau “policy
impact”. Dengan sendirinya di dalam hasil akhir kebijakan termasuk juga hasilhasil
tentang tentang implementasi pengololaan anak jalanan ini adalah teori yang
dikemukakan oleh George C. Edwards III. Dimana implementasi dapat dimulai dari
kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi
kebijakan dapat berhasil, menurut George C. Edwards III ada empat variabel dalam
faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang
lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuan kita adalah meningkatkan pemahaman
prinsip. Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi
interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga
38
a.Komunikasi
tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu
mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam
organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa
itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda
Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus
mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para
mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor
kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan
tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para
b. Sumberdaya
39
untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya.
Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi
serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan
secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika
jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan
skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya
energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini
membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-
kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara
yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada
40
tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan
seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil
sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan
maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka
penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana
kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan
mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
41
Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas
demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan
insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total
d. Struktur Birokrasi
hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam
menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van Meter menunjukkan beberapa unsur yang
maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif
42
6. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat
implementor mengetahui apa yang harus dilakukan , implementasi masih gagal apabila
Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum
Pemerintah dalam hal ini adalah yang membuat dan melaksanakan peraturan
pengaturan berkenaan dengan nilai dasar yang dijelaskan pada konsep tetang
masarakat yaitu mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Yang pertama mengenai
tugas pengaturan, jika yang bertugas mengatur adalah pemerintah maka yang diatur
adalah yang-diperintah dalam hal ini masyarakat. Berarti pemerintah memiliki hak
untuk mengatur dan masyarakat memiliki kewajiban untuk diatur. hal ini terkait dengan
43
adalah segala upaya atau kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
pengamen dan keluarganya supaya dapat hidup dan mencari nafkah dengan tetap
kesejahteraan masyarakat, maka dari itu pemerintah Kota Makassar melalui Peraturan
Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2008 tentang pembinaan anak jalanan
miskin kota yang di kelompokan sebagai anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan
pengamen yang berada di Kota Makassar. Sekarang yang dilakukan oleh Pemerintah
sosial.
secara terencana dan terarah sesuai dengan keterampilan yang dimiliki tiap
44
d. Bimbingan lanjut yaitu salah satu cara pembinaan yang dilakukan melalui
memintaminta.
kebijakan dapat berjalan efektif tentu dipengaruhi oleh bebrapa faktor. Di dalam teori
Edward III, mengungkap kan 4 faktor utama dalam mempengaruhi suatu kebijakan
public, yaitu : (1) Sumber daya manusia, (2) anggaran, (3) disposisi, (4) struktur
birokrasi.
adalah:
45
Gambar 2.
Kerangka Konseptual
PEMBINAAN ANAK
JALANAN
Program pembinaan Faktor yang mempengaruhi
mengurangi Kebijakan
eksploitasi Sumber daya manusia
melakukan anggaran
pemberdayaan disposisi
terhadap anak struktur birokrasi
jalanan
bimbingan lanjutan
partisipasi
masyarakat
46
BAB III
METODE PENELITIAN
instansi yaitu, Dinas Sosial Kota Makassar, Lembaga Perlindungan Anak di Kota
Makassar, dan Panti Sosial. Alasan dipilihnya tempat tersebut sebagai lokasi penelitian
adalah karena dari instansi tersebut penulis dapat mencari data dan informasi yang
Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu
47
3.3. Objek dan Informan Penelitian
Objek penelitian yang akan diteliti adalah Dinas Sosial Kota Makassar dan
objek ini atas pertimbangan bahwa objek tersebut merupakan lembaga yang
bertanggung jawab dalam hal berhasil tidaknya pembinaan anak jalanan yang ada
berikut:
pengumpulan data yang lebih banyak bergantung kepada peneliti sendiri sebagai
pengumpul data.
3.4.1. Wawancara
48
permasalahan yang diteliti baik dari sisi akitivitas (activity) maupun orang-orang
3.4.2. Observasi
kenyataan dan fakta sosial di sehingga dapat dicocokkan antara hasil wawancara
atau informasi dari informan dengan fakta yang ada lapangan baik daria aspek
temuan dan kesimpulan analisis dengan menggunakan desain studi kasus. Setelah
yang dijelaskan Miles dan Huberman (1992) yang terdiri dari beberapa tahapan
antara lain:
49
1. Reduksi data ‘data reduction’ yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
lapangan selama meneliti tujuan diadakan transkrip data (transformasi data) untuk
memilih informasi mana yang dianggap sesuai dengan masalah yang menjadi pusat
penelitian dilapangan.
