Anda di halaman 1dari 3

Realis Jack Donnely dan JJ Mearsheimer.

Hubungan Internasional yang muncul sebagai salah satu subyek akademik yang relatif masih muda, lahir dengan adanya perdebatan-perdebatan atau yang dalam istilah lain lebih dikenal sebagai Great Debates antar teoritisi-teoritisi HI yang ada. Perdebatan awal membahas tentang apa itu sebenarnya realisme atau dalam bahasa lain disebut juga sebagai realpolitik. Menurut Jack Donnely, realisme merupakan suatu term yang sangat luas yang digunakan di berbagai bidang. Sebut saja filosofis, realisme sains, dll. Lebih lanjut Donnely menambahkan, yang dimaksud dengan political realism dalam Hubungan Internasional adalah suatu tradisi yang menekankan sisi imperatif suatu negara untuk mendapatkan power politics sesuai dengan national interest-nya1[1]. Definisi ini mungkin berbeda, namun secara umum tidak jauh berbeda dengan yang lainnya. Gilpin dalam artikel tersebut menyatakan bahwa realisme menekankan pada perjuangan politik yang dipengaruhi oleh human selfishness (egoism) dan tidak adanya pemerintahan internasional (anarchy) sehingga dibutuhkan kekuatan dalam kehidupan politik yang berupa power dan security. Keohanne menambahkan bahwa rasionalitas dan state-centrism juga merupakan inti utama premis-premis kaum realis. Untuk dapat lebih memahami pemikiran dan asumsi dasar realis, Donnely mencontohkan dengan Thomas Hobbes dan realism klasiknya. Thomas Hobbes merupakan salah seorang tokoh realis yang terkenal dengan karyanya yang berjudul Leviathan. Tiga asumsi dasar Hobbes dalam karyanya tersebut adalah bahwa manusia itu sama, manusia berinteraksi pada kondisi anarki, dan manusia dilingkupi oleh kompetisi. Asumsi Hobbes ini mempengaruhi manusia agar tetap dapat berrtahan dalam state of nature dimana yang kuatlah yang bisa menang karena tidak ada pemerintah atau kekuatan yang mngatur mereka (anarki). Pendapat Hobbes ini tak jauh berbeda dari pendapat-pendapat sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa asumsi dasar realis adalah human selfishness (egoism) konsekuensi dari asumsi man are equal, anarchy (tidak adanya pemerintahan tunggal atau international order), power, dan rationality.

1[1] Jack Donnely, Realism, in Scott Burchill, Andrew Linklater, Theories of International Relations, Third Editions, 2005, Palgrave Macmillan

Lantas, apa yang dimaksud dengan neorealisme? Apa bedanya dengan realisme itu sendiri? Dalam artikel tersebut Donnely tidak menyebutkan secara gamblang mengenai neorealisme tetapi structural realism yang dimotori oleh Kenneth Waltz. Dalam beberapa literatur lain, Waltz dianggap sebagai tokoh neorealisme itu sendiri. Structural realism mengabstrakkan segala atribut negara kecuali kapabilitasnya (power)agar terlihat jelas dampak adanya anarki dan distribusi kapabilitas (power). Waltz juga menambahkan bahwa sistem internasional merupakan anarki yang terbentuk karena interaksi negara-negara di dalamnya sehingga memaksa mereka untuk mengambil tindakan tertentu guna mempertahankan diri. Argument Waltz bahwa sistem internasional itu anarki adalah bahwa perbedaan antar negara hanya terletak pada kapabilitasnya (power) bukan fungsinya. Sehingga struktur politik internasional hanya berbeda dari distribusi kekuatan negara-negara yang ada atau dengan kata lain percaturan internasional bergantung pada seberapa banyak great powers2[2]. Ini juga yang membawa Waltz agar menggunakan sistem balance of power, dimana apabila ada aktor lain yang kuat maka harus diimbangi dengan kekuatan yang sama, sehingga kestabilan dapat tercapai. Selain itu, hal ini juga dijadikan alasan mengapa kaum realis memandang bahwa power sangat penting bagi suatu negara dalam struktur internasional. Menurut Mearsheimer, yang juga seorang structural realis, setidaknya ada lima asumsi mengapa negara membutuhkan power. Pertama adalah great powers adalah aktor utama dalam world politics. Kedua, setiap negara menggunakan beberapa kapabilitas militer ofensif. Ketiga, negara tidak akan pernah dapat memastikan niat/perilaku negara-negara lainnya. Keempat, tujuan utama negara adalah survival. Dan kelima dalah bahwa negara-negara adalah aktor-aktor yang rasional yang mampu memaksimalkan segala cara agar tetap survive3[3]. Berdasarkan uraian di atas, setidaknya ada persamaan dan perbedaan antara realism dan neorealism. Persamaan keduanya adalah asumsi dasar bahwa sistem/struktur internasional adalah anarki, yang kedua mereka adalah aktor-aktor yang rasional. Dengan demikian akan timbul suatu pemikiran bahwa power sangat penting untuk dimiliki dimana man are equal atau states differ from its capabilities. Perbedaan antara keduanya adalah realism, seperti yang dicontohkan 2[2] Jack Donnely, Realism, in Scott Burchill, Andrew Linklater, Theories of International Relations, Third Editions, 2005, Palgrave Macmillan 3[3] J. Mearsheimer, John, Structural realism.

Hobbes, lebih fokus pada human beings atau manusia itu sendiri sedangkan structural realism memfokuskan pada apa yang disebut Waltz sebagai unit atau negara. Mearsheimer menambahkan bahwa power merupakan suatu tujuan bagi kaum realis, sedangkan menurut kaum structural realis, power merupakan alat untuk mencapai tujuan akhirnya yaitu survival4[4]. Berdasarkan sedikit uraian di atas terlihat bahwa fokus utama pada studi HI pertama kalia dalah tentang masalah survival. Dimana tiap-tiap aktor yang rasional tadi mencoba untuk selalu waspada terhadap apapun yang terjadi di sekitarnya, terutama ancaman dari aktor-aktor lain yang sama-sama berada dalam ketidakpastian dan dalam sistem yang anarki.

4[4] J. Mearsheimer, John, Structural realism.

Referensi : Jack Donnely, Realism , in Scott Burchill, Andrew Linklater, Theories of International Relations, Third Editions , 2005, Palgrave Macmillan J. Mearsheimer, John, Structural Realism.

Anda mungkin juga menyukai