2. Uji Confirmability, Uji confirmability berarti menguji hasil penelitian. Bila hasil
penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian
3. Pada tahap akhir adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi ‘conclution drawing/
verification’, yang mencari arti pola-pola penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur
sebab akibat dan proposisi. penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan
maka penulis memberikan beberapa batasan penelitian, dan fokus penelitian ini
50
2) Kebijakan adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah mutlak
hukum.
pemerintah daerah untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan wajib
dilaksanakan.
tertentu
5) Defenisi anak jalanan. Pada mulanya ada dua kategori anak jalanan, yaitu
atau sering disebut juga children from families of the street. Pengertian untuk
dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan
51
sentiasa pulang ke rumah setiap hari, dan anak-anak yang melakukan
hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan
jadwal yang tidak rutin. Children of the street adalah anak-anak yang
keluarganya. Children in the street atau children from the families of the street
berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak
umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa dan
52
miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian
stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg
seni melalui suatu proses latihan dengan menampilkan karya seni, yang
dapat didengar dan dinikmati oleh orang lain, sehingga orang lain merasa
terhibur yang kemudian orang lain memberikan jasa atau imbalan atas
ikhlas;
rehabilitasi sosial.
anak jalanan.
d) Bimbingan lanjut yaitu salah satu cara pembinaan yang dilakukan melalui
minta.
54
DAFTAR PUSTAKA
Bagong Suyanto dan Sri Sanituti Hariadi. 2002. Krisis dan Child Abuse,
Surabaya:Airlangga University Press
Badan Pusat Statistik. 2017. Makassar dalam angka tahun 2017. BPS
Departemen Sosial RI. 2001. Intervensi Psikososial. Jakarta: Departemen Sosial. Hlm.
20
Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Anak Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama
55
Romli Atmasasmita. 1983. Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja. Bandung: Armico
Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made
Martini Tinduk. 2003. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile
Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia
Syamsu Alam, Andi. 2012. Studi Analisa Kebijakan. Bandung: Refika Aditama
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
56
LAMPIRAN
1
PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR
Nomor 2 Tahun 2008
TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, PENGEMIS DAN
PENGAMEN DI KOTA MAKASSAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA MAKASSAR,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjunjung tinggi nilainilai keadilan, ketertiban dan
kemanfaatan sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun
1945, maka dipandang perlu dilakukan pembinaan terhadap anak jalanan,gelandangan,
pengemis dan pengamenagar mereka dapat menjadi warga Kota Makassar yang lebih
bermartabat;
b. bahwa mengingat keberadaan anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen
cenderung membahayakan dirinya sendiri dan/atau orang lain danketentraman di tempat
umum sertamemungkinkan mereka menjadi sasaran eksploitasi dan tindak kekerasan,
sehinggaperlu segera dilakukan penanganan secara konfrehensif, terpadu dan
berkesinambungan;
c. bahwa pengaturan pembinaan anak Jalanan, gelandangan, pengemis dan
pengamen yang ada tidak memadai lagi sehingga dipandang perlu membentuk Peraturan
Daerah; Pembinaan
Paragraf Satu Pembinaan Pencegahan Pasal 6
57
Pasal 7
(1) Pendataan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) huruf a Peraturan Daerah
ini dilakukan untuk memperoleh data yang benar tentang klasifikasi antara anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen;(2) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pasal ini dilakukan oleh para pihak yang terlibat untuk pelaksanaan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 6 ayat
(2) huruf a Peraturan Daerah ini dengan menyiapkan instrument pendataan yang
memuat tentang nama, alamat, daftar keluarga, kondisi tempat tinggal, latar belakang
kehidupan sosial ekonomi, asal daerah, pekerjaan, status keluarga dan permasalahan
pokok yang dihadapi;
(3) Pihak yang dimaksud ayat (2) pasal ini adalah Dinas Sosial dan/atau bekerja sama
dengan instansi terkait serta lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pasal 8
(1) Pemantauan, pengendalian dan pengawasan terhadap sumber - sumber atau
penyebab munculnya anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen sebagaimana
dimaksud dalam pada Pasal 6 ayat (2) huruf b Peraturan Daerah ini dilakukan dengan
cara :
a. melakukan patroli di tempat umum yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Makassar;
b. memberikan informasi tentang keberadaan anak jalanan, gelandangan pengemis dan
pengamen yang melakukan aktifitas di tempat umum, secara perseorangan, keluarga
maupun secara berkelompok.
(2) Pemantauan, pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini dilakukan oleh Dinas Sosial dan/atau bekerja sama dengan instansi terkait serta
unsure masyarakat.
Pasal 9
(1) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) huruf c Peraturan Daerah ini
yang dilakukan oleh instansi terkait, meliputi : a. sosialisasi secara langsung;
b. sosialisasi secara tidak langsung.
(2) Sosialisasi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini
dilakukan oleh Dinas Sosial dan instansi terkait dan dapat bekerja sama dengan
kelompok, organisasi sosial (Orsos) melalui kegiatan interaktif dan ceramah;
(3) Sosialisasi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b pasal
ini dapat melalui media cetak maupun media elektronik; (4) Sosialisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), (2),dan
(3) pasal ini ditujukan kepada perseorangan, keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat,
organisasi sosial (Orsos) dan instansi terkait.
Pasal 10
(1) Kampanye sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) huruf d Peraturan Daerah
ini untuk mengajak dan mempengaruhi seseorang atau kelompok untuk ikut
melaksanakan kegiatan pembinaan dan pengendalian terhadap anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen;
(2) Kampanye dilakukan melalui kegiatan yang mengikutsertakan kelompok-kelompok
masyarakat tertentu baik dalam bentuk pertunjukan, pertandingan, lomba, orasi,
pemasangan rambu-rambu tentang larangan memberi uang di jalanan;
58
(3) Kegiatan kampanye dapat dilakukan bekerja sama dengan stakeholder yang memiliki
kepedulian yang tidak mengikat;
(4) Tata cara melakukan kerja sama dengan stake holder dan/atau pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini, pasal 21 ayat (5) dan pasal 32 ayat (7)
Peraturan Daerah ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
Paragraf Dua Pembinaan Lanjutan Pasal 11
(1) Pembinaan lanjutan dilakukan terhadap anak jalanan, gelandangan pengemis dan
pengamen sebagai upaya meminimalkan atau membebaskan tempat - tempat umum
dari anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen.
(2) Pembinaan Lanjutan dilakukan dengan cara :
a. Perlindungan;
b. Pengendalian Sewaktu-waktu;
c. Penampungan Sementara;
d. Pendekatan Awal;
e. Pengungkapan dan Pemahaman Masalah (assesment);
f. Pendampingan Sosial;
g. Rujukan.
Pasal 12
(1) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) huruf a Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk menghalangi anak jalanan, gelandangan, pengemis dan
pengamen untuk tidak turun di jalanan dengan cara melakukan posko yang berbasis di
jalanan (in the street) dan tempat umum pada titik-titik rawan dimana anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen sering melakukan aktifitasnya;
(2) Pelaksanaan posko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan oleh
Dinas Sosial bekerja sama dengan unsur Satuan Polisi Pamong Praja, unsur POLRI dan
atau unsur instansi terkait, unsur mahasiswa, lembaga social masyarakat (LSM);
(3) Pelaksanaan posko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini dilakukan
kegiatan kampanye dan kegiatan sosialisasi;
(4) Pelaksanaan Posko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini tidak dilakukan
tindakan penangkapan akan tetapi dilakukan tindakan pengungkapan masalah
berdasarkan situasi dan kondisi pada saat dilakukan kegiatan posko tersebut.
Pasal 13
(1) Pengendalian sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) huruf b
Peraturan Daerah ini dilakukan oleh tim terpadu terdiri dari Dinas Sosial, unsur Satpol PP
dan
dapat dengan unsur POLRI;
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah kegiatan yang
dilakukan secara koordinatif dengan instansi terkait terhadap anak Jalanan, gelandangan,
pengemis dan pengamen serta kelompok atau perorangan yang mengatasnamakan
lembaga sosial dan/atau panti asuhan yang melakukan aktivitas di tempat umum;
(3) Pengendalian sewaktu-waktu dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap anak
jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen serta kelompok atau perorangan yang
mengatasnamakan lembaga sosial dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia,
perlindungan anak dan tujuan pembinaan.
59
Pasal 14
(1) Penampungan sementara sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) huruf c
Peraturan Daerah ini dilakukan pembinaan yang dilakukan dengan sistem panti social
pemerintah dalam waktu maksimal 10 hari, bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan sebagai pemilik panti sosial pemerintah yang dimaksud;
(2) Penampungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pasal ini dilakukan dalam rangka pembinaan yang meliputi bimbingan sosial,
bimbingan mental spiritual, bimbingan hukum dan permainan adaptasi social (outbound);
(3) Selama dalam penampungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal
ini, Dinas Sosial bersama unsur instansi terkait yang tergabung dalam tim pokja
melindungi dan menjamin hak asasi anak yang bersangkutan, perlindungan anak dan
tujuan pembinaan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 15
(1) Pendekatan awal melalui identifikasi dan seleksi terhadap anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2)
huruf d Peraturan Daerah ini dilakukan untuk menyeleksi berdasarkan indikator yang
meliputi identitas diri, latar belakang pendidikan, status sosial dan permasalahan
lingkungan sosial anak yang bersangkutan;
(2) Identifikasi dan seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini digunakan
sebagai landasan untuk menentukan tahapan proses pembinaan selanjutnya. Pasal 16
(1) Pengungkapan dan pemahaman masalah (assesment) sebagaimana dimaksud pada
Pasal 11 ayat (2) huruf e Peraturan Daerah ini, dilakukan untuk memahami dan
mendalami masalah yang dihadapi dan untuk pemenuhan kebutuhan anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen;
(2) Masalah dan kebutuhan sebagaimana dimaksud pasal ini di bahas untuk selanjutnya
dilakukan pembinaan sesuai potensi dan bakatnya masing-masing;
(3) Pengungkapan dan pemahaman masalah (assesment) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pasal ini, dijadikan sebagai file permanen bagi setiap anak jalanan, gelandangan,
pengemis dan pengamen. File tersebut akan digunakan untuk pemantauan dan
pembinaan selanjutnya;
(4) Pengungkapan dan pemahaman masalah (assesment) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) pasal ini dilakukan dengan studi kasus berdasarkan data yang diperoleh dan
temu bahas (case conference).
Pasal 17
(1) Pendampingan Sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) huruf f
Peraturan Daerah ini dilakukan melalui bimbingan individual terhadap anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen serta keluarganya secara rutin dan
berkesinambungan;
(2) Pendampingan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dapat dilakukan
oleh pekerja sosial pemerintah maupun pekerja sosial swasta dan/atau lembaga social
masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap penerima pelayanan.
Pasal 18
Rujukan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) huruf g Peraturan Daerah ini
meliputi pelayanan kesehatan secara gratis, memfasilitasi untuk mengikuti pendidikan
formal dan non formal, pengembalian bersyarat, pembinaan rehabilitasi sosial melalui
sistem dalam panti, rumah sakit jiwa bagi penyandang psikotik, rumah sakit kusta,
60
pendampingan hukum, perlindungan khusus serta di proses secara hukum sesuai
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 19
(1) Untuk memantapkan taraf kesejahteraan sosial penerima pelayanan agar mereka
mampu melakukan kembali fungsi sosialnya dalam tata kehidupan bermasyarakat
maka harus diadakan rehabilitasi sosial;
(2) Sasaran usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini
adalah :
- Anak Jalanan Usia Produktif;
- Anak Jalanan Usia Balita;
- Anak Jalanan Usia Sekolah;
- Gelandangan Psikotik;
- Gelandangan Usia Lanjut;
- Pengemis Usia Produktif;
- Pengemis Usia Lanjut;
- Pengemis Eks Kusta
- Pengemis yang mengatasnamakan Lembaga Sosial atau Panti Asuhan; - Pengamen
yang beraktifitas di jalanan.
(3) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini
dilakukan melalui sistem panti dan/atau luar panti.
Pasal 20
Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan
Daerah ini bagi anak jalanan usia produktif, dengan jenis kegiatan, yaitu : a. Bimbingan
Mental Spiritual;
b. Bimbingan Fisik;
c. Bimbingan Sosial;
d. Bimbingan dan Pelatihan Keterampilan;
e. Bantuan Stimulans Peralatan Kerja;
f. Penempatan.
Pasal 21
(1) Bimbingan mental spiritual sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf a Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk membentuk sikap dan perilaku seseorang maupun kelompok
sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat yang meliputi bimbingan keagamaan,
bimbingan budi pekerti dan bimbingan norma-norma kehidupan;
(2) Bimbingan fisik sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf b Peraturan Daerah ini
meliputi kegiatan olah raga dan pemeriksaan kesehatan;
(3) Bimbingan sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf c Peraturan Daerah
ini sebagai upaya untuk memberikan motivasi dan menumbuh kembangkan kesadaran
dan tanggung jawab sosial dalam membantu memecahkan permasalahan sosial baik
perorangan maupun secara berkelompok;
(4) Bimbingan dan pelatihan keterampilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf
d Peraturan Daerah ini disesuaikan dengan kemampuan bakat individu dengan
61
kebutuhan pasar kerja sebagai upaya dan bekal yang dapat digunakan untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak serta menciptakan kemandirian individu;
(5) Bimbingan dan pelatihan keterampilan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
pasal ini dilakukan di dalam panti rehabilitasi sosial dan/atau dilaksanakan dalam bentuk
kerja sama (kemitraan) dengan instansi terkait dan/atau stake holder;
(6) Bantuan stimulans peralatan kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf e
Peraturan Daerah ini sebagai motivasi untuk mengembangkan usaha yang dimiliki sesuai
dengan jenis keterampilan yang diperoleh;
(7) Penempatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 huruf f Peraturan Daerah ini
dilakukan untuk memfasilitasi penerima pelayanan yang memiliki keterampilan untuk
meperoleh kesempatan kerja yang dapat menciptakan penghasilan pada tempat yang
layak agar dapat hidup mandiri dan/atau kembali ke keluarga dan masyarakat. Pasal 22
(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan
Daerah ini bagi anak jalanan usia balita, dilakukan melalui pendekatan pembinaan dalam
keluarga berupa pendampingan dan pemberian makanan tambahan;
(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini melakukan kegiatan
Pendidikan Pra Sekolah yang mencakup permainan anak, pengembangan bakat dan
minat; (3) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini dilaksanakan
oleh pekerja sosial profesional, pekerja sosial masyarakat, anggota lembaga sosial
masyarakat dan anggota karang taruna yang telah mengikuti bimbingan dan pelatihan
pendampingan. Pasal 23
Jenis usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada pada Pasal 19 ayat (2)
Peraturan Daerah ini bagi anak jalanan usia sekolah, meliputi :
a. Bimbingan Mental Spiritual;
b. Bimbingan Fisik;
c. Bimbingan Sosial;
d. Bimbingan Pra Sekolah;
e. Bantuan Stimulans Beasiswa dan Peralatan Sekolah;
f. Penempatan.
Pasal 24
(1) Bimbingan mental spiritual sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf a Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk membentuk sikap dan perilaku anak, agar berkeinginan
sekolah atau kembali ke bangku sekolah formal melalui bimbingan keagamaan,
bimbingan budi pekerti dilakukan oleh Pendamping;
(2) Bimbingan fisik sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf b Peraturan Daerah ini
meliputi kegiatan olah raga dan pemeriksaan kesehatan;
(3) Bimbingan sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf c Peraturan Daerah
ini sebagai upaya untuk memberikan motivasi dan menumbuh kembangkan kesadaran
dan kemandirian untuk membantu memecahkan permasalahannya sendiri;
(4) Bimbingan Pra Sekolah sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf d Peraturan
Daerah ini dilakukan pendalaman terhadap kemampuan individu sebagai upaya untuk
mempersiapkan penerima pelayanan memasuki dunia pendidikan formal yang lebih
terarah, terbina dan pengenalan kondisi situasi sekolah serta memberikan pemahaman
dan pengertian pada matapelajaran sekolah sesuai dengan strata sekolah yang dilakukan
oleh instansi terkait, pendamping dan stakeholder;
(5) Bantuan stimulans beasiswa dan peralatan sekolah sebagaimana dimaksud pada
Pasal 23 huruf e Peraturan Daerah ini sebagai motivasi belajar dan meringankan beban
keluarga penerima pelayanan;
62
(6) Bantuan stimulans sebagaimana dimaksud ayat (5) pasal ini akan dilaksanakan
dalam bentuk kerja sama (kemitraan) dengan dinas terkait dan/atau stake holder;
(7) Penempatan sebagaimana dimaksud Pasal pada 23 huruf f Peraturan Daerah ini
meliputi kegiatan pengembalian ke keluarga dan/atau difasilitasi untuk memperoleh
kesempatan mengikuti pendidikan formal dan non formal sebagai berikut:
a. pendidikan formal dilakukan berdasarkan strata sekolah dengan pertimbangan usia
anak dan lokasi sekolah yang dekat dengan alamat rumah;
b. pendidikan non formal dimaksudkan untuk memfasilitasi anak putus sekolah dengan
mempertimbangkan usia anak yang akan dirujuk untuk memasuki program paket A,B dan
C. Pasal 25
(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat
(2) Peraturan Daerah ini bagi gelandangan psikotik dimaksudkan untuk
mengembalikan fungsi sosialnya dengan merujuk ke rumah sakit jiwa,
dikembalikan kepada keluarga atau ke daerah asal yang dilaksanakan
dalam bentuk kerja sama (kemitraan) dengan instansi terkait dan atau stake
holder.
(2) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini
sebagai berikut:
a. merujuk kerumah sakit jiwa dalam upaya penyembuhan;
b. mengembalikan kepada pihak keluarga atau ke daerah asal yang telah
dinyatakan sehat dari rumah sakit bersangkutan. Pasal 26
(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan
Daerah ini bagi gelandangan usia lanjut dan pengemis usia lanjut dimaksudkan untuk
memperoleh penghidupan dan kehidupan yang layak;
(2) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini dilakukan
melalui upaya :
a. pembinaan keluarga;
b. rujukan.
(3) Pembinaan keluarga sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf a Pasal ini dilakukan
melalui bimbingan dan motivasi agar tumbuh kesadaran dan percaya diri untuk tidak
melakukan kegiatan sebagai gelandangan dan pengemis;
(4) Rujukan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b Pasal ini adalah ke panti jompo;
(5) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud ayat (1), (2), (3) dan (4) pasal ini
dilakukan oleh Dinas Sosial, instansi terkait dan panti jompo. Pasal 27
(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat
(2) Peraturan Daerah ini bagi pengemis usia produktif dilakukan untuk
memperoleh penghidupan dan kehidupan yang layak dan bermartabat.
(2) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini
dilakukan melalui upaya :
a. Bimbingan Mental Spiritual;
b. Bimbingan Sosial;
c. Pelatihan Keterampilan dan Kewirausahaan;
d. Bantuan Stimulans Peralatan Kerja dan/atau Modal Usaha;
e. Pengembalian dan atau Pemulangan ke Daerah Asal.
Pasal 28
(1) Bimbingan mental spiritual sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (2) huruf a
Peraturan Daerah ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, sikap dan perilaku bagi
pengemis usia produktif agar tidak melakukan aktifitas mengemis di tempat umum; (2)
63
Bimbingan sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (2) huruf b Peraturan
Daerah ini sebagai upaya untuk memberikan motivasi dan menumbuhkembangkan
kesadaran dan kemandirian untuk membantu memecahkan permasalahannya sendiri; (3)
Pelatihan keterampilan dan kewirausahaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat
(2) huruf c Peraturan Daerah ini dilakukan untuk memberikan pengetahuan dan
keterampilan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sosial dimana berdomisili;
(4) Bantuan stimulans peralatan kerja dan atau modal usaha sebagaimana dimaksud
pada Pasal 27 ayat (2) huruf d Peraturan Daerah ini diberikan kepada pengemis usia
produktif yang telah mengikuti kegiatan pelatihan dan disesuaikan dengan keterampilan
yang dimiliki untuk menumbuhkembangkan kemandirian usaha sehingga dapat hidup
secara layak dan bermartabat;
(5) Bantuan stimulans modal usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (2)
huruf d Peraturan Daerah ini diberikan kepada pengemis usia produktif berupa modal
usaha yang disesuaikan dengan jenis usaha ekonomis produktif dan keterampilan yang
dimiliki; (6) Pengembalian dan atau pemulangan ke daerah asal sebagaimana dimaksud
pada Pasal 27 ayat (2) huruf e Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai upaya untuk
dapat kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat yang dilaksanakan oleh petugas
Dinas Sosial dan atau Satpol PP.
Pasal 29
(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan
Daerah ini bagi pengemis eks kusta dilakukan agar yang bersangkutan memperoleh
penghidupan dan kehidupan yang layak;
(2) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan
melalui upaya :
a. bimbingan mental spiritual;
b. bimbingan sosial ;
c. bimbingan hukum;
d.pelatihan keterampilan dan kewirausahaan untuk keluarga;
e. bantuan stimulans untuk keluarga;
f. pengembalian dan/atau pemulangan ke daerah asal. Pasal 30
(1) Bimbingan mental spiritual sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 ayat (2) huruf a
Peraturan Daerah ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, sikap dan perilaku
bagi eks kusta agar tidak melakukan aktifitas mengemis di tempat umum;
(2) Bimbingan sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 ayat (2) huruf b Peraturan
Daerah ini sebagai upaya untuk memberikan motivasi kepada penerima pelayanan
agar tidak melakukan aktifitas mengemis di tempat umum;
(3) Bimbingan hukum sebagaimana dimaksud pada pasal 29 ayat (2) huruf c Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran hukum dan dapat mengetahui
bahwa keberadaan mereka mengemis di tempat umum mengganggu ketertiban
umum;
(4) Pelatihan keterampilan dan kewirausahaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 29
ayat (2) huruf d Peraturan Daerah ini dilakukan untuk memberi pengetahuan dan
keterampilan sesuai kemampuan yang mereka miliki kepada keluarga eks kusta yang
memiliki anggota keluarga usia produktif;
(5) Bantuan stimulans sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 ayat (2) huruf e Peraturan
Daerah ini diberikan kepada keluarga eks kusta yang telah mengikuti kegiatan pelatihan,
dilakukan untuk menumbuhkan keinginan berusaha agar dapat menciptakan kemandirian
usaha sehingga dapat hidup secara layak;
64
(6) Pengembalian (pemulangan) ke daerah asal sebagaimana dimaksud pada Pasal 29
ayat (2) huruf f Peraturan Daerah ini sebagai upaya untuk dapat kembali ke
lingkungan keluarga dan masyarakat;
(7) Pengembalian (pemulangan) ke daerah asal sebagaimana dimaksud ayat (6) pasal ini
dilakukan oleh petugas Dinas Sosial dan Satpol PP;
(8) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pasal ini dilakukan oleh Dinas
Sosial, instansi terkait dan lintas daerah.
Pasal 31
(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan
Daerah ini bagi pengamen yang melakukan aktifitas di jalanan dimaksudkan untuk
memberikan peluang dan kesempatan untuk memperoleh aktifitas yang bersifat produktif
dan penyaluran bakat seni,
sehingga tercipta keteraturan dan kedisiplinan hidup; (2)
Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pasal ini, dilakukan upaya berupa :
a. Bimbingan Mental Spiritual;
b. Bimbingan Sosial ;
c. Bimbingan Hukum;
d. Pelatihan Keterampilan dan Kewirausahaan;
e. Bantuan Stimulans;
f. Pendidikan Non Formal (Paket A,B,C);
g. Pembinaan Pola Kemitraan Usaha;
h. Pelatihan Pengembangan Bakat Seni.
Pasal 32
(1) Bimbingan mental spiritual sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2) huruf a
Peraturan Daerah ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, sikap dan perilaku bagi
pengamen agar tidak melakukan aktivitas di jalanan;
(2) Bimbingan sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2) huruf b Peraturan
Daerah ini sebagai upaya untuk memberikan motivasi kepada penerima pelayanan agar
tidak melakukan aktivitas di jalanan;
(3) Bimbingan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 ayat (2) huruf c Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran hukum dan dapat mengetahui
bahwa aktifitas mereka mengamen di jalanan, mengganggu ketertiban umum;
(4) Pelatihan keterampilan dan kewirausahaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 31
ayat (2) huruf d Peraturan Daerah ini dilakukan untuk memberi pengetahuan dan
keterampilan sesuai kemampuan yang mereka miliki;
(5) Bantuan stimulans sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2) huruf e Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk menumbuhkan keinginan berusaha agar dapat menciptakan
kemandirian usaha sehingga dapat hidup secara layak;
(6) Pendidikan non formal (Paket A,B,C) sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2)
huruf f Peraturan Daerah ini dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada pengamen
yang putus sekolah dan masih memiliki keinginan untuk memperoleh pendidikan formal;
(7) Pembinaan pola kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2)
huruf g Peraturan Daerah ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan kesempatan
bagi stakeholder baik secara individu, kelompok, lembaga, perusahaan dan masyarakat
untuk ikut berperan secara aktif dalam melaksanakan kegiatan pembinaan
pengembangan kewirausahaan dan bakat seni yang dimiliki pengamen;
65
(8) Pelatihan pengembangan bakat seni sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2)
huruf h Peraturan Daerah ini sebagai proses untuk melatih dan mengembangkan bakat
seni pengamen baik secara individu maupun kelompok dalam kegiatan klinik musik
dan/atau pertunjukan yang dapat dijadikan sebagai kompetisi untuk menambah wawasan,
kemampuan dan kualitas musik.
Pasal 33
(1) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan
Daerah ini bagi pengemis yang mengatasnamakan lembaga sosial atau panti asuhan
dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dan pengendalian kelembagaan yang
dilaksanakan berdasarkan standarisasi sistem pelayanan panti asuhan;
(2) Usaha rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dilakukan
sebagai upaya, untuk :
a. Penyadaran Hukum;
b. Konfirmasi Kelembagaan;
c. Pembinaan Keluarga;
d. Pemulangan ke Daerah Asal.
Pasal 34
(1) Penyadaran hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (2) huruf a
Peraturan Daerah ini dilakukan oleh tim pokja bersama pengurus lembaga sosial atau
panti social untuk memberikan kesadaran hukum sehingga dapat memahami, mengerti
dan mengetahui bahwa aktifitas yang mereka lakukan merugikan dan meresahkan
masyarakat, dan/atau merupakan pelanggaran hukum berupa tindak penipuan yang
dapat di proses secara hukum berdasarkan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
(2) Konfirmasi kelembagaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (2) huruf b
Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh tim pokja bersama pengurus lembaga sosial
atau panti
asuhan yang merasa dirugikan untuk mengetahui keterlibatan lembaga sosial yang
merekomendasi aktivitas pengemis yang mengatas namakan lembaga sosial atau panti
asuhan;
(3) Pembinaan keluarga sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (2) huruf c
Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai upaya penguatan keluarga agar dapat terlibat
secara langsung untuk memberikan pembinaan dan pengarahan terhadap keluarganya
agar tidak lagi melakukan aktivitas mengemis yang mengatasnamakan lembaga sosial
atau panti asuhan;
(4) Pemulangan ke daerah asal sebagaimana dimaksud pada pasal 33 ayat (2) huruf d
Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai upaya untuk dapat kembali kelingkungan
keluarga, masyarakat dan daerah asal.
Bagian Ketiga
Eksploitasi Pasal 35
(1) Setiap orang dan/atau badan dengan alasan apapun di larang melakukan eksploitasi
dalam wilayah kota;
66
(2) Pelaku eksploitasi sebagai mana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dapat dilakukan
oleh kedua orang tua dan/atau orang lain. Untuk pelaku eksploitasi yang dilakukan
oleh kedua orang tua dapat dilakukan pembinaan dalam batas waktu tertentu,
sementara pelaku eksploitasi yang dilakukan oleh orang lain dilakukan pola
pengendalian melalui proses hukum sebagaimana ketentuan perundang-undangan
yang berlaku;
(3) Pemerintah Kota dan/atau anggota masyarakat berkewajiban melakukan usaha
pembinaan bagi pelaku eksploitasi atau yang dicurigai telah mengeksploitir anak
jalanan, gelandangan, pengemis, dan pengamen serta pengemis yang
mengatasnamakan lembaga sosial atau panti asuhan baik untuk tujuan ekonomi
maupun untuk dipekerjakan khususnya bagi anak dibawah umur;
(4) Bentuk usaha pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) pasal ini berupa
:
a. pembinaan dan penyuluhan yang berkaitan dengan undang-undang perlindungan
anak melalui perorangan maupun kelompok lewat media elektronik, rumah ibadah
maupun media cetak serta penyebar luasan informasi melalui brosur, pamplet, spanduk,
papan bicara dan dialog interaktif;
b. sosialisasi dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa
eksploitasi terhadap anak melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku;
c. melakukan pemantauan, pengamatan dan pengawasan sebagai upaya untuk
mengetahui pelaku eksploitasi atau yang dicurigai melakukan eksploitasi, selanjutnya
dilaporkan kepada
yang berwenang untuk ditindaklanjuti sesuai proses hukum yang berlaku;
Bagian Keempat
Pemberdayaan Pasal 36
Pasal 37
67
d. Pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE);
e. Pengembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Pasal 38
(1) Pelatihan keterampilan berbasis rumah tangga sebagaimana dimaksud pada pasal
37 huruf a Peraturan Daerah ini dilakukan untuk memberi pengetahuan dan keterampilan
yang disesuaikan dengan bakat dan minat serta lingkungan sosialnya, yang dilaksanakan
bekerja sama dengan lintas sektoral dan stake holder;
(2) Pelatihan kewirausahaan sebagaimana dimaksud pada pasal 37 huruf b Peraturan
Daerah ini dilakukan untuk memberi pemahaman dan pengetahuan tentang prinsip-
prinsip usaha kecil dan menengah yang disesuaikan dengan keterampilan yang mereka
miliki dan berdasarkan kondisi lingkungan tempat mereka berdomisili sehingga mereka
dapat termotivasi untuk melakukan aktifitas usaha mandiri guna membantu penghasilan
keluarganya;
(3) Pemberian bantuan modal usaha ekonomis produktif (UEP) sebagaimana dimaksud
pada pasal 37 huruf c Peraturan Daerah ini dilakukan guna memberikan bantuan
stimulant berupa barang / bahan dagangan dan/atau modal usaha kecil sebagai modal
dasar dalam rangka membentuk dan memotivasi untuk menciptakan kemandirian
keluarga yang dilakukan secara perorangan;
(4) Pembentukan kelompok usaha bersama (KUBE) sebagaimana dimaksud pada pasal
37 huruf d Peraturan Daerah ini dimaksudkan untuk mengembangkan usaha ekonomis
produktif melalui pembinaan dalam bentuk pengelompokan keluarga yang memiliki jenis
usaha yang sama antara 5 sampai 10 keluarga;
(5) Pengembangan kelompok usaha bersama (KUBE) sebagaimana dimaksud pada
Pasal 37 huruf e Peraturan Daerah ini dimaksudkan untuk mengembangkan kelompok
usaha bersama yang berhasil melalui pendekatan pemberian modal usaha
pengembangan.
Bagian Kelima
Bimbingan Lanjut Pasal 39
(1) Bimbingan lanjut terhadap anak jalanan, gelandangan, pengemis, pengamen, eks
kusta dan keluarga yang telah mendapat pembinaan pencegahan, pembinaan lanjutan
dan usaha rehabilitasi sosial dilaksanakan untuk monitoring dan evaluasi hasil kinerja
secara terencana dan berkesinambungan;
(2) Bimbingan lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan melalui
kegiatan monitoring evaluasi dengan cara kunjungan rumah. Pasal 40
(1) Sasaran bimbingan lanjut, adalah :
- Anak Jalanan Usia Produktif;
- Anak Jalanan Usia Balita;
- Anak Jalanan Usia Sekolah;
- Gelandangan Psikotik;
- Gelandangan Usia Lanjut;
- Pengemis Usia Produktif;
- Pengemis Usia Lanjut;
- Pengemis Eks Kusta;
- Pengemis yang mengatasnamakan Lembaga Sosial atau Panti Asuhan; - Pengamen
yang beraktifitas di jalanan.
(2) Bimbingan lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini menjadi rujukan untuk
melakukan kegiatan pengembangan usaha dan pengembangan kemandirian.
Bagian Keenam
68
Partisipasi Masyarakat Pasal 41
Pasal 43
(1) Setiap pengguna jalan berhak dan berkewajiban untuk hidup damai, aman dan
tenteram tanpa ada tekanan;
69